diuraikan hasil analisa berupa perkembangan ketimpangan pendapatan antar propinsi di Indonesia, guna menjawab salah satu tujuan penelitian ini
sebagaimana tercantum pada Bab I.
6.1 Perkembangan Ketimpangan Pendapatan Antar Propinsi di
Indonesia
Perkembangan ketimpangan pendapatan antar propinsi di Indonesia dapat dilihat pada Tabel 6.1. Pada tabel tersebut disajikan hasil analisis indeks
ketimpangan pendapatan dengan indikator PDRB baik itu dengan migas atau
tanpa migas serta dengan harga konstan 1993 dan harga berlaku.
Tabel 6.1. Nilai Indeks Williamson untuk Indikator Pendapatan antar Propinsi di Indonesia 1993 - 2004
PDRBkapita konstan 1993 PDRBkapita harga berlaku
Tahun Dengan Migas
Tanpa Migas Dengan Migas
Tanpa Migas
1993 1994
1995 1996
1997 1998
1999 2000
2001 2002
2003 2004
0,6697 0,6651
0,6652 0,6646
0,6630 0,6416
0,6262 0,6506
0,6557 0,6656
0,6516 0,6551
0,6582 0,6633
0,6598 0,6634
0,6622 0,6073
0,5854 0,6214
0,6283 0,6430
0,6318 0,6390
0,6644 0,6529
0,6515 0,6518
0,6571 0,6761
0,6651 0,7221
0,7342 0,7459
0,7367 0,8216
0,6511 0,6355
0,6394 0,6512
0,6662 0,6509
0,6630 0,7133
0,7346 0,7698
0,7620 0,8466
Sumber: data BPS, diolah.
Pada Tabel 6.1 kolom 2 secara agregat terlihat adanya penuruan indeks ketimpangan pendapatan di awal tahun penelitian 1993 dari 0,6697 menjadi
0,6551 di akhir tahun penelitian 2004. Namun, jika dilihat secara lebih rinci terlihat adanya fluktuasi angka Indeks Williamson dari tahun 1993 hingga 2004,
walaupun dalam rentang yang kecil. Untuk indeks rata-rata sebelum
diberlakukannya kebijakan desentralisasi fiskal 1993-2000 berada pada angka rata-rata 0,6558. Sedangkan pada masa kebijakan desentralisasi fiskal diterapkan
2001-2004 rata-rata angka indeksnya sedikit meningkat, yaitu menjadi rata-rata 0,6570, terjadi peningkatan sebesar 0,0012. Hal ini menunjukkan bahwa
ketimpangan pendapatan antar propinsi relatif lebih tinggi di masa kebijakan desentralisasi fiskal dan otonomi daerah diterapkan dibandingkan pada masa
sebelumnya. Namun demikian, kondisi indeks ketimpangan yang relatif lebih rendah di
masa sebelum desentralisasi fiskal dilaksanakan disebabkan karena adanya penurunan angka indeks di tahun 1998 dan 1999. Hal ini tentu mempengaruhi
angka rata-rata tersebut. Jika dilihat lagi, maka sebetulnya sebelum adanya penurunan angka indeks tersebut, indeks ketimpangan untuk masa
diberlakukannya desentralisasi fiskal 2001-2004 jauh lebih kecil dari indeks ketimpangan pada kurun waktu 1993-1997. Jadi dapat disimpulkan, jika tidak
adanya penurunan indeks ditahun 1998-1999 maka kebijakan desentralisasi fiskal dalam kerangka otonomi daerah mampu menekan tingkat ketimpangan
pendapatan antar propinsi yang terjadi selama ini. Merujuk pada batasan ketimpangan antar wilayah dengan menggunakan
Indeks Williamson ini, maka secara keseluruhan angka indeks ketimpangan pendapatan antar propinsi di Indonesia dengan indikator PDRB konstan 1993
berada pada kondisi ketimpangan yang tinggi, yaitu hampir semua indeks berada pada kisaran angka 0,7 – 1, terkecuali pada tahun 1998-1999 yang berada pada
kondisi ketimpangan yang sedang, yaitu berada pada rentang 0,4 – 0,6 .
0,5400 0,5600
0,5800 0,6000
0,6200 0,6400
0,6600 0,6800
1993 1994 1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 tahun
CV w
PDRB PDRB tanpa Migas
Sumber: data BPS, diolah. Gambar 6.1
.
Perkembangan Ketimpangan Pendapatan atas Dasar Harga Konstan 1993
Lebih jauh, jika dilihat kecenderungan perkembangan indeksnya dengan indikator PDRB harga konstan 1993, baik dengan migas maupun tanpa migas
Gambar 6.1, maka terlihat sampai dengan tahun 1998 kedua indeks mengalami kecenderungan menurun, terlebih pada tahun 1998 dan 1999.
Penjelasan yang paling masuk akal tentang penurunan angka indeks ini yaitu terkait masalah krisis ekonomi yang melanda Indonesia.
Adanya krisis ekonomi membalikkan arah dari pergerakan produksi sektor tradisional ke modern menjadi sebaliknya. Fenomena terbalik ini dapat dilihat dari
bangkrutnya usaha besar di perkotaan terutama di kota besar Jawa dan bangkitnya agribisnis dan sektor primer di pedesaan utamanya di luar Jawa. Tentunya
pembalikan ini diikuti oleh distribusi pendapatan antara individu dalam sektor modern dan tradisional. Disamping itu, krisis ekonomi ini pun menyebabkan
daerah-daerah maju dengan tingkat konsentrasi industri yang tinggi, seperti di Jawa mengalami kemunduran ekonomi yang tajam. Sedangkan propinsi-propinsi
yang kurang maju pada umumnya misalnya Sulawesi, adalah daerah-daerah pertanian. Sektor pertanian, khususnya subsektor perkebunan merupakan satu-
satunya sektor yang cukup mendapatkan keuntungan dari melemahnya nilai tukar rupiah terhadap dolar AS. Hal ini membuat perekonomian propinsi-propinsi
tersebut tidak terlalu terpukul oleh krisis ekonomi. Perkembangan ketimpangan pendapatan dengan mengeluarkan sektor
migas terlihat lebih rendah. Hal ini dikarenakan sebaran sumber daya alam yang ada di Indonesia tidaklah merata terlebih minyak dan gas serta barang tambang
lainnya yang hanya dimiliki oleh beberapa propinsi saja seperti Aceh, Riau, Kalimantan Timur, dan Papua. Jadi, dengan mengeluarkan sektor minyak dan gas
dari perhitungan ternyata menunjukkan kecenderungan ketimpangan yang lebih rendah jika dibandingkan dengan memasukkan sektor ini dalam perhitungan.
Berdasarkan batasan ketimpangan antar wilayah dengan menggunakan Indeks Williamson ini, maka dari tahun awal pengamatan sampai dengan tahun
1997 angka indeks ketimpangan pendapatan antar propinsi di Indonesia dengan indikator PDRB tanpa migas konstan 1993 berada pada kondisi ketimpangan
yang tinggi, yaitu hampir semua indeks berada pada kisaran angka 0,7 – 1, sedangkan dimulai dari masa krisis 1998 sampai masa diterapkannya kebijakan
desentralisasi fiskal 2004 berada pada kodisi ketimpangan yang sedang, yaitu berada pada rentang 0,4 – 0,6 .
Berbeda halnya dengan tingkat ketimpangan pendapatan dengan indikator PDRB konstan 1993 yang menunjukkan nilai indeks yang fluktuatif, untuk tingkat
- 0,1000
0,2000 0,3000
0,4000 0,5000
0,6000 0,7000
0,8000 0,9000
1993 1994 1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 tahun
CV w
PDRB PDRB tanpa Migas
ketimpangan pendapatan dengan indikator PDRB atas dasar harga menunjukkan kecenderungan yang terus meningkat.
Sumber: data BPS, diolah. Gambar 6.2. Perkembangan Ketimpangan Pembangunan atas Dasar Harga Berlaku
Pada Gambar 6.2 terlihat kecenderungan peningkatan ketimpangan pendapatan antar propinsi. Pada awal tahun pengamatan 1993 sampai akhir
tahun pengamatan 2004 kecenderungan ini terus saja meningkat. Hal ini dikarenakan data pendapatan yang digunakan dalam perhitungan ini berupa
PDRB atas dasar berlaku. Besaran PDRB ini mengikuti harga berlaku pada tahun perhitungannya dan tentu saja tiap tahun harga cenderung berubah inflasi tiap
tahun berubah. Nilai ketimpangan pendapatan atas dasar harga berlaku dengan
mengeluarkan sektor migas ternyata tidak terlalu jauh berbeda hasilnya jika sektor migas ini dimasukkan dalam perhitungan. Hal ini mengindikasikan, baik dengan
memasukkan sektor migas ataupun dengan tidak memasukkannya dalam perhitungan, nilai indeks ketimpangan hasilnya tidak jauh berbeda.
Kembali merujuk pada batasan ketimpangan antar wilayah dengan menggunakan Indeks Williamson ini, maka nilai indeks ketimpangan pendapatan
antar propinsi di Indonesia dengan indikator PDRB harga berlaku – baik dengan atau tanpa sektor migas – berada pada kondisi ketimpangan yang tinggi, yaitu
hampir semua indeks berada pada kisaran angka 0,7 – 1.
6.2 Dampak Kebijakan Desentralisasi Fiskal Terhadap Tingkat