Pecahnya Perang Uhud

2. Pecahnya Perang Uhud

a. Persiapan Perang Uhud

Pemimpin-pemimpin kaum Quraisy mengadakan persiapan untuk perang melawan Nabi Muhammad SAW dan pasukan Muslimin. Setelah semua tentara Quraisy berkumpul, ternyata jumlah pasukan Quraisy lebih dari 3.000 tentara diantaranya terdapat 200 pasukan berkuda dengan persenjataan lengkap dan 700 pasukan berkendaraan unta serta memakai baju besi. Pasukan perang kaum Quraisy dipimpin oleh Abu Sufyan. Budak-budak Quraisy disuruh oleh para majikannya masing-masing untuk ikut serta menjadi anggota pasukan yang dipimpin oleh Abu Amir ar-Rahib. Kaum wanita juga turut berperan aktif untuk menyulut api peperangan, diantaranya adalah Hindun (istri Abu Sufyan), Ummu Hakim (istri Ikrimah), Barzah binti Mas’ud (istri Shafwan bin Umayyah), Fatimah binti Walid (istri Harits bin Hisyam), Barthah binti Munabbih (istri Amr bin Asb), dan yang menjadi pemimpinnya adalah Hindun. Hindun mempersiapkan seorang budak bernama Wahsyi untuk membunuh Hamzah (paman Nabi Muhammad SAW). Apabila Wahsyi berhasil membunuh Hamzah, maka akan dimerdekakan. Dendam Hindun kepada Hamzah sangat besar karena Hamzah telah membunuh ‘Utbah (ayah Hindun) pada saat perang Badar (Moenawar Chalil, 2001: 101).

Sementara itu, kaum Muslimin Madinah sama sekali tidak mengetahui persiapan perang yang dilakukan oleh kaum Quraisy. Nabi Muhammad SAW baru menerima berita tentang persiapan kaum Quraisy setelah tiga hari sebelum pasukan Quraisy Makkah tiba di Uhud. Nabi Muhammad SAW menerima berita tersebut dari salah seorang paman beliau yang bernama ‘Abbas yang pada waktu itu telah memeluk agama Islam namun masih tinggal di Makkah. Setelah mendengar berita tersebut, Nabi Muhammad SAW mengirim mata-mata yaitu Anas, Munis, dan Hubab untuk mencari informasi tentang pasukan Quraisy

Makkah. Akhirnya diperoleh informasi bahwa pasukan Quraisy Makkah sudah berada di dekat Uhud. Pada hari Jum’at 13 Syawwal 3 H, Nabi Muhammad SAW mengadakan musyawarah untuk membahas situasi tersebut dengan para sahabat beliau. Sejumlah sahabat berpendapat sebaiknya tetap bertahan dan berperang di Madinah. Nabi Muhammad SAW lebih setuju dengan pendapat yang mengatakan untuk tetap tinggal di Madinah karena Madinah dikelilingi oleh gunung-gunung dan bukit yang dapat dijadikan sebagai benteng pertahanan sehingga kaum Quraisy akan mengalami kesulitan dalam melakukan penyerangan terhadap kota Madinah. Akan tetapi, para pemuda khususnya orang-orang yang tidak ikut serta dalam perang Badar memiliki pendapat lain. Mereka berpendapat untuk pergi keluar kota Madinah dan mengadakan perang terbuka dengan Quraisy Makkah. Adanya desakan dari kelompok pemuda tersebut membuat Nabi Muhammad SAW berubah pendirian dan mengikuti pendapat para pemuda yang menginginkan perang terbuka di luar Madinah. Setelah memperoleh keputusan, Nabi Muhammad SAW segera mengenakan baju perang dengan senjata lengkap. Setelah selesai shalat Jum’at, Nabi Muhammad SAW bergerak menuju Bukit Uhud dengan memimpin 1.000 prajurit yang gagah berani untuk menghadapi 3.000 pasukan Quraisy yang bersenjata lengkap dan yang telah merusak tanaman dan padang rumput kaum Muslimin. Pasukan Nabi Muhammad SAW bermalam tidak jauh dari kota Madinah agar keesokan harinya dapat melanjutkan perjalanan menuju Uhud. Di tengah perjalanan menuju Uhud, pemimpin kaum munafik, ‘Abdullah bin Ubay melakukan desersi (membelot) dengan membawa 300 pasukan sehingga pasukan yang semula bersama Nabi Muhammad berjumlah 1.000 orang berkurang menjadi 700 orang. Tentara Muslim memang hanya berjumlah sedikit dan kurang memiliki keahlian perang, namun pasukan Muslim memiliki keimanan yang kuat untuk membela kebenaran. Menurut Hamka (1983: 96), pembelotan yang dilakukan oleh ‘Abdullah bin Ubay telah dijelaskan di dalam Q.S. Ali ‘Imran ayat 122.

Ketika kaum Muslimin menyaksikan orang-orang munafik yang merupakan sepertiga dari rombongan Nabi Muhammad SAW menarik diri dan meninggalkan kaum Muslimin, maka timbul kemarahan dari sebagian kalangan

kaum Muslimin. Menyikapi sikap orang-orang munafik tersebut kaum Muslimin terpecah menjadi dua kelompok. Kelompok pertama berpendapat bahwa orang- orang munafik tersebut harus diperangi dan dibunuh karena mereka memang pantas untuk dibunuh. Sedangkan kelompok kedua yang mayoritas di bawah pimpinan Nabi Muhammad SAW berpendapat bahwa kaum munafik tersebut tidak perlu untuk diperangi. Nabi Muhammad SAW sendiri memilih untuk tidak memerangi kaum munafik tersebut. Sikap Nabi Muhammad SAW untuk tidak memerangi dan tidak membunuh kaum munafik merupakan sikap yang bijaksana, cerdas dan visioner karena apabila memerangi kaum munafik pada saat situasi yang kritis, tidak akan memberikan manfaat kepada kaum Muslimin. Situasi akan menjadi sangat sulit apabila konsentrasi kaum Muslimin harus diarahkan untuk memerangi kaum munafik karena hal tersebut akan semakin melemahkan kekuatan 700 pasukan yang masih tersisa. Meskipun kaum Muslimin berhasil mengalahkan kaum munafik, hal tersebut akan menguras tenaga pasukan Muslimin dan membuat pasukan Muslimin lemah dalam menghadapi pasukan Quraisy Makkah yang jumlahnya empat kali lipat jumlah pasukan Muslimin. Di samping itu, Nabi Muhammad SAW sendiri tidak menghendaki adanya pertumpahan darah apalagi jika pertumpahan darah tersebut terjadi di kalangan Muslimin yang sama-sama masih memiliki ikatan darah karena kebanyakan dari orang-orang munafik yang menarik diri dari rombongan Nabi Muhammad SAW masih merupakan keluarga dan saudara sesama kaum Muslimin. Sikap ‘Abdullah bin Ubay beserta orang-orang munafik yang menarik diri dari Nabi Muhammad SAW, membawa pengaruh negatif bagi sebagian pasukan yang masih tetap berada dalam rombongan Nabi Muhammad SAW. Sebagian dari kaum Muslimin mulai terpengaruh dan menjadi lemah semangat perang kemudian mereka juga berpikir untuk menarik diri dari medan peperangan. Akan tetapi kegoyahan pendirian mereka dapat terselamatkan berkat bantuan Allah SWT serta motivasi penuh dari Nabi Muhammad SAW sehingga membuat mereka mengurungkan niat untuk mundur dari medan peperangan (Abu Faris, 1998: 197-199).

b. Jalannya Perang Uhud

Setelah Nabi Muhammad SAW dan pasukan Muslimin selesai menghadapi persoalan penarikan diri ‘Abdullah bin Ubay dan kaum munafik, Nabi Muhammad SAW melanjutkan perjalanan menuju Uhud. Nabi Muhammad SAW meminta ditunjukkan suatu jalan yang tidak dilalui oleh pasukan Quraisy Makkah. Khaistamah lalu menunjukkan jalan yang dekat dan yang dikehendaki oleh Nabi Muhammad SAW. Setelah perjalanan dilanjutkan, tibalah rombongan Nabi Muhammad SAW di suatu jalan kecil milik Marba’ bin Qaizhi yang buta matanya. Ketika Nabi Muhammad SAW berjalan di depan rumah Marba’ bin Qaizhi, tiba-tiba Marba’ bin Qaizhi menaburkan debu ke arah muka Nabi Muhammad SAW sambil berkata, “Kalau engkau itu pesuruh Allah, aku tidak menghalalkan (memperkenankan) kepadamu berjalan di jalanku ini”. Dengan cepat, Sa’ad bin Zaid memukul Marba’ bin Qaizhi dengan senjata tajam sehingga membuat Marba’ bin Qaizhi terluka parah. Sahabat-sahabat Nabi Muhammad SAW hendak membunuh Marba’ bin Qaizhi, tetapi Nabi Muhammad SAW mencegahnya (Moenawar Chalil, 2001: 110).

Perjalanan terus dilanjutkan hingga sampailah kaum Muslimin di suatu tempat di bawah kaki Gunung Uhud. Di sinilah Nabi Muhammad SAW beserta pasukannya berhenti karena melihat tentara musuh sudah beramai-ramai menduduki tempat-tempat dekat Gunung Uhud. Pasukan musuh berkekuatan empat kali lebih banyak dari pasukan kaum Muslimin dan sebagian besar dari pasukan Muslimin sangat kurang keahliannya dalam berperang. Pasukan musuh juga memiliki persenjataan lengkap dengan peralatan perang serba cukup dan sebagian besar diantara pasukan Quraisy memiliki keahlian berperang. Nabi Muhammad SAW segera mengumpulkan tentaranya lalu memilih dan menduduki tempat yang cukup strategis letaknya dengan membelakangi bukit-bukit Uhud agar mampu melindungi barisan tentaranya. Akan tetapi, karena tempat-tempat yang lain sudah terlebih dahulu dikuasai pasukan musuh, tempat-tempat yang diduduki Nabi Muhammad SAW adalah tempat yang di belakangnya terdapat suatu jalan yang terbuka yang dapat dipergunakan oleh musuh untuk menyerang pasukan Muslimin dari arah belakang. Walaupun demikian, sebagai seorang Perjalanan terus dilanjutkan hingga sampailah kaum Muslimin di suatu tempat di bawah kaki Gunung Uhud. Di sinilah Nabi Muhammad SAW beserta pasukannya berhenti karena melihat tentara musuh sudah beramai-ramai menduduki tempat-tempat dekat Gunung Uhud. Pasukan musuh berkekuatan empat kali lebih banyak dari pasukan kaum Muslimin dan sebagian besar dari pasukan Muslimin sangat kurang keahliannya dalam berperang. Pasukan musuh juga memiliki persenjataan lengkap dengan peralatan perang serba cukup dan sebagian besar diantara pasukan Quraisy memiliki keahlian berperang. Nabi Muhammad SAW segera mengumpulkan tentaranya lalu memilih dan menduduki tempat yang cukup strategis letaknya dengan membelakangi bukit-bukit Uhud agar mampu melindungi barisan tentaranya. Akan tetapi, karena tempat-tempat yang lain sudah terlebih dahulu dikuasai pasukan musuh, tempat-tempat yang diduduki Nabi Muhammad SAW adalah tempat yang di belakangnya terdapat suatu jalan yang terbuka yang dapat dipergunakan oleh musuh untuk menyerang pasukan Muslimin dari arah belakang. Walaupun demikian, sebagai seorang

Nabi Muhammad SAW juga mulai mengatur barisan pasukan Muslimin. Nabi Muhammad SAW menempatkan Abu Bakar ash-Shiddiq, Umar bin Khatthab, Ali bin Abu Thalib, Zubair bin Awwam, Abu Dujanah Sammak bin Kharsyah, Thalhah bin Ubaidillah, Sa’ad bin Mu’adz, Anas bin an-Nadhar, Mush’ab bin Umair, Sa’ad bin Ubadah, Usaid bin Hudhair, dan Habbab bin al- Mundzir di barisan pertama. Kemudian Nabi Muhammad SAW menginstruksikan kepada pasukan Muslimin yang telah berada pada posisi mereka masing-masing agar tidak melakukan peperangan sebelum Nabi Muhammad SAW mengijinkan mereka untuk berperang dan memerintahkan pasukan pemanah agar tidak meninggalkan posisi mereka dalam kondisi apapun (Abu Faris, 1998: 229). Berkaitan dengan penempatan posisi pasukan Muslimin dan perintah Nabi kepada pasukan pemanah, telah dijelaskan di dalam Tafsir Al-Azhar Q.S. Ali ‘Imran ayat 121 (Hamka, 1983: 95).

Setelah kedua pasukan saling berhadapan dan siap bertempur, dimulailah dengan perang tanding. Abu Thalhah al-‘Abdari keluar dengan membawa panji kaum Quraisy lalu menantang perang tanding beberapa kali tetapi tidak seorang pun pasukan dari kaum Muslimin yang berani maju untuk melawannya. Kemudian Abu Thalhah berkata kepada pasukan Muslimin:

“Wahai para sahabat Muhammad, kalian mengaku bahwa Allah akan menyegerakan kami dengan pedang kalian ke neraka dan menyegerakan kalian dengan pedang kami ke surga, tetapi adakah diantara kalian seorang yang mampu menyegerakan aku dengan pedangnya ke neraka atau aku akan menyegerakannya dengan pedangku ke surga. Kalian dusta demi Lata dan ‘Uzza, seandainya kalian “Wahai para sahabat Muhammad, kalian mengaku bahwa Allah akan menyegerakan kami dengan pedang kalian ke neraka dan menyegerakan kalian dengan pedang kami ke surga, tetapi adakah diantara kalian seorang yang mampu menyegerakan aku dengan pedangnya ke neraka atau aku akan menyegerakannya dengan pedangku ke surga. Kalian dusta demi Lata dan ‘Uzza, seandainya kalian

Setelah mendengar perkataan tersebut, akhirnya Ali bin Abu Thalib maju ke medan pertempuran kemudian berhasil memukul Abu Thalhah hingga patah kakinya dan tergeletak di tanah. Kemudian Ali bin Abu Thalib mundur kembali ke barisan pasukan Nabi Muhammad SAW. Beberapa saat kemudian Abu Thalhah tewas akibat pukulan Ali bin Abu Thalib. Setelah Abu Thalhah tewas, panji perang diambil oleh saudaranya yaitu Utsman bin Abu Thalhah yang akan berhadapan dengan Hamzah. Dengan segera Hamzah menyerang Utsman bin Abu Thalhah sehingga berhasil menebas tangan dan pundaknya sampai ke pinggangnya. Setelah Utsman bin Abu Thalhah tewas, panji kemudian diambil oleh saudaranya Abu Sa’id bin Abu Thalhah yang berhadapan dengan Sa’ad bin Abi Waqqash yang berhasil melempar Abu Sa’id dengan panah hingga tewas. Panji kemudian diambil oleh Musafi’ bin Thalhah bin Abu Thalhah dan berhasil dibunuh oleh ‘Ashim bin Tsabit bin Abu Aflah. Setelah Musafi’ tewas, panji kemudian diambil oleh saudara Musafi’ yaitu Harist bin Thalhah lalu berhasil dibunuh oleh ‘Ashim. Kemudian panji diambil oleh saudaranya Musafi’ dan Harits yaitu Kilab bin Thalhah lalu berhasil dibunuh oleh Zubair bin Awwam. Panji kemudian diambil oleh saudara Kilab yaitu Jallas bin Thalhah lalu berhasil dibunuh oleh Thalhah bin Ubaidillah. Setelah Jallas bin Thalhah tewas, panji kemudian diambil oleh Arthah bin Syurahbil bin Hasyim bin Abdi Manaf bin Abdu Dar lalu berhasil dibunuh oleh Ali bin Abu Thalib. Kemudian panji diambil oleh Abu Zaid Amer bin Abdi Manaf lalu berhasil dibunuh oleh Qazman. Setelah Abu Zaid Amer tewas, panji kemudian diambil oleh Shawab, seorang budak yang berasal dari Habasyah milik Banu Abdud Dar, lalu berhasil dibunuh oleh Ali bin Abu Thalib. Akhirnya panji jatuh tergeletak kotor di tanah hingga diambil oleh ‘Amrah binti ‘Alqamah al-Haritsiyah lalu mengangkatnya kepada pasukan Quraisy dan mereka pun mengerumuninya. Demikianlah para pahlawan kaum Muslimin berhasil menumbangkan para tokoh dan pembawa panji kaum Quraisy dan tidak ada lagi yang sanggup membawa panji tersebut hingga dipungut oleh seorang wanita. Setelah para pembawa panji tersebut terbunuh kemudian kaum

Quraisy terpecah belah, semangat mereka merosot dan kekuatan mereka pun hancur. Hal seperti ini menunjukkan kepiawaian Nabi Muhammad SAW dalam bidang militer karena mampu melemahkan kemampuan perang pasukan Quraisy sehingga mendesak pasukan Quraisy mundur dan lari meninggalkan harta dan wanita-wanita Quraisy (Abu Faris, 1998: 233-234).

Para pasukan pemanah menyaksikan dari atas bukit peristiwa yang terjadi di medan pertempuran. Setelah menyaksikan pasukan Quraisy melarikan diri dengan meninggalkan harta dan wanita-wanita, pasukan Muslimin mulai mengumpulkan harta rampasan yang ditinggalkan oleh pasukan Quraisy. Menyaksikan kejadian tersebut, pasukan pemanah mengira pertempuran telah berakhir. Pasukan pemanah tertarik untuk turun dari bukit dan membantu saudara- saudara mereka yang sedang sibuk mengumpulkan harta rampasan dan benda- benda berharga yang melekat dalam tubuh para korban. Kemudian pasukan pemanah menyampaikan keinginan mereka kepada pemimpin mereka yaitu Abdullah bin Jubair agar meninggalkan bukit untuk bergabung bersama saudara- saudara mereka yang sedang mengumpulkan harta rampasan. Akan tetapi, Abdullah bin Jubair menolak permintaan para pasukan pemanah bahkan melarang mereka untuk melakukan hal tersebut. Abdullah bin Jubair mengingatkan akan perintah Nabi Muhammad SAW agar pasukan pemanah tidak meniggalkan bukit dalam kondisi apapun. Sebagian kecil pasukan pemanah ada yang mengikuti perintah Abdullah bin Jubair dan tetap tinggal di bukit dengan penuh waspada mengawasi keadaan dengan ketat. Akan tetapi, sebagian besar dari pasukan pemanah yang berjumlah 40 orang, mengabaikan perintah Nabi Muhammad SAW dan juga tidak melaksanakan perintah Abdullah bin Jubair. Akhirnya, 40 orang pemanah turun dari atas bukit meninggalkan 10 orang pemanah dan ikut mengumpulkan harta rampasan dalam keadaan tidak mempedulikan pihak musuh. Kelalaian pasukan pemanah dalam menjalankan tugas yang diperintahkan oleh Rasulullah telah dijelaskan di dalam Tafsir Ibnu Katsir Q.S. Ali ‘Imran ayat 152- 153 (M. ‘Abdul Ghoffar, 2008: 159).

Tentara berkuda pihak Quraisy yang berada di sayap kanan yang dipimpin oleh Khalid bin Walid mengetahui dengan jelas bahwa sebagian besar

dari para pasukan pemanah Muslimin yang menjaga bukit Uhud sudah meningglkan posisi mereka masing-masing. Oleh karena itu, secara diam-diam Khalid bin Walid mengerahkan pasukan yang berada di bawah komandonya untuk menyerang pasukan pemanah Muslimin yang hanya tinggal beberapa orang dari arah belakang mereka. Setelah pasukan Khalid bin Walid mampu melumpuhkan pasukan pemanah Muslimin dan berhasil menguasai posisi strategis para pemanah, Khalid bin Walid segera memerintahkan pasukannya untuk memutar ke arah belakang pasukan kaum Muslimin dan kemudian secara mendadak menyerang kaum Muslimin yang sedang sibuk mengumpulkan harta rampasan. Pasukan Muslimin dikejutkan oleh serangkaian serangan pedang dan anak panah dari arah belakang sehingga mengakibatkan terbunuhnya sejumlah dari mereka. Serangan secara mendadak dari pasukan Quraisy menyebabkan pasukan Muslimin ketakutan dan terguncang sehingga banyak diantara pasukan Muslimin yang berpencar dan tercerai-berai. Pasukan Muslimin sama sekali tidak pernah mengira kalau pasukan Quraisy yang sudah melarikan diri dan mundur dari medan peperangan, berbalik arah dan kembali menyerang pasukan Muslimin dari arah belakang. Pasukan Muslimin berada dalam kondisi tidak siap siaga untuk melawan musuh karena serangan yang datang dari pasukan Quraisy sangat mendadak sehingga pasukan Muslimin terkepung baik dari arah depan maupun dari arah belakang (Moenawar Chalil, 2001: 120-121).

Setelah Nabi Muhammad SAW melihat keadaan yang semakin kacau, Nabi menyadari bahwa tentaranya sedang terancam oleh bahaya yang besar dari pihak musuh. Oleh karena itu, Nabi Muhammad SAW segera memilih salah satu dari dua alternatif yaitu melindungi diri sendiri di tempat yang tersembunyi atau maju dan berjuang di tengah medan pertempuran yang sedang berkobar dengan hebat dan dahsyat untuk membela barisan tentara yang sedang berantakan, kalang kabut, kocar-kacir dan terkepung oleh pihak musuh. Seketika itu juga Nabi Muhammad SAW mengambil suatu keputusan yaitu untuk sementara Nabi menyembunyikan diri sambil berseru dan memanggil sebagian tentaranya agar segera berlari dan mengelilingi tempat Nabi Muhammad SAW bersembunyi. Meskipun demikian, Nabi Muhammad SAW belum bebas dari ancaman bahaya.

Mush’ab bin Umair, seorang pahlawan Islam yang gagah berani, yang pada saat itu sedang memegang bendera tentara Islam, selalau melindungi Nabi Muhammad SAW dari serangan tentara Quraisy. Ketika itu, Ibnu Qam’ah, seorang tentara Quraisy, berteriak di depan pasukan Muslimin, “Tunjukkanlah kepadaku mana Muhammad? Lebih baik aku celaka daripada Muhammad masih hidup”. Akan tetapi, Ibnu Qam’ah terus dihalangi oleh Mush’ab dan kawan-kawannya yang masih tetap mengelilingi Nabi Muhammad SAW. Hal tersebut membuat Ibnu Qam’ah tidak mampu mencapai tempat Nabi Muhammad SAW bersembunyi. Akhirnya, Ibnu Qam’ah menikam Mush’ab hingga gugur. Ibnu Qam’ah menyangka bahwa yang ditikam dan dibunuhnya adalah Nabi Muhammad SAW karena Ibnu Qam’ah belum pernah melihat wajah Nabi Muhammad SAW, sedangkan Mush’ab bin Umair memiliki wajah yang sangat mirip dengan wajah Nabi Muhammad SAW. Ibnu Qam’ah kemudian berteriak dengan keras dan meyakinkan semua yang terlibat dalam perang bahwa Nabi Muhammad SAW telah terbunuh. Teriakan tersebut diulangi sampai beberapa kali sambil berlarian di tengah medan pertempuran. Mendengar suara Ibnu Qam’ah, pasukan Muslimin semakin bertambah kacau sehingga ada diantara mereka yang saling menyerang saudara sendiri. Akhirnya, terjadi perpecahan diantara kaum Muslimin menjadi tiga golongan, yaitu sebagian ada yang melarikan diri menuju tempat dekat Madinah, tetapi tidak berani masuk dan pulang ke Madinah karena malu dan mereka hanya menanti para kawannya sampai selesai perang. Diantara pasukan Muslim yang melarikan diri adalah Ustman bin Affan, Walid bin Uqbah, Kharijah bin Zaid, dan Rifa’ah bin Ma’la (Moenawar Chalil, 2001: 122).

Sebagian besar (golongan kedua) tetap bertempur dengan pantang menyerah karena mereka telah mendengar ucapan bahwa Nabi Muhammad SAW telah terbunuh. Salah seorang tentara Muslimin, Tsabit bin Dahdah, memperingatkan kawan-kawannya, “Hai para kawanku Anshar! Jika benar Nabi Muhammad SAW telah mati terbunuh, biarlah ia mati, karena hanya Allah yang tidak mati selama-lamanya! Karena itu, berpeganglah kamu kepada agamamu dengan kokoh kuat! Allah sendirilah yang akan menolong dan memberikan kemenangan kepadamu!”. Peringatan tersebut sungguh besar pengaruhnya bagi

para pasukan Muslimin yang sedang mengalami kebingungan. Setelah mendengar ucapan Tsabit bin Dahdah, pasukan Muslimin menyerahkan diri hanya kepada Allah dan terus berjuang tanpa rasa takut. Sebagian lagi (golongan ketiga), sebanyak 14 orang tetap teguh mengelilingi Nabi Muhammad SAW dan mereka berusaha dengan sekuat tenaga melindungi Nabi Muhammad SAW dari serangan pasukan Quraisy. Mereka tidak mau melarikan diri dan tidak perlu merasa bingung karena mereka tahu bahwa Nabi Muhammad SAW masih hidup. Mereka terdiri dari 7 orang sahabat Muhajirin dan 7 sahabat Anshar. Diantara tentara Muslimin yang masih bertahan mengelilingi Nabi Muhammad SAW yaitu (1) dari golongan Muhajirin: Abu Bakar ash-Shiddiq, Umar ibnu Khattab, Ali bin Abi Athalib, Abdurrahman bin Auf, Zubair ibnu Awwam, Sa’ad bin Abi Waqqash, dan Abu Ubaidah ibnu Jarrah (2) dari golongan Anshar: Abu Dujanah, al-Hubab ibnu Mundzir, Ashim bin Tsabit, al-Harits ibnu Shammah, Sahal bin Hanif, Sa’ad bin Muadz, dan Usaid bin Hudhair. Selain 14 orang tersebut, ada lagi beberapa sahabat yang ikut mengelilingi Nabi Muhammad SAW untuk melindungi beliau dari serangan musuh. Mereka ini seolah-olah menjadi benteng pertahanan Nabi Muhammad SAW dan mereka tidak menghiraukan sama sekali desas-desus tentang kematian Nabi Muhammad SAW. Kemudian Ka’ab bin Malik berteriak dan mengatakan bahwa Nabi Muhammad SAW masih hidup. Mendengar ucapan Ka’ab bin Malik, pasukan Quraisy semakin mendesak dan berusaha menerobos pertahanan para sahabat Nabi Muhammad SAW. Terlebih lagi ketika pasukan Quraisy mengetahui bahwa yang melindungi Nabi Muhammad SAW hanya berjumlah 30 orang saja, mereka semakin kuat menerjang pertahanan para sahabat yang sedang melindungi Nabi Muhammad SAW. Tentara Quraisy terus mendesak pertahanan sahabat Nabi sambil melepaskan anak panah sedangkan 30 orang sahabat Nabi yang sedang mengelilingi Nabi Muhammad SAW tetap bertahan dan menangkis serangan dari pasukan Quraisy dengan sekuat-kuatnya. Terkait dengan desas-desus kematian Nabi Muhammad SAW telah dijelaskan di dalam Tafsir Al- Azhar Q.S. Ali ‘Imran ayat 144 (Hamka, 1983: 130).

Para sahabat Nabi telah menjadikan diri mereka sebagai benteng pertahanan yang kokoh dan kuat untuk melindungi Nabi Muhammad SAW.

Pasukan Quraisy terus berusaha mencari kesempatan untuk menerjang dan menerobos pertahanan yang dibuat oleh para sahabat Nabi. Akan tetapi, pasukan Quraisy tidak mampu merobohkan pertahanan para sahabat Nabi kerena ketatnya penjagaan dari para sahabat Nabi Muhammad SAW. Ketika serangan musuh kepada Nabi Muhammad SAW semakin hebat, tiba-tiba Nabi Muhammad SAW terkena lemparan batu dari pihak musuh sehingga menyebabkan wajah Nabi Muhammad SAW luka. Pada saat itu juga Hamzah bin Abdul Muthalib terbunuh di tengah-tengah medan pertempuran oleh seorang tentara musuh, yaitu seorang budak yang bernama Wahsyi dengan menggunakan tombak. Hamzah gugur setelah mampu membunuh 31 orang dari pihak musuh. Setelah berita terbunuhnya Hamzah terdengar oleh Nabi Muhammad SAW, beliau merasa sangat sedih karena Hamzah adalah paman Nabi Muhammad SAW yang memiliki jasa yang sangat besar kepada Nabi Muhammad SAW. Pasukan Quraisy merasa tidak puas apabila belum membunuh Nabi Muhammad SAW dalam perang Uhud. Pasukan Quraisy beranggapan bahwa dengan membunuh Nabi Muhammad SAW maka akan menyebabkan seluruh kaum Muslimin hancur (Moenawar Chalil, 2001: 124).

Selain terkena lemparan batu dari musuh, Nabi Muhammad SAW juga dilempari dengan beberapa potongan besi. Utbah bin Abi Waqqash melemparkan potongan besi ke arah Nabi Muhammad SAW sehingga melukai muka dan menyebabkan salah satu gigi depan Nabi Muhammad SAW patah. Setelah melihat perbuatan Utbah, Hathib bin Abi Balta’ah segera mengejar dan membunuh Utbah. Serangan terhadap Nabi Muhammad SAW belum juga reda. Abdullah bin Syihab melemparkan batu dengan keras ke arah Nabi Muhammad SAW sehingga dahi Nabi luka parah dan gigi Nabi yang telah pecah masuk menembus daging bibir Nabi. Abu Qam’ah juga melemparkan dua potong besi yang berasal dari lapisan baju besi yang dipakainya sehingga melukai pipi Nabi Muhammad SAW. Potongan besi yang dilemparkan oleh Abu Qam’ah menembus ke bagian dalam pipi Nabi Muhammad SAW karena kuatnya lemparan yang dilakukan oleh Abu Qam’ah. Abu Ubaidah bin Jarrah berusaha mencabut potongan besi yang menembus bagian dalam pipi Nabi Muhammad SAW dengan menggunakan gigi.

Potongan besi tersebut tembus sampai ke dalam gusi Nabi Muhammad SAW. Pada saat mencabut potongan besi tersebut gigi Abu Ubaidah juga ikut tanggal. Melihat keadaan demikian, Malik bin Sinan membersihkan darah yang mengalir di muka Nabi Muhammad SAW. Dalam keadaan yang demikian, serangan musuh masih terus dilancarkan dengan gencar ke arah Nabi Muhammad SAW. Pasukan Quraisy terus berusaha melalui berbagai cara untuk menembus pertahanan yang dibuat oleh para sahabat Nabi yang setia. Kemudian datang Ubay bin Khalaf dari kaum Quraisy yang menjadi penentang dan musuh Nabi Muhammad SAW dengan memakai baju besi sambil menunggangi kudanya yang bernama Ud menuju tempat Nabi Muhammad SAW dengan niat untuk membunuh Nabi Muhammad SAW. Ketika Ubay bin Khalaf sudah mendekati tempat Nabi Muhammad SAW yang sedang dipertahankan oleh para sahabat Nabi, Ubay bin Khalaf segera menyerang Nabi Muhammad SAW dengan pedangnya tetapi ditangkis oleh para sahabat Nabi. Salah satu sahabat Nabi terbunuh oleh pedang Ubay bin Khalaf karena tidak mampu menahan tangkisan pedang dari Ubay bin Khalaf. Melihat kejadian tersebut, Nabi Muhammad SAW memerintahkan para sahabatnya agar membiarkan Ubay bin Khalaf datang ke tempat Nabi Muhammad SAW karena Nabi akan menghadapi Ubay bin Khalaf dengan tangan Nabi sendiri. Kemudian Nabi Muhammad SAW mengambil tombak milik Harits ash-Shammah dan dengan cepat Nabi Muhammad SAW menyerang Ubay bin Khalaf terlebih dahulu sebelum diserang sehingga tombak tersebut menancap di sela-sela baju Ubay bin Khalaf, menembus lehernya dan akhirnya Ubay bin Khalaf tewas (Moenawar Chalil, 2001: 126).

Sehubungan dengan lemparan batu dari pihak musuh, Nabi Muhammad SAW berusaha untuk menghindar. Nabi Muhammad SAW berjalan perlahan- lahan dari tempat Nabi berada. Akan tetapi, baru saja Nabi Muhammad SAW berjalan beberapa langkah, Nabi jatuh ke dalam sebuah lubang yang digali oleh salah seorang dari pihak musuh, yaitu Abu Amir ar-Rahib. Abu Amir berbuat demikian karena sengaja ingin menjebak dan mencelakai pasukan Muslim terutama Nabi Muhammad SAW. Akibat terjatuh ke dalam lubang, kedua lutut Nabi Muhammad SAW luka-luka. Kondisi tersebut membuat Nabi Muhammad

SAW semakin kehilangan tenaga dan akhirnya Nabi pingsan. Melihat kondisi Nabi Muhammad SAW, Ali bin Abi Thalib dan Thalhah bin Ubaidillah menolong Nabi. Kemudian kedua sahabat Nabi tersebut mengangkat Nabi menuju tempat yang aman. Setelah siuman, Nabi Muhammad SAW dapat berdiri tegak seperti biasa (Moenawar Chalil, 2001: 127).

c. Akhir Perang Uhud

Semangat para sahabat yang melindungi Nabi Muhammad SAW dari serangan musuh masih tetap menggelora. Kegigihan pasukan Muslimin menjadikan barisan tentara Muslimin yang sudah kacau balau sedikit demi sedikit dapat tertata rapi kembali. Pasukan Muslimin segera menduduki tempat-tempat yang strategis untuk menangkis serangan dari musuh. Pasukan Muslimin banyak yang mengetahui bahwa Nabi Muhammad SAW menderita luka-luka dan juga banyak pahlawan Islam yang sudah terbunuh. Oleh karena itu, semangat pasukan Muslimin kembali bergelora dan dengan serentak bergerak maju penuh keberanian melakukan serangan balik terhadap musuh. Pasukan Muslimin berpendirian lebih baik hancur dalam menyerang daripada hancur binasa diserang musuh.

Pertempuran antara pasukan Muslimin dengan pasukan Quraisy berkobar kembali. Meskipun tentara kaum Muslimin telah mengalami penderitaan yang sangat berat namun pasukan Muslimin terus berjuang dengan penuh keberanian dan disertai dengan keyakinan penuh bahwa kemenangan pasti akan diraih oleh kaum Muslimin. Seorang tentara Quraisy, Utsman bin Abdullah sedang menuju tempat Nabi Muhammad SAW berada namun dihadang oleh Harits bin Shammah sehingga menyebabkan kuda yang ditunggangi oleh Utsman bin Abdullah tergelincir dan jatuh ke dalam lubang yang sama dengan lubang yang pernah mengakibatkan Nabi Muhammad SAW terperosok. Melihat Utsman bin Abdullah terjatuh, Harits bin Shammah segera menebaskan pedangnya sehingga kaki Utsman bin Abdullah putus. Ubaidillah bin Jabir berusaha menolong Utsman bin Abdullah tetapi dihadapi oleh Harits bin Shammah. Ubaidillah bin Jabir tidak sanggup menghadapi perlawanan dari Harits bin

Shammah sehingga membuat Ubaidillah luka parah. Melihat Ubaidillah sudah tidak berdaya, Abu Dujanah segera memenggal leher Ubaidillah.

Ummu Umarah, seorang wanita Anshar, juga ikut terlibat dalam perang Uhud. Pada awalnya, Ummu Umarah hanya menyertai suaminya yang turut berperang dan membantu menyediakan air bagi tentara kaum Muslimin tetapi setelah Ummu Umarah mengetahui bahwa pasukan Muslimin semakin terdesak oleh pasukan Quraisy, Ummu Umarah pun ikut bertempur melawan musuh dengan gagah berani sehingga mengalami luka yang parah. Begitu pula dengan Ummu Aiman, seorang wanita Muhajirin, yang pada saat itu juga ikut menjadi tentara Muslimin sebagai tenaga logistik, penyedia makanan dan minuman, juga ikut bertempur melawan musuh dan berhasil membunuh seorang tentara Quraisy yang bernama Hubab bin Arafah.

Ketika Nabi Muhammad SAW dan para sahabatnya sedang beristirahat di atas bukit sambil mengobati luka-luka, tiba-tiba Khalid bin Walid dan pasukannya datang untuk kembali menyerang kaum Muslimin. Umar ibnu Khatthab segera mengerahkan pasukan yang berada di bawah pimpinannya untuk menghadang pasukan Khalid bin Walid. Melihat Umar ibnu Khatthab beserta pasukannya akan datang menghadang, maka Khalid bin Walid mengurungkan niatnya untuk menyerang kaum Muslimin. Khalid bin Walid memiliki pandangan bahwa pasukan Muslimin sudah mampu mengimbangi kekuatan pasukan Quraisy meskipun jumlah pasukan Muslimin sedikit. Dengan pertimbangan seperti itu, Khalid bin Walid mulai mengatur pasukannya untuk mundur. Mundurnya pasukan Khalid bin Walid menandai bahwa perang Uhud telah berakhir (Moenawar Chalil, 2001: 128-129).

Setelah pertempuran Uhud berakhir, para perempuan Quraisy yang dipimpin oleh Hindun, istri Abu Sufyan, pergi menuju tempat bekas arena perang Uhud. Para perempuan Quraisy memperlakukan mayat-mayat pasukan Muslimin dengan kejam dan biadab karena para perempuan Quraisy tersebut menyimpan dendam kepada kaum Muslimin yang belum terpuaskan. Diantara kebiadaban yang dilakukan oleh para perempuan Quraisy tersebut adalah memotong hidung, telinga, dan anggota tubuh lainnya dari mayat pasukan Muslimin, bahkan ada Setelah pertempuran Uhud berakhir, para perempuan Quraisy yang dipimpin oleh Hindun, istri Abu Sufyan, pergi menuju tempat bekas arena perang Uhud. Para perempuan Quraisy memperlakukan mayat-mayat pasukan Muslimin dengan kejam dan biadab karena para perempuan Quraisy tersebut menyimpan dendam kepada kaum Muslimin yang belum terpuaskan. Diantara kebiadaban yang dilakukan oleh para perempuan Quraisy tersebut adalah memotong hidung, telinga, dan anggota tubuh lainnya dari mayat pasukan Muslimin, bahkan ada

Meskipun perang Uhud telah berakhir, tetapi Nabi Muhammad SAW masih merasa curiga terhadap gerakan mundur dari pasukan Quraisy. Nabi Muhammad SAW memiliki sebuah pendapat, tidak mungkin pasukan Quraisy yang memiliki jumlah pasukan lebih banyak daripada pasukan Muslimin tiba-tiba mengundurkan diri dan tidak mau melanjutkan peperangan dengan kaum Muslimin. Oleh karena itu, Nabi Muhammad SAW menyuruh Ali bin Abi Thalib untuk menyelidiki dan mengawasi gerak-gerik pasukan Quraisy. Setelah menerima perintah Nabi Muhammad SAW, Ali kemudian menyelidiki gerak- gerik pasukan Quraisy dengan cara melakukan penyamaran agar tidak diketahui oleh pasukan Quraisy. Setelah selesai melakukan penyelidikan, Ali segera menghadap Nabi Muhammad SAW dan melaporkan hasil penyelidikan bahwa pasukan Quraisy sedang menuju arah selatan. Berdasarkan laporan dari Ali, Nabi Muhammad SAW yakin bahwa pasukan Quraisy akan kembali ke Makkah. Sebelum pasukan Quraisy kembali ke Makkah, mereka terlebih dahulu menguburkan teman-temannya yang tewas dalam perang Uhud. Setelah semuanya selesai, pasukan Quraisy kembali ke Makkah tanpa membawa tawanan perang seorang pun dan tidak membawa harta rampasan perang sedikit pun. Oleh karena itu, pasukan Quraisy belum bisa dikatakan menang dalam perang Uhud. Sementara itu, pasukan Muslimin masih tetap berada di Uhud. Setelah yakin bahwa pasukan Quraisy mengundurkan diri meninggalkan Uhud dan kembali ke Makkah, maka kaum Muslimin mempersiapkan diri meninggalkan Uhud untuk kembali ke Madinah. Meskipun telah mengalami kekalahan, namun pasukan Muslimin tidak dapat dikatakan kalah. Kekalahan pasukan Muslimin semata-mata bukanlah karena ketidakmampuan dalam berperang tetapi karena jumlah Meskipun perang Uhud telah berakhir, tetapi Nabi Muhammad SAW masih merasa curiga terhadap gerakan mundur dari pasukan Quraisy. Nabi Muhammad SAW memiliki sebuah pendapat, tidak mungkin pasukan Quraisy yang memiliki jumlah pasukan lebih banyak daripada pasukan Muslimin tiba-tiba mengundurkan diri dan tidak mau melanjutkan peperangan dengan kaum Muslimin. Oleh karena itu, Nabi Muhammad SAW menyuruh Ali bin Abi Thalib untuk menyelidiki dan mengawasi gerak-gerik pasukan Quraisy. Setelah menerima perintah Nabi Muhammad SAW, Ali kemudian menyelidiki gerak- gerik pasukan Quraisy dengan cara melakukan penyamaran agar tidak diketahui oleh pasukan Quraisy. Setelah selesai melakukan penyelidikan, Ali segera menghadap Nabi Muhammad SAW dan melaporkan hasil penyelidikan bahwa pasukan Quraisy sedang menuju arah selatan. Berdasarkan laporan dari Ali, Nabi Muhammad SAW yakin bahwa pasukan Quraisy akan kembali ke Makkah. Sebelum pasukan Quraisy kembali ke Makkah, mereka terlebih dahulu menguburkan teman-temannya yang tewas dalam perang Uhud. Setelah semuanya selesai, pasukan Quraisy kembali ke Makkah tanpa membawa tawanan perang seorang pun dan tidak membawa harta rampasan perang sedikit pun. Oleh karena itu, pasukan Quraisy belum bisa dikatakan menang dalam perang Uhud. Sementara itu, pasukan Muslimin masih tetap berada di Uhud. Setelah yakin bahwa pasukan Quraisy mengundurkan diri meninggalkan Uhud dan kembali ke Makkah, maka kaum Muslimin mempersiapkan diri meninggalkan Uhud untuk kembali ke Madinah. Meskipun telah mengalami kekalahan, namun pasukan Muslimin tidak dapat dikatakan kalah. Kekalahan pasukan Muslimin semata-mata bukanlah karena ketidakmampuan dalam berperang tetapi karena jumlah