Masjid Besar Kota Yogya Lantainya Digaris Kapur

Masjid Besar Kota Yogya Lantainya Digaris Kapur

Selang beberapa hari dari adanya Musyawarah terkecewa itu, tiba-tiba bapak muadzin melihat loncengnya jam 12.0 menit masuk Masjid hendak memukul bedugnya dan menyerukan adzannya, sudah tentu selama memukul bedug tidak melihat kemana-mana melainkan kepada bedugnya. Tetapi setelah menyerukan bangnya, penglihatan- nya lepas dapat melihat ke mana-mana bertemu dengan putih- putih yang menggaris lantai Masjid sebesar ± 5 cm dari selatan ke utara ada tiga baris yang boleh dimengerti baris berjamaah sholat, harus menghadap kepada jihat ‘ainulqiblat. Selama itu para mushallin memang waktunya datang dan melihat baris kapur yang putih itu sama terkejut dalam hatinya tanya-menanya satu sama lain dijawab juga dengan pertanyakan siapakah yang berbuat demikian ini? Sedang

Catatan Haji Muhammad Syoedja’

heboh orang tanya-menanya, bapak muadzin menyerukan qamatnya lalu sama bersembahyang jamaah, sesudah sembahyang heboh lagi dan akhirnya penjaga penjaga yang bertugas pada hari itu lekas-lekas menghadap Kanjeng Kyai Panghulu untuk melaporkan kejadian di masjid yang demikian itu dengan sejelas-jelasnya. Akhirnya para penjaga terdiri dari para Khatib, Muadzin, yang berjamaah dua or- ang dan seorang merbot, bersama-sama menghadap Kyai Panghulu menghaturkan keadaan kejadian di masjid yang tidak dikira-kirakan itu, dengan suara gentar karena takut.

Kanjeng Kyai Panghulu menerima lapuran dari penjaga penjaga masjid lima orang tersebut, lantas murka besar dan keras, karena merasa diganggu kekuasaannya dan diremeh- kan kewibawaannya dengan berkata keras: “Siapa yang berbuat demikian itu? Kurang ajar .” Penjaga menjawab: “Tidak tahu”. “He,tidak tahu?”Kemana kamu menjaga tidak tahu?” “Kami orang ada yang di luar, sedang pulang dan ada yang mencuci pakaian dan sapu-sapu di halaman Masjid seperti biasa.” “Pulang? kenapa pulang? Kamu sudah bosan jadi priyayi? Berani meninggalkan tugasmu, ya? Awas! Ayo kamu harus mencari siapa yang berbuat itu sampai dapat, kalau tidak dapat jangan tanya dosamu!” Orang lima sama matur sendiko ! sambil meninggalkan tempat.

Kanjeng Kyai Panghulu H.M. Kholil Kamaludiningrat sesungguhnya sudah mempunyai dugaan yang kuat dalam penggalih -nya bahwa kejadian di Masjid Besar itu ialah akibat Musyawarah yang dihadiri alim ulama yang sejak beberapa Jum’ah yang lalu diadakan oleh Khatib Amin di suraunya.

44 Catatan Haji Muhammad Syoedja’

Oleh karena dugaan itu perlu akan dinyatakan kewajarannya, sehingga dapat diketahui kebenarannya.

KHA. Dahlan dengan segera lalu dipanggil menghadap Kanjeng Kiyai Panghulu di kantor prive-nya, untuk diperiksa kebenarannya. KHA. Dahlan pun dengan segera datang menghadap kepadanya.

Kyai Panghulu setelah melihat KHA. Dahlan meng- hadap, terpaksa meredakan nafsu amarahnya sehingga menerima kedatangan KHA. Dahlan itu dengan menunjuk- kan sikap yang baik, tenang dan sabar. Karena angkatan KHA. Dahlan sebagai Khatib Amin bukan angkatan beliau sendiri, tetapi angkatan dari Kanjeng Sultan Hamengku Buwana.

“Khatib Amin, kemarin ada kejadian di Masjid Besar, bahwa di Masjid digaris orang-orang mengapur sebesar ± 5 cm dari selatan ke utara. Garis itu merupakan garis shaf shalat yang menghadap ke barat laut, siapakah yang berbuat itu?”

“Saya tidak tahu dan tidak mengerti siapa yang berbuat itu! Saya kira yang jaga diwaktu kemarin itulah yang lebih mengetahui!”

“Betulkah Khatib Amin tidak mengetahui dan tidak mengerti? Apakah kira-kira bukan akibat dari Musyawarah para alim ulama yang baru-baru ini diadakan di tempat kamu?”

“Itupun saya tidak mengerrti, apakah itu akibat dari Musyawarahnya para alim ulama di tempat masjid saya atau bukan karena musyawarah alim ulama di tempat saya, tidak ada sangkut paut dan singgung menyinggung dengan soal

Catatan Haji Muhammad Syoedja’

menggaris masjid di mana-mana, apalagi Masjid Besar kota Yogyakarta.”

“Kalau demikian, apakah yang dimusyawarahkan alim ulama itu, nyatanya setelah terjadi musyawarah itu lantas ada kejadian lantai Masjid Besar digaris dengan begitu rupa?”

Saya kira semua pertanyaan Kanjeng Kyai kepada saya itu, tentu tidak dapat jawaban yang akan memuaskan kepada Kanjeng Kyai. Tetapi jawaban yang akan memuaskan itu tentu jawabannya yang berbuat. Oleh karena itu, pendapat saya, yang jaga diwaktu kemarin ditugaskan untuk mencari yang berbuat sampai dapat. Kalau tidak dapat mereka yang bertanggung jawab.”

“Yah sudah, Khatib Amin terima kasih. Sekarang boleh pulang.” Tidak selang berapa hari penjaga yang bertanggung jawab lantas menghadap kepada Kanjeng Kyai Panghulu melaporkan bahwa orang-orang yang sama berbuat telah diketemukan nama-namanya, tetapi tidak dapat membawa mereka di hadapan Kanjeng Kyai yang lebih baik supaya utusan orang lain yang disegani oleh mereka. Adapun nama nama itu ialah si Fulan, si Fulan dan si Fulan.

Kanjeng Kyai Panghulu menerima laporan penjaga yang menerangkan nama-nama yang sama berbuat itu beliau terkejut sungguh dahsyat sekali. Dan menggeleng-gelengkan mustaka -nya (kepala) karena tidak dikira-kirakan bahwa yang berbuat itu diantaranya dua orang pemuda kerabatnya sendiri yang disayangi. Kemudian Kanjeng Kyai Panghulu mengutus orang lain memanggil mereka bersama ke nDalem

46 Catatan Haji Muhammad Syoedja’

Pengulon dan pemuda itupun bersegera menghadap dengan bersatu hati, akan mengaturkan barang sebenarnya yang telah diperbuat.

Kemudian setelah mereka tiba dihadapan Kanjeng Kyai Panghulu, diperintahkan duduk, lalu ditanya dengan secara kekeluargaan: “Hai anak anakku yang kucintai dan kusayangi, benarkah kamu bertiga yang berbuat menggaris lantai Masjid dengan kapur itu ? “ “Ya, benar”. “Apa maksudmu menggaris Masjid yang demikian itu?” “Maksud saya supaya orang shalat menghadapkan kiblat yang benar!” “Apakah kiblatnya Masjid itu tidak atau kurang benar?” “Menurut orang yang ahli dalam ilmu cakrawala, memang benar Masjid Besar itu kiblatnya tidak tepat menuju ke tanah suci Makkah!” “Siapa orang ahli dalam ilmu Cakrawala itu?” “Semua bangsa ada mempunyai keahlian dalam ilmu itu. Cuma bangsa Jawa dan kaum musliminnya belum banyak yang mempunyai keahlian dalam ilmu itu. Kecuali satu dua orang saja yang sudah mempunyai keahlian dalam ilmu itu, tetapi bangsa Jawa dan kaum musliminnya masih tidak percaya karena kebodohannya.”

“Ya, sekarang saya beri ampun, tetapi kalau sekali lagi kamu berbuat seperti itu, tidak ada ampun lagi! Sekarang boleh pulang.”

Mereka lalu sama meninggalkan tempat, tetapi setelah keluar dari komplek nDalem Pengulon sama tertawa bisik- bisik seolah-olah gembira karena diampuni kesalahannya dan bebas.

Demikianlah kesan dari pada Munadzarahnya para alim

Catatan Haji Muhammad Syoedja’

ulama yang membahas soal kiblat bagi kaum Muslimin tanah Jawa pada umumnya dan di Yogyakarta pada khususnya. Bagi mereka yang sadar makin kuat keyakinannya dan bagi yang beku (jumud) tetap pada kebekuannya, tetapi keadaan suasana tenang tidak ada heboh diantaranya. Berjamaah di Masjid Besar makmumnya macam dua kiblatnya.