Muhammadiyah Disangka Golongan Wahabi

Muhammadiyah Disangka Golongan Wahabi

Selang satu hari daripada meninggalnya Sdr. Wiryo- pertomo, datanglah tiga orang khatib dari Kantor Qadlil Qudlat (Hoofd Panghulu) yang dipimpin oleh seorang Mudir Syarthoh (Kepala Polisi), diiringi oleh Syaikh Noor dan Ahmad Qudus yang kami pondoki di rumah pondokan kami. Bermaksud untuk mengurusi tirkah-nya Sdr. Wiryopertomo almarhum. Setelah kami persilahkan duduk, Mudir Syarthoh bertanya kepada kami, “Tuan nama siapa?” Kami jawab, “Saya nama Haji Muhammad Syoedja’.” “Rumah dimana?” “Rumah saya di Yogyakarta tanah Djawa.” “Residentsinya dimana?” “Residentsinya di Yogyakarta.”

“Yang meninggal ini namanya siapa?” “Namanya Wiryo- pertomo.” “Rumah di mana?” “Rumahnya di Yogyakarta juga.” “Tuan kebener apa-apa dengan dia?” “Saya kebener ‘ammi- nya, anak dari saudara saya.” “Jadi tuan dengan dia satu negeri dan satu residentsi?” “Betul.” “Pasnya mana?” “Ini pasnya,” (saya berikan kepada Khatib-nya). “Surat tiket dimana?” “Surat tiketnya ada di tangan Konsul di Jeddah!” “Ah, tidak bisa tiket ada di tangan Tuan Konsul, selamanya tiket mesti ada di tangan orang haji masing-masing.” “Oo, jadi kalau demikian tuan tidak percaya pada kami?” “Ya sudah tentu, sebab tuan tidak omong sebenarnya.” “Oo, kalau demikian Tuan kira saya bohong?” “Cobalah tuan periksalah dalam kulit surat pas itu, ada stempel tanda pengakuan surat tiket ada padanya!”

Khatib lantas sama menyatakan kebenaran pernyataan keterangan kami, maka Mudir Syarthoh ada sedikit kacau

Catatan Haji Muhammad Syoedja’

wajahnya, lalu menanyakan barang tirkah yang lain. “Mana barang-barang yang lain? Kopernya Wiryo kami buka dan kami keluarkan isinya, satu serban Kisymir lama, dua baju

jas juga lama, baju dalam dua dan celana dalam tiga, sabuk tali pinggang satu dan trompah kulit satu. Kemudian Mudir Syarthoh menanyakan “Mana uangnya?” Kami ambil dari saku tali pinggangnya terdapat tiga sen. Saya tunjukkan bahwa uangnya tiga sen. “Uang apa itu?” “Uang sen.” “Uang yang lain mana?” “Uang yang lain tidak punya.” “Masya Allah, tidak ada orang pergi haji tidak punya uang. Apa lagi orang yang mati itu baru berapa hari datang di Makkah ini.” “Kenapa Tuan berkata tidak ada orang pergi haji tidak punya uang padahal ada, yalah Wiryopertomo yang telah mati itu!”

“Apa sebab dia tidak punya uang bisa sampai di Makkah sini?” “Dia pergi haji itu atas ajakan saya dan saya pula yang menanggung segala ongkosnya sampai pulang ke tanah air kalau dia masih hidup.” “Apa diartikan khadam?” “Boleh Tuan disebut khadam.” “Masya Allah, selama hidup kami belum pernah lihat orang Jawa pergi bawa khadam dari tanah Jawa.” “Maka sekarang Tuan melihat dan tahu orang Jawa pergi haji bawa khadam, ialah saya H.M. Syoedja’ dari Yogyakarta.” “Yaa, saya tidak percaya!” “Kalau tidak percaya boleh Tuan bertanya kepada jamaah yang ada ini!” “Saya tidak perlu tanya orang lain.” “Kalau Tuan tidak perlu tanya kepada orang lain, sekarang saya bertanya kepada Tuan, Apakah Tuan datang menanya kepada kami ini atas kehendak Tuan sendiri, atau adakah yang memerintah kepada tuan?” “Oo, tuan saya kasih tahu, Raja Belanda yang ada di

Catatan Haji Muhammad Syoedja’

Nederland itu sudah ada perjanjian kepada Raja Makkah di sini, kalau rakyat Belanda pergi haji lantas mati di sini, pemerintah Makkah mesti bikin pemeriksaan tirkah-nya or- ang yang mati, rupa dan warna apa saja lantas dilaporkan kepada wakilnya Raja Belanda yang ada di Jeddah dengan laporan yang betul-betul benar. Kalau saya laporkan orang haji yang mati itu tidak punya duit dan lain-lainnya, tentu laporan itu tidak dipercaya!” “Kalau demikian lebih baik tuan bikin laporan yang singkat, bahwa Wiryopertomo yang telah mati, menurut keterangan Haji Syoedja’, dia tidak punya uang kecuali tiga sen saja.” “Kalau saya bikin laporan yang demikian itu kepada wakil Raja tuan, Raja Belanda, yang ada di Jeddah itu, tentu tidak dipercaya! Kalau wakil Raja Belanda yang ada di Jeddah tidak percaya, tentu saya akan dipanggil menghadapnya untuk diperiksa sendiri. Tuan berani menghadap dan bicara dengan Wakil Raja Belanda?” “Ya saya berani!”

Mudir Syarthoh rupanya sudah kehabisan jalan pikirannya, lalu menegur kepada Syaikh Noor, “Syaikh, ini orang apa? Saya belum pernah ketemu orang sepertinya.” Syaikh menjawab, “Orang Jawa juga, tetapi sudah masuk menjadi anggota Muhammadiyah.” “Muhammadiyah itu apa?” “Muhammadiyah itu jamaah umat Islam di tanah Jawa.”

Lalu bicara kepada Syaikh Muh. Noor Kudus, supaya dapat mengeluarkan Wiryopertomo dari tangan kami, kalau tidak Syaikh Noor Kudus akan ditangkap sebab ketempatan saya. Dengan menangis Syaikh Noor berkata kepada saya, “Mas Haji Syoedja’ jangan membuat susah kepada saya dengan

Catatan Haji Muhammad Syoedja’

tidak suka memberikan uang dari mayat.” “Yang membuat susah Syaikh Noor itu kan bukan saya, tetapi Tuan Mudir Syarthoh.” “Sekarang begini saja, supaya urusan ini lantas selesai. M.Wiryopertomo yang telah meninggal itu sampeyan pinjami uang untuk membayar kepada tuan Mudir Syarthoh, nanti sore uang itu dapat diminta kembali di kantor Qadli Qudlat.”

“Saya tidak bisa kasih pinjam uang kepada orang yang sudah meninggal, kalau tidak dapat kembali lantas siapa yang mau bayar. Tetapi yang lebih tepat Syaikh Noor saja yang meminjam uang kepada saya untuk membayar maksud itu kepada Mudir Syarthoh. Jadi kalau uang itu nanti tidak kembali Syaikh yang mesti membayar kepada kami.”

Syaikh Noor setuju lalu pinjam 100 gulden, terus diserahkan kepada Mudir Syarthoh, tetapi Mudir Syarthoh tidak mau terima karena cuma 100 gulden, seratus rupiyah. Oleh karena saya terimakan tidak diterima karena terlalu sedikit, maka uang itu saya tarik, saya masukkan saku baju saya, sambil berkata, “Kalau tuan tidak mau menerima, ya sudah, sekarang saya menyerah diri, tuan hendak berbuat apa saya sami’na wa atho’na .”

Mudir Syarthoh berkata, “Tuan akan saya bawa meng- hadap Raja Husen.” “Baik, saya tidak keberatan.” “Tuan berani menghadap Raja Husein?” “Insya Allah.” Mudir Syarthoh diam sebentar sambil berfikir, akhirnya uang 100 gulden diterima dengan baik, sambil bangkit dan berkata, “Biamanillah” dan kami sambut, “Ahlan wa sahlan.”

Pada hari siangnya kami dibawa oleh badal syaikh ke

Catatan Haji Muhammad Syoedja’

kantor Qadli Qudlat. Setiba kami di kantor tersebut, katib (juru tulis) sudah siap menerima kedatangan kami, lantas bertanya, “Tuan nama siapa?” “Nama kami H.M. Syoedja’.” “Oo ya, tuan mau ambil barang tirkah tuan Wiryopertomo? Tuan kebenar apa dengan tuan Wiryopertomo yang meninggal itu?” “Kami kebenar pamannya. Sebab itu anak dari saudara sekandung.” “Kalau tuan mengaku paman daripada yang meninggal itu tuan Qadlil Qudlat tidak mau memberikan tirkah itu, tetapi tuan harus mengaku saudara sekandung dengannya, dan tuan berani sumpah.” “Wah, kalau demikian kami berat menjalaninya, karena kami harus bicara bohong dan berani sumpah.” “Tidak tuan, tuan cuma bilang berani sumpah, tidak disuruh sumpah betul, kalau tuan sudah bilang berani sudah cukup, Tuan Qadli Qudlat lantas kasih tanda tangan, tuan lantas terima barang itu dan uangnya.”

Masya Allah, inilah tata cara orang Arab di zaman pemerintah Raja Husein. Tamat.