BAB III STATUS HUKUM HARTA KEKAYAAN YAYASAN DITINJAU DARI
UU YAYASAN DAN PP NO. 63 TAHUN 2008
A. Pemisahan Harta Kekayaan Yayasan dari Harta Kekayaan Pendiri
Sesudah berlakunya UU No.16 Tahun 2001 jo UU No.28 Tahun 2004 UU Yayasan dan PP No.63 Tahun 2008 tentang Pelaksanaan UU Yayasan, harta kekayaan
Yayasan umumnya bersumber dari kekayaan pribadi Pendiri
110
Berdasarkan Pasal 1 angka 1 UU Yayasan, dapat diketahui bahwa harta kekayaan Yayasan dipisahkan dari harta kekayaan Pendiri atau para Pendirinya, yang
ditegaskan bahwa: ”Yayasan adalah badan hukum yang terdiri atas kekayaan yang dipisahkan dan diperuntukkan untuk mencapai tujuan tertentu di bidang sosial,
keagamaan, dan kemanusiaan, yang tidak mempunyai anggota”. Penjabaran kata dipisahkan menurut Pasal 1 angka 1 UU Yayasan tersebut dapat ditemukan pada
Yayasan yang telah dipisahkan baik dalam bentuk uang atau benda, sumbangan atau bantuan yang tidak
mengikat, wakaf, hibah, hibah wasiat, dan pendapatan sah lainnya yang tidak bertentangan dengan hukum misalnya dividen, sewa gedung, dan lain-lain.
Masalahnya, apakah Yayasan-yayasan yang didirikan sebelum lahirnya UU Yayasan menggunakan konsep pemisahan harta kekayaan dari Pendiri atau para Pendiri dengan
harta kekayaan Yayasan, hingga saat ini tetap menjadi perbincangan publik.
110
Berdasarkan Pasal 9 ayat 1 UU Yayasan, yang menegaskan bahwa: “Yayasan didirikan oleh satu orang atau lebih dengan memisahkan sebagian harta kekayaan pendirinya, sebagai kekayaan
awal”. Dapat dipahami bahwa untuk menyebutkan pendiri Yayasan lebih tepatnya digunakan kalimat “Pendiri atau para Pendiri Yayasan”.
Universitas Sumatera Utara
ketentuan Pasal 14 ayat 2 huruf d UU Yayasan, yakni pemisahan dari harta kekayaan pribadi Pendirinya yang dalam bentuk uang atau benda.
Kekayaan awal yang dipisahkan dari kekayaan pribadi pendiri dalam bentuk uang atau benda. Benda yang dimaksud Pasal 14 ayat 2 huruf d UU Yayasan ini
adalah benda berwujud dan tidak berwujud yang dapat dinilai dengan uang. Menurut ketentuan Pasal 26 ayat 1 UU Yayasan tidak menggunakan kata benda melainkan
barang yang pada prinsipnya antara benda dengan barang dipersamakan dalam UU Yayasan.
Pemisahan harta kekayaan Yayasan tersebut sebenarnya bertujuan untuk mencegah jangan sampai kekayaan awal Yayasan masih merupakan bagian dari harta
pribadi atau harta bersama para Pendiri. Jika tidak demikian nantinya harta tersebut berpeluang dianggap oleh para Pendiri sebagai harta kekayaan miliknya sehingga tetap
dikuasainya.
111
Esensi pendirian yayasan yang memiliki maksud dan tujuan meliputi kegiatan sosial, keagamaan, dan kemanusiaan, maka harta kekayaan Yayasan harus dipisahkan
dari kekayaan Pendirinya, sehingga melekat pada pencapaian maksud dan tujuan Yayasan. Hal ini sesuai dengan teori yang mendasari terbentuknya sebuah badan
hukum harus ada pemisahan harta kekayaan vermogen yang terpisah dari Pendirinya. Harta kekayaan tersebut dipisahkan dan diperuntukkan hanya untuk
mencapai 3 tiga bidang tujuan yang dimaksud yakni di bidang sosial, keagamaan, dan kemanusiaan.
111
Gatot Supramono, Loc. Cit, hal. 37.
Universitas Sumatera Utara
Apabila asas pemisahan harta kekayaan Yayasan tersebut tidak dilakukan maka esensi tujuan dari pendirian Yayasan secara filosofi sukar untuk dicapai.
112
Pemisahan sebahagian harta kekayaan dari para Pendiri untuk mendirikan Yayasan dapat dipahami maksud secara tersirat bahwa ketentuan tersebut menegaskan
agar dalam mendirikan Yayasan semata-mata bukan untuk kepentingan pribadi melainkan sebuah kegiatan amal dengan memberi derma secara terorganisir dan
tersistematis yang merupakan salah satu hakikat keberadaan Yayasan.
113
Sehingga eksistensi dan gerakan Yayasan pada hakikatnya tidak terlepas dari misi dan kegiatan
nirlaba yang didasarkan pada prinsip filantropis kedermawanan, amal, dan sukarela yang diorganisir dalam suatu organisasi yang rapi dalam mewujudkan suatu tujuan
yang telah ditetapkan di bidang sosial, keagamaan, dan kemanusiaan.
114
112
http:i-perspektif.comresearch, diakses tanggal 20 Februari 2012.
Organisasi nirlaba filantropis lazimnya merupakan organisasi yang bukan mencari untung non profit oriented melainkan semata-mata bertujuan membantu dan
memberdayakan masyarakat melalui manajemen nirlaba secara sukarela dan bersifat mandiri yang dapat diklasifikasikan sebagai kegiatan karitatif bantuan amal langsung
dan kegiatan advokasi transformatif pemberdayaan dalam arti luas, yang biasanya dilakukan melalui pendekatan struktural dan kultural dengan membangun sikap mental
113
http:artikelterbaru.comarsippemisahan+harta+kekayaan+pribadi+pada+yayasan+itu+apa., diakses tanggal 20 Februari 2012.
114
Hendra Nurtjahno, Perkembangan Hukum Nirlaba di Indonesia”, karangan yang dimuat dalam buku Filantropi dan Hukum di Asia, Asia Pasific Philanthropy Consosrtium, Jakarta: Ghalia,
1999, hal. 82.
Universitas Sumatera Utara
yang demokratis dan menjunjung tinggi Hak Asasi Manusia serta menjalankan kewajiban sebagai warga negara.
115
Kehadiran UU Yayasan sebenarnya merupakan suatu kebutuhan aktual, mengingat terdapatnya kecenderungan para Pendiri Yayasan sebelum lahirnya UU
Yayasan beranggapan bahwa Yayasan yang didirikannya adalah bagian dari harta kekayaannya yang menurutnya harus dikuasai secara pribadi. Meskipun UU Yayasan
tersebut baru dan berlaku efektif pada Tahun 2002 setahun setelah diundangkan tahun 2001, namun setidaknya berbagai ketentuan substantif dalam UU Yayasan tersebut
dapat menjadi pedoman dan arah yang jelas tentang berbagai hal yang berkaitan dengan Yayasan termasuk kepemilikan harta di dalam Yayasan. Pada hakikatnya
modal Yayasan adalah kekayaan yang dipisahkan untuk ketiga tujuan yang ditegaskan dalam Pasal 1 angka 1 UU Yayasan dan diberi status badan hukum.
116
Berdasarkan ketentuan Pasal 1 angka 1, Pasal 14 ayat 2 huruf d, Pasal 14 ayat 4, Pasal 26 ayat 1 UU Yayasan dan Pasal 6, Pasal 7, Pasal 15 ayat 2 huruf d PP
115
Ibid. Lihat juga: Thomas Silk, Perbandingan Sistem Hukum di Sepuluh Negara Asia Pasifik, Jakarta: Ghalia, 1999, hal. 82. Menurutnya, kerangka hukum yang memadai bagi organisasi nirlaba di
Indonesia belum berkembang. Ketentuan hukum yang dirancang untuk mengawasi organisasi nirlaba lebih menonjol dari pada yang mengembangkannya. Walaupun situasinya masih demikian, organisasi
nirlaba Indonesia tampaknya enggan untuk mendukung upaya perbaikan kerangka hukum yang ada. Pembaharuan hukum mengenai organisasi nirlaba secara pesimis dipandang justru akan merusak tatanan
yang dinilai telah cukup demokratis selama ini, meskipun diakui terdapat berbagai kelemahan antara lain penyalahgunaan Yayasan untuk tujuan dan kepentingan pribadi sebagaimana telah dikemukakan
dengan perkataan lain sebagian besar masyarakat khususnya kalangan aktivis organisasi nirlaba curiga bahwa legislasi merupakan regulasi yang seringkali justru menghasilkan pembatasan dan kontrol yang
lebih ketat serta akan mempersempit ruang yang diperlukan bagi kegiatan organisasi nirlaba yang ada sekarang. Terlepas dari motivasi masing-masing, aspek inilah salah satu yang sering mendapat kritik
tajam dari para pengelola Yayasan maupun pengamat terhadap ketentuan dalam UU Yayasan. Memang tidak dapat dinafikan berbagai kritikan tajam terhadap organisasi filantrofis modern di Indonesia dapat
dimengerti terutama pada era reformasi dewasa ini.
116
Tahir Tungadi, Hukum Benda, Makassar: Lembaga Penerbitan Universitas Hasanuddin, 1975, hal. 8.
Universitas Sumatera Utara
No.63 Tahun 2008 tentang Pelaksanaan UU Yayasan, ditegaskan bahwa modal awal Yayasan adalah modal atau kekayaan yang dipisahkan antara kekayaan pribadi dengan
kekayaan Yayasan. Pemisahan harta kekayaan tersebut menurut Pasal 7 PP No.63 Tahun 2008 tentang Pelaksanaan UU Yayasan harus disertai dengan surat pernyataan
Pendiri mengenai keabsahannya. Surat pernyataan Pendiri mengenai keabsahan harta kekayaan yang dipisahkan
itu dan bukti yang merupakan bagian dari dokumen keuangan Yayasan yang didirikan sebelum berlakunya UU Yayasan, jika tidak ditegaskan demikian tentang pemisahan
harta kekayaan Yayasan dari Pendirinya, akan menjadi kendala dalam merubah Anggaran Dasarnya. Hal ini ditegaskan dalam Pasal 15 ayat 2 huruf d PP No.63
Tahun 2008 tentang Pelaksanaan UU Yayasan, bahwa bukti penyetoran atau keterangan bank atas Nama Yayasan atau pernyataan tertulis dari Pendiri yang memuat
keterangan nilai kekayaan yang dipisahkan sebagai kekayaan awal Yayasan, harus dilampirkan untuk persetujuan akta perubahan Anggaran Dasar Yayasan.
Selain modal awal Yayasan yang dipisahkan dari harta kekayaan Pendirinya, sebagai kekayaan Yayasan, juga bersumber dari bantuan yang tidak mengikat dengan
tidak membedakan asal dari mana sumbangan tersebut baik dari masyarakat, pemerintah, maupun dari luar negeri.
117
117
Arifin P. Soeria Atmadja, “Aspek Pengelolaan Keuangan Yayasan”, Makalah yang disampaikan pada lokakarya mengenai Rancangan Undang-Undang Yayasan yang diselenggarakan
bersama Universitas Sumatera Utara, Universitas Indonesia, dan University of South Carolina di Universitas Sumatera Utara, Medan tanggal 4 November 2000, hal. 4.
Pasal 26 ayat 2 UU Yayasan, menegaskan bahwa kekayaan Yayasan dapat diperoleh dari: sumbangan atau bantuan yang tidak
Universitas Sumatera Utara
mengikat, wakaf, hibah, hibah wasiat, dan perolehan lain yang tidak bertentangan dengan Anggaran Dasar dan atau peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Dalam hal harta kekayaan Yayasan berasal dari wakaf, menurut Pasal 26 ayat 3 UU Yayasan berlaku hukum perwakafan. Pasal 1 angka 1 UU No.41 Tahun 2004
tentang Wakaf, wakaf adalah perbuatan hukum wakif untuk memisahkan danatau menyerahkan sebagian harta benda miliknya untuk dimanfaatkan selamanya atau
untuk jangka waktu tertentu sesuai dengan kepentingannya guna keperluan ibadah danatau kesejahteraan umum menurut syariah.
Sedangkan hibah adalah pemberian suatu benda semasa hidup seseorang kepada orang atau pihak lain tanpa mengharapkan balasan.
118
Hibah menurut penjelasan Pasal 26 ayat 2 huruf c UU Yayasan adalah hibah dari orang atau dari
badan hukum. Hibah yang berasal dari bantuan negara, bantuan luar negeri, danatau sumbangan masyarakat menurut Pasal 41 PP No.63 Tahun 2008 tentang Pelaksanaan
UU Yayasan, yang diterima sebelum Peraturan Pemerintah ini mulai berlaku menjadi kekayaan Yayasan. Perolehan lain adalah hibah wasiat merupakan pemberian yang
dituliskan atau diucapkan sebagai wasiat, sebagai kehendak terakhir si pemberi hibah wasiat yang berlaku setelah meninggalnya si pemberi wasiat si meninggal,
119
118
Muhammad Daud Ali, Loc. Cit, hal. 24.
dan termasuk deviden, bunga tabungan bank, sewa gedung, atau perolehan dari hasil usaha
Yayasan.
119
Suhardiadi dan Ari Kusumastuti Maria, Loc. Cit, hal. 48.
Universitas Sumatera Utara
Jelaslah bahwa harta kekayaan Yayasan terpisah atau dipisahkan dari harta kekayaan Pendiri atau para Pendirinya. UU Yayasan tidak membenarkan adanya
penguasaan oleh Pendiri atau para Pendiri terhadap harta kekayaan Yayasan yang telah dipisahkannya dari harta pribadi. Hal ini berarti, jelas sekali argumentasi yuridis
bahwa Yayasan adalah badan hukum yang nirlaba. Walaupun definisi nirlaba tidak tegas ditemukan dalam UU Yayasan, namun dengan berpedoman dari pemisahan harta
kekayaan dari Pendiri atau para Pendirinya dan ketiga tujuan Yayasan untuk bidang sosial, keagamaan, dan kemanusiaan, menggambarkan bahwa hakikat Yayasan itu
bukan mencari untung non profit oriented melainkan nirlaba atau tidak mencari untung.
Meskipun ketentuan Pasal 3 UU Yayasan secara tegas mengizinkan Yayasan melakukan kegiatan usaha, bukan berarti untuk mendapatkan untunglaba yang
sebesar-besarnya bagi para pendiri, melainkan untuk menunjang pencapaian maksud dan tujuan Yayasan dengan cara mendirikan badan usaha danatau ikut serta dalam
suatu badan usaha. Dengan demikian, Yayasan harus merupakan manifestasi dari tujuan sosial, keagamaan, dan kemanusiaan yang diwujudkan dalam bentuk kegiatan
amal dan kedermawanan dari para Pendiri secara terorganisasi dan sistematis. Dalam konteks pemisahan harta kekayaan Yayasan dari harta kekayaan Pendiri
atau para Pendiri dimaksudkan untuk kegiatan amal charity dari Pendiri atau para Pendiri yang dapat dilakukan dalam berbagai bentuk pemisahan hartamodal pada saat
mendirikan Yayasan atau bantuan dari pihak lain misalnya dalam bentuk wakaf, hibah, hibah wasiat dan lain-lain terlebih-lebih dikatakan sebagai bentuk penggalangan dana
Universitas Sumatera Utara
amal secara mutakhir filantropisme. Kegiatan filantropisme ini melibatkan kegiatan amal yang berorientasi pada pembangunan masyarakat community development
secara profesional.
120
Pengelolaannya dilakukan secara sistematik dan profesional pula melalui lembaga-lembaga yang dirancang khusus untuk itu misalnya dalam bentuk
sebuah Yayasan yang saat ini hampir tidak diketahui jumlahnya secara pasti terkait dengan Yayasan yang belum menyesuaikan akta pendiriannya menurut UU
Yayasan.
121
Pembuatan akta pendirian Yayasan dibuat oleh Notaris menurut ketentuan Pasal 10 ayat 1 UU Yayasan yang dimohonkan oleh Pendiri melalui kuasanya.
Dalam hal Pasal 10 ayat 1 UU Yayasan ini khususnya menyangkut pengesahan perubahan akta pendirian Yayasan setelah berlakunya UU Yayasan, akan menjadi
persoalan ketika Pendirinya sudah meninggal dunia. Apabila dirujuk ketentuan Pasal 12 ayat 1 UU Yayasan, maka jika pendirinya sudah meninggal dunia, Penggurus lah
yang memohonkan pengesahan perubahan pendirian Yayasan tersebut kepada Menteri melalui Rapat Pembina sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 18 ayat 1 UU Yayasan.
Apabila diperhatikan pasal-pasal dalam UU yayasan, kewenangan Pendiri dalam prosedur pendirian Yayasan maupun perubahan akta pendirian Yayasan hanya sampai
pada batas permohonan pembuatan akta Notaris. Kemudian selanjutnya untuk kepengurusan Yayasan menjadi kewenangan Pengurus untuk mengelola harta
kekayaan yang dipisahkan tersebut untuk tujuan Yayasan.
120
http:anaksaleh.compintu-shodaqoh, diakses tanggal 20 Februari 2012.
121
Zaim Saidi, Filantropi dan Hukum di Asia, Jakarta: Ghalia, 1999, hal. 2.
Universitas Sumatera Utara
Tampak dari serangkaian prosedur tersebut di atas, bahwa organisasi semacam Yayasan termasuk dalam kategori filantropis karena sifat dasarnya untuk berbagai
kasih sayang sesama manusia melalui kegiatan amal. Karena sifat dasarnya tersebut, dalam konteks pemisahan harta kekayaan, maka Pendiri lah yang harus beramal
sedangkan dalam konteks pengelolaan atau pengurusan Yayasan, maka Pengurus lah yang harus beramal melalui kerja kerasnya mengelola Yayasan tanpa mencari
keuntungan ekonomis, secara sukarela membantu memberdayakan masyarakat.
122
Kegiatan ini dilakukan melalui pendekatan struktural, demokratis dan menjujung tinggi Hak Asasi Manusia serta menjalankan kewajiban sebagai warga negara yang
baik.
123
B. Pengabaian Ketentuan Sanksi Hukum Dalam UU Yayasan Terhadap Yayasan