Sopo Tresno

Sopo Tresno

Sopo Tresno adalah suatu nama dari perkumpulan kaum wanita dewasa yang dipimpin oleh KHA. Dahlan dari

Catatan Haji Muhammad Syoedja’

penghuni wanita di kampung Kauman Yogyakarta yang telah digodok dari sumber agung sampai setengah matang. Kum- pulan itulah yang dibebani tugas untuk berkhidmat kepada anak-anak yang terlantar pendidikan dan pengajarannya karena kesukaran hidup orang tuanya, hendaknya anak-anak yang demikian itu disekolahkan oleh Sopo Tresno dengan sekurang-kurangnya membelanjai bayaran sekolah dan alat- alatnya. Oleh karenanya nama perkumpulan itu disebut “Sopo Tresno” yang artinya: “siapa berkasih sayang”. Walaupun godogan itu agak masih perlu dilanjutkan, tetapi gejala-gejala harapan yang baik sudah tampak dimuka kita. Alhamdulilllah, Sopo Tresno yang dibebani tugas yang berat itu dengan taufiq dan hidayat Allah swt. makin bertumbuh dan makin subur hidupnya. Maka perlu disusulkan bahan baru yang perlu digodog juga pemudi-pemudi kita yang bersekolah di luar sekolahan Muhammadiyah, ialah Netraalschool Boedi Oetomo di Yogyakarta yang terdiri daripada anak-anak dermawan Muhammadiyah di Kauman Yogyakarta, untuk turut diperhatikan godogannya dengan Sopo Tresno dewasa, tetapi harus dipisahkan waktunya karena sudah banyak ketinggalan pelajaran dan ketinggalan umur. Umur dewasa dan umur siswa. Pembagian waktu itu dibagikan oleh KHA. Dahlan untuk wanita dewasa pada jam 4-5, sedang bagi para siswa Netraalschool jam 5.15–6.15 sore, di salah satu ruangan StandaardSchool Muhammadiyah yang pertama (di muka rumah kediaman KHA. Dahlan) di Kauman. Pengajian golongan tersebut dapat langsung beberapa bulan dengan lancar.

Catatan Haji Muhammad Syoedja’

Menyimpang dari itu, perlu kami terangkan demikian; Dengan pembagian waktu yang rutin itu ada peristiwa yang sedikit beriwayat. Jam 4-5 menjadi waktu pengajaran untuk siswa dewasa. Jam 5.15 menjadi waktu murid Sekolah Netraalschool . Jadi, apabila murid sekolah Netraalschool masuk ruangan pengajian itu, mereka dapat melihat ajaran siswa dewasa yang masih tertulis dalam papan pelajaran itu. Kemudian diberitakan kepada seorang murid dewasa dengan secara perlahan-lahan sambil senda gurau yang tidak terasa, tetapi senda gurau itu makin hari makin tambah menjadi sampai menyinggung perasaan siswa dewasa. Oleh karena murid-murid sekolah masih bersifat anak sekolah, maka siasat murid dewasa untuk melenyapkan yang demkian itu, maka sehabis tiap-tiap belajar, tulisan pelajaran di papan lalu disapu bersih sampai tidak berbekas.

Kemudian setelah murid-murid sekolah masuk ruangan pengajian tidak lihat lagi tulisan bekas pelajaran murid dewasa maka kecewalah diantara mereka yang sombong dengan berkata, Lha, inilah akalnya mbak-mbak kaum gagak, yakni burung gagak yang hitam bulunya. Karena murid dewasa pakainya masih serba warna yang gelap, belum sampai hati akan memakai warna yang cerah. Sedang murid sekolah di luar sekolah Muhammadiyah dan memang dasarnya masih kanak-kanak, mereka berpakaian dengan warna yang terang dan berkotang. Lama-lama murid dewasa lupa dewasanya, mengatakan pada murid yang sekolah “kaum kuntul”, yakni burung kuntul yang putih bulunya.

Dengan timbulnya kata-kata “gagak” dan “kuntul”,

Catatan Haji Muhammad Syoedja’

maka nama itu menjadi faktor olok-olokan diantara kedua fihak di luar pengajian, sehingga lama-lama menjadi hebat juga di antara dua golongan tersebut dan menjadi pertengkaran ramai. Seorang suami dari pada murid dewasa yang sering mendengarkan olok-olokan dua golongan itu mencampuri dengan menyerukan kepada murid dewasa dengan kata yang seram, “Tabrak saja biar rame, kalau ada yang membela aku yang akan menghadapi”.

Dengan seruan tersebut kuntul-kuntulnya sama takut lalu terbang melayang ke angkasa, lalu mengadu kepada bapak guru dengan menunjukkan ketakutannya. Bapak guru setelah menerima wadulan itu agak sempurna, lalu tersenyum sambil menjawab, Yah, nanti saya urusnya. Tetapi batinnya bapak guru (KHA. Dahlan) memperhatikan benar- benar untuk menjaga perpecahan dua golongan “gagak” dan “kuntul” itu.

Dengan kebijaksanaan bapak guru dan siasatnya yang lembut, dua golongan yang bertengkar itu dengan tidak terasa tertekan dapat dipergabungkan menjadi satu dalam badan Sopo Tresno dengan sama-sama lega dan gembira, walaupun waktu pengajiannya masih tetap masing-masing.