KHA. Dahlan Membangun Suraunya

KHA. Dahlan Membangun Suraunya

Dalam keadaan suasana yang tenang dan aman pada bulan Rajab Je, 1313 H, atau ± 1899 Miladiyah, KHA. Dahlan membangun surau tinggalan almarhum ayahandanya, yang kecil dan sudah tua hendak diluaskan dan diperindah, serta dikiblatkan menurut pengetahuan dan keyakinannya. Dan dipertangguhkan sedapat mungkin bulan Ramadhan sudah selesai diramaikan untuk sembahyang Tarawikh dan men-darus sebagaimana biasa yang sudah berlaku pada tahun yang sudah-sudah.

Tidak dengan diduga dan sangka pada tanggal 14 bulan Ramadhan itu jam 9 pagi tiba-tiba datang seorang utusan dari Kawedanan Pengulon membawa perintah untuk KHA. Dahlan dengan mondeling (lisan), perintah itu diucapkan karena berbahaya besar. Perintah itu belum didengar KHA Dahlan sudah terkejut dan berdebar-debar. “Ada apa, Man?”

“Kyai, sebelum perintah Kawedanan Pengulon saya sampaikan, saya harap Kyai bersedia hati yang sabar dan tenang. Perintah Kanjeng Kyai Panghulu Haji Muhammad Khalil Kamaludiningrat, ini hari supaya surau Kyai dibongkar/ dirobohkan. Kyai Panghulu tidak idzinkan

48 Catatan Haji Muhammad Syoedja’

berdirinya surau yang sifat dan bentuknya semacam itu, yakni yang kiblatnya menuju ke arah Ainul qiblat, seperti yang ada sekarang.”

Kyai Dahlan seketika tidak menjawab, karena merasa terpukul jiwanya dengan pukulan yang amat keras. Jawabannya, “Inna lillahi wa ina ilaihi raji’un. La khaula wala quwwata illa billahil aliyyil adziem” , dengan berkembeng-kembeng/berlinang-linang air matanya mengalir ke wajahnya, seraya menjawab; “Paman, haturkanlah kepada Kanjeng Kyai Panghulu H.M. Khalil Kamaludiningrat, bahwa Khatib Amin H.A. Dahlan tidak dapat melaksanakan perintah itu, karena perintah itu sifatnya dholim. Karena kami tidak merasa berdosa melanggar Undang-Undang Negara dan Undang-Undang Agama.”

Utusan itu kembali dengan pilu hati dan gelisah, menghaturkan jawaban itu kepada Kanjeng Kyai Panghulu sebagaimana mestinya.

Kanjeng Kyai Panghulu menerima jawaban yang dihaturkan oleh utusan itu sangat murkanya karena merasa dicemoohkan perintahnya, lalu berkata: “Khatib Amin tidak mau melaksanakan perintahku itu?” Bukan tidak mau, tetapi tidak bisa melaksanakan perintah tersebut.

“Ayo, sekali lagi kau perintahkan, kalau tidak mau nanti orang-orang dari pemerintah Kawedanan Pangulon yang akan melaksanakan pembongkaran merobohkan suraunya Khatib Amin .”

Utusan kembali memberitahukan kepada KHA Dahlan bahwa apabila tidak dapat melaksanakan pembongkaran

Catatan Haji Muhammad Syoedja’

suraunya, maka pemerintah Kawedanan Pangulon yang akan membongkar merobohkannya. KHA. Dahlan tetap teguh pendiriannya, tidak dapat melaksanakan pembongkaran dan merobohkan suraunya. Adapun pemerintah yang akan melaksanakan terserah.

Utusan menghaturkan laporannya kepada Kyai Panghulu, lalu diperintahkan memberitahu, bahwa pembongkaran suraunya akan dijalankan nanti malam sehabis shalat Tarawih.

KHA. Dahlan setelah menerima pemberian tahu yang terakhir, sejak senja sudah meninggalkan rumahnya, kemana perginya keluarganya tidak mengerti, karena tidak sampai hati melihat perbuatan lalim yang kejam dan buas meliwati batas kemanusiaan.

Jam 8 persis malam tanggal 15 Romadlon kuli-kuli dari Kawedanan Pangulon, lebih kurang 10 orang yang dikepalai oleh yang gagah dan besar tubuhnya serta brutal tabiatnya, sudah sama datang di halaman surau KHA. Dahlan dengan siap alat-alatnya untuk merumbak dan meruntuh surau itu, sedang orang yang sembahyang tarawih belum selesai, mereka ramai cerewet seolah-olah sengaja mengganggu yang sembahyang tarawih tersebut.

Setelah selesai orang sembahyang tarawih dan imam sedang mendoa, kepala rombongan berteriak memerintah- kan, “Ayo, lekas bubar, surau ini akan dibongkar dan saya robohkan.” Orang tarawih semua terkejut, melihat kuli sudah serempak dengan alat-alat senjatanya, orang banyak menjadi heran dan bingung, karena mereka tidak tahu dan

50 Catatan Haji Muhammad Syoedja’

tidak mengerti apa yang terjadi pada sebelumnya (perkaranya). Cuma karena melihat sikapnya para kuli-kuli dan kepala sangat kalap, sangat biadab dan sama memegang senjata untuk menghancurkan surau yang baru dan indah itu, mereka menjadi salah sangka sehingga mereka sama berlari dan berteriak: “Wong ngamuk, wong ngamuk, wong ngamuk !” dan mereka kuli-kuli tetap terus membongkar surau itu secara biadab dan sewenang-wenang sedang kepalanya mengejar orang yang berseru “Wong ngamuk, wong ngamuk, wong ngamuk !”. Surau ambruk, genteng kayu berserak-serakan ditimbun runtuhan tembok dan batu memenuhi halaman surau dan rumah tangganya KHA. Dahlan. Perbuatan itu dijalani dengan bersemangat yang gembira dan bila ada barang yang besar jatuh dari atas mesti dibarengi dengan sorak yang meriah seolah-olah merupakan suara rampok dan grayak yang dapat kemenangan besar. Tidak insyaf sedikitpun bahwa perbuatannya sesungguhnya bukan merobohkan suraunya KHA. Dahlan tetapi pada hakikatnya merobohkan agama Allah, ialah agama Islam. Allahu akbar! La haula wa la quawwata illa billah. Jam 1.30 lepas tengah malam kuli-kuli dan kepalanya meninggalkan tempat dengan gembira dan bebas zonder halangan suatu apa.

Jam 4 menghadapi fajar menyingsing KHA. Dahlan baru datang dari perginya sejak senja kemarin karena merasa tak dapat melihat apa yang terjadi terhadap suraunya yang sedang disyukuri karena barunya, tidak disangka-sangka surau itu menerima nasibnya yang berbahaya dan binasa. Sedangnya di rumah, KHA. Dahlan kelihatan lesu lesah dan

Catatan Haji Muhammad Syoedja’

gelisah tidak dengan bicara beliau mengambil koper dan pakaiannya kelihatan bersiap-siap meninggalkan rumahnya. Nyai H. Dahlan terkejut dan bertanya: “Kyai, sampeyan niku ajeng teng pundi ?” (Kyai itu hendak kemana?). “Hendak pergi.” “Lho, kesah dateng pundi”. (Lho, pergi kemana?) “Pergi ke luar Yogyakarta!” “E, la, kulo dos pundi?” (E, la, saya bagaimana?) “La apa kamu mau turut ?” “La, ya, saya turut!” “Ayo, lekas-lekas bersiap, nanti habis sembahyang Shubuh terus berangkat.” Nyai H.A. Dahlan sibuk bersiap membawa pakaiannya sekedar cukupnya saja, tak perlu banyak-banyak.

Habis sembahyang Shubuh lalu panggil budaknya suruh membawa kopernya menuju ke Stasion Tugu. Tetapi oleh karena pada masa itu belum ada kendaraan yang keluar untuk mengangkutnya, terpaksa Kiyai dan Nyai H.A. Dahlan berjalan kaki dari Kauman ke Stasiun Tugu. Sudah tentu saja perjalanan Kiyai harus mengikuti jalannya Nyai. Sampai di Stasion, spoor yang dimaksud sudah meninggalkan Stasion. Kyai dan Nyai duduk termenung menunggu kereta spoor yang akan berangkat yang kemudian.