Residu pupuk organik mendukung produksi dua varietas kedelai organik (Glycine max (l) merr) di lahan kering

(1)

RESIDU PUPUK ORGANIK MENDUKUNG PRODUKSI

DUA VARIETAS KEDELAI ORGANIK (

Glycine max

(L) Merr)

DI LAHAN KERING

Oleh

Tatied Elysa Herwanti

A24070114

DEPARTEMEN AGRONOMI DAN HORTIKULTURA

FAKULTAS PERTANIAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR


(2)

TATIED ELYSA HERWANTI. Residu Pupuk Organik Mendukung Produksi Dua Varietas Kedelai Organik (Glycine max (L) Merr) Di Lahan Kering (Dibimbing oleh MAYA MELATI).

Percobaan ini dilakukan untuk mengetahui pengaruh residu berbagai jenis pupuk organik (pupuk kandang ayam, Tithonia diversifolia Hemsl, dan Centrosema pubescens Benth) dengan menggunakan setengah dosis pupuk pada musim tanam sebelumnya terhadap produksi panen kering pada dua verietas kedelai (Anjasmoro dan Wilis) yang dibudidayakan secara organik. Percobaan dilakukan dari bulan Oktober 2010 sampai Februari 2011 di Kebun Percobaan Cikarawang, Dramaga, Bogor.

Percobaan menggunakan rancangan petak terbagi (split plot design), dengan dua faktor, dan tiga ulangan. Petak utama berupa jenis pupuk organik, yaitu pupuk kandang ayam (10 ton/ha), Tithonia diversifolia (1.75 ton/ha dengan penambahan pupuk kandang 5 ton/ha), dan Centrosema pubescens (1.75 ton/ha dengan penambahan pupuk kandang 5 ton/ha). Anak petak berupa dua varietas kedelai (Anjasmoro dan Wilis). Pupuk kandang ayam didapatkan dari sisa pada musim tanam sebelumnya yang disimpan pada gudang kebun, biomass Centrosema pubescens diperoleh dari budidaya di lahan di luar petak percobaan, dan Tithonia diversifolia diambil dari lahan di sekitar tempat penelitian.

Aplikasi Centrosema pubescens dan Tithonia diversifolia dilakukan 4 minggu sebelum tanam kedelai, sedangkan aplikasi pupuk kandang ayam dilakukan 2 minggu sebelum tanam kedelai. Aplikasi pupuk dilakukan pada alur yang sama dengan alur penanaman kedelai. Jarak tanam yang digunakan yaitu 40 cm x 10 cm dengan 1 benih/lubang. Penanaman tagetes dan serai pada penelitian ini dijadikan sebagai pengendali Organisme Pengganggu Tanaman (OPT). Penanaman tagetes dilakukan 3 minggu sebelum penanaman melalui bibit, dengan jarak tanam ± 50 cm yang ditanam di tengah-tengah antara dua anak petak pada petak utama. Serai tidak ditanam ulang pada penelitian ini, karena tanaman dari musim tanam pertama masih tumbuh baik.

Hasil sidik ragam menunjukkan bahwa tidak ada pengaruh nyata dari tiga jenis pupuk organik terhadap tinggi tanaman, jumlah daun 2-8 MST, bobot basah dan bobot kering komponen vegetatif kedelai (selain bintil akar). Jenis pupuk


(3)

organik berpengaruh sangat nyata pada intensitas serangan hama dan nyata pada intensitas keparahan penyakit, yaitu nilainya tertinggi pada tanaman yang mendapat pupuk kandang ayam dibandingkan dua jenis pupuk organik lainnya. Intensitas serangan hama pada tanaman yang mendapat pupuk kandang ayam, Tithonia diversifolia dan Centrosema pubescens berturut-turut adalah 17.51, 14.72, dan 15.17 %.

Jenis pupuk organik tidak berpengaruh nyata terhadap produktivitas kedelai. Potensi produktivitas tanaman yang mendapat pupuk kandang, Tithonia diversifolia dan Centrosema pubescens, berturut-turut adalah 2.13, 2.07,1.89 ton/ha. Hal ini sesuai dengan bobot 100 biji dan bobot kering biji dalam petak bersih (per 4.32 m2) tanaman yang mendapat pupuk kandang ayam lebih banyak di antara pupuk organik lainnya.

Varietas Anjasmoro memiliki morfologi lebih besar dibandingkan Wilis. Hal tersebut terbukti dari tinggi, bobot basah dan kering (daun, akar, dan bintil akar) Anjasmoro lebih besar dibandingkan Wilis. Varietas berbeda sangat nyata pada bobot 100 biji, jumlah polong isi; berbeda nyata pada jumlah buku produktif dan BK petak pinggir; dan berbeda tidak nyata pada BK biji tanaman contoh, petak bersih dan potensi produksi. Potensi produksi Anjasmoro juga lebih tinggi dibandingkan Wilis, masing-masing 2.13 dan 1.94 ton/ha.

Estimasi kadar hara NPK dalam tanah dan serapan hara pada tajuk dari pupuk kandang ayam tertinggi dibandingkan dua pupuk organik lainnya. Selain itu serapan hara NPK daun pupuk kandang ayam juga tertinggi di antara Tithonia diversifolia dan Centrosema pubescens. Serapan hara NPK daun dari varietas Anjamoro lebih tinggi dibandingkan Wilis.


(4)

Organic Manure Residues Supports The Production of Two Organic Soybeans Varieties in Dryfield

Tatied Elysa Herwanti1, Maya Melati2 1

Mahasiswa Departemen Agronomi dan Hortikultura, Fakultas Pertanian, IPB, A24070114 2

Staf Pengajar Departemen Agronomi dan Hortikultura, Fakultas Pertanian, IPB

Abstract

The experiments were conducted at IPB Research Station in Cikarawang, Darmaga,Bogor, from October 2010 to February 2011. The study was conducted to investigate the effect of residues of different organic manures on the production of soybean with 50% dosage in previous experiments. The manure rates were 10 ton chicken manure/ha, 1.75 ton Centrosema pubescens/ha and 1.75 ton Tithonia diversifolia/ha. All treatments were added with 5 ton chicken manure/ha, 1 ton rice husk charcoal/ha and 1 ton dolomite/ha. The experiment used two varieties of soybeans, i.e Anjasmoro and Wilis. This research used Split Plot design with three replication, the organic manure as the main plot and the soybeans varieties as the sub plot. The effect of three organic manure residues were significantly different in number of branch, number of nodule, and filled pod. Organic manure did not significantly affect in productivity of soybeans. The productivity of soybeans with chicken manure, Centrosema pubescens and Tithonia diversifolia were 2.13,1.99 and 2.07 ton/ha. Productivity in the second season was higher than that of first season, it incrased about 83.96%. Varieties were significantly different in filled pod number, 100 seeds weight. The productivity of Anjasmoro was higher than Wilis, they were 2.13 and 1.94 ton/ha, respectively.


(5)

RESIDU PUPUK ORGANIK MENDUKUNG PRODUKSI DUA

VARIETAS KEDELAI ORGANIK (

Glycine max

(L.) Merr)

DI LAHAN KERING

Skripsi sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Pertanian pada Fakultas Pertanian Institut Pertanian Bogor

TATIED ELYSA HERWANTI

A24070114

DEPARTEMEN AGRONOMI DAN HORTIKULTURA

FAKULTAS PERTANIAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

2011


(6)

Judul : RESIDU PUPUK ORGANIK MENDUKUNG PRODUKSI DUA VARIETAS KEDELAI ORGANIK (Glycine max (L) Merr) DI LAHAN KERING

Nama : TATIED ELYSA HERWANTI

NIM : A24070114

Menyetujui, Dosen Pembimbing

Dr. Ir. Maya Melati, MS, MSc NIP: 19640128 199103 2 001

Mengetahui,

Ketua Departemen Agronomi dan Hortikultura Fakultas Pertanian Institut Pertanian Bogor

Dr .Ir. Agus Purwito, M.Sc.Agr NIP: 19611101 198703 1 003


(7)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Grobogan, 29 September 1989. Penulis merupakan anak ke dua dari dua bersaudara pasangan Bapak Slamet dan Endah Sri Rejeki.

Riwayat pendidikan penulis dimulai pada tahun 1993-1995 di TK Dharmawanita 3 Krangganharjo, Toroh, Grobogan. Penulis melanjutkan pendidikan di SDN 3 Krangganharjo, Toroh, Grobogan pada tahun 1995-2001, SLPTN 1 Purwodadi pada tahun 2001-2004 dan SMAN 1 Purwodadi, Grobogan pada tahun 2004-2007. Penulis diterima di Departemen Agronomi dan Hortikultura, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor melalui jalur Undangan Seleksi Masuk Mahasiswa IPB (USMI) pada tahun 2007.

Selama di Institut Pertanian Bogor, penulis mengikuti kepanitian BEM Keluarga Mahasiswa (KM) IPB (2007/2008), anggota Dewan Perwakilan Mahasiswa (2008/2009), koordinator divisi HRD Agrifarma IPB (2007-2009), dan aktif dalam Program Kreativitas Mahasiswa (PKM) dari Dikti. Program Kreativitas Mahasiswa bidang Penelitian (PKMP)” Pengaruh Aplikasi Foliar Metanol terhadap Peningkatan Pertumbuhan Vegetatif dan Generatif Tanaman Cabai (Capsicum annum L) (2008). Program Kreativitas εahasiswa bidang Kewirausahaan (PKεK) “Kreasi εiniatur Taman dalam Lampu Hias (Sin Ta Lahs) sebagai Alternatif Dunia Suvenir yang Potensial” (2009). Program Kreativitas εahasiswa bidang Kemasyarakatan (PKεε) “εeningkatkan Peran Akademis dalam Mengkampanyekan Perluasan Ruang Hijau melalui Taman Sayur Vertikultur” (2010). PKεK “εpek-Mpek Sayuran MPERAN Berbahan Ubi Jalar (Ipomea batatas) sebagai Kudapan Cepat Saji, Praktis, Sehat, dan Ekonomis Ala Kuliner Dalam Negeri”(2010). Program Kreativitas Mahasiswa bidang Gagasan Tertulis (PKMGT) “Pengolahan Air δimbah Rumah Tangga (Grey Water) dengan Sistem Biofilter untuk Ecotech Farm”(2010). PKεP “Pengoptimalan Ketersediaan Fosfor dengan Penggunaan PGPR terhadap Peningkatan Produksi Pepaya (Carica papaya)” (2010-2011). PKεK ”Nasi Jagung Bakar Ayam Pencok sebagai Sajian Baru untuk Pengembangan Diversifikasi Pangan dalam Rangka εelestarikan Kuliner Jawa Tengah” (2010-2011).


(8)

KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa yang telah memberikan kekuatan, rahmat dan karunia-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan penelitian ini yang berjudul “Residu Pupuk Organik Mendukung Produksi Dua Varietas Kedelai (Glycine Max(L) Merr) Di Lahan Kering”. Penelitian ini sebagian besar didanai melalui program I-MHERE B.2.C IPB tahun 2009-2011 dengan judul “Good Agricultural Practices (GAP) of Rice and Soybean Production under Organic Farming System” yang diterima oleh Dr. Ir. Maya Melati, MS, MSc

Pada kesempatan kali ini penulis mengucapkan terima kasih kepada : 1. Dr. Ir. Maya Melati, M.S, M.Sc. selaku pembimbing skripsi yang telah

memberikan masukan dan saran untuk pelaksanaan penelitian.

2. Dr. Ir. Suwarto, MSi dan Ir. Sofyan Zaman, MP. selaku dosen penguji. 3. Dr. Desta Wirnas, selaku dosen pembimbing akademik.

4. Seluruh staf pengajar Departemen Agronomi dan Hortikultura atas ilmu dan bimbingan selama perkuliahan di Institut Pertanian Bogor.

5. Bapak dan Ibu beserta seluruh keluarga besar yang selalu mendukung dalam segala aktivitas penulis.

6. Rizkiana Anggayuhlin, Trianne Novriska, Annita Arraafi, dan Indah Retnowati yang senantiasa memberi motivasi.

7. Teman-teman AGH 44, Tim Organik (Pak Baso, Bu Ema, Ka Risa, Mery, Kajum), dan Pak Sarta yang telah memberikan motivasi dan masukan.

8. Teman-teman kost Ukhwah dan Jayawijaya yang senantiasa senasib dan sepenanggungan.

9. Keluarga Purwodadi (PERMADI) yang selalu memberi warna baru.

10. Keluarga Karya Salemba Empat (KSE) yang senantiasa memberikan dampingannya.

11. Semua pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu per satu. Terimakasih atas bantuan dan kerjasamanya.


(9)

Semoga hasil penelitian ini dapat memberikan manfaat dan ilmu pengetahuan kepada pihak-pihak yang memerlukan.

Bogor, September 2011


(10)

Halaman PENDAHULUAN

Latar Belakang ... 1

Tujuan ... 3

Hipotesis ... 3

TINJAUAN PUSTAKA Botani Kedelai ... 4

Syarat Tumbuh Kedelai ... 5

Hama dan Penyakit ... 6

Deskripsi Varietas Kedelai ... 7

Kedelai Organik ... 8

BAHAN DAN METODE Tempat dan Waktu Penelitian ... 14

Bahan dan Alat ... 14

Metode Penelitian ... 14

Pelaksanaan Penelitian ... 15

HASIL DAN PEMBAHASAN Kondisi Umum ... 20

Hasil ... 30

Pembahasan ... 43

KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan ... 50

Saran ... 50

DAFTAR PUSTAKA ... 51


(11)

DAFTAR TABEL

Nomor Halaman

1. Kandungan Hara dari Pupuk Kandang padat atau Segar ... 10

2. Perbandingan Perlakuan Dosis Pupuk Organik dan Varietas pada Musim Tanam 1 dan Musim Tanam 2 ... 16

3. Intensitas Serangan Hama dan Keparahan Penyakit ... 18

4. Kandungan Hara dalam Tiga Jenis Pupuk Organik (Centrosema pubescens, Pupuk Kandang Ayam, dan Tithonia diversifolia ... 24

5. Sumbangan Unsur Hara Tiga Jenis Pupuk Organik per Hektar ... 26

6. Perbandingan Hasil Analisis Hara setelah Musim Tanam (MT)1 dan Musim Tanam (MT) 2... 27

7. Rekapitulasi Hasil Sidik Ragam Komponen Pertumbuhan dan Produksi Kedelai pada Tiga Perlakuan Jenis Pupuk Organik serta Varietas ... 30

8. Komponen Pertumbuhan Kedelai pada Perlakuan Tiga Jenis Pupuk Organik... 32

9. Komponen Pertumbuhan Kedelai pada Perlakuan Varietas ... 35

10.Estimasi Ketersediaan Hara dan Serapan ... 37

11.Komponen Produksi Kedelai pada Perlakuan Jenis Pupuk Organik ... 38

12.Komponen Produksi Kedelai pada Perlakuan Dua Varietas Kedelai ... 40

13.Perbandingan Potensi Produksi pada Musim Tanam 1 dan 2 pada Tiga Jenis Pupuk Organik dan dua Varietas Kedelai ... 41


(12)

DAFTAR GAMBAR

Nomor Halaman 1. Kondisi Cuaca selama Percobaan yaitu Curah Hujan (a), Intensitas

Sinar Matahari (b), dan Kecepatan Angin (c) ... 21


(13)

DAFTAR LAMPIRAN

Nomor Halaman

1. Data Cuaca MT 1 dan MT 2 ... 56

2. Hubungan Korelasi Antar Peubah terhadap Komponen Hasil Kedelai ... 56

3. Kriteria Penilaian Hasil Analisis Tanah ... 57

4. Deskripsi Kedelai Varietas Anjasmoro dan Wilis ... 58

5. Layout Petak Percobaan ... 59

6. Jenis Organisme Pengganggu Tanaman selama Budidaya ... 60

7. Kondisi Tanaman Kedelai pada 7 MST ... 61


(14)

Latar Belakang

Kedelai merupakan salah satu komoditas pangan utama di Indonesia.

Kebutuhan kedelai rata-rata Indonesia sekitar 2.20 juta ton/tahun, sedangkan produksi kedelai dalam negeri hanya mampu mencukupi 35-40 % dari jumlah tersebut, sehingga 60-65 % dipenuhi dari impor (Marwoto dan Suharsono, 2008). Kedelai banyak digunakan masyarakat Indonesia dalam berbagai pemenuhan kebutuhan dalam bentuk olahan (protein kedelai) dan minyak kedelai. Biji kedelai kaya protein (35-42 %), lemak (18-32 %), karbohidrat (12-30 %), air (7 %), vitamin (asam fitat) dan lesitin. Produk olahan dalam bentuk protein kedelai yang dikenal masyarakat dan digunakan sebagai bahan industri makanan yaitu susu, vetsin, kue-kue, permen dan daging nabati. Kedelai juga dapat digunakan sebagai bahan industri bukan makanan, seperti : kertas, cat cair, tinta cetak, dan tekstil. Industri makanan dari minyak kedelai yang digunakan sebagai bahan industri makanan berbentuk gliserida sebagai bahan untuk pembuatan minyak goreng, margarin, dan bahan lemak lainnya. Kedelai dalam bentuk lecithin diolah menjadi produk margarin, kue, tinta, kosmetik, insektisida dan farmasi (Ristek, 2010).

Perkembangan produksi kedelai Indonesia sejak tahun 2007 mengalami kenaikan. Berdasarkan data dari Badan Pusat Statiska (2009), produksi kedelai tahun 2009 sebesar 974 512 ton kering atau naik 198.80 ribu ton (25.63 %) dari tahun 2008. Kenaikan ini berbanding lurus dengan naiknya luas panen dan produktivitas. Produktivitas kedelai nasional pada tahun 2008 sebesar 13.13 ku/ha dan tahun 2009 meningkat menjadi 13.48 ku/ha. Luas panen kedelai tahun 2008 sebesar 590 956 ha dan 722 791 ha pada tahun 2009. Tahun 2009 luas panen meningkat seluas 131.84 ribu ha (22.31 %) (BPS, 2009). Menurut Komalasari (2008), luas panen kedelai di Indonesia pada periode 1970-2008 cenderung berfluktuasi dengan rata-rata pertumbuhan sebesar 0.59 % per tahun. Selain itu tahun 2009 adanya peningkatan produktivitas sebesar 0.35 kuintal/ ha (0.03 %).


(15)

2 berfluktuasi dengan rata-rata pertumbuhan sebesar 0.59 % per tahun. Selain itu tahun 2009 adanya peningkatan produktivitas sebesar 0.35 kuintal/ha.

Budidaya kedelai organik mempunyai prospek ke depan yang baik. Adanya lahan yang belum termanfaatkan (49.8 juta ha) dan kekayaan sumberdaya hayati merupakan modal dalam pengembangan pertanian organik Indonesia (Deptan, 2002). Barus (2005); Melati dan Andriyani (2005); Sinaga (2005); Kurniasih (2006); Melati et al. (2008) menunjukkan bahwa penggunaan pupuk kandang dan pupuk hijau (juga) dapat memenuhi kebutuhan hara untuk produksi kedelai sayur secara organik.

Penggunaan pupuk organik seperti pupuk kandang, pupuk hijau dan limbah panen dapat memperbaiki sifat-sifat tanah, disamping mengurangi penggunaan pupuk N, P dan K kimia sintetis dan meningkatkan efisiensinya Karama (1990) dalam Kariada dan Aribawa (2004). Pupuk organik adalah pupuk yang berasal dari bahan-bahan organik seperti pangkasan daun tanaman, kotoran ternak, sisa tanaman, dan sampah organik yang telah dikomposkan (Balittan, 2004). Sumber bahan organik, antara lain pupuk kandang ayam, pupuk hijau (Centrosema pubescens dan Tithonia difersifolia). Kandungan pupuk kandang ayam, antara lain kadar air 57 %, bahan organik 29 %, N 1.5 %, P2O5 1.3 %, K2O 0.8 %, CaO 4.0 % dan rasio C/N sebesar 9 (Hartatik dan Widowati, 2005). Tithonia difersifolia mengandung 3.50 % nitrogen, 0.37 % fosfor, dan 4.10 % kalium (Hartatik, 2007). Centrosema pubescens mengandung 3.49 % N, 0.36 % P, 1.05 % K (Melati et al., 2008).

Berbagai upaya telah dilakukan pemerintah untuk mencapai swasembada pangan. Salah satunya yaitu meningkatkan efisiensi faktor produksi (Simatupang et al., 2000). Peningkatan mutu intensifikasi, dengan menerapkan teknologi pemupukan yang tepat dan efisien. Efisiensi faktor produksi dapat ditingkatkan melalui pemanfaatan residu pupuk dalam sistem rotasi pertanaman (Makarim et al., 2003 dalam Kariada dan Aribawa, 2004).

Pemanfaatan residu pupuk organik pada musim tanam sebelumnya dapat meningkatkan produktivitas tanaman. Penelitian Melati et al. (2008) menunjukkan bahwa pupuk organik, kombinasi dan residunya dapat digunakan untuk memenuhi kebutuhan hara tanah untuk produksi kedelai panen muda. Sutriadi et al. (2005)


(16)

menunjukkan peran residu pupuk organik pada jagung bahwa dengan aplikasi pupuk kandang ayam sebesar 2 ton/ha meningkatkan produksi jagung sebanyak 6 % pada musim pertama sedangkan pada musim kedua sebesar 40 %.

Pupuk organik memiliki sifat yang kurang mudah tersedia untuk tanaman dibandingkan dengan pupuk anorganik. Teknologi yang tepat dalam memanfaatkan residunya dapat mengoptimalkan produksi tanaman. Adanya hasil penelitian sebelumnya yang melaporkan tentang keberhasilan dalam memproduksi kedelai sayur organik mendorong peneliti untuk mengetahui produksi kedelai biji kering pada musim tanam dua. Penelitian ini merupakan lanjutan dari Kurniansyah (2010) dengan dosis yang digunakan untuk percobaan lanjutan adalah setengah dari sebelumya. Dua varietas kedelai digunakan dalam percobaan untuk mempelajari respon kedelai berbiji besar dan biji sedang.

Tujuan

Tujuan dari penelitian ini yaitu

1. Mempelajari pengaruh residu berbagai jenis pupuk organik. 2. Mempelajari respon varietas terhadap budidaya organik

3. Mempelajari pengaruh kombinasi antara pupuk organik dan varietas dalam produksi kedelai.

Hipotesis

Hipotesis yang diajukan pada penelitian ini, antara lain :

1. Terdapat residu jenis pupuk organik tertentu untuk produksi kedelai organik tertinggi.

2. Terdapat varietas yang berproduksi lebih tinggi.

3. Terdapat kombinasi terbaik antara varietas dan pupuk organik tertentu dalam budidaya kedelai secara organik.


(17)

TINJAUAN PUSTAKA

Botani Kedelai

Tanaman kedelai umumnya tumbuh tegak, berbentuk semak, dan merupakan jenis tanaman semusim. Klasifikasi tanaman kedelai menurut Ristek (2010) sebagai berikut :

Divisi : Spermatophyta Classis : Dicotyledoneae Ordo : Rosales

Familia : Papilionaceae Genus : Glycine

Species : Glycine max (L.) Merill

Morfologi tanaman kedelai terdiri dari akar, batang, cabang, daun, bunga, dan polong. Kedelai mempunyai sistem perakaran terdiri dari akar tunggang, akar sekunder (serabut), dan akar adventif yang tumbuh dari bagian bawah hipokotil. Pertumbuhan batang kedelai dibedakan menjadi dua macam, yaitu tipe determinate dan indeterminate. Selain itu terdapat jenis yang lain yaitu semi determinate atau semi indeterminate. Tipe determinate, pertumbuhan vegetatif berhenti setelah fase berbunga, batang normal dan tidak melilit. Tipe indeterminate, pertumbuhan vegetatif berlanjut setelah berbunga dan batang melilit. Tipe pertumbuhan kedelai lainnya yaitu semi determinate atau semi indeterminate(Adie dan Krisnawati, 2007).

Kedelai memiliki daun berwarna hijau berbentuk bulat (oval), yang mempunyai bulu. Panjang bulu bisa mencapai 1 mm dan lebar 0,0025 mm, serta kepadatan bulu berkisar 3-20 buah/mm. Lebat-tipisnya bulu pada daun kedelai berkait dengan tingkat toleransi varietas kedelai terhadap serangan jenis hama tertentu (misalnya hama penggerek batang). Contoh varietas yang berbulu lebat yaitu IAC 100, sedangkan varietas yang berbulu jarang yaitu Wilis, Dieng, Anjasmoro, dan Mahameru (Irwan, 2006).

Fase reproduktif kedelai ditandai saat tunas aksilar berkembang menjadi kelompok bunga dengan 2 hingga 35 kuntum dalam setiap kelompok. Periode berbunga dipercepat dengan kondisi suhu hangat. Bunga pertama kali muncul


(18)

pada buku ke lima atau ke enam dan atau buku di atasnya. Bunga muncul ke arah ujung batang utama atau ujung cabang. Tingkat keguguran bunga mencapai 20-80%. Adanya kecenderungan, varietas dengan jumlah bunga banyak pada per buku memiliki presentasi keguguran bunga lebih tinggi daripada yang berbunga lebih sedikit. Jumlah bunga kedelai di Indonesia dari 20 varietas berkisar antara 45-75 buah (rata-rata 57 bunga). Kedelai varietas Wilis memiliki jumlah bunga 6% lebih banyak dibandingkan Anjasmoro (Adie dan Krisnawati, 2007).

Setiap biji kedelai mempunyai ukuran bervariasi. Pengelompokan ukuran biji di Indonesia, yaitu biji berukuran kecil (<10 g/100 biji), sedang (10-14 g/100 biji), dan besar (>14 g/100 biji). Biji juga dikategorikan berdasarkan bentuk tampilannya, antara lain bulat hingga lonjong (Adie dan Krisnawati, 2007).

Kedelai dapat dipanen sekitar umur 75-110 hari, tergantung pada varietas dan ketinggian tempat. Ciri-ciri kedelai siap panen, antara lain daun tua atau berwarna kuning buah mulai berubah warna dari hijau menjadi kuning kecoklatan dan retak-retak atau polong sudah kelihatan tua, batang berwarna kuning agak coklat (Deptan, 2010).

Syarat Tumbuh Kedelai Iklim

Tanaman kedelai cocok ditanam di daerah tropis dan subtropis. Iklim kering lebih disukai tanaman kedelai dibandingkan iklim lembab. Curah hujan 100-400 mm/bulan dan pertumbuhan optimal pada curah hujan 100-200 mm/bulan. Suhu yang dikehendaki tanaman kedelai 21-34 ºC, suhu optimum 23-27 ºC. Pada proses perkecambahan benih kedelai memerlukan suhu sekitar 30 ºC (Ristek, 2010). Produktivitas menurun jika pada saat fase generatif tanaman kedelai, suhu lingkungan mencapai 40 ºC, hal tersebut menyebabkan bunga rontok akibatnya jumlah biji polong dan kedelai menurun (Irwan, 2006).

Media tanam

Kedelai dapat tumbuh baik pada berbagai jenis tanah (alluvial, regosol, grumosol, latosol, dan andasol) dengan drainase, aerasi tanah cukup baik, dan cukup bahan organik (Ristek, 2010). Toleransi keasaman tanah untuk syarat


(19)

6 tumbuh kedelai yaitu pH 5.8-7.0. Jika pH tanah kurang dari 5.5 akan menghambat pertumbuhan karena keracunan aluminium. Selain itu juga akan menghambat bakteri bintil dan proses nitrifikasi (proses oksidasi amoniak menjadi nitrit atau proses pembusukan). Ketinggian tempat yang sesuai untuk varietas kedelai berbiji kecil cocok adalah ketinggian 0.5-300 m dpl, sedangkan untuk varietas kedelai berbiji besar cocok ditanam di lahan ketinggian 300-500 m dpl (Ristek, 2010).

Hama dan Penyakit

Hama utama kedelai adalah lalat bibit (Agrozyma sp), penggerek polong (Etiella zickenella) dan pengisap polong (Nezara viridula) (Deptan, 2010). Jenis-jenis hama dan penyakit yang sering menggagu tanaman kedelai menurut Irwan (2006), antara lain :

1. Aphis spp. (Aphis glycine)

Kutu dewasa ukuran kecil 1-1.5 mm berwarna hitam, ada yang bersayap dan tidak. Kutu ini dapat dapat menularkan virus SMV (Soybean Mosaik Virus). Menyerang pada awal pertumbuhan dan masa pertumbuhan bunga dan polong. Gejala : layu, pertumbuhannya terhambat.

2. Ulat polong (Etiela zinchenella)

Ulat yang berasal dari kupu-kupu ini bertelur di bawah daun buah, setelah menetas, ulat masuk ke dalam buah sampai besar, memakan buah muda. Gejalanya pada buah terdapat lubang kecil. Waktu buah masih hijau, polong bagian luar berubah warna, di dalam polong terdapat ulat gemuk hijau dan kotorannya.

3. Ulat grayak (Prodenia litura)

Serangan: mendadak dan dalam jumlah besar, bermula dari kupu-kupu berwarna keabu-abuan, panjang 2 cm dan sayapnya 3-5 cm, bertelur di permukaan daun. Tiap kelompok telur terdiri dari 350 butir. Gejala : kerusakan pada daun, ulat hidup bergerombol, memakan daun, dan berpencar mencari rumpun lain. 4. Penyakit anthraknosa (Cendawan Colletotrichum glycine Mori)

Penyakit ini menyerang daun dan polong yang telah tua. Penularan dengan perantaraan biji-biji yang telah kena penyakit, lebih parah jika cuaca cukup lembab. Gejala: daun dan polong bintik-bintik kecil berwarna hitam, daun yang


(20)

paling rendah rontok, polong muda yang terserang hama menjadi kosong dan isi polong tua menjadi kerdil.

5. Penyakit karat (Cendawan Phachyrizi phakospora)

Penyakit ini menyerang daun. Penularan dengan perantaraan angin yang menerbangkan dan menyebarkan spora. Gejala: daun tampak bercak dan bintik cokelat.

6. Virus mosaik (virus)

Penyakit ini menyerang daun dan tunas. Penularan vektor penyebar virus ini adalah Aphis glycine (sejenis kutu daun). Gejala: perkembangan dan pertumbuhan lambat, tanaman menjadi kerdil.

Deskripsi Varietas Kedelai Varietas Wilis

Varietas Wilis dilepas pada tahun 1983 dengan umur masak 85 hari, kadar protein 37%, kadar minyak 18%, dan potensi hasil 1.60 ton/ha (Suhartina, 2003 dalam Irwan, 2006). Balitkabi (2008) mendeskripsikan bahwa varietas Wilis memiliki warna hipokotil, warna batang hijau, warna daun hijau, warna bulu coklat tua, warna bunga unggu, warna polong masak cokelat kehitaman, warna kulit biji kuning, warna hilum cokelat tua. Tipe pertumbuhan determinate, tinggi tanaman 40-50 cm, jumlah cabang 2.9-5.6. Umur berbunga 39 hari. Berat 100 biji 10.0 g. Tahan rebah, agak tahan karat daun dan virus.

Varietas Anjasmoro

Varietas Anjasmoro dilepas pada tahun 2001, dengan umur masak 88 hari, kadar protein 42.1 %, kadar minyak 18.6 %, dan potensi hasil 2.25 ton/ha (Suhartina, 2003 dalam Irwan, 2006). Puslitbangtan (2010) mendeskripsikan bahwa varietas Anjasmoro memiliki nama galur MANSURIA 395-49-4, dengan warna hipokotil dan epikotil ungu, warna daun hijau, warna bulu putih, warna bunga unggu, warna polong masak cokelat muda, warna kulit biji kuning, warna hilum kuning kecoklatan. Tipe pertumbuhan determinate, bentuk daun oval, ukuran daun lebar, perkecambahan 76-78 %, tinggi tanaman 64-68 cm, jumlah cabang 2.9-5.6. Jumlah buku pada batang utama 12.9-14.8, Umur berbunga


(21)

35.7-8 39.4 hari. Berat 100 biji 14.8-15.3 g. Tahan rebah, toleransi karat daun sedang, dan ketahanan pecah polong.

Kedelai Organik Pertanian Organik

Pertanian organik adalah sistem produksi pertanian yang holistik dan terpadu, dengan cara mengoptimalkan kesehatan dan produktivitas agroekosistem secara alami, sehingga menghasilkan pangan berkualitas dan berkelanjutan (Balitan, 2004). Ditambahkan Blake (1994) bahwa sistem pertanian organik adalah sistem pertanian dengan input atau masukan eksternal yang rendah, tetapi input internal tersebut optimum.

Kriteria lahan yang digunakan untuk produksi pertanian organik harus bebas dari bahan kimia sintetis (pupuk dan pestisida). Jenis lahan dalam kriteria tersebut antara lain lahan pertanian yang baru dibuka atau lahan pertanian intensif yang telah dikonversi menjadi lahan pertanian organik. Lama masa konversi tergantung sejarah penggunaan lahan, pupuk, pestisida, dan jenis tanaman (Balitan, 2004). Delate (2004) menjelaskan bahwa diperlukan tiga musim penanaman kedelai secara intensif untuk lahan yang sebelumnya digunakan budidaya konvensional agar memenuhi kriteria pertanian organik.

Pupuk Organik

Pupuk organik adalah pupuk yang berasal dari bahan-bahan organik seperti pangkasan daun tanaman, kotoran ternak, sisa tanaman, dan sampah organik yang telah dikomposkan (Balittan, 2004). Pupuk organik bersifat bulky dengan kandungan hara makro dan mikro rendah sehingga perlu diberikan dalam jumlah banyak.

Terdapat 13 unsur hara yang dibutuhkan tanaman, baik unsur hara makro maupun unsur hara mikro. Unsur hara makro adalah unsur yang dibutuhkan tanaman dalam jumlah banyak, jenisnya antara lain nitrogen, fosfor, kalium, kalsium, magnesium, dan belerang. Hal yang berbeda untuk jenis unsur hara besi, mangan, tembaga, seng, boron, molibdenum, dan klor, unsur-unsur tersebut


(22)

digunakan tanaman dalam jumlah sedikit oleh tanaman sehingga disebut unsur hara mikro (Soepardi, 1983). Nitrogen merupakan penyusun protein dan enzim, nitrogen juga terkandung dalam klorofil, hormon sitokinin, serta auksin. Unsur hara fosfor (P) berperan dalam reaksi-reaksi fase gelap fotosintesis, respirasi, dan merupakan bagian dari nukleotida (RNA dan DNA) dan fosfolipida penyusun membran. Sulfur di dalam tanaman merupakan penyusun amino sistein dan methionin. Kalium (K) berperan sebagai aktivator berbagai enzim (fotosintesis, respirasi, sintesis protein dan pati) serta dalam pengaturan turgor sel pada proses membuka dan menutupnya stomata (Lakitan, 1993). Ditambahkan oleh Leiwakabessy et al., (2003) bahwa N, P, dan S merupakan unsur-unsur penyusun protein ataupun protoplasma.

Manfaatutama pupuk organik adalah dapat memperbaiki kesuburan kimia, fisik dan biologis tanah, selain sebagai sumber hara bagi tanaman. Pupuk organik dimanfaatkan tanaman dalam bentuk bahan organik hasil dekomposisi mikroorganisme dalam tanah (Balittan, 2005). Sumber bahan organik dapat berupa kompos, pupuk hijau, pupuk kandang, sisa panen (jerami, brangkasan, tongkol jagung, bagas tebu, dan sabut kelapa), limbah ternak, limbah industri yang menggunakan bahan pertanian, dan limbah kota (Balittan, 2006).

Bahan organik berfungsi sebagai “pengikat” butiran primer tanah menjadi

butiran sekunder dalam pembentukan agregat yang mantap. Keadaan ini berpengaruh besar pada porositas, penyimpanan dan penyediaan air serta aerasi dan temperatur tanah (Balittan, 2005). Hasil-hasil penelitian menunjukkan bahwa penggunaan pupuk organik seperti pupuk kandang, pupuk hijau dan limbah panen dapat dapat memperbaiki sifat-sifat tanah, disamping mengurangi penggunaan pupuk N, P dan K dan meningkatkan efisiensinya (Karama, 1990 dalam Kariada dan Aribawa, 2004).

Pupuk hijau merupakan tanaman atau bagian-bagian tanaman yang masih muda terutama yang termasuk famili leguminosa, yang dibenamkan ke dalam tanah dengan maksud agar meningkatkan tersediannya bahan-bahan organik dan unsur-unsur hara bagi pertumbuhan dan perkembangan tanaman yang diusahakan (Sutedjo, 2002). Penelitian tentang penggunaan jenis pupuk hijau untuk produksi


(23)

10 kedelai sayur organik dilakukan antara lain oleh Andriyani (2005), Kurniasih (2006), Melati et al. (2008), dan Kurniansyah (2010).

Pemberian pupuk kandang selain dapat menambah tersedianya unsur hara, juga dapat memperbaiki sifat fisik tanah. Beberapa sifat fisik tanah yang dapat dipengaruhi pupuk kandang antara lain kemantapan agregat, bobot volume, total ruang pori, plastisitas dan daya pegang air (Soepardi, 1983). Pupuk kandang adalah semua produk buangan dari binatang peliharaan yang digunakan untuk menambah hara, memperbaiki sifat fisik dan biologi tanah (Hartatik dan Widiowati, 2005).

Komposisi Hara Pupuk Organik 1. Pupuk Kandang Ayam

Keunggulan yang dimiliki pupuk kandang ayam, antara lain pupuk kandang ayam memiliki C/N rasio rendah dibandingkan dengan lainnya, sehingga mudah terdekomposisi, selain itu pupuk kandang ayam memiliki kandungan unsur hara lebih banyak dibandingkan pupuk kandang lainnya dalam jumlah unit yang sama (Hartatik dan Widowati, 2005). Kandungan pupuk kandang ayam, antara lain kadar air 57 %, bahan organik 29 %, N 1.5 %, P2O5 1.3 %, K2O 0.8 %, CaO 4.0 % dan rasio C/N sebesar 9 (Hartatik dan Widowati, 2005).

Tabel 1. Kandungan Hara dari Pupuk Kandang Padat atau Segar

Sumber Pupuk Kandang

Kadar Air (%) Bahan Organik (%) N (%)

P2O5

(%)

K2O

(%)

CaO (%)

Rasio C/N

Sapi 80 16 0.3 0.2 0.15 0.2 20-25

Kambing 64 31 0.7 0.4 0.25 0.4 20-25

Ayam 57 29 1.5 1.3 0.8 4.0 9-11

Sumber : Pinus Lingga (1991) dalam Hartatik dan Widowati (2005).

Kandungan hara yang terkandung dalam pupuk kandang ayam cukup optimal memenuhi kebutuhan hara dan meningkatkan produksi kedelai. Barus (2005); Melati dan Andriyani (2005); Sinaga (2005); Kurniasih (2006) menunjukkan bahwa produksi kedelai sayur dengan perlakuan pupuk kandang ayam lebih tinggi dibandingkan yang mendapat pupuk kandang kambing atau


(24)

pupuk hijau. Sinaga (2005) juga menunjukkan bahwa dengan pemberian pupuk kandang ayam 20 ton/ha meningkatkan jumlah polong isi/tanaman lebih besar 329 % dan 86 % berturut-turut lebih tingggi dibandingkan dengan pemberian Calopogonium mucunoides dan Centrosema pubescens.

Kadar P dalam pupuk kandang ayam memiliki jumlah lebih tinggi 225 % dibandingkan pupuk kandang kambing dan 550 % lebih banyak daripada pupuk

kandang sapi (Lingga, 1991 dalam Hartatik dan Widowati, 2005). Melati et al. (2008) menunjukkan bahwa pemberian pupuk kandang ayam dapat

meningkatkan ketersediaan P dalam tanah dan daun. Pada penelitian tersebut pemberiaan pupuk kandang ayam dengan dosis 15 ton pupuk kandang ayam/ha dapat meningkatkan produksi 4 kali lebih banyak dibandingkan tanaman tanpa mendapatkan pupuk kandang.

2. Centrosema pubescens

Centrosema pubescens merupakan terna tahunan berkayu. Daun beranak tiga; tiap anak daun berbentuk elips, bulat telur-memanjang atau bulat telur-lanset, panjang 1-7 cm dan lebar 0.5-4.5 cm, dasar daun membulat, ujung daun meruncing tajam, daun berwarna hijau tua, berambut; panjang tangkai daun 5.5 cm. Bunga dapat melakukan fertilisasi sendiri walau belum mekar (cleistogamous), muncul dari tandan aksiler, tiap tandan mendukung 3 - 5 bunga, terdapat 2 daun tangkai; daun kelopak berbentuk lonceng, berukuran 1.5-3 mm. Buah kering polong, panjang 4-17 cm dan lebar 6-7 mm, pipih, ujung buah meruncing, mengandung hingga 20 biji. Biji berbentuk kecil memanjang, berukuran panjang 4-5 mm dan lebar 3-4 mm x 2 mm, berwarna coklat kehitaman (Prohati, 2010).

Pupuk hijau lebih berpengaruh pada fase vegetatif dibandingkan dengan generatif. Hal tersebut diduga karena tingginya kadar N dan rendahnya kadar hara P dan K pada pupuk hijau dibandingkan dengan pupuk kandang (Barus, 2005; Melati dan Andriyani, 2005, dan Sinaga, 2005). Hal ini ditunjukkan dengan hasil analisis kandungan hara dalam Centrosema pubescens, yaitu 3.49 % N, 0.36 % P, 1.05 % K (Barus, 2005; Kurniasih, 2006).


(25)

12

3. Tithonia diversifolia

Tithonia diversifolia adalah tumbuhan semak family Asteraceae yang diduga berasal dari Meksiko. Tanaman ini dikenal sebagai gulma tahunan yang banyak tumbuh sebagai semak di pinggir jalan, tebing, dan sekitar lahan pertanian. Morfologi tanaman ini agak besar, bercabang sangat banyak, berbatang lembut dan tumbuh sangat cepat (Jama et al., 2000). Ditambahkan oleh Hartatik (2007) bahwa Tithonia difersifolia dapat tumbuh pada jenis tanah yang kurang subur dan mudah dikembangbiakkan secara vegetatif dan generatif.

Tithonia diversifolia berpotensi sebagai sumber hara. Daun kering Tithonia diversifolia mengandung 3.50 % N, 0.37 % P, dan 4.10 % K. Selain itu Tithonia diversifolia juga dapat meningkatkan pH tanah, menurunkan Al-dd serta kandungan P, Ca, dan Mg tanah (Hartatik, 2007). Tithonia diversifolia di Kenya menghasilkan bahan kering sekitar 1 kg/m2/tahun dengan penanaman yang sebagai pagar dari dari petak-petak kebun. Oleh karena itu jika ditanam sepanjang pagar 1.000 m/ha diakumulasi sekitar 35 kg N, 4 kg P dan 40 kg K, sehingga jika ditanam pada 1/3 lahan per hektar dapat dihasilkan 90 kg N, 10 kg P dan 108 kg K (Ng‟injaet al., 1998).

Kandungan hara pada Tithonia diversifolia memenuhi kebutuhan hara tanaman selama pertumbuhan. Jama et al. (1999) menjelaskan bahwa tanaman jagung yang dipupuk Tithonia diversifolia setara dengan 60 kg N/ha dapat menghasilkan pipilan jagung kering 4 ton/ ha sedangkan yang dipupuk dengan urea 60 kg N/ha hanya 3.7 ton/ha. Kurniansyah (2010) juga menjelaskan bahwa produksi kedelai panen kering dengan aplikasi Tithonia diversifolia mempunyai produksi tertinggi dibandingkan yang mendapat Centrosema pubescens dan pupuk kandang ayam, berturut-turut 1.48, 1.13, 1.16 ton/ha.

Residu Pupuk Organik

Pengaruh pemberian pupuk kandang umumnya terlihat pada musim tanam ke dua (residu). Pemberian pupuk kandang ayam sebesar 2 ton/ha dengan kadar N, P2O5, dan K sebesar berturut-turut 0.76 %, 14.13 %, dan 0.15 % pada lahan kering di Pleihari-Kalimantan Selatan meningkatkan produksi biji kering pipilan sebesar 4 % (Sudriatna et al., 2005). Sutriadi et al. (2005) juga menjelaskan


(26)

bahwa dengan aplikasi pupuk kandang ayam sebesar 2 ton/ha meningkatkan produksi jagung sebanyak 6 % pada musim pertama dan 40 % pada musim kedua. Hal yang sama juga ditunjukkan Melati et al. (2008) bahwa pupuk organik, kombinasi dan residunya dapat digunakan untuk memenuhi kebutuhan hara tanah untuk produksi kedelai panen muda. Jumlah dan bobot polong pada pupuk hijau (residu) lebih banyak dibandingkan dengan pupuk kandang ayam.


(27)

BAHAN DAN METODE

Waktu dan Tempat

Penelitian dilakukan di Kebun Percobaan IPB Cikarawang, Darmaga, Bogor. Penelitian dilakukan mulai dari bulan Oktober 2010 sampai Februari 2011. Analisis tanah dan hara dilakukan di Laboratorium Kimia Tanah, Departemen Ilmu Tanah dan Sumber Daya Lahan, Fakultas Pertanian, IPB.

Alat dan Bahan

Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah benih kedelai varietas Anjasmoro dan Wilis. Kebutuhan benih Anjasmoro dan Wilis per hektar yaitu berturut-turut 41.25 dan 27.5 kg untuk populasi 250 000 tanaman. Kedelai varietas Anjasmoro mewakili kedelai jenis biji besar dan Wilis biji kecil.

Pupuk organik yang diaplikasikan adalah jenis pupuk kandang dan pupuk hijau. Pupuk organik yang digunakan adalah pupuk kandang ayam, Centrosema pubescens, dan Tithonia diversifolia, arang sekam, dan dolomit.

Pengendalian hama dan penyakit dalam budidaya kedelai organik memanfaatkan bahan dasar alam. Pestisida nabati yang digunakan adalah serai, tagetes (Tagetes erecta), dan Tithonia diversifolia. Sereh selain sebagai pengendali OPT juga dimanfaatkan untuk bahan dasar pestisida nabati. Pemanfaatan jerami diperlukan untuk mengurangi serangan lalat biji.

Metode Penelitian

Perlakuan dengan dua faktor yaitu pupuk organik dan varietas. Pupuk yang digunakan adalah pupuk kandang ayam sebanyak 10 ton/ha, Centrosema pubescens, dan Tithonia diversifolia masing-masing 1.75 ton/ha. Petak yang mendapat perlakuan Centrosema pubescens dan Tithonia diversifolia ditambah dengan pupuk kandang ayam sebanyak 5 ton/ha untuk membantu dekomposisi, serta 1 ton arang sekam/ha, dan 1 ton dolomit/ha sebagai pupuk dasar. Pada perlakuan pupuk kandang ayam juga ditambahkan 1 ton arang sekam/ha, dan 1 ton dolomit/ha untuk membantu proses dekomposisi. Varietas yang


(28)

digunakan yaitu Wilis dan Anjasmoro. Penelitian ini menggunakan Rancangan Petak Terbagi (Split Plot) dengan dua faktor yakni pupuk organik dan varietas kedelai. Pupuk organik sebagai petak utama dan varietas sebagai anak petak.

Model rancangan yang digunakan adalah:

Yijk = µ + αi + €k + ik + βj + (αβ)ij + ijk Keterangan :

Yijk : nilai pengamatan pada perlakuan petak utama ke-i, anak petak ke-j dan ulangan ke-k

µ : nilai rata-rata umum

αi : pengaruh perlakuan pemupukan pada taraf ke-i (i = 1, 2, 3) €k : pengaruh ulangan ke-k (k = 1, 2, 3)

ik : galat petak utama

βj : pengaruh perlakuan varietas pada taraf ke-j (j = 1, 2)

(αβ)ij : pengaruh interaksi antara pemupukan ke-i dengan variets ke-j

ijk : pengaruh galat karena pengaruh pemupukan taraf ke-i dan varietas ke-j pada ulangan ke-k

Data yang diperoleh dianalisis dengan sidik ragam, apabila berbeda nyata akan dilanjutkan dengan uji Duncan Multiple Range Test (DMRT) pada taraf kesalahan 5%.

Pelaksanaan Persiapan Media Tanam

Jumlah petakan yang digunakan selama penelitian sebanyak 18 buah. Ukuran masing-masing anak petak yaitu 2 m x 4 m. Pupuk diberikan dengan cara dialur pada lokasi lubang tanam pada setiap anak petak. Hal tersebut dilakukan agar tepat sasaran yaitu untuk memenuhi kebutuhan hara kedelai atau meminimalkan hara dipergunakan oleh gulma.

Bahan pupuk hijau berasal dari lokasi yang dekat dari penanaman kedelai. Tithonia diversifolia tersedia di daerah sekitar lokasi penanaman kedelai, karena sesuai habitatnya yang tergolong gulma. Centrosema pubescens didapatkan dari hasil penanaman menjelang akhir musim pertama, pada lahan yang berbeda dan tidak jauh dari tempat penanaman kedelai. Hasil percobaan Kurniansyah (2010)


(29)

16 adalah benih Centrosema pubescens sebanyak 25 kg/ha hanya dapat menghasilkan biomassa rata-rata sebanyak 6.30 kg bobot basah/18 m2 atau sekitar 3.50 ton bobot basah/ha. Hasil biomassa tersebut menjadi dasar penentuan dosis pupuk hijau yang digunakan dalam penelitian ini, yaitu sebanyak 1.75 ton/ha (50% dari musim tanam sebelumnya).

Petak yang mendapat perlakuan Centrosema pubescens dan Tithonia diversifolia ditambah dengan pupuk kandang ayam sebanyak 5 ton/ha untuk membantu dekomposisi, serta 1 ton arang sekam/ha, dan 1 ton dolomit/ha sebagai pupuk dasar. Lahan dengan perlakuan pupuk kandang ayam diberikan sebanyak 10 ton/ha, juga ditambah 1 ton arang sekam/ha, dan 1 ton dolomit/ha untuk membantu dekomposisi.

Tabel 2. Perbandingan Perlakuan Dosis Pupuk Organik dan Varietas pada Musim Tanam 1 dan Musim Tanam 2

Perlakuan Musim Tanam 1 Musim Tanam 2 Jenis Pupuk

P1 20 ton pupuk kandang ayam/ha

10 ton pupuk kandang ayam/ha

P2 3.5 ton Centrosema pubescens /ha + 10 ton pupuk kandang ayam/ha

1.75 ton Centrosema

pubescens/ha + 5 ton pupuk kandang ayam/ha

P3 3.5 ton Tithonia

diversifolia/ha + 10 pupuk kandang ayam/ha ton

1.75 ton Tithonia diversifolia /ha + 5 ton pupuk kandang ayam/ha Varietas

V1 Anjasmoro Anjasmoro

V2 Wilis Wilis

Aplikasi Centrosema pubescens dan Tithonia diversifolia dilakukan 4 minggu sebelum tanam, sedangkan aplikasi pupuk kandang ayam dilakukan 2 minggu sebelum tanam kedelai. Aplikasi Centrosema pubescens dan Tithonia diversifolia diaplikasikan lebih dahulu karena kecepatan dekomposisinya lebih


(30)

lama dibandingkan pupuk kandang ayam. Setelah diletakkan di dalam alur, pupuk hijau dan bahan tambahannya dicampur merata, kemudian ditutup kembali dengan lapisan tanah tipis.

Analisis Tanah

Pengambilan tanah untuk dianalisis dilakukan sebanyak dua kali, yaitu sebelum penanaman dan sesudah panen. Teknik pengambilannya yaitu diambil dari tiga titik dalam setiap anak petak atau perlakuan secara komposit dari tiga ulangan.

Penanaman

Penanaman dilakukan pada alur pupuk setelah 4 atau 2 minggu dari aplikasi pupuk organik. Rhizobium ditambahkan pada benih sebelum ditanam, dengan dosis 50 g/8 kg kedelai. Jarak tanam yang digunakan yaitu 40 cm x 10 cm (2 benih per lubang) dan dicapai populasi kedelai per hektar yaitu 250 000 (setelah dijarangkan).

Pemeliharaan

Pemeliharaan yang dilakukan meliputi pemeliharaan serai dan penanaman tagetes sebagai pengendali OPT, penyiangan gulma, serta pengendalian hama dan penyakit. Kategori penyiangan gulma dibedakan menjadi dua, yaitu pra tanam (setelah aplikasi pupuk hijau atau 4 minggu dari penanaman kedelai) dan pasca tanam. Penyiangan gulma pra tanam dilakukan dua minggu sekali sedangkan pasca tanam satu minggu sekali. Pengendalian gulma dilakukan dengan cara manual dan semi mekanik (kored).

Pengendalian hama selama penelitian menggunakan jenis pestisida hayati berbahan serai dan Tithonia diversifolia. Pemilihan bahan-bahan tersebut didasarkan pada penelitian sebelumnya dan mencoba menciptakan paduan pestisida hayati yang baru.

Tanaman serai pada penelitian ini merupakan lanjutan dari penanaman musim tanam pertama. Pemeliharaan serai dilakukan secara rutin dua minggu sekali, dengan memotong pucuk dari tanaman. Penanaman tagetes dilakukan 3


(31)

18 minggu sebelum penanaman melalui bibit. Tagetes ditanam di tengah-tengah antara dua anak petak pada petak utama. Jumlah tagetes yang ditanam dalam tiap petak utama yaitu delapan tanaman. Jarak tanam yang dipakai disesuaikan ± 50 cm, hal ini sesuai dengan yang diterapkan pada penelitian sebelumnya (Kusheryani dan Aziz, 2006).

Pemanenan

Pemanenan dilakukan setelah masak fisiologis, dicirikan dengan daun, batang, dan polong sudah menguning atau kering (Ristek, 2010). Pemanenan dilakukan pada 13 MST, setelah polong terisi penuh dan mengeras atau 95% telah matang (berwarna kuning kecoklatan-kehitaman) (stadia R8).

Pengamatan

Pengamatan dilakukan pada 10 tanaman contoh dari setiap petak percobaan.

a. Pengamatan vegetatif

 Tinggi tanaman diukur dari pangkal batang sampai dengan titik tumbuh, dilakukan tiap minggu mulai dari 2 MST.

 Jumlah daun trifoliate yang dihitung adalah daun yang telah terbentuk secara sempurna (terbuka), dilakukan tiap minggu mulai dari 2 MST.

 Bobot tanaman (bobot basah dan kering) dari 4 tanaman pinggir pada 7 MST.

 Analisis daun (N, P, K, Ca, Mg, Zn, Cu, Fe, Mn) kedelai pada 7 MST.

 Intensitas serangan hama dan keparahan penyakit tanaman dilakukan setiap minggu dengan memperhatikan bagian tanaman yang terserang (Tabel 3) serta metode pengamatannya membentuk huruf Z.

Tabel 3. Intensitas Serangan Hama dan Keparahan Penyakit

Skor Keterangan

0 Tidak ada serangan

1 Bagian tanaman yang terserang 10% 2 Bagian tanaman yang terserang >10%-25% 3 Bagian tanaman yang terserang >25%-50%


(32)

Skor Keterangan

4 Bagian tanaman yang terserang >50%-75% 5 Bagian tanaman yang terserang >75%

Intensitas serangan hama dan keparahan penyakit dapat dihitung dengan menggunakan rumus sebagai berikut :

IP = n.vi

k i =0

NV x 100%

Keterangan :

IP = Intensitas serangan hama atau keparahan penyakit. n = Jumlah tanaman yang mempunyai skor serangan ke-i. vi = Skor tanaman 0, 1, 2, 3, 4, 5.

V = Skor tanaman tertinggi.

N = Jumlah seluruh sampel tanaman yang diamati.

b. Pengamatan Komponen Produksi (saat panen)

 Jumlah tanaman yang dipanen (petak bersih dan petak pinggir)

 Jumlah cabang per tanaman

 Jumlah buku produktif per tanaman

 Jumlah polong isi per tanaman

 Jumlah polong hampa per tanaman

 Bobot kering 100 biji (g)

 Analisis hara biji (N, P, K, Fe, Zn) setelah panen

 Kadar air biji (%)

 Bobot biji kering per petak bersih (g/4.32 m2)


(33)

HASIL DAN PEMBAHASAN

Kondisi Umum Tipe Tanah Cikarawang, Kecamatan Darmaga

Penelitian ini dilakukan di daerah Cikarawang, Darmaga, Bogor. Jenis tanah di wilayah tersebut yaitu latosol-inceptisol (Nursyamsi dan Suprihati, 2005). Menurut Buringh (1983); Darmawijaya (1980) dalam Nuryani et al. (2006), tanah latosol yang kaya seskuiosksida, miskin unsur-unsur kimia dengan sifat kimia yang baik. Ciri lainnya adalah mineral lempung tipe 1:1 dari golongan kaolinit, dan haloisit, mempunyai kapasitas pertukaran kation rendah, kejenuhan kation rendah (kurang dari 35%) dan kadar bahan terlarut juga rendah karena adanya proses pelapukan dan pelindian yang telah berjalan lanjut.

Tipe tanah di daerah Cikarawang, Darmaga berdasarkan analisis tanah yang dilakukan bertekstur liat. Menurut Soepardi (1983), tanah yang digolongkan sebagai liat mengandung paling sedikit (35 % separat liat) dan biasanya lebih dari (40 %). Hasil dari analisis tanah, yaitu persentase kadar pasir, debu, liat masing-masing adalah 8.51 %, 19.55 %, dan 71.95 %. Nilai Kapasitas Tukar Kation (KTK) yaitu 21.18 me/100g. Nilai KTK bertambah seiring dengan tingkat kehalusan tekstur tanah. Tanah bertekstur halus mengandung lebih banyak liat dan juga mengandung banyak humus.

Data Cuaca selama Pertumbuhan Kedelai

Faktor abiotik berpengaruh terhadap pertumbuhan kedelai, salah satunya yaitu cuaca. Kondisi temperatur selama fase vegetatif pada penelitian ini, yaitu rata-rata 24.19 ºC dan fase generatif yaitu 24.85 ºC (Lampiran 1). Suhu ini menunjang pertumbuhan kedelai karena berdasarkan Ristek (2010), suhu optimum pertumbuhan kedelai yaitu 23-27 ºC. Curah hujan rata-rata per bulan yaitu 275.13 mm (Lampiran 1). Kondisi ini masih dalam rentang syarat tumbuh kedelai (Ristek, 2010), yaitu 100-400 mm/bulan.

Tingkat curah hujan pada fase vegetatif lebih banyak dibandingkan fase generatif, yaitu sebesar 51.4 % (Lampiran 1). Faktor air tidak menjadi pembatas


(34)

dalam penelitian ini, kebutuhan air tercukupi, sehingga pertumbuhan vegetatif optimal. Memasuki fase generatif (7-8 MST) curah hujan menurun, sehingga kerontokan bunga diduga berkurang, selain itu fotosintesis juga lebih optimal pada saat pengisian polong.

Gambar 1. Kondisi cuaca selama percobaan yaitu curah hujan (a), intensitas sinar matahari (b), dan kecepatan angin (c)

Curah hujan pada musim tanam pertama lebih rendah dibandingkan dengan musim tanam ke dua terutama pada awal pertanaman dan air tidak

0 50 100 150 200

1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14

Curah hu jan (m m ) MST

MT 1 (10 April-16 Juli 2010

MT 2 (31 Oktober 2010-29 Januari 2011)

0 500 1000 1500 2000 2500 3000

1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14

In tensiras Matah ari (Cal/cm 2/m enit) MST

MT 1 (10 April-16 Juli 2010) MT 2 (31 Oktober 2010-29 Januari 2011) 0 10 20 30 40 50

1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14

Kec epatan ang in (k m /jam ) MST

MT 1 (10 April-16 Juli 2010) MT 2 (31 Oktober 2010-29 Januari 2011)

Tingkat curah hujan (a)

Tingkat intensitas matahari (b)


(35)

22 menjadi faktor pembatas selama pertumbuhan kedelai pada percobaan (musim tanam 2) (Gambar 1 a). Hal tersebut dikarenakan curah hujan merata tiap MST, kecuali 1 MST yang berpengaruh pada daya tumbuh. Curah hujan pada penelitian ini cukup memadai, karena berdasarkan Van Doren and Recosky (1987) dalam Sumarno dan Manshuri (2007), kebutuhan air pada kedelai yang dipanen umur 100-190 hari yaitu 4.5 mm per hari atau sekitar 31.5 mm per MST. Lampiran 1 menunjukkan bahwa rata-rata kondisi curah hujan pada tiap MST lebih dari 31.5 mm per MST sehingga air sebagai salah satu syarat tumbuh pertumbuhan kedelai pada penelitian ini terpenuhi.

Air menjadi faktor pembatas daya tumbuh kedelai pada 1 MST yang hanya sebesar 64 %. Hal tersebut ditunjukkan pada Lampiran 1, curah hujan pada satu MST lebih rendah dibandingkan waktu-waktu lainnya, karena terhambatnya proses imbibisi benih, maka daya kecambah kedelai rendah. Selain itu, adanya serangan cendawan Asperigullus flavus yang menyebabkan benih busuk atau mati. Daya tumbuh kedelai mengalami peningkatan menjadi 94% setelah dilakukan penyulaman. Peningkatan tersebut salah satunya dipengaruhi ketersediaan air tercukupi karena adanya kenaikan intensitas curah hujan pada 2 MST (Gambar 1a).

Masa mulai berbunga pada penelitian ini mengalami kemunduran 1 MST dibandingkan Andriyani (2005) dan 2 MST jika dibandingkan Kurniasih (2006), sehingga masa panen pada penelitian ini juga mengalami kemunduran satu minggu lebih lama (13 MST) jika dibandingkan dengan penelitian yang dilakukan oleh Andriyani (2005). Kemunduran masa panen tersebut diduga karena perbedaan kondisi cuaca. Curah hujan pada percobaan ini lebih tinggi daripada saat percobaan Andriyani (2005) dan Kurniasih (2006), sehingga pertumbuhan vegetatif tanaman lebih baik dan memasuki fase generatif lebih lambat. Sebagai akibatnya, umur panen juga lebih panjang dibandingkan kedua penelitian tersebut.

Kedelai termasuk tanaman golongan strata A, yang memerlukan penyinaran matahari secara penuh. Faktor yang mempengaruhi efisiensi penerimaan dan pemanfaatan energi sinar matahari, antara lain total luasan daun, kandungan N dalam sel daun, status air dalam sel daun, suhu dan kandungan CO2 di udara, dan intersepsi radiasi-fotosintesis aktif (Sumarno dan Manshuri, 2007).


(36)

Tingkat intensitas matahari pada musim tanam (MT) 1 lebih tinggi dibandingkan MT 2 (Gambar 1b). Intensitas matahari pada fase vegetatif MT 1 lebih tinggi 20.05 % dibandingkan MT 2, dan 7.69 % pada fase generatif lebih besar daripada MT 2.

Tingkat kecepatan angin pada musim tanam (MT) 2 lebih tinggi dibandingkan musim tanam 1. Kondisi ini menyebabkan varietas kedelai, baik Wilis maupun Anjasmoro mengalami rebah. Tingkat kecepatan angin mulai meningkat pada 7-12 MST (Gambar 1c). Masa-masa tersebut (7 MST) morfologi kedelai memasuki fase generatif, sehingga faktor kerebahan diduga berdampak pada penghambatan pembungaan serta penyebab terjadinya etiolasi.

Organisme penggangu tanaman merupakan faktor biotik yang mempengaruhi produksi kedelai. Jenis hama yang menggangu selama pertumbuhan kedelai, antara lain ulat api (Setora nitens), lalat pucuk (Melanagromiza dolicostigma), belalang (Valanga sp. dan Nympahea sp.), kepik polong (Riptortus linearis), dan rayap (Macrotermes gilvus). Jenis penyakit yang menyerang tanaman kedelai dalam penelitian ini, yaitu karat daun. Organisme pengganggu tanaman, jenis gulma yang dominan yaitu teki dan gulma daun lebar.

Kandungan Hara pada Pupuk Organik (Centrosema pubescens, pupuk kandang ayam, dan Tithonia diversifolia)

Analisis kandungan hara makro dan mikro dilakukan pada tiga jenis pupuk organik (Centrosema pubescens, pupuk kandang ayam, dan Tithonia diversifolia) yang digunakan. Tabel 4 menunjukkan bahwa kandungan C, N, P dari Tithonia diversifolia tertinggi di antara dua jenis pupuk organik lainnya, yaitu 54.88; 3.64; 0.34 %. Dibandingkan dengan pupuk kandang ayam, kandungan hara C dari Tithonia diversifolia lebih besar 143.6 %. Hara N dan P Tithonia diversifolia juga lebih besar berturut-turut 766.7 dan 61.9 % dibandingkan pupuk kandang ayam. Hal yang berbeda pada unsur hara K, pupuk kandang ayam lebih tinggi sebesar 23.08 % dan 14.29 % dibandingkan Centrosema pubescens dan Tithonia diversifolia.


(37)

24 Tabel 4. Hasil Analisis Kandungan Hara dalam Tiga Jenis Pupuk Organik

(Centrosema pubescens, Pupuk Kandang Ayam, dan Tithonia diversifolia)

Perlakuan C N P K Ca Mg Fe Cu Zn Mn

...(%)... ...ppm...

Centrosema pubescens

54.19 2.97 0.33 0.52 0.64 0.28 1 729.15 42.02 32.95 135.70 Pupuk

kandang ayam

22.53 0.42 0.21 0.64 0.87 0.21 5 119.10 365.12 2.90 52.70

Tithonia diversifolia

54.88 3.64 0.34 0.56 0.70 0.32 1 622.15 33.26 47.75 141.05

Proses Pengomposan Pupuk Organik

Pengomposan adalah dekomposisi bahan organik segar menjadi bahan yang menyerupai humus (C/N mendekati 10). Faktor yang mempengaruhi pengomposan, antara lain kelembaban, sirkulasi udara, penghalusan dan pencampuran bahan, nisbah C/N, nilai pH, dan suhu (Sutanto, 2002). Temperatur dan curah hujan (Lampiran 1) selama satu bulan (Oktober) cukup mendukung proses dekomposisi dengan metode penimbunan, yaitu berturut-turut 23.51 ºC dan 18.39 mm/hari. Sutanto (2002) menjelaskan bahwa pH tanah sebagai syarat optimum dekomposisi yaitu 5.0-8.0, sehinggga pH 6.57 (pada tanah penelitian) masih dalam rentang tersebut. Adanya proses pencacahan pada bahan pupuk hijau (Centrosema pubescens dan Tithonia diversifolia) menunjang untuk mempercepat proses pengomposan.

Dilihat dari nisbah C/N, Centrosema pubescens, pupuk kandang ayam, Tithonia diversifolia, masing-masing 18.25, 53.64, dan 15.08 (Tabel 4). Nisbah C/N merupakan indikator yang menunjukkan tingkat dekomposisi dari bahan organik (Indranada, 1989). Nisbah C/N dari bahan kompos yang optimal yaitu 20-35. Pupuk kandang ayam yang digunakan untuk bahan dasar kompos memiliki nisbah C/N besar, yaitu 53.64. Nisbah C/N pupuk kandang ayam ini tergolong lebih tinggi dibandingkan Hartatik dan Widowati (2005), perbedaannya mencapai 387.6 %. Perbedaan yang signifikan tersebut diduga karena faktor sejarah pupuk

Jenis Pupuk Organik Nisbah C/N

Centrosema pubescens 18.25

Pupuk kandang ayam 53.64


(38)

kandang ayam yang digunakan. Bahan pupuk kandang ayam yang digunakan dalam penelitian ini merupakan pupuk organik tersimpan di gudang kebun sejak musim tanam pertama, sehingga diduga N dalam pupuk kandang ayam berkurang karena penguapan atau melalui denitrifikasi. Dugaan tersebut ditunjang oleh penjelasan Soepardi (1983) bahwa adanya pelapukan aerob dan anaerob menyebabkan kehilangan nitrogen yang cepat dalam bentuk amonia, nitrat, dan gas nitrogen. Tidak adanya kegiatan preventif untuk mengurangi kehilangan nitrogen dengan cara memadatkan dan membasahkan diduga mempengaruhi kehilangan N secara cepat. Hal tersebut ditunjang dengan data analisis kandungan hara makro pada penelitian musim pertama yang dilakukan oleh Kurniansyah (2010) bahwa kadar N pupuk kandang mencapai 1.14 % atau lebih besar 171.4 % dibandingkan musim tanam kedua (penelitian ini). Nisbah C/N yang tinggi pada pupuk kandang ayam dalam penelitian ini mungkin tidak diartikan terjadinya penghambatan proses dekomposisi tetapi karena terbatasnya jumlah nitrogen.

Sumbangan Hara Potensial

Sumbangan hara potensial didapatkan dari perhitungan perkalian antara sumber hara dari kadar unsur hara makro (%) tiga jenis pupuk organik (Tabel 4) dan bobot kering dan jumlah dosis pupuk organik yang digunakan (ton/ha). Hasil tersebut merupakan dugaan karena adanya pengaruh faktor lingkungan berupa pencucian dan denitrifikasi yang mempengaruhi kandungan hara sumbangan potensial.

Tabel 5 menunjukkan bahwa sumbangan hara P dan K potensial tertinggi

yaitu dari perlakuan 10 ton pupuk kandang ayam sebesar 9.03 kg/ha dan 27.52 kg/ha. Unsur P ini lebih besar 31.3 % dibandingkan Centrosema

pubescens dan 33.6 % dari Tithonia diversifolia. Kandungan K pada sumbangan hara potensial pupuk kandang ayam juga lebih besar 57.3 dan 57.6 % berturut-turut dibandingkan Centrosema pubescens dan Tithonia diversifolia. Hal yang sebaliknya terjadi pada kandungan unsur N, pupuk kandang ayam memiliki hara N nilai terendah dibandingkan perlakuan 1.75 ton Centrosema pubescens + 5 ton pupuk kandang ayam dan 1.75 ton Tithonia diversifolia + 5 ton pupuk kandang ayam yang masing-masingnya 30.34 kg/ha dan 33.11 kg/ha. Dua jenis pupuk di


(39)

26 atas lebih besar berturut-turut 67.99 dan 83.33 % dibandingkan pupuk kandang ayam.

Tabel 5. Sumbangan Unsur Hara Tiga Jenis Pupuk Organik per hektar

Pupuk Kandungan Hara (kg)

N P K

1.75 ton Centrosema pubescens + 5 ton pupuk kandang ayam 30.34 6.88 17.49

10 ton Pupuk kandang ayam 18.06 9.03 27.52

1.75 ton Tithonia diversifolia +5 ton pupuk kandang ayam 33.11 6.76 17.46

Kandungan Hara dari Analisis Tanah sebelum Tanam

Analisis tanah bersifat kualitatif dan kuantitatif. Analisa kualitatif dijabarkan dengan variable dan kuantitatif melalui angka (Notohadiprawiro, 2006). Berdasarkan hasil analisis tanah awal penelitian dapat diketahui bahwa pH tanah netral agak masam, yaitu 6.57.

Kandungan hara makro dan mikro dalam analisis tanah nilainya beragam dan pada umumnya sedang. Berdasarkan rentan klasifikasi kriteria penilaian hasil analisis tanah Pusat Penelitian Tanah dan Agroklimat (1994), kandungan C-organik tergolong sedang (2.74 %). Balittan (2006) menambahkan nilai C-C-organik tersebut cukup memenuhi syarat tanah guna memperoleh produktivitas yang optimal, karena jumlahnya > 2.5 %.

Nilai P sebesar 58.40 ppm dan unsur makro lainnya, antara lain Ca, Mg, K, Na, masing-masing 8.93; 4.01; 0.53; 0.98 me/100g. Berdasarkan rentang klasifikasi kriteria penilaian hasil analisis tanah Pusat Penelitian Tanah dan Agroklimat (1994) (Lampiran 3), nilai Ca dan Mg tersebut tergolong sedang, unsur K rendah sedangkan Na termasuk tinggi. Kadar mikro Fe, Cu, Zn, Mn berturut-turut 19.78; 0.59; 3.13; 11.86 ppm (Tabel 3). Berdasarkan Pusat Penelitian Tanah dan Agroklimat (1994) (Lampiran 3), diantara unsur mikro tersebut masih dalam rentang cukup.


(40)

Perbandingan Hasil Analisis Kandungan Hara Tanah setelah Musim Tanam (MT) 1 dan MT 2

Perbandingan kandungan hara musim tanam dua dengan musim tanam satu bertujuan untuk mengetahui status hara tanah setelah adanya aplikasi pupuk organik pada masing-masingnya (Tabel 6).

Tabel 6. Perbandingan Hasil Analisis Hara setelah Musim Tanam (MT) 1 dan MT 2

Perlakuan C-org N-Tot P (Bray I) Ca Mg K Na Fe Cu Zn Mn

...%... ppm ...me/100g... ...ppm... Hasil Analisis Hara setelah Panen Kedelai Musim Pertama

CA 1.57 (R) 0.15 (R) 11.57 (R) 11.67 2.61 0.91(R) 0.63 1.24 0.35 0.24 10.76 CW 1.81 0.18 10.57 12.63 3.05 0.83 0.56 1.34 0.40 0.29 13.65 PA 1.75 (R) 0.16 (R) 9.60 (R) 15.54 2.55 0.88(R) 0.58 1.32 0.35 0.19 9.20 PW 1.81 0.17 17.40 16.21 1.02 0.80 1.28 0.32 0.07 6.76 10.8 TA 1.83 (R) 0.17 (R) 10.60 (R) 14.37 2.59 0.92(R) 0.64 1.31 0.35 0.12 7.95 TW 2.02 0.20 13.23 14.67 2.74 0.79 0.65 1.32 0.32 0.04 8.07 Hasil Analisis Hara sebelum Tanam MT 2 (setelah Aplikasi Pupuk Organik)

CA 1.83(S) 0.17(S) 77.0(T) 9.10 4.08 0.42(R) 0.65 17.82 0.64 4.36 15.20

CW 2.71 0.26 38.9 9.56 4.88 0.53 0.94 21.76 0.59 4.12 13.70

PA 2.87(S) 0.26(S) 82.7 9.12 4.37 0.73(R) 1.34 17.60 0.56 1.40 6.80

PW 2.79 0.25 81.4 10.36 4.92 0.63 1.29 17.60 0.64 1.52 10.80

TA 2.15(S) 0.21(S) 30.4 8.22 3.14 0.41(R) 0.73 20.10 0.62 5.38 18.90

TW 2.95 0.25 51.5 8.74 3.92 0.46 0.81 23.38 0.62 4.92 16.80

Hasil Analisis Hara setelah Panen Kedelai Musim Kedua

CA 2.07(R) 0.18(R) 8.70(R) 6.60 2.73 0.98(R) 1.01 0.56 0.08 1.95 32.65

CW 2.00 0.18 9.00 7.33 2.60 0.99 1.04 0.67 0.12 2.51 57.96

PA 2.39(S) 0.22(S) 17.90(R) 7.36 2.61 1.20(S) 1.14 0.55 0.09 0.67 86.51

PW 2.31 0.22 11.40 7.09 2.31 1.11 1.07 0.60 0.23 0.49 90.32

TA 2.07(R) 0.19(R) 8.10(R) 6.47 1.73 1.19(S) 1.04 0.90 0.06 5.61 67.05

TW 1.44 0.15 7.30 7.41 2.86 0.93 1.02 1.09 0.08 0.01 0.40

Keterangan : CA (Centrosema pubescens + Varietas Anjasmoro) TA (Tithonia diversifolia +Varietas Anjasmoro)

CW (Centrosema pubescens + Varietas Wilis) TW (Tithonia diversifolia +Varietas Wilis)

PA (Pupuk kandang ayam + Varietas Anjasmoro) PW (Pupuk kandang ayam + Varietas Wilis)

(R) = rendah; (S) = sedang; (ST) = sangat tinggi; Sumber : (Pusat Penelitian Tanah dan Agroklimat, 1994)


(41)

28 Unsur hara makro (C-org, N, P, Mg) umumya mengalami kenaikan dalam tanah yang mendapat Centrosema pubescens, pupuk kandang ayam, dan Tithonia diversifolia (Tabel 6). Hal yang sama juga dilaporkan Kariada dan Aribawa (2004) bahwa adanya penambahan pupuk organik dapat meningkatkan C-organik tanah.

Tabel 6 menunjukkan bahwa kadar N musim tanam 2 pada lahan yang mendapat pupuk kandang ayam lebih tinggi 18.18 % dibandingkan yang mendapatkan Centrosema pubescens, dan lebih besar 13.04 % daripada dengan Tithonia diversifolia. Kadar N tanah mengalami peningkatan setelah aplikasi pupuk organik. Peningkatan kadar N tertinggi yaitu pada tanah dengan pemberian jenis pupuk kandang ayam. Hakim et al. (1986) dalam Kariada dan Aribawa (2004) mengemukakan bahwa dekomposisi bahan organik akan menghasilkan senyawa yang mengandung N, di antaranya amonium, nitrit, nitrat, dan gas nitrogen. Hasil penelitian yang sama dikemukakan oleh Hairunsyah (1991), Raihan dan Nurtirtayani (2001) dalam Kariada dan Aribawa (2009) yang melaporkan bahwa kandungan N-total tanah mengalami peningkatan dengan pemberian pupuk organik.

Kandungan P meningkat tajam selama proses dekomposisi. Peningkatan ketersediaan P tanah disebabkan oleh penguraian mikrobiologis dari pupuk organik yang diberikan oleh mikroba tanah yang melibatkan proses enzimatik, dimana P organik akan dibebaskan menjadi fosfat anorganik sehingga tersedia dalam tanah (Hairunsyah, 1991; Raihan dan Nurtirtayani, 2001 dalam Kariada dan Aribawa, 2004). Kadar P tersedia dalam tanah yang diberi pupuk kandang ayam lebih tinggi 57.18 % dibandingkan Centrosema pubescens dan 100.37 % daripada Tithonia diversifolia.

Tabel 6 juga menunjukkan bahwa kandungan N pada pupuk kandang ayam kontinyu tersedia selama periode pertumbuhan kedelai, hal tersebut terlihat dari residu hara setelah panen MT 1 yang tidak berbeda jauh dari data analisis tanah setelah aplikasi. Pupuk kandang ayam memiliki jumlah kandungan hara N tersisa ditanah (analisis setelah panen MT 2) lebih tinggi sebesar 22.2 dan 29.4 % berturut-turut dibandingkan dengan Centrosema pubescens dan Tithonia diversifolia. Pelepasan hara N dari pupuk kandang ayam bertahap dalam masanya,


(42)

sehingga menekan kehilangan N melalui penguapan, pencucian, maupun denitrifikasi. Hal tersebut mengindikasikan sumbangan hara (residu) relatif banyak untuk musim tanam berikutnya.

Data pada Tabel 6 menunjukkan residu P dan K terbanyak dari musim tanam sebelumnya yaitu berasal dari pupuk kandang ayam. Tanah dengan perlakuan pupuk kandang memiliki kandungan hara P lebih tinggi 65.5 % dibandingkan perlakuan C. pubescens dan 90.3 % daripada tanah yang mendapat T. diversifolia. Selain itu residu K dari penambahan pupuk kandang ayam juga

lebih tinggi berturut-turut 17.8 dan 9.4 % dibandingkan C. pubescens dan T. diversifolia. Hal tersebut mengindikatorkan bahwa K dan P dari pupuk kandang

ayam terdekomposisi hingga tersedia secara bertahap dalam tiap musim tanamnya.

Fase Vegetatif dan Generatif

Fase vegetatif dimulai sejak tanaman tumbuh dan umumnya dicirikan oleh banyaknya buku pada batang utama yang telah memiliki daun terbuka penuh. Fase berakhir jika fase generatif dimulai, yaitu dengan munculnya bunga dan diakhiri jika 95 % polong telah matang (Fehr dan Caviness, 1977 dalam Adie dan Krisnawati 2007). Fase perkecambahan kedelai varietas Wilis dan Anjasmoro dimulai 3-4 Hari Setelah Tanam (HST). Fase generatif, mulai saat berbunga pada 7 Minggu Setelah Tanam (MST). Selanjutnya pembentukan polong terjadi pada 7-8 MST, polong terisi penuh pada 10-11 MST dan mengeras pada 12-13 MST. Umur tanaman tersebut berbeda dengan penelitian-penelitian sebelumnya, terjadi kemunduran waktu lebih lama ± 1-2 minggu. Perbedaan waktu diduga karena perbedaan perlakuan dan kondisi lingkungan (curah hujan dan temperatur). Fase generatif penelitian kali ini masuk dalam musim penghujan, dengan intensitas curah hujan tinggi (39.33 mm/MST atau 275.13 mm/bulan), intensitas matahari (1716.5 cal/cm2/menit2) dan suhu rendah (24.85 ºC) (Lampiran 1). Kondisi tersebut tergolong optimal menunjang fase generatif. Hal tersebut sesuai dengan Irwan (2006) yang melaporkan bahwa suhu optimal pembungaan yaitu 24-25 ºC. Sumarno dan Manshuri (2007) juga menyebutkan bahwa intensitas curah hujan optimum untuk tumbuh yaitu 200-300 mm/musim tanam.


(43)

30

Hasil

Tabel 7 menunjukkan bahwa kombinasi jenis pupuk organik dengan varietas tidak berpengaruh nyata terhadap komponen vegetatif maupun generatif. Jenis pupuk organik umumnya tidak berpengaruh nyata terhadap komponen vegetatif dan generatif, bobot basah bintil akar, jumlah buku produktif, dan jumlah cabang. Varietas umumnya berbeda nyata pada komponen vegetatif dan generatif.

Tabel 7. Rekapitulasi Hasil Sidik Ragam Komponen Pertumbuhan dan Produksi Kedelai pada perlakuan Jenis Pupuk Organik serta

Varietas Peubah Perlakuan Umur (MST) Pupuk (P) Varietas (V)

P*V KK

(%) A. Vegetatif

Tinggi (cm) 2 tn ** tn 7.31

3 tn ** tn 12.02

4 tn * tn 10.04

5 tn ** tn 4.89

6 tn ** tn 5.46

7 tn * tn 5.56

8 tn tn tn 4.53

Jumlah Daun 2 tn tn tn 8.78

3 tn tn tn 6.35

4 tn tn tn 8.66

5 tn tn tn 13.56

6 tn tn tn 19.1

7 tn tn tn 10.76

8 tn tn tn 11.67

Bobot basah batang (g) 7 tn tn tn 15.27

Bobot basah daun (g) 7 tn * tn 18.69

Bobot basah akar (g) 7 tn * tn 22.12

Bobot basah bintil akar (g) 7 * ** tn 18.31

Bobot kering batang (g) 7 tn tn tn 10.24

Bobot kering daun (g) 7 tn * tn 21.93

Bobot kering bintil akar (g) 7 tn * tn 29.20

Bobot kering akar (g) 7 tn * tn 13.62

Kadar N daun (%) 7 tn tn tn 7.14

Kadar P daun (%) 7 tn tn tn 1.98

Kadar K daun (%) 7 ** ** tn 7.49

Serapan N daun (g/tanaman) 7 tn * tn 23.72

Serapan P daun (g/tanaman) 7 tn * tn 21.96

Serapan K daun (g/tanaman) 7 tn ** tn 24.86


(44)

Peubah Perlakuan Umur (MST) Pupuk (P) Varietas (V)

P*V KK

(%)

Serapan P tajuk (g/tanaman) 7 tn tn tn 10.02

Serapan K tajuk (g/tanaman) 7 tn ** tn 12.89

b. Komponen Produktif

Jumlah cabang/ tanaman * ** tn 11.52

Bobot tajuk tanaman contoh (g) tn tn tn 24.92

Jumlah tanaman petak bersih /4.32 m2 tn tn tn 24.97 Jumlah tanaman petak pinggir/ 2.88 m2 tn tn tn 17.35

Jumlah polong isi/ tanaman ** ** tn 7.5

Jumlah polong hampa/ tanaman tn tn tn 27.39(xx)

Bobot 100 biji (g) tn ** tn 5.44

BK biji tanaman contoh (g) tn tn tn 21.59

BK biji pada petak bersih (g/4.32 m2) tn * tn 12.16 BK biji pada petak pinggir (g/2.88 m2) * tn * 8.79

Potensi produksi (ton/ha) tn ** tn 12.17

Kadar N pada biji kering (%) tn tn tn 9.49

Kadar P pada biji kering (%) tn ** tn 3.31

Kadar K pada biji kering (%) tn tn tn 4.84

Kadar Fe pada biji kering (%) ** tn ** 8.16

Kadar Zn pada biji kering (%) tn tn tn 14.07

Keterangan: (tn) tidak berbeda nyata; (*) berbeda nyata pada taraf 5%; (**) berbeda nyata pada taraf 1%. (xx) hasil transformasi √(x+1)

A.Pengaruh Jenis Pupuk Organik terhadap Komponen Vegetatif Kedelai

Fase vegetatif dicirikan dengan adanya penambahan tinggi dan jumlah daun. Fase vegetatif diakhiri dengan munculnya bunga (Adie dan Krisnawati, 2007). Berdasarkan Tabel 8, jenis pupuk organik berpengaruh nyata terhadap bobot basah bintil akar dan intensitas keparahan penyakit, serta berpengaruh sangat nyata terhadap kandungan hara K daun dan intensitas serangan hama. Tabel 8 juga menunjukkan bahwa tidak ada pengaruh nyata dari tiga jenis pupuk organik terhadap tinggi tanaman, jumlah daun, kandungan hara N dan P daun, serapan NPK daun, bobot basah daun, bobot basah batang, bobot basah akar, bobot kering akar, bobot kering bintil akar, bobot kering batang, dan bobot kering daun.

Ada perbedaan, meskipun tidak nyata, tinggi tanaman yang mendapat pupuk kandang dengan yang lainnya, hal tersebut mungkin berkaitan dengan kadar hara dalam tanah. Kadar N, P, K tanah pada MT 2 lebih tinggi pada tanah yang mendapat pupuk kandang ayam. Faktor lingkungan berpengaruh relatif besar


(45)

32 terhadap tinggi tanaman dalam penelitian ini. Kondisi lingkungan berupa curah hujan tinggi (Gambar 1a) diikuti dengan kekuatan angin yang besar menjelang 6-7 MST (Gambar 1c) menyebabkan tanaman kedelai rebah. Kedelai yang rebah, menyebabkan letak pucuk tanaman berada di bawah (mendekati tanah). Adanya sifat fotoperiodisme tanaman, yaitu tumbuh menuju arah sinar matahari, menyebabkan tanaman kedelai mengalami etiolasi dengan jarak antar internode pada batang cukup berjauhan, kurus, dan lemah. Hal tersebut ditunjukkan pada Tabel 8 tingkat pertumbuhan tanaman saat 6-8 MST mengalami peningkatan tajam pada tiap minggunya.

Tabel 8 menunjukan bahwa perlakuan pupuk organik berpengaruh sangat nyata terhadap kandungan hara K daun, serta tidak berpengaruh nyata pada kandungan hara N dan P daun. Kandungan hara K daun kedelai dari penambahan Centrosema pubescens memiliki nilai tertinggi dibandingkan dua pupuk organik

lainnya. Serapan K daun pada perlakuan Centrosema pubescens lebih besar 15.71 % dan 15 % dibandingkan perlakuan pupuk kandang ayam dan

Tithonia diversifolia. Kadar N daun pada penelitian ini belum optimal pada semua jenis pupuk organik yang digunakan. Kadar N daun pada perlakuan pupuk kandang hanya mencapai 82.60 % dari kriteria tingkat optimal jika merujuk pada Vitosh et al. (1995) pada nilai 4.25-5.50 %. Hal yang berbeda terjadi pada serapan P dan K daun bahwa dari semua jenis pupuk organik cukup mencapai optimal dari kriteria, yaitu melebihi 0.30-0.50 % (P) dan 2.01-2.50 % (K) jika dibandingkan dengan kriteria menurut Vitosh et al. (1995).

Tabel 8. Komponen Pertumbuhan Kedelai pada Perlakuan Tiga Jenis Pupuk Organik

Peubah

Jenis Pupuk

Umur (MST)

Uji F Pupuk kandang

ayam

Tithonia diversifolia

Centrosema pubescens

Tinggi (cm) 2 tn 13.01 12.97 12.89

3 tn 18.99 18.61 20.74

4 tn 32.88 34.10 34.71

5 tn 50.30 50.10 50.21

6 tn 70.60 69.28 68.71


(46)

Peubah

Jenis Pupuk

Umur (MST)

Uji F Pupuk kandang ayam Tithonia diversifolia Centrosema pubescens

8 tn 92.81 92.23 88.85

Jumlah Daun 2 tn 1.9 2.0 1.9

3 tn 3.8 3.8 3.7

4 5 tn tn 6.9 10.8 6.7 9.7 6.4 9.7 6 tn 15.9 14.4 15.9 7 tn 20.3 18.9 20.3 8 tn 20.3 19.4 21.7 Kandungan hara N daun (%) 7 tn 3.60 3.56 3.69 Kandungan hara P daun (%) 7 tn 0.59 0.56 0.60 Kandungan hara K daun (%) 7 ** 3.18b 3.20b 3.69a Serapan N daun (g/tanaman) 7 tn 34.24 30.04 29.24 Serapan P daun (g/tanaman) 7 tn 5.64 4.68 4.75 Serapan K daun (g/tanaman) 7 tn 30.31 27.70 29.34 Bobot basah daun (g) 7 tn 36.29 29.46 28.79 Bobot basah batang (g) 7 tn 50.50 45.33 42.75 Bobot basah akar (g) 7 tn 4.25 3.67 3.58 Bobot basah bintil akar (g) 7 * 0.98b 1.47a 1.13b Bobot kering daun (g) 7 tn 9.48 8.43 7.92 Bobot kering batang (g) 7 tn 8.93 8.56 7.80 Bobot kering akar (g) 7 tn 1.28 1.14 1.08 Bobot kering bintil akar (g) 7 tn 0.34 0.47 0.36 Intensitas serangan hama (%) 7 ** 17.51a 14.72b 15.17b Intensitas keparahan penyakit

(%)

7 * 10.61a 8.27b 10.25a Keterangan: (tn) tidak berbeda nyata; (*) berbeda nyata pada taraf 5%; (**) berbeda nyata pada

taraf 1%.

Intensitas serangan hama sangat nyata dipengaruhi jenis pupuk organik (Tabel 8). Tingkat serangan tertinggi pada tanaman yang mendapat pupuk kandang ayam, yaitu berturut-turut lebih besar 18.95, 15.43 % dibandingkan yang mendapatkan Tithonia diversifolia dan Centrosema pubescens. Jenis pupuk organik juga berpengaruh nyata terhadap intensitas keparahan penyakit. Hal yang sama juga pada tingkat keparahan penyakit, tanaman dengan perlakuan pupuk kandang ayam menyebabkan tingkat keparahan penyakit terbanyak dibandingkan dua perlakuan jenis pupuk organik lainnya. Intensitas serangan hama dan keparahan penyakit dipengaruhi oleh tingkat kadar air pada tanaman. Lampiran 4 menunjukkan bahwa kadar air pada tajuk tanaman kedelai yang mendapatkan pupuk kandang ayam memiliki kadar air lebih tinggi dibandingkan perlakuan


(47)

34 Tithonia diversifolia dan Centrosema pubescens, sehingga diduga lebih sekulen sehingga menyebabkan intensitas serangan hama dan keparahan penyakit tertinggi dibandingkan dua perlakuan pupuk organik lainnya.

B.Komponen Vegetatif Dua Varietas Kedelai

Dua jenis varietas kedelai berbeda sangat nyata pada tinggi 2, 3, 5, dan 6 MST, kandungan hara K daun serta bobot basah bintil akar. Varietas kedelai juga berbeda nyata pada tinggi tanaman 4 dan 7 MST, bobot basah akar dan daun, bobot kering daun, akar serta bintil akar. Anjasmoro dan Wilis masing-masing tingginya, yaitu 92.06 dan 90.53 cm (Tabel 9). Hal yang berbeda ditunjukkan oleh Balitkabi (2008) yang mendeskripsikan ketinggian Anjasmoro dan Wilis, berturut-turut 64-68 cm dan 40-50 cm. Adanya penambahan tinggi yang cukup berbeda jauh ini salah satunya disebabkan oleh adanya etiolasi. Selain itu perbedaan kondisi lingkungan antara daerah Malang yang memiliki intensitas matahari lebih tinggi dibandingkan di Bogor (banyak awan) dan adanya penggunaan pupuk organik yang dapat memperbaiki sifat fisik, biologi, dan kimia tanah memperbaiki pertumbuhan tanaman.

Penambahan tinggi tanaman kedelai setelah memasuki fase generatif yang ditunjukkan pada Tabel 8, mengindikasikan varietas Anjasmoro dan Wilis dalam kondisi dapat digolongkan indeterminate. Adie dan Krisnawati (2007) menjelaskan ciri-ciri kedelai tipe indeterminate yaitu pertumbuhan vegetatif berlanjut setelah berbunga, batang daun tinggi, melilit, dan daun teratas lebih kecil dari daun pada batang bagian atasnya. Ukuran ujung batang lebih kecil dari batang tengah. Selain itu masa berbunga lebih lama. Kondisi tanaman tersebut (penelitian ini) tidak sesuai yang disebutkan dalam deskripsi kedelai (Balitkabi, 2008) yang menjelaskan bahwa varieatas Anjasmoro dan Wilis dikategorikan determinate, yaitu karena tinggi tanaman yang masih meningkat setelah memasuki fase generatif. Adanya kondisi tersebut diduga mendukung peningkatan produktivitas kedelai MT 2.


(48)

Varietas tidak berbeda nyata pada jumlah daun. Berdasarkan morfologi bentuk daun, varietas Wilis lebih kecil dibandingkan Anjasmoro, sehingga menunjang pembentukan daun dalam jumlah yang lebih banyak.

Tabel 9. Komponen Pertumbuhan Kedelai pada Perlakuan Varietas

Peubah Varietas

Umur (MST)

Uji F Anjasmoro Wilis

Tinggi (cm) 2 ** 14.20a 11.71b

3 ** 21.57a 17.32b

4 * 36.33a 31.46b

5 ** 53.97a 46.43b

6 ** 73.83a 65.21b

7 * 91.32a 84.70b

8 tn 92.06 90.53

Jumlah Daun 2 tn 1.9 1.9

3 tn 3.8 3.7

4 tn 6.4 6.9

5 tn 9.4b 10.8a

6 tn 15.4 15.4 7 tn 19.2 20.4 8 tn 19.4 21.5

Kandungan hara N daun (%) 7 tn 3.65 3.58

Kandungan hara P daun (%) 7 tn 0.58 0.59

Kandungan hara K daun (%) 7 ** 3.61a 3.10b

Serapan N daun (g/tanaman) 7 * 35.74a 26.61b

Serapan P daun (g/tanaman) 7 * 5.67a 4.38b

Serapan K daun (g/tanaman) 7 ** 35.19a 23.04b

Bobot basah daun (g) 7 * 35.75a 27.28b

Bobot basah batang (g) 7 tn 47.36a 45.03b

Bobot basah akar (g) 7 * 4.36a 3.31b

Bobot basah bintil akar (g) 7 ** 1.39a 0.99b

Bobot kering daun (g) 7 * 9.78a 7.44b

Bobot kering batang (g) 7 tn 8.84 8.03

Bobot kering akar (g) 7 ** 1.32a 1.01b

Bobot kering bintil akar (g) 7 * 0.46a 0.32b Intensitas serangan hama (%) 7 tn 15.38 16.22 Intensitas keparahan penyakit (%) 7 tn 9.80 9.62 Keterangan: (tn) tidak berbeda nyata; (*) berbeda nyata pada taraf 5%; (**) berbeda nyata pada

taraf 1%.

Varietas berbeda nyata pada bobot basah akar, bobot basah daun dan berbeda sangat nyata pada bobot basah bintil akar. Tabel 9 menunjukkan bahwa morfologi dari kedelai varietas Anjasmoro lebih baik dibandingkan Wilis, dengan ditunjangnya sifat fisik tanaman yang baik, sehingga dihasilkan potensi produksi yang lebih besar juga (Tabel 12).


(1)

Lampiran 3. Kriteria Penilaian Hasil Analisis Tanah

Parameter Tanah Nilai

Sangat rendah

Rendah Sedang Tinggi Sangat tinggi

C (%) < 1.0 1-2 2.1-3.0 3.1-5.0 > 5.0

N (%) < 0.1 0.1-0.2 0.21-0.5 0.51-0.75 > 0.75 P2O5 Bray (ppm) < 10 10-20 21-40 41-60 > 60 Ca (me/100g tanah) < 2 2-5 6-10 11-20 >20 Mg (me/100g tanah) < 2 0.4-1.0 6-10 11-20 > 20 K (me/100g tanah) < 0.4 0.4-1.0 1.1-2.0 2.1-8.0 >8.0 Na (me/100g tanah) < 0.1 0.1-0.3 0.4-0.7 0.8-1.0 >1.0 KTK (me/100g tanah) < 5 5-16 17-24 25-40 >40 Kejenuhan basa (%) < 20 20-35 36-50 51-70 >70 Kejenuhan aluminium

(%)

< 10 10-20 21-30 31-60 >60 Sangat

masam

Masam Agak masam

Netral Agak Alkalis pH H2O < 4.5 4.5-5.5 5.5-6.5 6.6-7.5 7.6-8.5

Unsur mikro (ppm)

Defisiensi Marginal Cukup

Fe 2.5 2.5-4.5 4.5

Cu 0.2 - 0.2

Zn 0.5 0.5-1.0 1.0

Mn 1.0 - 1.0

Sumber : Pusat Penelitian Tanah dan Agroklimat, 1994

Lampiran 4. Kadar Air Tajuk Tanaman

Jenis Pupuk Pupuk kandang ayam Tithonia divesifolia Centrosema pubescens Kadar air tajuk

tanaman (%)


(2)

Lampiran 5. Deskripsi Kedelai Varietas Anjasmoro dan Wilis

Varietas Anjasmoro Wilis

Dilepas tahun 22 Oktober 2001 21 Juli 1983

SK Mentan 537/Kapts/TP.240/10/2001 TP240/519/Kpts/7/1983

Nomor galur Mansuria 395-49-4 B 3034

Asal Seleksi massa dari

populasi galur murni Mansuria

Hasil seleksi keturunan persilangan Orba x No.1682

Produktivitas 2.03-2.25 ton/ha 1.6 ton/ha

Warna hipokotil Ungu Ungu

Warna daun Hijau Hijau-hijau tua

Warna bulu Putih Coklat tua

Warna bunga Ungu Ungu

Warna kulit biji Kuning Kuning

Warna polong masak Coklat muda Coklat tua

Warna hylum Kuning kecoklatan Coklat tua

Tipe tumbuh Determinate Determinate

Umur berbunga 35.7-39.4 hari ± 39 hari

Umur polong masak 82.5-92.5 hari 85-90 hari

Tinggi tanaman 64-68 cm ± 50 cm

Bobot 100 biji 14.8-15.3 gr ± 10 g

Kandungan protein 41.8-42.1% 37.0%

Kandungan lemak 17.2-18.6% 18.0%

Kerebahan Tahan rebah Tahan rebah

Ketahanan penyakit Moderat terhadap karat daun

Agak tahan karat daun dan virus


(3)

Lampiran 6. Lay Out Petak Percobaan

Ulangan 1 Ulangan 2

Ulangan 3

U

Keterangan:

P1 : Pupuk kandang ayam P2 : Centrosema pubescens P3 : Tithonia diversifolia V1 : Anjasmoro

V2 : Wilis

P1V2

P2V2 P3V1

P1V1 P3V2

P2V1

P1V2 P3V1 P2V1

P3V2 P2V2

P1V1 P2V1 P1V2 P3V1

P2V2 P1V1 P3V2


(4)

Lampiran 7. Jenis Organisme Pengganggu Tanaman selama Budidaya

Anoplocnemis phasiana Spodeptera litura Belalang (Valanga sp)

Nezara viridula Kepik polong (Riptortus linearis)


(5)

Lampiran 8. Kondisi Tanaman Kedelai pada 7 MST


(6)

Lampiran 9. Kondisi Tanaman Kedelai pada 13 MST