Politik Anggaran sebagai Pembangunan Pemerintahan Desa.

A. Politik Anggaran sebagai Pembangunan Pemerintahan Desa.

Pemerintah telah menyusun bagaimana keuangan diatur sendiri oleh pemerintah daerah hingga ke pemerintahan desa. Dilihat dari kebijakan politik desentralisasi, dimana daerah diberi hak otonomi dalam rangka menyelenggarakan pemerintahan di daerah, baik di tingkat provinsi maupun kabupatenkota. Dapat dilihat dari lahirnya UU No 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah, Undang-Undang ini berisi, antara lain mencabut UU No 5 Tahun 1979 tentang Pemerintahan Desa, yang kemudian disempurnakan dalam UU No 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Kedua undang-undang tersebut menegaskan bahwa Pemerintah Pusat menyerahkan kewenangan kepada Pemerintah Daerah semua urusan pemerintah kecuali urusan politik luar negeri, pertahanan, keamanan, pendidikan, moneter, fiskal dan agama. 38 Selain itu, Pemerintah Pusat juga mengeluarkan kebijakan desentralisasi fiskal yang memberi kewengan kepada daerah untuk mengelola keuangan daerahnya sendiri. Kebijakan ini diwujudkan dengan ditetapkannya UU No 25 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah yang kemudian disempurnakan oleh UU No 3 Tahun 2004, kemudian disusul Peraturan Pemerintah No 58 Tahun 2005 tentang Pengelolaan Keuangan Daerah. 39 38 Agus Riyanto. 2012.”Politik Anggaran Provinsi Jawa Tengah: Analisis Realisasi APBD Provinsi Jawa Tengah Tahun Anggaran 2008-2010”. Dalam SPEKTRUM Jurnal Ilmu Politik Hubungan Internasional. Vol. 12 Nomor 2, Juli 2012. Hal. 1. 39 Ibid. Seacara umum keuangan daerah sering diartikan dengan APBD Anggaran Pendapatan Beanja Daerah. Menurut peraturan Pemerintah No 58 Tahun 2005 tentang Pengelolaan Keuangan Daerah yang dimaksud dengan pengertian keuangan daerah adalah semua hak dan kewajiban daerah dalam rangka penyelenggaraan Pemerintahan Daerah yang dapat dinilai dengan uang termasuk didalamnya segala bentuk kekayaan yang berhubungan dengan hak dan kewajiban daerah tersebut. 40 Kemudian, APBD dibagi ke setiap desa secara proposional yang merupakan alokasi dana desa dimana kabupatenkota mengalokasikannya paling sedikit 10 dari dana perimbangan keuangan pusat dan daerah yang diterima oleh daerah. Alokasi dana desa yang diterima oleh Pemerintahan Desa yang merupakan keuangan desa, adalah semua hak dan kewajiban dalam rangka penyelenggaraan pemerintahan desa yang dapat dinilai dengan uang, termasuk di dalamnya segala bentuk kekayaan yang berhubungan dengan hak dan kewajiban desa tersebut. Keuangan desa kemudian dikenal dengan APBDesa, sebagai dana penyelenggaraan pemerintahan desa yang menjadi kewenangan desa. Penyelenggaraan urusan pemerintahan daerah yang diselenggarakan oleh pemerintahan desa didanai dari APBD, sedangkan penyelenggaraan urusan pemerintahan pusat yang diselenggarakan oleh pemerintah desa didanai oleh APBN Anggaran Pendapatan Belanja Negara. 41 Sumber Pendapatan desa berasal dari : 40 Lihat PP No 58 Tahun 2005 tentang Pengelolaan Keuangan Daerah. 41 Hanif Nurcholis. 2011. “Pertumbuhan dan Penyelenggaraan Pemerintah Desa”. Jakarta: Penerbit Erlangga. Hal. 81. a. Pendapatan asli desa yang berasal dari hasil usaha desa, hasil kekayaan desa, hasil swadaya dan partisipasi hasil gotong royong, dan lain-lain pendapatan asli desa yang sah. b. Bagi hasil pajak daerah kabupatenkota paling sedikit 10 untuk desa dan retribusi kabupatenkota yang sebagian diperuntukan untuk desa. c. Bagian dari dana perimbangan keuangan pusat dan daerah yang diterima kabupatenkota untuk desa paling sedikit 10 yang dibagi ke setiap desa secara proposional yang merupakan alokasi dana desa. d. Bantuan keuangan dari pemerintah, pemerintah provinsi, dan pemerintah kabupatenkota dalam rangka pelaksanaan urusan pemerintahan. e. Hibah dan sumbangan dari pihak ketiga yang tidak mengikat. Sistem pengelolaan keuangan desa mengikuti sistem anggaran nasional dan daerah, yaitu mulai dari 1 Januari sampai dengan 31 Desember. Kepala desa sebagai kepala pemerintahan desa adalah pemegang kekuasaan pengelolaan keuangan desa dan mewakili pemerintah desa dalam kepemilikan kekayaan desa yang dipisahkan. Oleh karena itu, kepala desa mempunyai wewenang sebagai berikut : a. Menetapkan kebijakan tentang pelaksanaan APBDesa. b. Menetapkan kebijakan tentang pengelolaan barang desa. c. Menetapkan bendahara desa d. Menetapkan petugas yang melakukan pemungutan penerimaan desa, dan e. Menetapkan petugas yang melakukan pengelolaan barang milik desa. Kepala desa dalam melaksanakan pengelolaan keuangan desa dibantu oleh pelaksana teknis pengelolaan keuangan desa PTPKD, yaitu sekretaris desa dan perangkat desa lainnya. Sekretaris desa bertindak selaku koordinator pelaksanaan pengelolaan keuangan desa dan bertanggung jawab kepada kepala desa. Pemegang kas desa adalah bendahara desa. Kepala desa menetapkan bendahara desa dengan keputusan kepala desa. 42 Pemerintahan desa setiap tahun wajib menyusun APBDesa yang merupakan pembiayaan program pembangunan desa dalam jangka tiap tahun yang diselenggarakan oleh pemerintah desa. Namun dalam program pembangunan tahunan desa harus di rencanakan dalam lima tahun kedepan oleh kepala desa dimana disebut dengan rencana pembangunan jangka menengah desa RPJMDesa. Rancangan RPJMDesa didasarkan pada visi dan misi dari kepala desa, dimana ketika kepala desa baru menjabat. Maka, disaat baru mennjabat sebagai kepala desa, paling lambat 3 bulan kepala desa harus menyusun RPJMDesa. RPJMDesa ditetapkan dengan peraturan desa, kepala desa bersama Badan Permusyawaratan Desa BPD menyusun rencana kerja pemerintah desa RKPDesa yang merupakan penjabaran dari RPJMDesa berdasarkan hasil musyawarah rencana pembangunan desa. RKPDesa merupakan rencana kerja tahunan pemerintah desa dalam menyelenggarakan program pembangunan dan pelayanan di desanya. Penyelesaian RKPDesa diselesaikan paling lambat akhir bulan Januari tahun anggaran sebelumnya. 42 Ibid. Hal. 82. Sekretaris desa menyusun rancangan peraturan desa tentang APBDesa berdasarkan RKPDesa. Sekretaris desa menyampaikan rancangan peraturan desa tentang APBDesa kepada kepala desa untuk memperoleh persetujuan. Kemudian kepala desa menyampaikan rancangan peraturan desa kepada BPD untuk dibahas bersama dalam rangka memperoleh persetujuan bersama. Penyampaian rancangan peraturan desa tentang APBDesa paling lambat minggu pertama bulan November Tahun anggaran sebelumnya. Rancangan peraturan desa tentang APBDesa yang telah disetujui bersama sebelum ditetapkan oleh kepala desa paling lambat 3 hari kerja disampaikan kepada bupati untuk dievaluasi dan bupati harus menetapkan evaluasi rancangan APBDesa paling lambat 20 hari kerja. Apabila hasil evaluasi batas waktu yang dimaksud, kepala desa dapat menetapkan rancangan peraturan desa tentang APBDesa menjadi peraturan desa. 43 Apabila, bupati tidak menyetujui rancangan tersebut karena tidak sesuai dengan kepentingan umum dan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi, kepala desa bersama BPD melakukan penyempurnaan paling lama 7 hari masa kerja terhitung sejak diterimanya hasil evaluasi. Namun, jika hasil evaluasi tidak ditindak lanjuti oleh kepala desa dan BPD, maka bupati membatalkan peraturan desa tersebut sekaligus menyatakan berlakunya pagu APBDesa tahun anggaran sebelumnya, dan peraturan anggaran sebelumnya tetap harus ditetapkan oleh kepala desa. Rancangan peraturan desa tentang APBDesa ditetapkan oleh desa paling lambat 1 bulan setelah APBD kabupatenkota ditetapkan. Dengan ditetapkannya APBDesa, 43 Ibid.hal. 85. pemerintahan menyelenggarakan pemerintahan dan pembangunan desa berdasarkan APBDes. Dalam hal pelaksanaannya, program dan kegiatan yang masuk desa merupakan sumber penerimaan dan pendapatan desa dan wajib dicatat dalam APBDesa. Setiap pendapatan desa harus didukung oleh bukti yang lengkap dan sah. Kepala desa wajib melakukan pemungutan pendapatan desa, dan dilarang melakukan pemungutan selain dari yang ditetapkan dalam peraturan desa. Pengembalian atas kelebihan pendapatan desa yang terjadi pada tahun-tahun sebelumnya dibebankan pada belanja tidak terduga. Pengembalian harus didukung dengan bukti yang lengkap dan sah. Tentunya dalam masalah pengeluaran belaja atas beban APBDesa harus didukung dengan bukti yang lengkap dan sah. Untuk pertanggungjawaban pelaksanaan APBDesa, sekretaris desa menyusun rancangan peraturan desa tentang pertanggung jawaban kepala desa. Sekretaris menyampaikan kepada kepala desa untuk dibahas bersama BPD. Berdasarkan persetujuan kepala desa dengan BPD, maka rancangan peraturan desa tentang pertanggungjawaban pelaksanaan APBDesa dapat ditetapkan menjadi peraturan desa. Jangka waktu penyampaian dilakukan paling lama setelah 1 bulan setelah tahun anggaran berakhir, dan penyampaian pertanggungjawaban kepada bupati paling lama 7 hari setelah ditetapkannya rancangan peraturan desa tentang pertanggungjawaban pelaksanaan APBDesa tersebut. Demikian yang terjadi di Pemerintahan Desa Martoba, merekapun sedang gencar melakukan pembangunan di desanya. Mengikuti UU yang dikeluarkan pemerintah sebagai arahan dan pedoman bagi Desa Martoba melakukan pembagunan. Mulai dari sistem, peraturan desa, dan pemangunan infrastruktur desa. Dalam hal ini, Desa Martoba tidak memiliki Kantor Pemerintah Desa yang permanen, alias Kantor Pemerintahan Desa Martoba dibangun diatas tanah milik masyarakat. Ungkapan bahwa “ganti kepala desa, ganti kantor kepala desa” menjadi istilah yang muncul di tengah masyarakat. Dinamika yang ditemui di Desa Martoba sejauh ini, dalam masalah perencanaan anggarannya, tidak jauh beda dengan proses yang ada dalam Undang-Undang, hanya saja dalam mekanisme kerja, tentunya Kepala Desa Martoba mengalami kendala-kendala dikarenakan kondisi lingkungan dan keadaan kantor kepala desa. Pekerjaan setiap masa periode kepala desa yang baru dibebani dengan pencarian lokasi untuk dibangunnya kantor kepala desa, mencari lahan yang dapat disesuaikan dengan anggaran, bahkan ketika masa anggaran dalam proses pengaanggaran APBDesa sejalan disibukkannya dengan pencarian lokasi dan pembangunan fisik kantor kepala desa. Hal ini terbukti ketika ditanyakan masalah penerimaaan anggaran, kepala desa menuturkan bahwa belum menerima dana dari pemerintah daerah masa penelitian di bulan September sementara masa pemerintahan desa sudah berjalan dari akhir bulan Januari. Mula-mula desa menunjukkan pertumbuhan yang bersifat egaliter di bawah seorang pemimpin yang dituakan dari kalangan mereka sendiri dan atas persetujuan semua warga desa. Kedudukan kepala desa adalah setara dengan hak dan kewajiban yang disepakati bersama. Kepala desa tidak dapat melakukan perintah sepihak kepada warga desa. Oleh karena itu, karena semua urusan umum diputuskan bersama. Desa di awal berdirinya umumnya berpijak pada ekonomi subsisten. Sistem ekonomi ini berangkat dari pemenuhan kebutuhan dasar secara otonom. Bersamaan dengan pengembangan sistem ekonomi subsisten tersebut, warga desa mengembangkan sistem sosial politik, dan buadaya yang selaras dan mendukung sistem ekonominya Pada awalnya desa tidak berinteraksi dengan kekuatan super desa. Desa mempunyai kedaulatannya sendiri. Desa mirip negara mini tradisional yang merdeka dan berdaulat seperti polis Yunani kuno. Menjadikan desa dengan desa yang lain memiliki hubungan yang konferedasi. 44 Pada masa kekuasaan VOC desa tidak mengalami perubahan atas struktur pemerintahan pribumi, dimana dimulai dari kabupaten, kawedanan dan desa. Seperti struktur kelembagaan, manajemen, internal dan pola kerja, struktur hirarki dan sistem pengendalian maupun pertanggungjawabannya. Semuanya masih terikat pada adat istiadat yang turun temurun. Pembangunan desa pada di masa kekuasaan VOC masih seperti di masa sebelum Belanda masuk ke Indonesia, semua desa masih menyelenggarakan pemerintahan seperti sedia kala, yaitu berdasarkan adat istiadat yang dikembangkan sendiri. 45 Setelah itu, masuk tentara Belanda yang loyal kepada Perancis yang masuk ke Indonesia yang bertujuan mempertahankan Jawa dari serangan Inggris. Tentara ini dikenal dengan Daendels. Daendels memiliki peran dalam pembangunan desa, dimana kebijakan Daendels yang signifikan terhadap desa adalah menyewakan tanah kepada pengusaha swasta. Kebijakan ini mempunyai dampak langsung kepada kepala desa karena banyak 44 Ibid. Hal.163-164. 45 Ibid. Hal. 166. tanah orang-orang yang tinggal di suatu wilayah ikut dijual Daendels kepada pengusaha swasta. Sehingga mempengaruhi orang-orang desa ikut masuk dalam genggaman kekuasaan pengusaha swasta. Kemudian orang-orang membuatmembentuk komunitas di bawah kekuasaan pengusaha swasta tersebut. Meskipun komunitas tersebut mengembangkan sistem pemerintahan dan sosial budayanya tidak jauh berbeda dengan sistem sosial politik desa di luarnya, intervensi pemilik tanah sangat kental sehingga tidak bisa melaksanakan otonominya. Kebijakan lainnya yang juga berdampak pada otonomi desa adalah perubahan sistem pemerintahan tradisional dengan sistem pemerintahan gaya Eropa, ala Perancis. Gaya Eropa tersebut berupa pembagian atas profectuur-profectuur dan setiap profectuur dikepalai oleh seorang profect. Satu profecture meliputi beberapa kabupaten. 46 Pembangunan Desa sempat terjadi pula akibat dari pengaruh Raflles 1811, dimana desa dijadikan basis administrasi pemerintahan terendah. Kepala desannya langsung dibawah pemerintahan pusat, tidak dibawah pemerintah penguasa pribumi. Pengisian kepala desa yang semula bervariasi, maksudnya ada yang dipilih dan ada yang turun temurun. Kemuadian diseragamkan dengan cara dipilih oleh kepala keluarga penggarap tanah komunal. Namun hal ini tidak didukung baik oleh masyarakat desa kala itu, dimana diakibatkan oleh pengetahuan dan keterampilan masyarakat desa, dan adanya anggapan bahwa tanah memiliki hubungan yang magis ritual simbolik. Sehingga, masyarakat desa tidak mendukung kebijakan Raflles. Pada tahun 1816 kembali Belanda berkuasa maka kebijakan tersebut dicabut. Kelembagaan desa dan adat istiadat dikembalikan sebagaimana adat istiadatnya semula. Satu-satunya kebijakan Raflles yang diteruskan sampai sekarang 46 Ibid. adalah pengisian jabatan kepala desa dengan cara pemilihan langsung oleh penduduk desa, yang semula hanya oleh kepala keluarga yang mempunyai hak garap tanah. 47 Perubahan perilaku kepala desa dari yang dianggap sebagai orangkawan yang dituakan menjadi penguasa dimulai ketika Raffles menunjuk mereka sebagai pejabat penarik pajak. Setelah masa tanam paksa, pemerintah kolonial perlu memperkuat wibawa kepala desa demi tujuan politik dan ekonomi. Maka oleh karena itu, cara yang digunakan adalah dengan memperkuat wibawa dan keududukan kepala desa dengan memberikan legitimasi tradisional sesuai dengan alam pikiran dan budaya rakyat desa. Sehingga pada masa pemerintahan kolonial zaman tanam paksa, peran kepala desa tidak hanya sebagai kepala komunitas, melainkan juga berubah menjadi kaki tangan penguasa. Kepal desa tidak lagi menjadi pelindung dan pembela rakyatnya, tetapi menjadi pembela yang gigih pemerintah yang diatasnya. Kedudukan rakyat desa tidak lagi setara tetapi dibawah pemerintah kepala desa bahkan menempatka rakyatnya sebagai pihak yang harus dihadapi berkenaan dengan kepentingan pemerintahan diatas kepala desa. Pada masa ini, kepala desa menjadi otoriter. 48 Kemudian, desa diatur dalam Undang-Undang Desa, dimana pada tahun 1906 dikeluarkan dan dikenal dengan Inlandsche Gemeente Ordonnantie IGO, dimana desa diakui sebagai badan hukum publik. Karena setelah diberikannya landasan hukum bagi desa maka desa dapat melakukan tindakan hukum, yakni : 1. Membuat perjanjian. 47 Ibid. Hal. 169. 48 Ibid. 2. Melakukan transaksi. 3. Memiliki kekayaan. 4. Melakukan perbuatan hukum di pengadilan. Hal tersebut sebelum IGO ada tidaklah dapat dilakukan oleh desa. Pada masa ini desa mengurus rumah tangganya sendiri. Desa tidak mendapatkan anggaran dari pemerintahan atasannya, desa membiayai dirinya sendiri. Ketika Jepang menguasai dan menggatikan Belanda, maka kebijaka desa tidak lagi menggunakan pendekatan lembaga asli desa, tetapi melakukan intervensi secara langsung. Desa dijadikan unit administrasi pemerintah terendah di bawah kecamatan yang diperintah langsung secara hierarkis dari pusat. Beberapa kebijakan yang dibuat oleh Jepang terhadap desa : 1. Membentuk lembaga-lembaga semimiliter. 2. Kemudian membentuk lembaga Rukun Kampung RK, Rukun Warga RW dan Rukun Tetangga RT. 3. Membatasi masa jabatan kepala desa menjadi empat tahun untuk sekali masa jabatan. 4. Perangkat desa difungsikan sebagai staf teknis penompang kepentingan perang. 5. Membentuk koperasi rakyat. pada masa ini suprastruktur desa masuk secara langsung dan intensif dan struktural. Pemerintah langsung mengendalikan struktur sosial, politik dan ekonomi desa sampai ke hal yang mendasar, melalui perpanjangan tangannya kepala desa dan perangkat desa kepala RK, kepala RT. Desa kehilangan otonominya dan juga kehilangan sumber daya, modal sosial dan budaya. 49 Pasca kemerdekaan, dibuat Undang-Undang No. 1 tahun 1945 yang mengatur kedudukan desa dan kekuasaan komite nasional daerah sebagai badan legislatif yang memimpin oleh seorang kepala desa. Undang-Undang ini kemudian diganti dengan Undang-Undang No. 22 tahun 1948 tentang Pemerintahan Daerah, dimana sebagai suatu daerah yang otonom, pemerintahan desa berhak mengatur dan mengurus pemerintahannya sendiri. Pada masa pasca kemerdekaan hingga tahun 1979 desa berada dalam keadaan status quo. Peraturan desa masih menggunankan IGO dikawasan Jawa dan IGOB Inlandsche Gemeente Ordonantie voor Buitengewesten untuk kawasan yang berda diluar jawa yang merupakan peninggalan Hindia-Belanda. Undang-Undang No 5 tahun 1960 Tentang Peraturan Desa Pokok-Pokok Agraria UUPA, struktur kepemilikan tanah komunal desa berubah total, sebelumnya struktur kepemilikan tanah desa terdiri atas tanah hak milik dan tanah komunal. Tanah komunal terdiri atas tanah gaji pengurus desa yang disebut tanah bengkok, tanah banda desatitisara yang merupakan tanah kas desa untuk membiayai kegiatan rutin pemerintahan dan pembangunan desa, dan tanah milik umum penduduk yang disebut tanah yang disebut tanah norowito, gogol, dan sebutan lain yang diperuntukkan bagi sumber pokok ekonomi penduduk desa yang pengaturannya berdasarkan sistem gilir ganti kepada seluruh kepala rumah tangga tani yang tinggal di desa bersangkutan. Pada masa rezim orde lama desa dibangun dengan kebijakan sebagai berikut : 49 Ibid. Hal. 175. 1. Hilangnya tanah komunal desa. 2. Lepasnya bekas tanah dimana kepala rumah tangga tani morowitogogol tersebut dari tangan petani penerima hak milik dari negara ke tangan kapitalis desa. 3. Hancurnya lembaga sosial budaya dan kehidupan adat di desa. Deskeripsi desa pada 1960-1967 mencerminkan negara gagal. Kemiskinan mencapai puncaknya. Kematian dan kelaparan menjadi pemandangan sehari-hari di desa karena sebagian besar orang desa tidak makan nasi tapi makan ampas tahu yang tak bergizi. Ketika masa Orde Baru, dikeluarkan Inpres No. 4 tahun 1973 tentang Unit Desa. Menjelaskan bahwa Unit Desa ialah suatu kesatuan agro ekonomis dari masyarakat desa dalam suatu wilayah, yang memiliki fungsi-fungsi penyuluhan pertanian; perkreditan; penyaluran sarana produksi; pengolahan dan pemasaran hasil pertanian khususnya produksi pangan melalui usaha-usaha intensifikasi, serta pengembangan perekonomian masyarakat desa yang diorganisir berdasarkan koperasi yang meningkatkan taraf hidup para petani produsen khususnya serta masyarakat desa pada umumnya. Adapun tujuan pembangungan Unit Desa adalah: 1. Menjamin terlaksananya program peningkatan produksi pertanian, khususnya produksi pangan secara efektif dan efisien. 2. Memberikan kepastian bagi para petani produsen khususnya serta masyarakat desa pada umumnya, bahwa mereka tidak hanya mempunyai tanggung jawab untuk ikut serta meningkatkan produksi itu sendiri tetapi juga secara nyata dapat memetik dan menikmati hasilnya guna peningkatan taraf hidup serta kesejahteraan. 50 Maka, oleh karena itu pemerintah membuat kebijakan dalam rangka mensukseskan program tersebut, dengan membuat dua kebijakan antara lain : 1. Politik massa mengambang floating mass. Dengan kebijakan masa mengambang, partai politik dilarang membentuk kepengurusan di tingkat kecamatan dan desa. Masyarakat desa di jauhkan dari kegiatan politik praktis. Pemerintah memobilisir sumber daya desa untuk pembangunan demi meningkatkan taraf hidup petani khususnya dan masyarakat pada umumnya. 2. Intevensi langsung melalui lembaga desa. Dengan intervensi langsung melalui kelembagaan desa, pemerintah membuat kebijakan pula, yakni : a. Petani wajib menyerahkan sebagian hasil panennya kepada pemerintah dengan harga yang telah ditentukan. b. Petani disemiwajibkan menanam padi varietas unggul. c. Petani diwajibkan ikut terlibat dalam Badan Usaha Unit Desa BUUD dan menjadi anggota Koperasi Unit Desa KUD. d. Pemerintah mendirikan Badan Usaha Logistik Bulog yang diberi tugas mengendalikan ketersediaan dan harga komoditas pangan. 50 Ibid. Hal. 184-185. e. Desa diberi bantuan Rp. 100.000 per tahun sebagai modal perangsang pembangunan desa yang harus dilengkapi dengan dana dari kas desa dan gotong royong masyarakat. Desa mengalami perintah langsung oleh pemerintah pusat di masa Orde Baru, walaupun banyak kebijakan-kebijakan yang dibuat untuk pemerintahan desa, memang dalam maksud untuk pembangunan di desa, sekaligus juga untuk kepentingan pemerintah pusat. Kebijakan tersebut ditujukan untuk mengatasi masalah krisis pangan secepatnya, menjaga stabilitas pangan dan harga kebutuhan pokok dan meningkatkan kesejahteraan petani. Dengan begitu banyak kebijakan yang dibuat di masa Orde Baru, sebenarnya belum dapat mengatasi masalah kemiskinan yang dihadapi pada kondisi sosial, politik, ekonomi, sumber daya, dan budaya yang ada di desa itu sendiri. Menciptakan dislokasi pada konsepsi dan perilaku pengurus dan masyarakat desa sehingga tidak mampu memberdayakan masyarakat melalui pemberian pelayanan publik yang baik. Kebijakan-kebijakan tersebut tidak terbukti menyejahterakan warga desa melainkan hanya menciptakan kelas kaya baru di perdesaan dari kalangan pengurus desa dan pengurus KUD. 51 Ketika Orde Baru runtuh dan masa Reformasi berjalan makan dimunculkan UU terkait pemerintah daerah dan perimbangan keuangan pusat dan daerah. UU Nomor 22 Tahun 1999 Tentang Pemerintahan Daerah pada pasal 93 hingga pasal 111 dimana desa tidak ditempatkan di bawah kecamatan tetapi langsung di bawah kabupaten. Kemudian UU Nomor 22 Tahun 1999 diganti dengan UU Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Desa diatur dalam pasal 200 samapai dengan pasal 216. Secara keseluruhan UU 51 Ibid. Hal. 192. Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah sama deangan UU Nomor 22 tahun 1999. Pengaturan yang membedakan yakni pada kewengan desa, fungsi BPD, dibukanya kembali desa di bawah pemerintahan kota, dan pengisian sekretaris desa dari PNS.

B. Pembangunan Desa Martoba.