Perilaku nyamuk Anopheles spp.

Selain itu juga ditunjukkan bahwa fluktuasi iklim berperan penting dalam memulai epidemi malaria di daerah tersebut. Suhu berpengaruh terhadap masa perkembangan dan perbedaan tahapan dalam siklus hidup nyamuk, laju mencari makan, siklus gonotrofik dan usia nyamuk. Kapasitas vektoral dan laju inokulasi entomologi dipengaruhi oleh kelimpahan vektor dalam hubungannya dengan jumlah orang pada suatu tempat, laju kelangsungan hidup harian, laju mencari makan, laju mencari makan dan waktu yang dibutuhkan selama periode siklus sporogoninya. Tahap ini sangat peka terhadap suhu lingkungan Sukowati 2010. Patz dan Olson 2006 meneliti hubungan antara waktu yang dibutuhkan untuk perkembangan parasit Plasmodium falciparum dan P. vivax dalam tubuh nyamuk An. gambiae, yang menunjukkan bahwa setelah melewati nilai suhu 18 ˚C, maka perkembangan keduanya akan semakin tinggi dengan kenaikan suhu. Masa inkubasi parasit malaria dalam tubuh nyamuk juga dipengaruhi oleh fluktuasi suhu harian. Fluktuasi suhu diurnal dibawah 21°C akan menghambat perkembangan parasit dibandingkan dengan suhu konstan, sedangkan fluktuasi yang melebihi 21°C mempercepat perkembangan parasit. Nyamuk memerlukan air tergenang untuk habitat perkembangbiakan dan membutuhkan kelembaban untuk viabilitasnya, curah hujan akan menciptakan habitat perkembangbiakan atau menyapu nyamuk fase pradewasa dan menyebabkan vektor lebih infektif, akan tetapi suhu dan kekeringan yang terlalu tinggi akan mengurangi kelangsungan hidup nyamuk. BAB 3 KELIMPAHAN DAN KEANEKARAGAMAN NYAMUK Anopheles spp. DI HALMAHERA SELATAN, DAERAH ENDEMIK MALARIA [Abundance and diversity of Anopheles spp. mosquito in South Halmahera, A Malaria Endemic Region] Abstrak Penelitian tentang kelimpahan dan keanekaragaman nyamuk Anopheles spp. pada empat jenis ekosistem yang berbeda yaitu permukiman, perkebunan, semak dan hutan telah dilaksanakan di Desa Saketa yang merupakan daerah endemik di Kabupaten Halmahera Selatan. Penelitian ini dilaksanakan selama 12 bulan dari bulan September 2010 hingga Agustus 2011 bertujuan untuk mempelajari aspek ekologi Anopheles spp. pada tiap jenis ekosistem. Penangkapan nyamuk dilakukan dengan metode human landing collection dari pukul 18.00-6.00, sebanyak empat kali setiap bulan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat 10 spesies Anopheles yaitu Anopheles barbumbrosus, An. farauti, An. hackeri, An. indefinitus, An. kochi, An. koliensis, An. punctulatus, An. subpictus, An. tessellatus, dan An. vagus. Anopheles tertinggi ditemukan pada ekosistem perkebunan 35,82, diikuti oleh hutan 33,78, semak 24,98, dan terendah di permukiman 5,42. An. indefinitus dominan pada ekosistem hutan, sedangkan An. kochi dominan pada ekosistem perkebunan, semak dan permukiman. Hasil analisis korespondensi menunjukkan bahwa nyamuk Anopheles tersebar dalam tiga kelompok utama yaitu An. farauti dan An. tessellatus mengelompok pada semak dan permukiman, An. indefinitus, An. hackeri, An. subpictus and An. vagus mengelompok di hutan, dan An. barbumbrosus, An. kochi, An. koliensis , dan An. punctulatus mengelompok di perkebunan. Kata kunci : Anopheles spp, endemik malaria, Halmahera Selatan, keaneka ragaman, kelimpahan Abstract A research on abundance and biodiversity of Anopheles mosquitoes were done in four different ecosystems, i.e. housings, plantations, bushes, and forests in South Halmahera, the endemic malaria district in North Maluku, started from September 2010 to August 2011. The research aimed to assess ecological aspect of Anopheles in each ecosystem types. Mosquitoes were collected by using human landing collection method from 6.00 pm to 6.00 am, four times per month. The research results showed that there were 10 species of Anopheles i.e. Anopheles barbumbrosus, An. farauti, An. hackeri, An. indefinitus, An. kochi, An. koliensis, An. punctulatus, An. subpictus, An. tessellatus, and An. vagus. The highest Anopheles distribution was found in plantation ecosystem 35,82, followed by forest ecosystem 33,78, bushes ecosystem 24,98, and housing ecosystem 5,42. An. indefinitus dominantly found in forest ecosystems, whereas An. kochi dominantly found in plantations, bushes and housing areas. Based on correspodence analysis, Anopheles mosquitoes found spread in three main groups namely, An. farauti and An. tessellatus clustered on the bushes and housing ecosystems, whereas An. indefinitus, An. hackeri, An. subpictus and An. vagus on the forest ecosystem, and An. barbumbrosus, An. kochi, An. koliensis, and An. punctulatus clustered in plantation. Key words: abundance, Anopheles spp, biodiversity, malaria endemic, South Halmahera,

3. 1. Pendahuluan

Desa Saketa memiliki luas ± 14.000 Ha, 4000 Ha di antaranya dalam bentuk hutan dan semak yang tidak dimanfaatkan, ± 150 Ha merupakan kawasan permukiman, dan selebihnya merupakan lahan perkebunan rakyat GBDA, 2010 Penduduk Desa Saketa berjumlah 1.993 orang yang terdiri dari 402 KK. Saat ini di Desa Saketa terjadi perluasan wilayah perkebunan, penebangan hutan oleh pemegang HPH dan perubahan fungsi hutan secara drastis. Pembukaan lahan untuk perkebunan telah terjadi sejak lama dan semakin cepat seiiring dengan naiknya harga komoditas perkebunan. Sebagian besar warga Desa Saketa merupakan petani kebun 49,3, nelayan 13,2, dan sisanya bekerja sebagai pengolah kayu di hutan, buruh pelabuhan, pedagang dan pegawai yang sebagian besar di antaranya juga bekerja paruh waktu di kebun PPDS, 2010. Aktivitas warga yang tinggi di lingkungan perkebunan, diduga telah memicu laju penyebaran malaria dari vektor ke manusia. Hal ini diindikasikan dengan tingginya kasus malaria yang terjadi selama ini. Desa Saketa merupakan daerah endemis malaria dengan tingkat infeksi tinggi, sehingga untuk daerah ini malaria masih merupakan masalah utama bagi kesehatan masyarakat. Berbagai upaya pemberantasan vektor telah dilakukan, akan tetapi angka penderita malaria masih tetap tinggi. Sejak tahun 2007 hingga 2009 tercatat sebanyak 1.296 orang penderita PSKGB, 2010. Penyebabnya kemungkinan disebabkan terdapatnya berbagai jenis vektor dan habitatnya yang mendukung perkembangan dan pertumbuhannya, sehingga diperlukan pengamatan vektor untuk mengatasi masalah malaria di daerah ini. Perubahan kompleksitas tanaman akan mempengaruhi komposisi, kelimpahan dan sebaran hewan yang berperan dalam siklus transmisi penyakit pada manusia. Perubahan fungsi hutan dan fragmentasi habitat yang diikut i dengan berkurangnya biodiveristas akan meningkatkan laju kontak antara manusia dengan berbagai jenis patogen dan vektor penyakit Pongsiri et al. 2009. Penurunan keanekaragaman hayati di sekitar habitat nyamuk berpengaruh terhadap munculnya kembali suatu penyakit, dimana hal ini masih kurang memperoleh perhatian. Berkurangnya keanekaragaman hayati akibat deforestasi berpengaruh langsung terhadap penyebaran penyakit zoonotik dan perubahan