KHA. Dahlan Ibu–Bapak Muhammadiyah

KHA. Dahlan Ibu–Bapak Muhammadiyah

Setelah lahir Muhammadiyah pada hari malam Minggu akhir bulan Desember 1912 dengan selamat betapa besar hati dan gembiranya KHA. Dahlan dengan semangat yang menyala-nyala. Beliau berusaha terus-menerus menanamkan benih ke-Islaman dimana-mana, bahkan tidak hanya mereka

78 Catatan Haji Muhammad Syoedja’

para siswa Kweekschool di Yogyakarta saja, melainkan kepada siswa Normalschool di Purwosari Solo, Opleeding School di Madiun, OSVIA Magelang dan H.K.S. di Purworejo, dengan saling ganti kunjungannya diantara ada yang sekali sebulan, ada dua kali dan ada yang dikunjungi oleh beliau tiap-tiap hari Sabtu sore. Namun demikian beliau tidak melengahkan memelihara Madrasah Ibtidaiyah Diniyah yang ada di sampingnya, karena Madrasah itulah yang dibanggakan untuk menimbun jurang perpecahan yang luas dan yang dalam diantara kaum muslimin yang santri dan kaum muslimin yang bukan santri. Sehingga timbul istilah yang menjadi racun yang berbahaya bagi persatuan kaum muslimin Indonesia pada seluruhnya dan di tanah Jawa pada khususnya. Yaitu Muslim Mutihan dan Muslim Abangan. Yang Mus- lim Mutihan, ialah kaum muslimin yang masih menjalankan syariat Agama Islam, yakni Syahadat, Sholat, Zakat, Puasa Romadlon dan Haji. Golongan ini biasanya tidak banyak menghiraukan adat istiadat masyarakat umumnya, sehingga tertampaklah tingkah laku dan kata-katanya selalu janggal kaku dan congkak terhadap golongan Abangan.

Sebaliknya golongan Abangan memandang golongan Mutihan , sangat meremehkan, karena golongan Mutihan itu tidak tahu adat istiadat, sopan santun, tata susila dan tata

negara, karena mereka tidak sekolah pengetahuan umum, tetapi yang dipelajari soal doa untuk menghadapi panggilan selamatan dan kenduri yang kesannya menghasilkan bargowo.

Demikianlah senjata perpecahan diantara dua golongan kaum muslimin di Indonesia pada umumnya dan di tanah

Catatan Haji Muhammad Syoedja’

Jawa pada khususnya diwaktu itu. Oleh karena itu dengan kebijaksanaan KHA. Dahlan untuk menimbun jurang perpisahan yang luas dan dalam itu, ditegakkan Madrasah Ibtidaiyah Diniyah yang di situ diajarkan juga ilmu pengetahuan.

Dengan terlaksananya sekolahan yang demikian itu, akan bertemulah kedua golongan Mutihan dan Abangan menjadi satu sama sama beruntung. Golongan Mutihan tidak kehilangan agamanya, tetapi beruntung tambah luas ilmu pengetahuan umumnya untuk menjadi sendi cara hidup kehidupan yang lebih luas dan sempurna.

Sebaliknya, golongan Abangan tidak kekurangan kepuasan akan menuntut pengetahuan Duniawi, malahan bertambah keuntungan dapat mengetahui pengetahuan agama Islam yang membawa ilmu pendidikan jasmani dan ruhani (Iman tauhid kepada Allah swt.) dengan mengikuti hukum Syariat agama Islam, ialah agama yang dipundi-pundi oleh para leluhurnya bangsa Indonesia di zaman yang lampau. Dengan bertumbuhnya sekolah-sekolah yang serupa itu, dari bawah sampai dengan yang atas akan ratalah jurang perpecahan diantara dua golongan tersebut, hapuslah istilah Abangan dan Mutihan dari tengah-tengah masyarakat Nasional Indonesia.

Maksud dan tujuan KHA. Dahlan mewujudkan pendidikan yang teratur secara modern seperti tersebut di atas pada prinsipnya ialah hendak melaksanakan umat yang baik sebagaimana yang dikehendaki oleh Allah swt. dalam surat Ali Imran ayat 110. “Kuntum khoiro ummatin ukhrijat

80 Catatan Haji Muhammad Syoedja’

linnasi ta’muruna bil ma’rufi wa tanhauna ‘anil munkari wa tu’minuna billahi, wa lau amana ahlul kitabi lakana khoirullahum min humul mu’minuna wa akhtsaruhumul fasiqun.” Maksudnya, keadaan kamu sekalian adalah sebaik- baiknya umat yang dilahirkan untuk kepentingan manusia. Perintahkanlah dengan perkara yang baik dan cegahlah akan perbuatan yang mungkar dan percayalah kamu sekalian dengan Allah. Kalau mereka orang kafir ahli kitab sama percaya, sungguh ada akan lebih baik bagi mereka, dari pada mereka sebagian ada yang mukmin, tetapi kebanyakan daripada mereka sama berdosa.

Inilah i’tikat umat yang baik yang dimaksud oleh KHA. Dahlan. Jadi beliau tidak mengangankan dengan Madrasah (sekolahan)-nya akan membentuk ulama-ulama yang besar cerdik pandai seperti yang telah ada pada masa itu, tetapi yang diangankan ialah ulama dan cerdik pandai yang takwa kepada Tuhan dan yang berguna kepada manusia dan masyarakat

Sudah tiga tahun Muhammadiyah dilahirkan di kota Yogyakarta, tetapi belum dapat mempengaruhi kepada penduduk di kota Yogyakarta pada umumnya dan pada penduduk di kampung Kauman pada khususnya, karena masih nyenyak dalam tidurnya, tenggelam dalam gelombang penghidupan.

Penghidupan pada masa itu merupakan dua aliran, yaitu pertama kepriyayen kasultanan dan kedua perdagangan. Bagi orang-orang Kauman (kaum santri) banyak diantaranya kedua-duanya aliran itu menjadi perhatian betul-betul. Karena kedua-duanya memang menjadi pokok kemegahan

Catatan Haji Muhammad Syoedja’

hidup utama. Dengan berlomba menuju ke arah hidup megah dan utama itu sedikit demi sedikit dengan tidak terasa mengakibatkan makin menjauh dari pada hukum Syariat Agama Islam, baik di dalam ibadat maupun dalam muamalat di antara manusia. Umpamanya, dalam shalatnya sering meninggalkan waktu dan cepat sampai meninggalkan rukun (tuma’ninah) sehingga hanya merupakan gambar shalat yang tidak berkesan kebaikan akan kelakuannya. Demian pula puasanya hanya membalikkan waktu, waktu siang dijadikan malam dan waktu malam dijadikan siang. Artinya, kalau siang tidur dan kalau malam mengobrol sampai dengan waktu sahur dan terus sampai waktu subuh. Sehabis shalat subuh tidur lagi sampai lepas tengah hari. Tetapi bagi mereka yang berdagang batik mungkin jam 9 pagi sudah bangun untuk melayani tamu-tamu yang berbelanja batik sampai lepas tengah hari. Lantas kembali tidur lagi sampai waktu Asyar. Sesudah shalat Asyar keluar pergi putar kayun dengan kereta kuda besar yang sudah dipesan sambil belanja makanan dan minuman di toko-toko yang dilalui untuk berbuka nanti. Tetapi yang lebih megah, mereka memang sudah sedia kereta yang mentereng dan kuda yang bagus dan tidak hanya untuk puter kayun bulan puasa, tetapi sewaktu ada kehendak yang dipandang megah untuk dipakainya.

Ibadat Haji

Bangsa Indonesia memang sejak zaman koloni Belanda gemar pergi haji ke Makkah dan ziarah ke makam Nabi di

82 Catatan Haji Muhammad Syoedja’

Medinah. Tidak dengan berdasar hukum agama atau memang tidak mengetahui ilmu, syarat rukunnya ibadat yang secukup-cukupnya. Sehingga apakah faham ibadat haji kebanyakan mereka tidak tahu apa yang harus diperbuat, selama mereka ada di tanah suci. Tetapi jamaah haji pada masa itu umumnya baru sampai di Jeddah mereka sudah mulai belanja pakaian, surban, kopyah, gamis sruwal Arab dan lain-lain yang diinginkan. Kepentingan yang mengenai ibadat hajinya kurang diperhatikan, malah ada banyak soal- soal yang penting dalam ibadat haji yang tidak dapat terlaksana karena kehabisan bekal, sebab sudah digunakan untuk kepentingan pakaian lebih-lebih kalau sudah menghadapi lebaran. Rupanya yang demikian itu boleh diduga bahwa isi hatinya haji itu adalah Makkah dan pakaian saja. Tentu mereka itu menyadari segi-seginya ibadat haji yang sedalam-dalamnya, bahkan mungkin rukun Islam yang lain masih dalam demikian juga.