ORGANISASI PERANTAU MINANG SULIT AIR SEPAKAT SURAKARTA TAHUN 1986-1998

ORGANISASI PERANTAU MINANG SULIT AIR SEPAKAT SURAKARTA

TAHUN 1986-1998

SKRIPSI

Diajukan Untuk Melengkapi Persyaratan Guna Memperoleh Gelar Sarjana Sastra Pada Jurusan Ilmu Sejarah Fakultas Sastra Dan Seni Rupa Universitas Sebelas Maret

Disusun Oleh:

METHADWI UTAMI

NIM: C0505037

FAKULTAS SASTRA DAN SENI RUPA UNIVERSITAS SEBELAS MARET SURAKARTA

HALAMAN PERSETUJUAN ORGANISASI PERANTAU MINANG SULIT AIR SEPAKAT SURAKARTA

TAHUN 1986-1998

Disusun Oleh: METHADWI UTAMI

NIM: C0505037

Telah di Setujui Oleh Pembimbing

Pembimbing

Dra. Sri Wahyuningsih, M.Hum NIP. 195402231986012001

Mengetahui Ketua Jurusan Ilmu Sejarah

Dra. Sri Wahyuningsih, M. Hum NIP. 195402231986012001

HALAMAN PENGESAHAN ORGANISASI PERANTAU MINANG SULIT AIR SEPAKAT SURAKARTA

TAHUN 1986-1998

Disusun Oleh: METHADWI UTAMI

NIM: C0505037

Telah di Setujui Oleh Tim Penguji Skripsi Fakultas Sastra dan Seni Rupa Universitas Sebelas Maret Pada Tanggal ………………….2010

Jabatan

Tanda Tangan Ketua Penguji Sekretaris Penguji Penguji I Penguji II

Nama

Dekan Fakultas Sastra dan Seni Rupa Universitas Sebelas Maret

Drs. Sudarno, M. A NIP. 195303141985061001

HALAMAN PERNYATAAN

Nama: METHA DWI UTAMI Nim : C0505037

Menyatakan dengan sesungguhnya bahwa skripsi yang berjudul ORGANISASI PERANTAU MINANG Sulit Air sepakat Surakarta Tahun 1986-1998 adalah betul-betul karya sendiri, bukan dibuatkan oleh orang lain. Hal-hal yang bukan karya saya dalam skripsi ini diberi tanda kutipan dan ditunjukkan dalam daftar pustaka. Apabila dikemudian hari terbukti pernyataan ini tidak benar, maka saya bersedia menerima sanksi akademik berupa pencabutan skripsi dan gelar yang diperoleh dari skripsi tersebut.

Surakarta, 2010 Yang membuat pernyataan,

METHA DWI UTAMI

HALAMAN MOTTO

“Kegagalan hanya terjadi bila kita menyerah (Lessing) “

“Sesali masa lalu karena ada kekecewaan dan kesalahan-kesalahan, tetapi jadikan penyesalan itu sebagai senjata untuk masa depan agar tidak terjadi kesalahan lagi”

HALAMAN PERSEMBAHAN

Skripsi Ini Ku Persembahkan Kepada :

· Bapak dan Ibu · Kakak dan adik-adikku · Almamaterku.

KATA PENGANTAR

Assalamu’alaikum Wr.Wb. Dengan memanjatkan puji syukur alhamdullilah kehadirat Allah SWT atas

berkat rahmat dan hidayah-Nya, serta dengan usaha yang sungguh-sungguh, akhirnya penulis dapat menyelesaikan skripsi ini dengan sebagai salah satu syarat mencapai gelar sarjana ilmu sejarah pada fakultas sastra dan seni rupa Universitas Sebelas Maret.

Penulis menyadari bahwa penulis tidak akan menyelesaikan skripsi ini tanpa bimbingan, pengarahan dan petunjuk dari beberapa pihak. Oleh karena itu pada kesempatan yang baik ini penulis menyampaikan terima kasih kepada:

1. Bapak Drs. Sudarno, M. A, selaku Dekan Universitas Sebelas Maret.

2. Ibu Dra. Sri Wahyuningsih, M. Hum, selaku ketua jurusan fakultas sastra dan seni rupa Universitas Sebelas Maret. Dan selaku pembimbing utama yang telah memberikan arahan serta nasehat kepada penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.

3. Bapak M. Bagus Sekar Alam, S. S, M. Si, selaku pembimbing akademik yang membantu penulis selama menempuh studi di fakultas sastra dan seni rupa Universitas Sebelas Maret.

4. Seluruh staf dosen fakultas sastra dan seni rupa Universitas Sebelas Maret.

5. Bapak Rusdi Salim selaku ketua SAS Surakarta, yang telah meluangkan waktunya untuk membantu penulis sampai selesainya skripsi ini.

6. Segenap pengurus dan anggota SAS Surakarta, yang telah mau membantu penulis mendapatkan data-data yang dibutuhkan dalam skripsi ini.

7. Bapak dan Ibu tercinta, mas angga, gani, agil, adel dan semua keluarga besarku, terimakasih untuk semuanya,

8. Yusuf ardianto terimakasih atas motivasinya.

9. Sahabatku sekalian Yuni, Shinta, Acik, Wanti, Weni, Dona, , Siti, yang selalu memberi semangat buatku hingga terwujudnya skripsi ini, sukses untuk kita semua, Amin.

10. Sobat-sobat ilmu sejarah, Ari, Benjenk, Cahyo, makasih atas persahabatannya dan teman –teman seperjuangan angkatan 2005 ilmu sejarah makasih atas semua kebaikannya.

11. Semua pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu yang telah banyak membantu hingga terselesainya skripsi ini Semoga Allah senantiasa melimpahkan segala rahmat dan anugrahnya

sebagai balasan atas segala puji yang telah dilakukan. Akhirnya dengan menyadari segala kekurangan dan keterbatasan dalam

menyajikan skripsi ini maka kritik dan saran penulis harapkan demi sempurnanya skripsi ini, dan penulis berharap semoga skripsi yang penulis sajikan dengan segala kekurangan dan keterbatasan ini dapat bermanfaat bagi kita semua. Amin.

Waasalamu’alaikum Wr.Wb.

Surakarta, 2010

Penulis

DAFTAR TABEL

Tabel 1 : Tingklat Pendidikan Perantau Sulit Air di Surakarta

Tabel 2 : Pekerjaan Perantau Sulit Air di Surakarta

DAFTAR SINGKATAN

· AD/ART : Anggaran Dasar / Anggaran Rumah Tangga · BMI

: Bank Muamalat Indonesia

· BPR

: Bank Perkereditan Rakyat

· DPP

: Dewan Pimpinan Pusat

· DPC

: Dewan Pimpinan Cabang

· GEBU

: Gerakan Seribu

· KAN

: Kerapatan Adat Nagari

· KK

: Kepala Keluarga :

· Mubes

: Musyawarah Besar

· PWSB : Persatuan Warga Sumatra Barat : · PRRI

: Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia · RAPIN

: Rapat Pimpinan

· SAS

: Sulit Air Sepakat

· SD

: Sekolah Dasar

· SMP

: Sekolah Menengah Pertama

· SMA

: Sekolah Menengah Atas

DAFTAR ISTILAH

· Darek

: Daerah pedalaman yang subur

· Pasisie : Dataran rendah yang diselang-selingi oleh rawa · Sumando

: Kedudukan seorang suami Minangkabau, ia dihormati tetapi tidak memiliki hak atas harta dan keturunan.

· Mamak : Saudara laki-laki ibu, baik adik maupun kakaknya · Panghulu

: Pemimpin dalam adat minangkabau yang bertanggungjawab dan berkewajiban memelihara anggota kaum, suku dan nagarinya

· Kemenakan : Anak saudara perempuan, baik laki-laki maupun perempuan.

· Studie Fonds : Perkumpulan amal yang bertugas memberikan bantuan demi cita-cita memajukan bidang pendidikan.

· Familie Kongsi : Lembaga yang berperan dalam mengirimkan anak- anak belajar ke luar negeri.

· Nagari : kesatuan wilayah setingkat desa, terdiri dari kumpulan kampung.

· Matrinineal : sistem kekerabatan yang menarik garis keturunan dari pihak ibu.

· Migrasi : mobilitas penduduk dari daerah pedesaan ke kota atau kedaerah lain dengan maksud menetap di daerah tujuan.

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1 : Pernyataan Keputusan Musyawarah Besar (MUBES) Organisasi Sulit Air Sepakat (SAS)

Llampiran 2 : Surat Keputusan Kerapatan Adat Nagari Sulit Air Kecamatan X Koto Diatas tentang Pemberian Wewenang Kepada DPP SAS Untuk Penelitian Perkawinan Secara Adat Bagi Warga Sulit Air

Lampiran 3 : Keputusan Kerapatan Adat Nagari Sulit Air tentang Pengesahan Kedudukan Adat Warga Sulit Air yang Nikah Dengan Orang Lian.

Lampiran 4 : Surat Keputusan Kerapatan Adat Nagari Sulit Air Kecamatan X Koto Diatas Kabupaten Dati II Solok tentang Pengesahan Hasil Musyawarah Pemangku Adat Nagari Sulit Air

Lampiran 5 : Keputusan Kongres Kebudayaan Minangkabau Kelima tentang Ajaran Dan Pengamalan Adat Basandi Syrak, Syarak Basandi Kitabullah, Syarak Mangato Adat Mamakai, Alam Takambang Jadi Guru Untuk Seluruh Keluarga Besar Minangkabau Di Tanah Minang dan Di Rantau

Lampiran 6 : Surat Kabar Harian Terbit, Sabtu 4 Sebtember 1993 tentang mengubah kebiasan pengiriman wesel

Lampiran 7 : Surat kabar Singgalang 26 Sebtember 1993 tentang didantatanganinya kerjasama SAS dengan BMI

Lampiran 8 : Surat kabar Canang Sabtu 19 November 1994 tentang warga SAS sisihkan 5 % keuntungan untuk pembangunan kampung halaman.

Lampiran 9 : Surat kabar Singgalang 17 Juli 1994 tentang pelantikan DPC SAS Sydnei

Lampiran 10 : Susunan Pengurus DPC SAS Surakarta periode 2010-2012

DAFTAR GAMBAR

Gambar 1 : Peta Kabupaten Solok

Gambar 2 : Konferensi SAS I tanggal 3 Juli 1970

Gambar 3 : Kartu Tanda Anggota SAS

Gambar 4 : Pelantikan DPC SAS Solo

Gambar 5 : Pertemuan Rutin SAS

Gambar 6 : Peresmian Rumah Bagonjong Solo

Gambar 7 : DPC Malaysia

ABSTRAK

Metha Dwi Utami. C0505037. 2010. Organisasi Perantau Minang (Studi Kasus Mengenai Peranan Organisasi Perantau Minang Asal Sulit Air BagiI Pembangunan Nagari Dan Perantau Di Surakarta Pada Tahun 1986-1998) Skripsi: Jurusan Ilmu Sejarah Fakultas Sastra dan Senirupa Universitas Sebelas Maret Surakarta.

Permasalahan yang dibahas dalam penelitian ini, yaitu (1) Apa yang melatarbelakangi masyarakat Minangkabau pergi merantau dan bagaimana cara mereka beradaptasi dengan penduduk lokal? (2) Apa yang melatarbelakangi berdirinya Organisasi Sulit Air Sepakat (SAS)? (3) Bagaimana peranan SAS bagi pembangunan Nagari dan bagi masyarakat perantauan Minangkabau di Surakarta tahun 1986-1998?

Tujuan penelitian ini adalah (1) Mengetahui tentang latarbelakang masyarakat Minangkabau pergi merantau dan cara mereka beradaptasi.(2) Mengumpulkan informasi tentang hal yang melatarbelakangi berdirinya organisasi SAS Surakarta serta peranan SAS dalam pembangunan Nagari dan bagi masyarakat perantauan Minangkabau asal Nagari Sulit Air di Surakarta tahun 1986-1998?

Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode sejarah. Karena jenis penelitian ini bersifat kualitatif dengan metode historis, maka sumber yang dimanfaatkan terdiri dari sumber dokumen dan sumber lisan. Pengumpulan data terhadap sumber lisan dilakukan dengan cara menentukan narasumber., melakukan wawancara mendalam dan uji kredibilitas, dengan triagulasi atau crosscheck yang meliputi triagulasi sumber dan metode.

Hasil dari penelitian ini adalah (1) penyebab masyarakat Sulit Air merantau terdiri dari berbagai faktor misalnya saja faktor ekonomi, faktor sosial, faktor pendidikan, keamanan dan daya tarik kota. Mereka merantau dengan harapan mendapatkan ilmu dan kekayaan yang suatu saat dibawa pulang ke kampung halaman. Diperantauan masyarakat sulit air dapat beradaptasi dan berinterksi dengan baik dengan para perantau maupun penduduk lokal. (2) SAS merupakan organisasi bagi perantau minang asal sulit air. SAS didirikan karena banyaknya warga sulit air yang pergi merantau sehingga diperlukannya suatu organisasi kedaerahan untuk mengangkrabkan tali silahturahmi sesama perantau sulit air dan untuk memajukan kampung halaman baik dibidang ekonomi, pembangunan infrastruktur dan lainnya.

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Masyarakat Indonesia terdiri dari beraneka ragam kebudayaan daerah yang sedang dalam proses pembangunan. Keanekaragaman tersebut pada hakekatnya mewujudkan kesatuan yang telah tercermin dalam azas Bhinneka Tunggal Ika. Keanekaragaman dalam kesatuan itu sangat berguna untuk pembangunan bangsa. Adapun kemajemukan masyarakat Indonesia itu adalah terdapatnya berbagai suku bangsa, bahasa daerah, adat istiadat maupun agama. Berdasarkan pada kenyataan ini, maka Harsja W Bahtiar menyebut bahwa masyarakat Indonesia mempunyai sistem – sistem budaya besar. Sistem – sistem budaya besar masyarakat Indonesia dapat digolongkan menjadi 4 macam, yaitu sistem budaya etnik, sistem budaya Indonesia, sistem budaya agama- agama besar dan sistem budaya

asing 1 .

Berbagai daerah di Indonesia memiliki kebudayaannya masing- masing, begitupula dengan Sumatra Barat, yang lebih terkenal dengan sebutan suku Minang. Suku Minang merupakan bagian dari masyarakat Deutro Melayu (Melayu Muda) yang melakukan migrasi dari daratan China Selatan ke pulau Sumatera sekitar 2.000 sampai 2.500 tahun yang lalu. Diperkirakan kelompok masyarakat ini masuk dari arah timur pulau Sumatera, menyusuri aliran sungai Kampar dan tiba di dataran tinggi

Luhak Nan Tigo (darek) 2 . Kemudian dari Luhak Nan Tigo inilah suku Minang menyebar ke daerah pesisir (pasisie) di pantai barat pulau Sumatera, yang terbentang hingga Kerinci di selatan. Selain

berasal dari Luhak Nan Tigo, masyarakat pesisir juga banyak yang berasal dari India Selatan dan

1 Harsja W Bahtiar. 1985. Budaya dan Manusia Indonesia. Yogyakarta: PT. Hanindita. Hal 3-4 2 Wilayah Kebudayaan Minangkabau terdiri dari Luhak (inti), Rantau dan Pesisir (Pasisie). Lihat dalam

Muarif. 2009. Rahasia Sukses Orang Minang di Perantauan. Yogyakarta : PINUS.

Persia. Migrasi masyarakat tersebut terjadi ketika pantai barat Sumatera menjadi pelabuhan alternatif perdagangan selain Malaka, ketika kerajaan tersebut jatuh ke tangan Portugis 3 .

Masyarakat Minangkabau dikenal dengan budaya merantau. Menurut Mochtar Naim 4 , merantau mengandung enam elemen utama, yaitu (1) meninggalkan kampung halaman (2) untuk waktu dekat

atau lama (3) dengan sukarela atau kemauan sendiri (4) dengan tujuan mencari nafkah disamping mencari ilmu pengetahuan atau mencari pengalaman (5) biasanya mencita-citakan untuk kembali ke kampung halaman (6) merantau secara kultural sebagai pola kebiasaan masyarakat. Sehingga merantau dapat diartikan sebagai sebuah pola migrasi masyarakat Minangkabau kesatu wilayah atau daerah yang menjanjikan harapan untuk masa depan dan pengembangan diri, dalam upaya mencapai kehidupan sosial ekonomi yang lebih baik.

Kebiasaan merantau dari orang Minangkabau kiranya bukan hanya sekarang saja terjadi, tetapi kebiasaan tersebut telah melembaga, sehingga banyak menarik perhatian dari para ahli. Para ahli sendiri memiliki pendapat yang berbeda – beda tentang awal mula migrasi masyarakat Minangkabau. Diawali oleh teori gelombang perpindahan suku bangsa di jaman pra sejarah di Asia Tenggara, Melanesia dan Polinesia seperti yang selama ini didominasi oleh pendapat pendapat dari Kern dan Heine Gerden mengemukanan bahwa penduduk kepulauan nusantara sekarang ini berasal dari daratan Asia Tenggara. Teori tersebut mengemukakanan bahwa terdapat 2 arah yang ditempuh oleh bangsa dahulu itu dalam perpindahan mereka. Arah barat daya melalui semenanjung Malaya, Sumatra, Jawa ke Nusa Tenggara dan arah utara ke Taiwan kemudian ke selatan menuju Philipina, Kalimantan dan

Sulawesi dan dari sana ke Iran, Melanesia dan Australia. 5 Dari teori ini kiranya dapat diambil semacam kesimpulan bahwa nenek moyang orang Minangkabau sekarang ini pastilah datang melalui

jalan panjang merantau dari daratan Asia Tenggara terus Semenanjung Malaya dalam masa pra sejarah.

3 <http:// www.google./wikipedia.com >.(diakses tanggal 26 Januari 2010 pukul 13.00) 4 Mochtar Naim. 1978. Merantau, Pola Migrasi Suku Minangkabau. Yogyakarta: Universitas Gajah Mada. Hal 3

5 Diskusi tentang “teori gelombang” ini dapat dipelajari lebih jauh di bab Pendahuluan dari Koentjaraningrat (ed). 1982. Manusia dan Kebudayaan di Indonesia. Jakarta : Djambatan. Hal 1-36

Menurut Mochtar Naim 6 , masyarakat Minang merantau disebabkan karena laki-laki Minangkabau menghadapi dilema, di rumah isterinya dia dianggap tamu (sumando) dihormati, tetapi

tanpa hak dan kekuasaan. Di rumah ibunya dia didudukan sebagai mamak yaitu sebagai pengawal dari keluarga tetapi tanpa hak-hak untuk ikut menikmati hasil sawah ladang yang dapat dibawanya ke rumah isterinya.

Penyebab lainnya ialah, adanya pertumbuhan penduduk yang tidak diiringi dengan bertambahnya sumber daya alam yang dapat diolah. Jika dahulu hasil pertanian dan perkebunan, sumber utama tempat mereka hidup dapat menghidupi keluarga, maka kini hasil sumber daya alam yang menjadi penghasillan utama mereka itu tidak cukup lagi memberi hasil untuk memenuhi kebutuhan bersama, karena harus dibagi dengan beberapa keluarga. Pada akhirnya, dari pada hidup di kampung, lebih baik merantau mengadu nasib ke negeri orang.

Dimasa dahulu ketika tanah air orang Minangkabau masih terbatas pada Luhak yang Tiga, pergi ke pantai timur atau ke pantai barat sudah dipandang sebagai ”merantau”. Dalam percakapan sehari hari pergi hanya ke kota yang dekat saja sudah dianggap sebagai merantau. Pada akhir – akhir ini karena Sumatra Barat dari sudut politik dan budaya telah menjadi satu wilayah dan penduduk Sumatra Barat tidak lagi menganggap dirinya terbagi – bagi ke dalam berbagai subkelompok, mereka terbiasa menggunakan kata merantau hanya untuk bepergian keluar Sumatra Barat.

Apabila seseorang pergi ke luar daerah budayanya dengan kemauan sendiri dapat juga dipandang sebagai perbuatan merantau. Hal ini selanjutnya mengandung makna bahwa orang yang merantau tersebut bukan lagi berkomunikasi dan berinteraksi hanya dengan kaum kerabatnya atau anggota kelompok etnisnya, melainkan juga dengan orang – orang yang berlatar belakang etnis dan budaya yang berbeda – beda.

Kebanyakkan daerah – daerah di Indonesia sekarang mempunyai minoritas – minoritas etnis sebagai akibat dari mobilitas penduduk kota – kota besar khususnya mencerminkan perubahan pola – pola kependudukan dari masyarakat Indonesia yang terdiri dari banyak suku ini. Orang Minangkabau

6 Kata pengantar Masri Singarimbun dalam Mochtar Naim. 1978. Merantau, Pola Migrasi Suku Minangkabau. Yogyakarta: Universitas Gajah Mada 6 Kata pengantar Masri Singarimbun dalam Mochtar Naim. 1978. Merantau, Pola Migrasi Suku Minangkabau. Yogyakarta: Universitas Gajah Mada

Hidup bermasyarakat tidak terlepas dari proses – proses sosial sebagai wujud yang dinamis dari masyarakat atau gerak masyarakat. Perubahan dan perkembangan masyarakat yang mewujudkan segi dinamiknya, disebabkan karena adanya hubungan satu dengan lainnya, baik dalam bentuk orang perorangan maupun kelompok sosial. Hubungan sosial yang terjadi dalam masyarakat sering disebut proses sosial. Proses sosial diartikan sebagai pengaruh timbal balik antara berbagai segi kehidupan bersama, misalnya pengaruh mempengaruhi antara sosial dengan politik, politik dengan ekonomi, ekonomi dengan hukum dan seterusnya 7 .

Bentuk umum dari proses sosial adalah interaksi sosial, oleh karena interaksi soaial merupakan syarat utama terjadinya aktifitas – aktifitas sosial. Interaksi sosial adalah suatu hubungan antara 2 individu atau lebih, dimana kelakuan individu yang satu mempengaruhi, mengubah atau memperbaiki

kelakuan individu yang lain atau sebakliknya 8 . Suatu interaksi sosial tidak mungkin terjadi apabila tidak memenuhi 2 syarat yaitu adanya kontak sosial dan adanya komunikasi. Dengan adanya

hubungan atau interaksi tersebut maka akan tercirpta suatu pergaulan hidup dan manusia itu hidup dalam suatu pergaulan. Salah satu perwujudan dari pergaulan hidup atau kehidupan bersama adalah

7 Soerjono Soekanto. 1990. Sosiologi Suatu Pengantar Jakarta: Rajawali. Hal 66 8 Bonner dalam Abu Ahmadi. 1975. Pengantar Sosiologi Sosial. Ramadhani. Hal 88 7 Soerjono Soekanto. 1990. Sosiologi Suatu Pengantar Jakarta: Rajawali. Hal 66 8 Bonner dalam Abu Ahmadi. 1975. Pengantar Sosiologi Sosial. Ramadhani. Hal 88

Dikota Surakarta, telah banyak tinggal masyarakat pernatauan Minang khususnya masyarakat dari Sulit Air. Dan untuk mempererat hubungan antar sesama perantau, maka dibentuklah suatu perkumpulan yang menghimpun para perantau. Di Surakarta terdapat dua organisasi bagi perantau Minang, yaitu PWSB (Persatuan Warga Sumatra Barat) Surakarta dan Sulit Air Sepakat (SAS).

PWSB didirikan pada tahun 1971 yang merupakan perkumpulan para perantau Minang yang berasal dari seluruh daerah Sumatra Barat, yang berada di Surakarta. Anggotanya adalah kepala keluarga (KK) atau perorangan yang berasal dari Sumatra Barat, bertalian darah atau hubungan

perkawinan serta bertempat tinggal di wilayah Surakarta 10 . Kegiatan- kegiatan PWSB yaitu selalu mengadakan acara rutin yaitu pengajian dan arisan rutin setiap bulan yang diadakan dirumah salah

satu anggotanya. Selain itu setiap sesudah hari raya Idul Fitri mereka juga mengadakan Halal Bihalal. Dengan berbagai macam kegiatan tersebut diharapkan ikatan yang terjadi antar sesama perantau menjadi lebih erat dan eksistensi mereka di rantau menjadi lebih kuat. Tetapi seiring berjalannya waktu, PWSB menjadi seperti jalan ditempat. Hal tersebut disebabkan karena anggotanya sibuk dengan urusannya masing-masing sehingga banyak anggota yang jarang berkumpul-kumpul lagi. Sedangkan organisasi SAS adalah organisasi perantau Minang asal Nagari Sulit Air. Sulit Air adalah sebuah nagari setingkat pemerintahan desa dibawah Kecamatan X Koto Diatas Kabupaten Solok, Sumatra Barat. SAS didirikan oleh perantau asal nagari Sulit Air, pada tahun 1918. Anggotanya adalah seluruh masyarakat perantauan Minang asal nagari Sulit air. Organisasi SAS tidak hanya terdapat di Surakarta karena SAS memiliki banyak cabang di seluruh Indonesia bahkan SAS juga terdapat di luar negri.

PWSB dan SAS memiliki tugas yang sama yaitu berusaha untuk meningkatkan kesejahteraan anggotanya terutama kesejahteraan dalam bidang ekonomi, yaitu bersedia meminjamkan sejumlah

9 Selo Soemardjan dan Soelaeman. 1964. Setangkai Bunga Sosiologi. Jakarta: Lembaga Penerbit Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia. Hal 401

10 Tigo Tungku Sajarangan. 2000. Panduan Persatuan Warga Sumatra Barat Surakarta. Surakarta: PWSB. Hal 43 10 Tigo Tungku Sajarangan. 2000. Panduan Persatuan Warga Sumatra Barat Surakarta. Surakarta: PWSB. Hal 43

Organisasi SAS didirikan oleh Mahyuddin Dt. Sutan Maharajo Nan Besar atau sering disebut dengan gelar Datuk Bangkik 11 yang berasal dari keluarga bangsawan Minangkabau Tuanku Laras II

yang memimpin nagari Sulit Air abad ke-19. Perjalan SAS kemudian dilanjutkan dan dikembangkan oleh para tokoh Sulit Air yang berada di Jakarta. Mereka disebut dengan kelompok 4 (empat) sekawan yaitu: H.Syamsur Bahri Nur, Jamaluddin Tamban, Rosma Rais dan Rozali Usman yang membesarkan organisasi SAS. Empat tokoh tersebut dianggap dianggap tokoh yang sangat berpengaruh dalam eksistensi perjalanan SAS yang selanjutnya diteruskan oleh para tokoh muda lainnya seperti Rainal Rais, Marjohan Djamin dan Mukhlis Linto. Para tokoh muda ini mengorbitkan SAS menjadi organisasi yang sangat dikenal di kalangan pemerintah daerah provinsi Sumatra Barat dan organisasi perantau Minang lainnya. Hal ini diutarakan oleh Rusdi Salim sebagai berikut:

“ada beberapa tokoh yang membesarkan organisasi SAS, seperti: Pak Rainal Rais, Pak Rozali Usman. Pak Rainal yang menjabat sebagai Ketua Umum selama 12 tahun telah membuat SAS menjadi besar dan terkenal. Banyak juga orang yang mengatakan bahwa SAS identik dengan Rainal karena pengorbanan dan aktivitas beliau terhadap SAS sangat tinggi, hal ini disebabkan oleh kecintaannya pada nagari Sulit Air yang dalam.”

Eksistensi SAS sebagai sebuah organisasi para perantau mengalami kemajuan setelah sukses melaksanakan Musyawarah Besar (MUBES) ke-1 di Ciloto Jawa Barat pada tanggal 3Juli 1970. Mubes pertama tersebut berhasil merumuskan SAS secara formal sebagai organisasi perkumpulan bagi masyarakat perantau Sulit Air. Hasil Mubes ini kemudian dituangkan dalam Anggaran Dasar (AD) pada pasal I ayat 2 organisasi SAS dan menjadi pedoman bagi keberlanjutan organisasi yang dipimpin oleh ketua umum. Berikut nama-nama ketua umum SAS dari tahun 1970 sampai 1998:

Tabel I

11 Datuk Bangkik dianggap sebagai pendiri SAS karena penggagas perlunya sebuah organisasi bagi para perantau, pencetus untuk organisasi SAS disamping beliau menjabat sebagai tokoh adat dan tokoh pers nasional.

Prioderisasi Ketua Umum DPP SAS Semenjak Dideklarasikan

No Ketua Umum SAS

Periode Jabatan

1 H. Syamsur Bahri Nur

1970 s/d 1972

2 H. Rozali Usman, SH

1973 s/d 1977

3 Armon Syamsuddin

1978 s/d 1980

4 Fakruddin Panuh

1981 s/d 1982

5 H. Rozali Usman, SH

1982 s/d 1984

6 Nuraksar

1984 s/d 1986

7 Drs. H. Rainal Rais

1986 s/d 1998

Sumber: DPC SAS Surakarta

Pada tabel I diatas padat dijelaskan bahwa SAS mengalami kemajuan ketika tampuk kepemimpinan SAS berada pada tangan Drs. H. Rainal Rais. Rainal Rais adalah Ketua Umum SAS yang ke VII dan menjabat sebagai Ketua Umum selama 6 periode yaitu dari tahun 1986 sampai tahun 1998. Banyak pemikiran – pemikiran Rais Rais yang tertuang dan terealisasi selama menjabat sebagai Ketua Umum. Selangkah demi selangkah, DPP SAS dibawah kepemimpinannya mulai menapak kemajuan. Manfaat keberadaan SAS mulai dirasakan perantau asal Sulit Air dimanapun mereka berada. Pembenahan organisasi atau konsolidasi organisasi yang menjadi program pertama DPP SAS, mulai memperlihatkan hasil. Satu demi satu DPC SAS yang selama ini kebanyakan tinggal nama, mulai aktif kembali setelah dikunjungi Ketua Umum DPP SAS dan pengurus lainnya. Pada beberapa daerah yang dinilai sudah bisa dibentuk cabang baru, dibentuk dan dikukuhkan pengurus DPC SAS. Suatu daerah atau kota yang dinilai telah pantas dibentuk cabang baru apabila di kota tersebut bermukim sekurang-kurangnya 10 Kepala Keluarga (KK) dan apabila suatu kota memiliki lebih dari 100 Kepala Keluarga (KK) maka diperbolehkan membuat lebih dari satu cabang atas persetujuan DPP SAS.

Saat ini SAS telah memiliki sekitar 80 Dewan Perwakilan Cabang (DPC) di seluruh Indonesia termasuk di Surakarta dan 4 DPC di luar negeri. Peranan SAS dalam pembangunan nagari telah diakui oleh mantan Gubernur Sumatra Barat Drs. H. Hasan Basri Durin yang menyatakan bahwa organisasi perantau Sulit Air Sepakat (SAS) merupakan organisasi perantau Minang yang paling kuat

dalam dalam memberikan dukungan dana pembangunan di nagari 12 .

Dilihat dari awal perkembangan organisasi masyarakat perantauan Minang tersebut, maka dalam penelitian ini akan dibatasi pada periode antara tahun 1986 sampai pada tahun 1998. Periode yang diambil dilihat dari realitas yang ada bahwa pada kurun waktu tersebut merupakan tahun-tahun awal kemajuan organisasi Sulit Air Sepakat (SAS) tepatnya pada saat tampuk pimpinan SAS berada ditangan Rainal Rais.

Melihat latar belakang masalah tersebut maka penulis mencoba untuk mengadakan suatu penelitian yang berjudul Organisasi Perantau Minang Sulit Air Sepakat (SAS) di Surakarta pada tahun 1986-1998.

12 Hasan Basri Durin, “Kini Tidak Perlu Lagi Seluruh Masyarakat Sulit Air Merantau”, Harian Haluan, Selasa 23 Maret 1993

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah tersebut, penulis mencoba merumuskan beberapa pokok masalah antara lain:

1. Apa yang melatarbelakangi masyarakat Minangkabau pergi merantau dan bagaimana cara mereka beradaptasi dengan penduduk local di Surakarta?

2. Apa yang melatarbelakangi berdirinya Organisasi Sulit Air Sepakat (SAS) Surakarta?

3. Bagaimana peranan SAS bagi pembangunan Nagari Sulit Air dan bagi masyarakat perantauan Sulit Air di Surakarta tahun 1986-1998?

C. Tujuan Penelitian

Berdasarkan rumusan masalah di atas, penelitian ini mempunyai beberapa tujuan sebagai berikut:

1. Mengetahui tentang latarbelakang masyarakat Minangkabau pergi merantau dan cara mereka beradaptasi. 2. Mengumpulkan informasi tentang hal yang melatarbelakangi berdirinya organisasi SAS Surakarta 3. Untuk mengetahui peranan SAS dalam pembangunan Nagari dan bagi masyarakat perantauan asal Nagari Sulit Air di Surakarta 4.

D. Manfaat Penelitian

Hasil dari penelitian ini diharapkan mempunyai beberapa manfaat, baik itu manfaat praktis maupun manfaat teoritis yaitu sebagai berikut : (1) Hasil penelitian ini menyajikan seperangkat informasi yang diharapkan dapat bermanfaat bagi kepentingan pendidikan, penelitian lebih lanjut tentang studi life history dan pengabdian masyarakat secara lebih jelas dalam dunia pendidikan. (2) Hasil penelitian ini dapat menambah pengetahuan tentang peranan orgasisasi masyarakat perantauan Minang.

E. Kajian Pustaka

Dalam penelitian ini dipergunakan beberapa literatur sebagai bahan acuan dan pedoman untuk memecahkan permasalahan dalam penelitian. Literatur – literatur tersebut dipilih berdasarkan hubungannya dengan permasalahan yang akan dibahas. Dengan literatur – literatur tersebut diharapkan dapat membantu memecahkan permasalahan – permasalahan yang ada dalam penelitian ini. Sehingga akan mendapatkan hasil sesuai dengan apa yang diharapkan.

Buku yang pertama adalah Sulit Air dalam berita jilid 1-3. Pada buku tersebut berisi informasi mengenai segala macam tentang SAS, mulai dari sejarahnya, tujuannya, peranannya, tentang keanggotaannya sampai kegiatan – kegiatan yang diselenggarakan oleh SAS. Disamping itu juga Buku yang pertama adalah Sulit Air dalam berita jilid 1-3. Pada buku tersebut berisi informasi mengenai segala macam tentang SAS, mulai dari sejarahnya, tujuannya, peranannya, tentang keanggotaannya sampai kegiatan – kegiatan yang diselenggarakan oleh SAS. Disamping itu juga

Buku selanjutnya adalah karangan Usman Pelly yang berjudul Urbanisasi dan Adaptasi mengangkat tentang tradisi urbanisasi dan adaptasi etnik Minangkabau dan Mandailing. Dua etnik tersebut memiliki motivasi dan perfektif yang berbeda dalam mempraktekkan dan memandang tradisi, namun sesungguhnya mereka mendapat dorongan yang kuat dari dalam untuk menyebarkan misi budaya yang didasarkan pada nilai – nilai dominan dari pandangan dunia masyarakat mereka yang dalam prakteknya misi itu dihadapkan pada kondisi – kondisi perkotaan, di mana kota merupakan sasaran migrasi yang berubah dengan cepat.

Buku berikutnya adalah karya dari Mu’arif yang berjudul Rahasia Sukses Orang Minang di Perantauan (Suku Paling Sukses Merantau di Indonesia) . Buku ini banyak menggali mengenai nilai- nilai tradisi budaya rantau ala Minangkabau yang sudah terkenal. Dalam mengkaji budaya Minangkabau, Mu’arif meletakkannya dalam dimensi sejarah dan kemudian direfleksikan kembali dalam konteks tradisi rantau ala Minangkabau kontemporer. Pada buku ini juga banyak dijelaskan mengenai budaya merantau yang sudah mengakar bagi suku Minang dan adatpun mengajarkan mengenai merantau. Selain itu pada buku ini juga mengulas mengenai nilai- nilai budaya suku Minangkabau, yaitu tentang kecintaan orang Minang akan budaya, ilmu dan agama, tentang kesabaran, kerjasama dan sebagainya.

Dan buku yang terakhir adalah dari Soleman B. Taneko yang berjudul Struktur dan Proses Sosial : Suatu Pengantar Sosiologi Pembangunan (1990) secara keseluruhan membahas bagaimana Dan buku yang terakhir adalah dari Soleman B. Taneko yang berjudul Struktur dan Proses Sosial : Suatu Pengantar Sosiologi Pembangunan (1990) secara keseluruhan membahas bagaimana

F. Metode Penelitian

Dalam penulisan penelitian ini, agar dapat dikaji secara mendalam dan dianalisis maka digunakan metode sejarah kritis. Metode penelitian sejarah itu sendiri , menurut Gilbert J.G merupakan seperangkat aturan dan prinsip sistematis untuk mengumpulkan sumber – sumber sejarah secara efektif, menilainya secara kritis dan mengajukan sintesis dari hasil – hasil yang dicapai dalam

bentuk tertulis 13 .

Studi tentang, Organisasi Perantau Minang Sulit Air Sepakat (SAS) di Surakarta pada tahun 1986-1998, merupakan penelitian sejarah dengan menggunakan perangkat metode ilmu sejarah, yaitu (1) pengumpulan sumber, (2) verifikasi ( kritik sejarah, keabsahan sumber ), (3) interpretasi ( analisis dan sistensis ) dan (4) penulisan. Empat tahapan tersebut saling berkaitan antara satu dengan yang

lain 14 . Dengan metode ini mampu membantu berusaha memecahkan gejala – gejala berdasarkan masa lampau secara ilmiah untuk menentukan spesifikasi yang berguna dalam usaha untuk memahami

kenyataan – kenyataan sejarah.

Tahap (1) yaitu pengumpulan sumber, adalah suatu proses pengumpulan data dalam hal ini dilakukan dengan mencari sumber data, wawancara dan studi kepustakaan lewat buku – buku yang

13 Dudung Abdurahman. 1999. Metode Penelitian Sejarah. Jakarta : Logas Wacana Ilmu. Hal 43

14 Kuntowijoyo. 1995. Pengantar Ilmu Sejarah. Yogyakarta: Bentang. Halaman 95.

berkaitan dengan masalah yang diteliti, serta dengan memperbandingkan data – data untuk diambil kesimpulan. Data yang digunakan dari berbagai instansi kemudian diperbandingkan dengan fakta yang ada di lapangan sehingga dapat ditarik kesimpulan. Setelah data terkumpul, masuk pada tahap (2) verifikasi ( kritik sejarah, keabsahan sumber ), yaitu untuk mengetahui kebenaran dari sumber – sumber yang ada, yang berupa kritik intern ( mengenai isi sumber data ) dan kritik ekstern ( mengenai susunan ataupun sistematika yang dipakai dalam sumber tersebut ). Setelah adanya kritik sumber, maka masuk pada tahap (3) yaitu interpretasi ( analisis dan sistensis ) yaitu penafsiran terhadap fakta – fakta diperoleh dari data – data yang telah diseleksi dan telah dilakukan kritik sumber.

Dan tahap (4) historiografi yaitu penulisan dengan merangkaikan fakta – fakta menjadi suatu kisah atau cerita yang dapat dipertanggungjawabkan. Empat tahapan tersebut saling berkaitan antara satu dengan yang lain. Dengan metode ini mampu membantu berusaha memecahkan gejala – gejala berdasarkan masa lampau secara ilmiah untuk menentukan spesifikasi yang berguna dalam usaha untuk memahami kenyataan – kenyataan sejarah.

H. Sistematika

Sistematika penulisan skripsi terdiri dari bagian awal skripsi, bagian isi dan bagian akhir. Bab isi terdiri dari 5 bab antara lain yaitu:

Bab I berisi pendahuluan yang memuat latar belakang masalah rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, kajian pustaka, metode penelitian dan sistematika skripsi. Pada bab II berisi mengenai mobilitas orang Minang di kota Surakarta, mulai dari faktor pendorong orang Minang datang ke kota Surakarta, perkembangannya serta bagaimana mereka beradaptasi dikota Surakarta.

Bab III menjelaskan mengenai gambaran umum perkembangan SAS Surakarta. Mulai dari sejarah berdirinya SAS, tujuannya, visi dan misi, perkembangannya, tentang keanggotaannya sampai kegiatan – kegiatan yang rutin diselenggarakan oleh SAS. Bab IV menjelaskan mengenai peranan SAS bagi pembangunan Nagari dan bagi perantau di Surakarta tahun 1986-1998 serta hambatan- Bab III menjelaskan mengenai gambaran umum perkembangan SAS Surakarta. Mulai dari sejarah berdirinya SAS, tujuannya, visi dan misi, perkembangannya, tentang keanggotaannya sampai kegiatan – kegiatan yang rutin diselenggarakan oleh SAS. Bab IV menjelaskan mengenai peranan SAS bagi pembangunan Nagari dan bagi perantau di Surakarta tahun 1986-1998 serta hambatan-

BAB II

Masyarakat Perantauan Minangkabau

Asal Sulit Air di Surakarta

A. Kedatangan Perantau Sulit Air di Surakarta

Etnis Minangkabau merupakan salah satu etnis di Indonesia yang memiliki tingkat mobilitas yang tinggi. Hampir diseluruh kota di Indonesia terdapat etnis Minangkabau. Mobilitas yang tinggi tersebut disebabkan oleh adanya tradisi merantau pada etnis Minangkabau. Di Minangkabau, laki- laki yang sudah cukup umur, akan pergi keluar daerah untuk merantau. Mereka merantau dengan

harapan yang tinggi untuk membawa hasil di rantau ke kampung halaman. Menurut Mantra 15 , mobilitas perantau Minangkabau tergolong ke dalam mobilitas tidak permanen, artinya mereka masih

memiliki keinginan untuk kembali ke kampung halaman.

Perantau Minangkabau asal Sulit Air muncul pertama kali di Surakarta pada tahun 1960. Pada saat itu hanya ada 2 orang dan merupakan sepasang suami istri. Orang tersebut bernama Munaf dan Nurhayati. Pada saat itu Munaf dan Nurhayati tidak memiliki sanak saudara yang tinggal di Surakarta.

Menurut Nurhayati 16 , ia pergi merantau ke Surakarta karena mengikuti keinginan suami yang ingin berdagang di Surakarta. Menurutnya Surakarta saat itu belum begitu ramai namun sangat strategis

untuk berdagang. Ia memulai usaha kecil-kecilan yaitu dengan berdagang sepatu sandal. Ia berjualan dengan cara berkeliling dan mangkal (menetap) di suatu tempat. Menurutnya cara seperti itu lebih menguntungkan daripada hanya diam menunggu barang dagangan. Cara berdagang tersebut memberikan keuntungan yang cukup banyak baginya. Aktivitas dagang yang berpindah- pindah

15 Ida Bagoes Mantra,1983, Migrasi Penduduk Indonesia, Yogyakarta:Pusat Studi Kependudukan UGM. 18 Halaman 24

16 Wawancara dengan Nurhayati, pada tanggal 1 November 2009 16 Wawancara dengan Nurhayati, pada tanggal 1 November 2009

Sekitar tahun 1970 an mulai banyak berdatangan perantau Sulit Air. Salah satunya adalah Burhan Malin Sutan 17 . Burhan Malin Sutan pertama kali merantau ke kota Pekanbaru pada tahun

1953, ketika berumur 13 tahun. Ketika itu ia pergi merantau ke Pekanbaru karena kondisi Sumatra Barat sudah tidak aman lagi pasca PRRI dan Pekanbaru merupakan kota yang tidak terlalu jauh dari Sumatra Barat. Ia tinggal di Surakarta karena diajak oleh beberapa orang temannya. Jadi ia pergi merantau bersama dengan beberapa orang temannya. Kebetulan ia memiliki paman yang berada di Surakarta dan akhirnya ia tinggal dirumah pamannya tersebut. Setelah cukup lama tinggal di rumah pamannya tersebut ia merasa tidak enak pada pamannya tersebut karena menumpang terlalu lama dan membebaninya. Ia ingin membantu pamannya dengan cara mencari pekerjaan, tetapi tidak mudah untuk mendapatkan pekerjaan dengan modal ijasah SD. Setelah cukup lama mencari pekerjaan dan tidak dapat, akhirnya pamannya menawarkan agar ia menunggu jualan pamannya, sementara pamannya membuka usaha baru.

Banyak para perantau yang pada awalnya bingung harus bagaimana di rantau. Mereka tidak memiliki ijasah dan pengalaman kerja, sementara beban hidup terus bertambah. Oleh karena itu, satu- satunya jalan yang dapat dilakukan adalah dengan cara bekerja di sektor informal misalnya berdagang. Berdagang tidak butuh keterampilan dan hanya butuh modal sedikit. Itupun jika tidak memiliki modal, teman-teman yang ada dirantau yang keberadaannya sudah cukup mapan biasanya pasti bersedia membantu misalnya meminjami modal untuk berdagang.

B. Faktor Pendorong Pergi Merantau

Dalam suatu daerah tentu banyak sekali faktor yang mempengaruhi orang untuk menetap disitu atau orang untuk berpindah dari situ. Secara umum, faktor – faktor tersebut terbagi dalam faktor pendorong (push factor) dan faktor penarik ( pull factor). Namun keputusan seseorang untuk

17 Wawancara dengan Burhan Malin Sutan , tanggal 5 November 2009 17 Wawancara dengan Burhan Malin Sutan , tanggal 5 November 2009

untuk merantau antara lain: 18

1. Faktor Pendorong

Ada banyak faktor yang dapat mendorong seseorang atau kelompok untuk merantau. Faktor – faktor ini biasanya menggambarkan keadaan dan situasi di kampung halaman. Antara penduduk yang satu dengan penduduk yang lain sudah pasti ada perbedaan tentang faktor yang mendorong. Secara garis besar, faktor – faktor tersebut dapat digambarkan sebagai berikut:

a. Faktor Ekonomi Faktor ekonomi merupakan faktor utama yang mendorong banyak orang Minang merantau ke Surakarta. Sekalipun sawah cukup untuk kelangsungan hidup keluarga, tetapi orang muda selalu didorong untuk pergi merantau mencari rejeki agar nanti ia dapat berdiri sendiri dan dapat menghidupi keluarganya disaat ia sudah siap untuk berumah tangga. Dorongan untuk pergi merantau terasa semakin kuat ketika sawah sudah mulai tidak mencukupi lagi, kecendrungan untuk pergi merantau akan semakin tinggi.

Faktor inilah yang mendorong seorang Liswarti hingga rela meninggalkan kampung halamannya di Sulit Air dan hidup dirantau. Ia datang ke kota Surakarta pada tahun 1975. Menurutnya keluarganya hidup pas-pasan sehingga ia harus mencari penghasilan tambahan untuk membantu keluarganya. Dan akhirnya ia memutuskan untuk bekerja dirantau dan mengirimkan uang ke keluarganya dikampung. Dia sekarang berjualan sepatu dan tas di pasar Nusukan. Dan dia merasa lebih baik bekerja di Surakarta dari pada hanya tinggal di Sulit Air.

b. Faktor Sosial

18 Lee,Everett S. Suatu Teori Migrasi. Yogyakarta : PPK UGM. Hal 8

Struktur sosial di Minangkabau yang Matrilineal tidak cukup memberikan tempat yang kokoh bagi laki laki dalam kehidupan keluarga. Dalam arti ia tidak mempunyai kekuasaan yang kuat di rumah isterinya dan tidak pula di rumah ibunya sendiri. Laki-laki Minang memiliki tanggung jawab ganda yaitu sebagai bapak dari anak-anaknya dan sebagai mamak dari kemenakannya. Mamak adalah merupakan pembimbing atau pengarah (guide) dari pada kemenakan dan saudara perempuannya. Ia mempunyai hak dan kewajiban dan bertanggung jawab penuh terhadap kehidupan kemenakannya. Dan sebagai bapak dari anak-anaknya, ia

juga harus bertanggung jawab kepada keluarganya dan untuk membesarkan anak-anaknya 19 . Laki-laki yang belum berumah tangga, walaupun dia merupakan keluarga tetapi tidak

dapat mengerjakan sawah milik keluarganya kecuali atas izin dari saudara perempuannya. Sehingga laki-laki tidak merasa terlalu diikat dengan tanah dan tanahpun tidak mengikatnya untuk tetap tinggal di kampung. Ketidaktergantungan mereka kepada tanah juga menimbulkan sikap menilai rendah terhadap kehidupan bertani. Orang tani yang tiak pernah kemana-mana dianggap bernilai rendah. Masyarakat sebaliknya menilai keatas kepada orang yang berdagang dan orang-orang lainnya yang banyak merantau, apalagi kalau mereka mampu memperlihatkan hasil dari jerih payah yang ia dapatkan di rantau. Tantangan untuk merantau oleh karena itu tinggi dan pujian yang didapat jika berhasil juga bernilai tinggi.

Anak laki-laki telah didorong untuk meninggalkan rumah sejak berumur muda. Seperti pantun Minang yang berbunyi: “Karantau madang di hulu, Babuah babungo alun, Marantau bujang dahulu, Dikampung baguno balun”. Pada pantun tersebut dijelaskan mengenai kewajiban bagi seorang lali-laki muda Minang untuk pergi merantau. Laki-laki Minang semenjak kecil telah disuruh untuk tidur di surau dan belajar mempersiapkan diri untuk menghadapi kehidupan yang sulit dikemudian hari. Dorongan untuk pergi merantau oleh

19 Murad, Aud. Merantau : Out Migration in a Matrilineal Society of West Sumatra. 1980. Departement of Demography : Australia National University. Hal XIV 19 Murad, Aud. Merantau : Out Migration in a Matrilineal Society of West Sumatra. 1980. Departement of Demography : Australia National University. Hal XIV

c. Faktor Pendidikan Usaha mencari pendidikan yang lebih baik merupakan salah satu alasan utama orang

Minang meninggalkan Sumatra Barat 20 . Berbeda dengan faktor ekonomi yang mengenai keseluruhan penduduk, alasan pendidikan akan selalu terbatas pada anak – anak pembesar

setempat, pegawai yang terhormat ataupun pedagang kaya yang ingin meningkatkan pendidikan anaknya ke tingkat yang lebih tinggi lagi di Jawa. Sekalipun hanya terbatas pada golongan tertentu saja penduduk yang bersekolah, faktor pendidikan terbukti telah menjadi faktor pendorong yang mampu merangsang yang lainnya, karena setiap pelajar yang merantau membukakan jalan untuk pelajar yang lainnya. Cerita – cirita tentang kemajuan dan keberhasilan yang terdengar dengan pencapaian pendidikan oleh para pelajar di rantau mendorong yang muda – muda untuk mengikuti jejak langkahnya. Para lulusan yang masih muda ini biasanya tidak kembali pulang tetapi sebaliknya menetap dirantau. Konsep merantau adalah mencari ilmu dan pengalaman untuk mempersiapkan diri agar dapat hidup berguna di kampung nanti sesudah kembali dari rantau.

Faktor inilah yang mendorong Betty 21 untuk merantau. Ia ingin memperoleh pendidikan yang lebih baik. Menurutnya sekolah di rantau jauh lebih bagus dan berkualitas. Fasilitas

pendidikan yang ada dirantaupun sangatlah lengkap sehingga ia menjadi lebih bersemangat untuk menuntut ilmu setinggi tingginya. Berkat kegigihannya untuk menuntut ilmu di rantau, sekarang Betty telah menjadi dosen di salah satu perguruan tinggi swasta di kota Surakarta.

Pendidikan menurut Burhan tidak hanya terbatas pada pendidikan formal saja. Tetapi juga pendidikan non formal. Walaupun ia hanya seorang yang lulus SD secara formal, tetapi beranggapan bahwa mencari pengalaman juga merupakan pendidikan. Menurutnya

20 Evers, Hans Dieter. 1986. Sosiologi Perkotaan: Urbanisasi dan Sengketa Tanah di Indonesia dan Malaysia . Jakarta:LP3ES. Hal 110

21 Wawancara dengan Betty pada tanggal 2 Maret 2010 21 Wawancara dengan Betty pada tanggal 2 Maret 2010

Tabel II. Tingkat Pendidikan Perantau Asal Sulit Air di Surakarta

Tahun

Tingkat Pendidikan

Jumlah

SD

SMP SMA Sarjana

Sumber: DPC SAS Surakarta tahun 2009

Melihat data tersebut dapat diketahui bahwa pendidikan mereka rata- rata SMA, SMP, sarjana, dan SD. Sehingga demikian pendidikan mereka tergolong pas-pasan. Faktor yang menyebabkan pendidikannya pas-pasan adalah faktor ekonomi. Keadaan ekonomi orang tua yang kurang cukup tidak memungkinkan mereka untuk melanjutkan pendidikan yang lebih tinggi karena pendidikan yang lebih tinggi membutuhkan biaya yang tidak sedikit. Dengan pendidikan yang kurang memadai para perantau tidak mengharapkan pekerjaan sebagai pegawai negri yang bekerja di sektor pemerintahan. Mereka kemudian memilih bekerja di Melihat data tersebut dapat diketahui bahwa pendidikan mereka rata- rata SMA, SMP, sarjana, dan SD. Sehingga demikian pendidikan mereka tergolong pas-pasan. Faktor yang menyebabkan pendidikannya pas-pasan adalah faktor ekonomi. Keadaan ekonomi orang tua yang kurang cukup tidak memungkinkan mereka untuk melanjutkan pendidikan yang lebih tinggi karena pendidikan yang lebih tinggi membutuhkan biaya yang tidak sedikit. Dengan pendidikan yang kurang memadai para perantau tidak mengharapkan pekerjaan sebagai pegawai negri yang bekerja di sektor pemerintahan. Mereka kemudian memilih bekerja di

Tabel III Jenis Mata Pencaharian Perantau Sulit Air

Tahun Mata Pencaharian Jumlah Pegai Negeri

Lain-lain 1986 -

Pedagang

Pegai Swasta

Sumber: DPC SAS Surakarta tahun 2009

Dari tabel III dapat diketahui bahwa mayoritas perantau Sulit Air bekerja sebagai pedagang. Hal tersebut sebabkan oleh rendahnya tingkat pendidikan perantau Sulit Air, seperti yang terlihat pada tabel II.

d. Faktor keamanan Pergolakan di Sumatra pada tahun 1950 turut menentukan bagi lahirnya budaya rantau.

Merupakan Sjafri Sairin 22 pergolakan tahun 1950 membawa sejumlah implikasi sosial bagi masyarakat Minangkabau. Mereka merasa telah dikalahkan oleh rezim. Kekalahan ini

menjadi beban psikologis yang tidak mudah. Untuk meringankan beban psikologis ini, sebagian masyarakat Minangkabau melakukan migrasi secara besar-besaran ke berbagai kota, terutama pulau Jawa. Faktor keamanan tersebut, melatarbelakangi Burhan untuk merantau. Ia mengatakan pergi merantau disebabkan karena kondisi Sumatra Barat sudah tidak aman lagi. Ketika itu Sumatra Barat terjadi PRRI pada tahun 1958. Karena itu ia tauma untuk kembali ke Sulit Air.

2. Faktor Penarik

Faktor – faktor yang menarik seseorang untuk melakukan migrasi biasanya menggambarkan situasi daerah tujuan. Gambaran – gambaran tersebut merupakan gambaran positif dengan berbagai kemudahan dan tersediannya berbagai fasilitas di kota sehingga

22 Sjafri Sairin. “Minangkabau yang Gelisah: Sebuah Catatan Singkat” <http://www.melayuonline.com,> diakses pada tanggal 23 November 2009 pukul 11.00 22 Sjafri Sairin. “Minangkabau yang Gelisah: Sebuah Catatan Singkat” <http://www.melayuonline.com,> diakses pada tanggal 23 November 2009 pukul 11.00

komoditi pasar 23 .

C. Adaptasi

Dalam perspektif kebudayaan, kemampuan beradaptasi merupakan salah satu bentuk dari daya hidup stamina kebudayaan. Menurut budayawan W.S. Rendra 24 kemampuan

beradapatasi dalam perfektif kebudayaan ialah kesadaran kreatif untuk mengatasi tantangan keadaan. Sebab, keadaan di suatu tempat tidak sama dengan di tempat lain. Keadaan itu bisa berupa faktor iklim,stuktur geografis, watak manusia, atau sistem sosial dan budaya. Dalam kondisi seperti inilah, stamina kebudayaan suatu bangsa diuji.