Hasil dan Pembahasan TINJAUAN PUSTAKA

Gambar 6 Kelimpahan An. barbumbrosus pada empat jenis ekosistem di Desa Saketa, Kabupaten Halmahera Selatan dari September 2010- Agustus 2011 Pada bulan Januari dan Februari spesies ini hanya tertangkap di perkebunan. Pada bulan September, November dan Maret nyamuk An. barbumbrosus tertangkap di hutan dan di perkebunan dan tidak ada yang tertangkap pada bulan Desember. Sementara pada bulan Januari dan Februari hanya tertangkap di perkebunan. Spesies ini tertangkap di semua jenis ekosistem pada bulan Mei dan Juli, sementara pada bulan Agustus tidak tertangkap di hutan. Amerasinghe et al. 2001 melaporkan bahwa An. barbumbrosus merupakan spesies paling melimpah di antara 15 spesies Anopheles pada bendungan irigasi di wilayah bagian utara Sri Lanka Tengah. An. barbumbrosus pertama kali dilaporkan sebagai vektor tahun 1943 yang menyebabkan wabah malaria bagi tentara Australia yang ditahan di Camp Changi, Singapura, penyakit ini dibawa para tawanan dari hutan perbatasan Thailand-Burma Wilson Reid 1949. Di Indonesia, belum ada laporan yang menyatakan nyamuk ini sebagai vektor.

3.3.4.3 Anopheles hackeri

Kelimpahan An. hackeri sangat terbatas, jumlah yang tertangkap hanya berjumlah 3 individu pada ekosistem hutan 66,7 dan semak 33,3, pada bulan Maret dan April. Spesies ini merupakan sepesies dengan kelimpahan yang terendah di antara semua spesies lainnya. Kelimpahan An. hackeri disajikan pada Gambar 7. 0,0 2,0 4,0 6,0 8,0 10,0 12,0 14,0 Sept Okt Nov Des Jan Feb Mar Apr Mei Jun Jul Agu An. barbumbrosus Hutan Perkebunan Permukiman Semak K el imp ah an Gambar 7 Kelimpahan An. hackeri pada empat jenis ekosistem di Desa Saketa, Kabupaten Halmahera Selatan dari September 2010 sampai Agustus 2011. Secara kevektoran, nyamuk ini bukan merupakan ancaman karena hingga saat ini belum ada satu laporan yang mengkomfirmasinya sebagai vektor untuk suatu jenis penyakit.

3.3.4.4 Anopheles indefinitus

An. indefinitus ditemukan setiap bulan pada semua ekosistem dengan jumlah tertinggi pada ekosistem hutan dan terendah pada ekosistem permukiman. Kelimpahan An. indefinitus disajikan pada Gambar 8. Gambar 8 Kelimpahan An. indefinitus pada empat jenis ekosistem di Desa Saketa, Kabupaten Halmahera Selatan dari September 2010 sampai Agustus 2011 0,0 5,0 10,0 15,0 20,0 25,0 30,0 35,0 Sept Okt Nov Des Jan Feb Mar Apr Mei Jun Jul Agu An. hackeri Hutan Perkebunan Permukiman Semak 0,0 5,0 10,0 15,0 Sept Okt Nov Des Jan Feb Mar Apr Mei Jun Jul Agu An. indefinitus Hutan Perkebunan Permukiman Semak K el imp ah an K el imp ah an Kelimpahan An. indefinitus menempati urutan ke 2 setelah An. kochi. Kelimpahan An. indefinitus yang tertinggi terdapat di hutan 47,9, diikuti oleh semak 29,3, perkebunan 17,3, dan terendah di permukiman 4,87. Di Indonesia dan banyak negara yang bermasalah dengan malaria, nyamuk ini tidak berperan sebagai vektor. Namun demikian hasil uji ELISA terhadap An. indefinitus yang ditemukan di Desa Saketa menunjukkan adanya sampel yang posistif mengandung Plasmodium vivax Sukowati, 2010. Di Pulau Jawa An. indefinitus sering ditemukan di sawah dan berasosiasi dengan kolam-kolam berumput, tambak dan kubangan dengan jumlah populasi yang terbatas Ndoen et al. 2010. An. indefinitus masuk dari Vietnam dan wilayah Asia Tenggara ke Guam dan Spanyol melalui transportasi udara setelah perang dunia II. Nyamuk ini berpotensi sebagai vektor dan menyebabkan wabah malaria di Guam tahun 1966 dan 1969 Gratz et al. 2007, di Indonesia nyamuk ini tidak berpotensi vektor tetapi hanya menimbulkan efek gangguan saja.

3.3.4.5 Anopheles kochi

An. kochi merupakan Anopheles yang paling melimpah di Desa Saketa, proporsinya mencapai 55,2 dari jumlah total nyamuk Anopheles spp. yang tertangkap. Kelimpahan tertinggi terdapat di perkebunan 47,7 diikuti di hutan 24,3, semak 22,4, dan terendah di permukiman 5,48. Gambar 9 menunjukkan kelimpahan An. kochi pada empat jenis ekosistem di Desa Saketa. Gambar 9 Kelimpahan An. kochi pada empat jenis ekosistem Desa Saketa, Kabupaten Halmahera Selatan dari September 2010 sampai Agustus 2011 0,0 2,0 4,0 6,0 8,0 10,0 12,0 14,0 Sept Okt Nov Des Jan Feb Mar Apr Mei Jun Jul Agu An. kochi Hutan Perkebunan Permukiman Semak K el imp ah an Kelimpahan An. kochi sangat rendah pada bulan September hingga Desember, mulai meningkat pada bulan Januari dan mencapai puncaknya pada bulan Mei-Juni. Di semak kelimpahannya mengalami puncak pada bulan April dan Juli, serta menurun mulai bulan Juli-Agustus. An. kochi lebih banyak tertangkap di perkebunan pada bulan Februari hingga Juni, dan pada bulan Juli lebih banyak tertangkap di semak. Spesies ini tertangkap dalam persentase yang kecil sepanjang bulan Agustus hingga Desember. An. kochi merupakan spesies oriental dan menyebar di wilayah Australasia melalui transportasi udara Foley et al. 2000. Di Indonesia, nyamuk ini tidak termasuk sebagai spesies vaktor untuk malaria Sukowati 2009 tetapi dinyatakan sebagai vektor untuk parasit Japanese encephalitis di Semarang, Jawa Tengah, dan vektor filariasis di Papua Winarno Hutajulu 2009.

3.3.4.6 Anopheles subpictus

Total jumlah An. subpictus yang tertangkap selama penelitian adalah 119 individu, yaitu 21 individu 17,56 di perkebunan, 75 individu di hutan 63,03, 19 individu 15,97 di semak, dan 4 individu 3,36 di permukiman. Proporsi An. subpictus pada setiap jenis ekosistem disajikan pada Gambar 10. Pada bulan Desember hingga Februari, Juli dan Agustus tidak terdapat An. subpictus yang tertangkap. An. subpictus banyak tertangkap di hutan pada bulan September hingga November, serta Maret hingga Mei, kebanyakan nyamuk ini, dan pada bulan Juni hanya tertangkap di perkebunan. Frekuensi keberadaan spesies ini tertinggi tertangkap pada ekosistem hutan dan perkebunan yaitu 0,50. An. subpictus diketahui positif mengandung sporozoit di Sulawesi Selatan, Sultra 1942, Cirebon 1952, Atambua 1973, Banyuwangi dan Flores 1979. Nyamuk ini bersifat indoor dan zoophilik Boesri 2007. Di Pulau Jawa An. subpictus banyak ditemukan di sawah, di Nusa Tenggara Timur merupakan spesies yang dominan di daerah pantai dan paling melimpah 65,5 di daerah pantai di Nusa Tanggara Barat Ndoen et al. 2010. An. subpictus dilaporkan menyebar luas sebagai vektor di Asia, di Sri Lanka merupakan nyamuk yang predominan baik dalam fase larva maupun dewasa. Sibling An. subpictus C tahan terhadap kadar garam hingga 4 ppt dan An. subpictus D hingga 8 ppt Surendran et al. 2011. Gambar 10 Kelimpahan An. subpictus pada empat dan bulan penangkapan di Desa Saketa, Kabupaten Halmahera Selatan dari September 2010 sampai Agustus 2011 Meskipun populasi An. subpictus cenderung lebih rendah jika dibandingkan dengan spesies lainnya di Saketa, spesies ini perlu diperhatikan karena merupakan inang bagi Plasmodium vivax dan P. falciparum di Sri Lanka Amerasinghe et al. 1992. An. subpictus termasuk spesies Anopheles yang dikonfirmasi sebagai vektor di Maluku Utara Winarno Hutajulu 2009, dan oleh Sukowati 2009 dinyatakan juga sebagai vektor malaria di Sumatera Barat, Jawa Timur, NTB, NTT dan Sulawesi Tenggara.

3.3.4.7 Anopheles tesselatus

An. tesselatus yang tertangkap selama penelitian adalah 703 individu, kelimpahan tertinggi terdapat di perkebunan 40,4, diikuti oleh hutan 21,1, semak 30,2 dan yang terendah terdapat di permukiman 8,4. Pada bulan September hingga November An. tessellatus kebanyakan tertangkap di hutan, sementara dari bulan Desember hingga Mei kebanyakan di perkebunan. Pada empat bulan berikutnya spesies ini terdapat pada semua jenis ekosistem, dengan kelimpahan tertinggi di semak. Anopheles tesselatus yang terdapat di Pulau Nias, Sumatera Utara berkembang biak di sawah, kolam-kolam, hutan, rawa dan tambak air tawar Buwono, 1997, dan merupakan vektor di Maluku Utara, Maluku dan NTT Aditama, 2009, dan di Kepulauan Sangir, Sulawesi Utara Sukowati 2009. 0,0 5,0 10,0 15,0 20,0 25,0 30,0 Sept Okt Nov Des Jan Feb Mar Apr Mei Jun Jul Agu An. subpictus Hutan Perkebunan Permukiman Semak K el imp ah an Sharma dan Hamzakoya 2001 menyatakan An. tessellatus sebagai vektor malaria yang berasal dari Pulau Maladewa yang masuk ke India dan tercatat sebagai vektor pada tahun 1972. Mendis et al. 1993 menginokulasi sporozoa dari penderita malaria ke tubuh An. tessellatus dan menemukan Plasmodium vivax dapat berkembang dalam tubuh nyamuk, tetapi tidak dapat diamati pada sporozoa P. palcifarum. Gambar 11 Kelimpahan An. tessellatus pada empat di Desa Saketa, Kabupaten Halmahera Selatan dari September 2010 sampai Agustus 2011

3.3.4.8 Anopheles vagus

Proporsi An. tesselatus per ekosistem disajikan dalam Gambar 11. Hasil penelitian menunjukkan An. vagus termasuk spesies yang tertangkap dengan jumlah individu yang rendah, selama penelitian tertangkap 234 individu. Kelimpahan tertinggi terdapat di perkebunan 20,1, diikuti oleh hutan 47,0, semak 23,5 dan terendah di permukiman 9,4. An. vagus tidak ditemukan pada bulan Januari hingga Juni, pada bulan November hanya tertangkap di semak, dan pada bulan Desember hanya ditemukan perkebunan. Pada bulan Juli dan Agustus spesies ini dtemukan pada ke empat jenis ekosistem. Frekuensi keberadaan An. vagus yang tertinggi adalah di semak 0,83 diikuti hutan dan perkebunan masing-masing 0,42 . Kelimpahan An. vagus per ekosistem disajikan pada Gambar 12. 0,0 2,0 4,0 6,0 8,0 10,0 12,0 14,0 16,0 18,0 Sept Okt Nov Des Jan Feb Mar Apr Mei Jun Jul Agu An. tessellatus Hutan Perkebunan Permukiman Semak K el imp ah an Gambar 12 Kelimpahan An. vagus pada empat di Desa Saketa, Kabupaten Halmahera Selatan dari September 2010 sampai Agustus 2011 An. vagus menyebar di negara Bangladesh, Kamboja, China, India, Laos, Malaysia, Kepulauan Mariana, Myanmar Burma, Nepal, Sri Lanka, Thailand, Philipina, Vietnam dan Indonesia Rueda et al. 2011. Spesies ini bersifat zoofilik dan lebih menyukai sapi 90 dan kerbau air dibandingkan dengan manusia. Di Indonesia dikonfirmasi sebagai vektor di Jawa Barat Sukowati 2009, Sulawesi Utara Aditama 2009 dan di Jawa Barat dan NTT Winarno Hutajulu 2009. Nyamuk ini juga merupakan vektor sekunder pada permukiman yang tidak memiliki ternak atau primata Prakash et al. 2004. Kelimpahan An. vagus dipengaruhi oleh curah hujan dan jenis habitat Amerasinghe et al. 1999. Amerasinghe et al. 1991 melaporkan bahwa An. vagus merupakan salah satu spesies yang dominan akibat perubahan lingkungan yang terjadi selama berlangsungnya pelaksanaan pembangunan irigasi di Sri Lanka dan tetap menjadi dominan ketika spesies lainnya menjadi berkurang setelah irigasi terbangun. Di Sukabumi, An. vagus bersama dengan An. barbirostris, An. maculatus , merupakan spesies yang dominan dari 13 spesies yang ditangkap Anopheles spp. meskipun menyebar pada semua jenis ekosistem, ternyata tetap menunjukkan adanya pola pengelompokan spesies pada ekosistem tertentu. Hasil analisis korespondensi keterkaitan antara jenis ekosistem dengan distribusi jenis Anopheles di Desa Saketa, menunjukkan adanya korelasi antara parameter yang terpusat pada dua sumbu utama yaitu F1 dan F2. Kualitas informasi yang disajikan oleh kedua sumbu masing-masing sebesar 90,95 dan 7,91 sehingga Craig et al. 2009.

3.3.5 Pengelompokan spesies Anopheles spp. berdasarkan jenis ekosistem

0,0 5,0 10,0 15,0 20,0 25,0 30,0 Sept Okt Nov Des Jan Feb Mar Apr Mei Jun Jul Agu An. vagus Hutan Perkebunan Permukiman Semak K el imp ah an ragam spesies nyamuk berdasarkan jenis ekosistem dapat dijelaskan melalui kedua sumbu tersebut adalah sebesar 98,86 dari ragam total. Grafik pada gambar di atas menunjukkan bahwa terdapat 3 bentuk pengelompokan Anopheles berdasarkan ekosistem, yaitu An.hackeri, An. indifinitus , An.vagus, dan An. subpictus lebih sering ditemukan pada ekosistem hutan, An. farauti dan An. tessellatus lebih sering ditemukan pada ekosistem semak dan permukiman, serta An. punctulatus, An. barbumbrosis, An. koliensis, dan An. kochi lebih sering ditemukan pada ekosistem perkebunan. Hasil analisis korespondensi keterkaitan antara jenis ekosistem dengan distribusi jenis nyamuk Anopheles disajikan pada Gambar 13. Gambar 13 Hasil analisis korespondensi CA antara jenis ekosistem dan spesies nyamuk Anopheles spp. di Desa Saketa. Berdasarkan hasil penelitian tersebut di atas, maka selain spesies Anopheles dominan, spesies Anopheles lainnya yang perlu diperhatikan dalam kaitannya dengan kevektoran adalah spesies yang masuk dalam grup punctulatus yaitu An. farauti, An. koliensis dan An. punctulatus. Ketiga spesies tersebut merupakan vektor di Papua yang secara georgrafis lebih dekat dengan Pulau Halmahera. Tingginya mobilitas masyarakat Halmahera perantau dari ke Papua memungkinkan tingginya peluang terinokulasinya parasit yang terbawa dari Papua pada spesies Anopheles di Halmahera khususnya grup punctulatus. Symmetric Plot axes F1 and F2: 98.86 An. vag An. tes An. sub An. puc An. kol An. koc An. ind An. hac An. far An. bar Semak Permukiman Perkebunan Hutan -1 -0.8 -0.6 -0.4 -0.2 0.2 0.4 0.6 0.8 1 -1 -0.8 -0.6 -0.4 -0.2 0.2 0.4 0.6 0.8 1 Species Anopheles F1 90.95 -- Je n is e k o si st em ax is F 2 7. 91

3.4 Kesimpulan

Anopheles di Saketa terdapat pada empat jenis ekosistem yang berbeda yaitu perkebunan, hutan, semak dan permukiman. Nyamuk Anopheles spp. yang ditemukan terdiri atas 10 spesies yaitu; An. barbumbrosis, An. farauti, An. hackeri, An. indefinitus, An. kochi, An. koliensis, An. punctulatus, An. subpictus, An. tessellatus, dan An. vagus. An. kochi merupakan spesies yang paling dominan pada ekosistem perkebunan, semak dan permukiman, sedangkan spesies An. indefinitus paling dominan pada ekosistem hutan. Jumlah jenis Anopheles yang ditemukan pada ke empat jenis ekosistem termasuk tinggi yaitu 10 spesies di hutan dan di perkebunan, dan masing-masing terdapat 9 spesies di semak dan permukiman. Kelimpahan Anopheles menunjukkan kenaikan secara lambat dari bulan September hingga Februari- Maret. Di permukiman, semak dan hutan kelimpahan mencapai puncaknya pada bulan Mei, Juli dan Agustus. Pada ekosistem perkebunan, kelimpahan mencapai puncaknya pada bulan Mei dan Juni, sedangkan di semak kelimpahannya mengalami puncak pada bulan April dan Juni. Hutan hanya mengalami satu puncak, yang terjadi pada bulan Juni, selanjutnya menurun pada bulan berikutnya. Proporsi jumlah Anopheles tertinggi terdapat pada ekosistem perkebunan, diikuti ekosistem hutan, semak dan permukiman. An. hackeri, An. indifinitus, An. vagus , dan An. subpictus cenderung mengelompok pada ekosistem hutan, sementara itu An. farauti dan An. tessellatus lebih cenderung mengelompok pada ekosistem semak dan permukiman, sedangkan An. punctulatus, An. barbumbrosis, An. koliensis , dan An. kochi cenderung mengelompok pada ekosistem perkebunan. DAFTAR PUSTAKA Aditama TjY. 2009. Program pengendalian penyakit yang ditularkan vektor. Simposium dan seminar Nasional Asosiasi pengendali nyamjuk Indonesia APNI. Seminar Nasional hari nyamuk 2009. Bogor Amerasinghe FP, Amerasinghe PH, Peiris JS, Wirtz RA. 1991. Anopheline ecology and malaria infection during the irrigation development of an area of the Mahaweli Project, Sri Lanka. Am. J. Trop. Med. Hyg. 1991 452:226-35. Amerasinghe FP, Kondradsen F, Hoek WV, Amerasinge HP, Gunawerdena JPW, Fonseka KT, Jayasinghe G. 2001. Small irrigation tanks as a source of malaria mosquito vectors: a study in North-Central Sri Lanka. International Water Management Institute. Research report 57. Colombo. Sri Lanka. Bangs MJ, Rusmiarto S, Anthony RL, Wirtz RA, Subianto DB. 1996. Malaria transmission by Anopheles punctulatus in the highlands of Irian Jaya, Indonesia. Am. Trop. Med. Parasitol. 901:29-38. Beebe NW, Cooper RD. 2002. Distribution and evolution of the Anopheles punctulatus group Diptera: Culicidae in Australia and Papua New Guinea. Int. J. Parasitol. 325:563-74. Bengen DG, 1999. Analisis statistik multivariabelmultidimensi. PSPSPL. IPB. Bogor Bockarie MJ, Kazura JW. 2003. Lymphatic filariasis in Papua New Guinea; Prospects for elemination. J. Med. Microbiol. Immunol. 192:9-14. Boewono DT, Nalim S, Suloarto T, Mujiono, Sukarno. 1997. Penentuan vektor malaria di Kecamatan Teluk Dalam, Nias. Cermin Dunia Kedokteran. 118:9-14. Burkot TR, Dye C, Graves PM. 1989. An analysis of some factors determining the sporozoite rates, human blood indexes, and biting rates of members of the Anopheles punctulatus complex in Papua New Guinea. Am. J. Trop. Med. Hyg. 403:229-34. Boesri H. 2007. Standar penangkapan vektor dalam rangka penelitian penularan Malaria di Indonesia. Balai Penelitian dan Pengembangan Vektor dan Reservoir Penyakit BPPVRP. Balitbangkes. Depkes. RI. Chang MS, Hii J, Buttner P, Mansoor F. 1997. Changes in abundance and behaviour of vector mosquitoes induced by land use during the development of an oil palm plantation in Sarawak. Transac. Roy. Soc. Med. Hyg. 914;382-386. Cooper RD, Frances SP. 2000. Biting sites of Anopheles koliensis on human collectors in Papua New Guinea. J. Am. Mosq. Ctrl. Assoc. 163:266-267. Cooper RD, Frances SP. 2002. Anopheles farauti, Malaria vectors on Buka and Bougainville Islands, Papua New Guinea. J. Am. Mosq. Ctrl. Assoc. 182:100-106. Duriappah AK, Naeem S. 2005. Ecosytem and Human Well-Bein, Biodiversity Synthesis. A report of the millenium asssesment. World Resources Institue. Washington. Foley D, Ebsworth P, Ristyanto B, Bryan JH. 2000. Anopheles kochi in Irian Jaya detected by size polymorphism of polymerase chain reaction-amplified internal transcribed spacer unit 2. J. Am. Mosq. Ctrl. Assoc . 162:164-5. [GBDA] 2010. Gane Barat dalam angka, Badan Pusat Statistik Kabupaten Halmahera Selatan, 2010. Genisa AS. 2006. Keanekaragaman fauna ikan di perairan mangrove Sungai Mahakam, Kalimamntan Timur. J. Osea. Limn. No 41: 39-53. Gratz NM, Steffe R, Cocksedge W. 2007. Why aircraft disinfection? Bulletin of WHO. 788:995-1004. Jones KE, Patel NG, Levy MA, Stroygard A, Balk D, Gittleman JL, Daszak P. 2008. Global trends ini emerging infectious disease, J. Nature 451:990-994 Kirnowardoyo S. 1985. Status of Anopheles malaria vectors in Indonesia. Southeast Asian J. Trop. Med. Public. Hlth . 161:129-32. Marques AC. 1987. Human migration and the spread of malaria in Brazil. Parasitol. Today. 3:166-170. Mendis GAC, Rajakaruna J, Weerasinghe S, Mendis C, Carter R, Mendis KN. 1993. Infectivity of Plasmodium vivax and P. falciparum to Anopheles tessellatus; relationship between oocyst and sporozoite development. Trans. Ryl.Soc.Trop.Med.Hyg. 871:3-6. O’Connor CT, Soepanto A. 2000. Kunci bergambar untuk Anopheles Maluku dan Papua, Dit-Jen P2M PL Depkes RI. Jakarta. Petney T, Sithithaworn P, Satrawaha R, Warr CG, Andrews R, Wang YC, Feng CC. 2009. Potential Malaria Reemergence, Northeastern Thailand. J. Emerg. Infect. Dis . 158: 1330–1331. PPDS 2010. Papan potensi Desa Saketa. Pemerintah Desa Saketa, Kecmatan Gane Barat. Kab. Halmahera Selatan Pongsiri MJ, Roman J, Ezenwa VO, Goldbreg TL, Koren HS, Newbold SC, Ostfeld RS, Pattanayak SK Salkel DJ. 2009. Biodiversity loss affect global disease ecology. J.bioSciens. 5911:945-954 [PSKGB] Puskesmas Saketa Kecamatan Gane Barat. 2010. Laporan kerja Puskesmas Saketa Kecamatan Gane Barat , Kabupaten Halmahera Selatan. Prakash A, Bhattacharryya DR, Mohapatra PK, Mahanta J. 2004. Role of the prevalent Anopheles species in the transmission of Plasmodium falciparum and P. vivax in Assam State, North-Eastern India. Ann. Trop. Med. Parasitol . 98:559-567. Rueda LM, Pecor JE, Harrison BA, 2011. Updated distribution records for Anopheles vagus diptera: Culicidae in the Repoblic of Philippines, and consideration regarding its secondary vector roles in Southeast Asia. J. Trop. Biomed. 281:181-187. Sharma SK, Hamzakoya KK, 2001. Geographical spread of Anopheles stephensi, vector of urban malaria, and Aedes aegypti, vector of dengueDHF, in Arabian Sea Islands of Lakshadweep, India. Dengue Bull. 25;88-91. Sukowati 2009. Malaria vector in Indonesia. Makalah Laporan MTC. Kemenkes Jakarta Sukowati S. 2010. Perilaku verktor malaria di Halmahera Selatan. Litbangkes, Makalah Laporan MTC . Kemenkes-RI. Jakarta. Surendran SN, Jude PJ, Ramasamy R. 2011. Variations in salinity tolerance of malaria vectors of the Anopheles subpictus complex in Sri Lanka and the implications for malaria transmission. J. Parasitol. Vect. 24;4:117. Syafruddin D, Hidayat APN, Asih PBS, Hawley WA, Sukowati S, Lobo NF. 2010. Detection of 1014 kdr mutation in four major Anopheline malaria vectors in Indonesia. Malaria J. 9315:1-8. Walsh JF, Molyneux DH, Birley MH. 1993. Deforestation: effects on vector- Wilson MB, Reid JA. 1949. Malaria among prisoners of war in Siam “F” Force . Trans. Ryl Soc. Trop.Med.Hyg . 433:257-272. Yasuaka J, Levins R. 2007. Impact of deforestation and agricultural development on anopheline ecology and malaria epidemiology. Am. J. Trop Med.Hyg. 763. 450-460 Winarno, Hutajulu B. 2009. Review of National vector control policy in Indonesia. Directorat of VBDC DG DC EH, MOH Indonesia . Makalah Laporan. Jakarta. Yasuaka J, Levins R. 2007. Impact of deforestation and agricultural development on anopheline ecology and malaria epidemiology. Am. J. Trop Med. Hyg. 763. 450-460. BAB 4 KARAKTERISTIK HABITAT LARVA Anopheles spp. DI DESA SAKETA, DAERAH ENDEMIK MALARIA DI KABUPATEN HALMAHERA SELATAN [Habitat Characteristics of Anopheles Spp. larvae in Saketa Village, A Malaria Endemic Region in South Halmahera District] Abstrak Penelitian tentang karakteristik habitat larva Anopheles spp. dilakukan di Desa Saketa Kabupaten Halmahera Selatan dari bulan September 2010 hingga Agustus 2011. Tujuannya adalah menganalisis karakteristik fisik dan biologi habitat perkembangbiakan nyamuk Anopheles spp. Larva diambil dari berbagai tipe habitat dengan cidukan dan dipelihara hingga berkembang menjadi nyamuk, kemudian diidentifikasi. Hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat delapan tipe habitat perkembangbiakan Anopheles spp. yaitu kobakan, kolam, kubangan, kontainer buatan, kaleng bekas, parit, dan lagun. Jenis Anopheles yang ditemukan terdiri atas enam spesies yaitu, Anopheles farauti, An. indefinitus, An. kochi, An. punctulatus, An. subpictus dan An. vagus. Spesies yang kelimpahannya paling tinggi adalah An. indefinitus, diikuti oleh An. farauti, An. kochi dan yang terendah adalah An. punctulatus. Tipe habitat didominasi oleh kubangan, tetapi Anopheles terbanyak terdapat di kobakan. Sebagian besar habitat substratnya berupa lumpur dan airnya tidak mengalir, terdapat di permukiman, perkebunan dan jalanan yang dikelilingi oleh rumput-rumputan, semak, perdu dan pohon. Habitat mengandung tanaman air berupa rumput-rumputan, lumut dan ganggang serta serasah, sedangkan predatornya adalah nimfa capung, udang-udangan, Ephemeroptera, cyclop, anggang-angang, kecebong dan ikan-ikan kecil. Kata kunci : Anopheles spp, Endemik malaria, habitat, Halmahera Selatan, Abstract A research on the characteristics of larval habitats of Anopheles spp. were done in the Saketa village, district of South Halmahera from September 2010 to August 2011. The aims of this research is to assess the physical and biological characteristics of Anopheles spp. mosquito breeding habitats. Larvae were collected from various type of habitats using WHO standard dipper size of 300 ml and reared until emerge to be identified. The results showed that there were eight types of breeding habitats of Anopheles spp. i.e. mud hole, ground pool, puddles, tire printanimals footprint, artificial containers, unused cans, ditches, and lagoon. There were six species of Anopheles found i.e. Anopheles farauti, An. indefinitus, An. kochi, An. punctulatus, An. subpictus and An. vagus. The most abundance spesies is An. indefinitus, followed by An. An. farauti, and An. kochi and the lowest abundance species is An. punctulatus. Although dominant habitat was puddles but most Anopheles were in mud holes. Substrate of the habitats were generally muds and the water was not flowing. Habitats around settlements, plantation and streets were surrounded by grasses, bushes, shrubs and trees. Kinds of water plants consisted of grasses, mosses, algae and their litters, while kinds of predator were dragonflies, shrimps, ephemeroptera, cyclops, gerris, tadpoles and small fish. Key word : Anopheles larvae, Habitat, malaria endemic, South of Halmahera,

4.1 Pendahuluan

Malaria masih merupakan masalah kesehatan yang cukup berat di Provinsi Maluku Utara. Dalam empat tahun terakhir angka annual malaria incidence AMI masih cukup tinggi, tercatat 77,8‰, 62,0 ‰, 62,0‰ dan 57,5‰ berturut- turut untuk tahun 2006, 2007, 2008 dan 2009. Pada tahun 2010 angka AMI agak manurun tapi masih tetap tinggi yaitu 54,0‰ Dinkes Kab. Halmahera Selatan 2010, sedangkan angka annual parasite insidence API tercatat tetap untuk tahun 2008 dan 2009 yaitu 8,91‰ Kemenkes RI 2011. Keadaan ini memerlukan perhatian khusus karena selain AMI dan API yang tinggi, angka kasus baru malaria di Maluku Utara juga cukup tinggi. Berdasarkan hasil riset kesehatan dasar, angka kasus baru malaria di Maluku Utara masih menempati posisi ke empat setelah Papua, Papua Barat dan NTT Riskesdas 2010. Hal ini sangat memprihatinkan mengingat kondisi sanitasi dan lingkungan alami sebagian wilayah di Maluku Utara yang sangat menunjang perkembang biakan nyamuk, termasuk Anopheles. Nyamuk menggunakan genangan air sebagai tempat perkembangbiakan. Perubahan ekosistem alami menjadi perkebunan dan permukiman akan mempengaruhi kelimpahan dan keragaman tempat perkembangbiakan. Hal ini selanjutnya mempengaruhi populasi nyamuk Anopheles sebagai inang Plasmodium Poncon et al. 2007. Banyak spesies nyamuk memanfaatkan genangan temporer untuk berkembangbiak. Di tempat seperti ini, nyamuk memperoleh sumberdaya yang diperlukan dan tekanan pemangsaan yang lebih rendah Fischer Scheigmann 2008. Kajian entomologi dari larva Anopheles akan memberikan gambaran kevektoran yang tepat, sehingga metode yang sering digunakan dalam survei entomologi vektor adalah mengukur kepadatan larva dari habitat perkembangbiakannya. Metode ini aman, murah dan memiliki kepekaan yang tinggi dalam mendeteksi vektor Favaro et al. 2008. Beberapa spesies Coleoptera, Hemiptera, dan Odonata merupakan predator yang sering dijumpai pada badan air yang sifatnya sementara dan lahan basah Favaro et al. 2008. Karakteristik habitat larva nyamuk dibutuhkan untuk memahami dinamika interaksi berbagai spesies vektor yang menjadi ancaman, dan kajian terhadap predatornya diperlukan bagi pengembangan pengendalian vektor secara dini pada tingkat larva. Kerusakan habitat akibat perubahan penutupan lahan dan perubahan iklim akan meningkatkan ancaman penyakit infeksi, misalnya dengan perubahan tempat perkembangbiakan dan keanekaragaman vektor serta inangnya. Sistem irigasi sawah tropis telah meningkatkan kasus malaria dan Japanes enchephalitis sebagai dampak ekologi pengairan dan bertambahnya permukaan air untuk perkembangbiakan nyamuk. “Paradoks padi” diperkenalkan oleh Ijumbha dan Lindsay pada tahun 2001 untuk menjelaskan dampak pengairan yang meningkatkan populasi vektor yang dapat meningkatkan atau tidak kasus malaria Duraiappah Naeem 2005. Spesies yang berperan sebagai vektor di suatu daerah berbeda baik ekologi maupun biologinya. Untuk menentukan strategi pengendalian malaria di daerah endemis diperlukan studi entomologi setempat sebagai bahan acuan dalam menentukan strategi penanggulangan. Angka kasus malaria yang tinggi dan buruknya sistem drainase serta tersebarnya berbagai tipe habitat perkembangbiakan nyamuk pada berbagai jenis ekosistem di Desa Saketa, mendorong dilakukannya penelitian tetntang” Tipe dan karakteristik habitat larva Anopheles spp. di Desa Saketa daerah endemik malaria di Kabupaten Halmahera Selatan” untuk mempelajari karakteristik habitat Anopheles secara mendalam untuk membantu memecahkan masalah kevektoran di Halmahera Selatan, khususnya di Kecamatan Gane Barat. 4.2 Bahan dan Metode 4.2.1 Tempat dan Waktu Penelitian longitudinal ini dilakukan di Desa Saketa dan Dusun Loleba Kecamatan Gane Barat Kabupaten Halmahera Selatan selama 12 bulan dari Bulan September 2010 hingga Agustus 2011. Penelitian dilakukan pada wilayah dengan kisaran koordinat 0 o 21’03,85” LS, 127 o 50’05, 20” BT, 0 o 21’53,78” LS, 127 o 50’11,71” BT, 0 o 21’ 35,24”LS, 127 o 51’11,28” BT, dan 0 o 21’45,73” LS, 127 o 51’ 0,146” BT, dengan ketinggian wilayah 25 m.

4.2.2 Pengumpulan Larva Anopheles

Pengumpulan larva Anopheles dilakukan pada berbagai tipe habitat yang berpotensi sebagai tempat perkembangbiakan Anopheles pada masing-masing jenis lokasi yaitu lingkungan permukiman, perkebunan, semak dan hutan. Pengumpulan sampel larva, dilakukan pada habitat alami seperti, sungai, kali, mata air, parit, saluran irigasi, lagun, rawa, kolam, maupun habitat yang muncul karena aktivitas manusia seperti sumur, tapak ban, tapak hewan, kontainertangki air, kalengplastic bekas, dan perahu yang tidak digunakan. Pengambilan sampel dilakukan dengan dua cara; 1 menggunakan cidukan dipper larva standar 300 ml, diameter 13 cm yang dilengkapi dengan tangkai ukuran 100 cm Gambar 14 yang memenuhi standar WHO, dilakukan pada habitat yang mengandung air yang cukup dan memungkinkan dilakukannya pencidukan tanpa memberi gangguan yang berarti bagi larva. Dalam penelitian ini, pencidukan dilakukan pada kubangan, kolam lagun dan parit. 2 pada habitat yang kandungan airnya terbatas, pengumpulan larva dilakukan dengan menggunakan pipet dan langsung dimasukkan ke dalam kantong larva. Larva yang terciduk dikumpul dengan pipet dan dimasukkan ke dalam kantong larva atau botol sampel. Sisa air cidukan tidak dibuang di air sehingga tidak mengganggu larva dan pupa. Botol sampel yang berisi larva diberi label dan ditulis dengan pensil berdasarkan waktu waktutanggalbulan, titik sampling, dan stasiun pengamatan. Larva yang diperoleh dipelihara untuk mendapatkan nyamuk yang dapat diidentifikasi dengan tepat. Wadah pemeliharaan diberikan cairan ekstrak hati untuk menjaga kelangsungan hidup larva hingga eklosi menjadi nyamuk. Nyamuk yang eklosi selanjutnya diidentifikasi dengan menggunakan “Kunci identifikasi bergambar nyamuk Anopheles Maluku dan Irian O’Connor Soepanto 1999. Parameter lingkungan yang diukur adalah pH, salinitas, kekeruhan dan jenis vegetasi makrohidrofita, gulma yang terdapat di dalam kolom air, dan vegetasi dominan yang terdapat disekitar habitat perkembangbiakan nyamuk. Parameter tersebut diukur pada enam habitat dan disesuaikan dengan jenis pemanfaatan lahan pada setiap habitat yaitu jalan, permukiman, perkebunan, semak belukar dan pantai. Gambar 14 Cidukan untuk pengambilan larva nyamuk pada beberapa tipe habitat

4.2.3 Analisis Data

Analisis data dilakukan secara deskriptif dengan menghitung kepadatan nyamuk yang menetas yang dikaitkan dengan tipe habitat, paramater fisik kimia dan biologi. Hasil analisis disajikan dalam bentuk tabel dan grafik. Data kemudian dianalisis yang dihubungkan dengan data curah hujan dan kelembaban.

4.3 Hasil dan Pembahasan

4.3.1 Habitat perkembangbiakan

Larva nyamuk Anopheles di Desa Saketa tersebar pada delapan tipe habitat yaiu, kobakan, kolam, kontainer buatan, kubangan, lagun, parit, kaleng bekas, dan tapak bantapak hewan. Keberadaan larva pada semua tipe habitat tidak berlangsung sepanjang waktu. Tapak bantapak hewan dan kobakan ditemukan hampir sepanjang waktu, sedangkan kolam menjadi habitat pada bulan Juni hingga Agustus. Lagun hanya ditemukan pada bulan Februari, Maret dan Mei, sedangkan parit menjadi habitat pada Bulan Oktober, November, Februari, Juni, Juli dan Agustus. Kontainer buatan dan plastik bekas menjadi habitat pada bulan Juli, tetapi larvanya tidak berhasil berkembang menjadi nyamuk. Pada bulan September tidak ada satupun tipe habitat yang mengandung larva.