Penelitian Terdahulu TINJAUAN PUSTAKA

Salah satu kajian yang menguatkan hipotesa Kuznet tersebut dilakukan oleh Williamson 1965 dalam Tambunan 2003. 16 Williamson untuk pertama kalinya menyelidiki masalah ketimpangan antar daerah dengan membobot perhitungan coeffisient of variation CV dengan jumlah penduduk menurut wilayah. Dalam studinya ia menemukan bahwa dalam tahap awal pembangunan ekonomi disparitas dalam distribusi pendapatan akan membesar dan terkonsentrasi pada wilayah-wilayah tertentu yang pada awalnya sudah relatif maju, misalnya dalam pembangunan industri, infrastruktur, dan SDM. Kemudian dalam tahap pertumbuhan ekonomi yang lebih besar, terjadi konvergensi dan ketimpangan dalam distribusi pendapatan akan mengalami penurunan.

2.4 Penelitian Terdahulu

Sejak tahun 1970-an hingga saat ini sudah banyak penelitian dan pengkajian mengenai pembangunan ekonomi regional Indonesia yang memfokuskan pada ketimpangan ekonomi antar propinsi. Dapat dikatakan bahwa pelopor-pelopor dari studi tersebut adalah Esmara yang melakukan penelitian tahun 1975, yang selanjutnya disusul oleh studi-studi yang serupa, diantaranya yang dilakukan oleh: 1. Uppal dan Handoko 1986 dalam Supriantoro 2005, menggunakan formulasi Williamson CV w untuk tahun 1976-1980. Mereka mengukur ketimpangan pendapatan di Indonesia dengan menggunakan PDRB diluar sektor pertambangan. Mereka menyimpulkan bahwa terdapat tendensi 16 Ibid. Hal. 146. menurunnya tingkat ketimpangan pendapatan, pola pertumbuhan belum mengarah pada perbaikan ketimpangan dan faktor yang cenderung menurunkan ketimpangan pendapatan adalah anggaran belanja pemerintah pusat dan bantuan kepada propinsi. 17 2. Tadjoedin 1996 dalam Supriantoro 2005, juga mengukur ketimpangan pendapatan nasional dengan menggunakan konsep pengukuran yang sama yakni menggunakan formulasi Williamson CV w untuk tahun 1984-1993. Hasil yang diperolehnya menunjukkan bahwa terjadi peningkatan ketimpangan pendapatan selama periode analisis. 18 3. Tadjoedin et al,2001 dalam Supriantoro 2005, melakukan penelitian untuk mengukur tingkat ketimpangan nasional untuk tahun 1993-1998. Ketimpangan dihitung dengan menggunakan PDRB per kapita menurut kabupatenkota yang ada di Indonesia berdasarkan harga konstan 1993. Hasil yang diperoleh menunjukkan tingkat ketimpangan yang semakin meningkat. 19 4. Sjafrizal 2000 dalam Tambunan 2003, menganalisis ketimpangan antara Indonesia Kawasan Barat IKB dengan Indonesia Kawasan Timur IKT dengan memakai data PDRB untuk periode 1971-1998. Dengan menggunakan formulasi yang sama, hasil yang diperoleh menunjukkan 17 Gigih Supriyantoro. Op Cit. Hal. 32. 18 Ibid. 19 Ibid. adanya tendensi peningkatan ketimpangan ekonomi antar propinsi di Indonesia sejak awal 1970-an. 20 Tabel 2.2. Indeks Ketimpangan Pendapatan Peneliti Terdahulu Diluar Migas Tahun Uppal Handoko Tadjoedin Tadjoedin, et al Sjafrizal 1971 0,396 1972 0,406 1973 0,415 1974 0,483 1975 0,462 1976 0,4631 0,415 1977 0,4609 0,396 1978 0,4344 0,429 1979 0,5240 0,417 1980 0,4435 0,425 1981 0,445 1982 0,438 1983 0,498 1984 0,4875 0,515 1985 0,4714 0,494 1986 0,4600 0,474 1987 0,4567 0,471 1988 0,4609 0,465 1989 0,5632 0,493 1990 0,5385 0,484 1991 0,5392 0,536 1992 0,5442 0,535 1993 0,5489 0,923 0,544 1994 0,938 0,643 1995 0,962 0,653 1996 0,966 0,654 1997 0,982 0,671 1998 0,965 0,605 Sumber: Uppal dan Handoko 1986, Tadjoedin 1996, dan Tadjoedin, et al, 2001 dalam Supriyantoro 2005 dan Sjafrizal 2000 dalam Tambunan 2003 Adapun penelitian yang terkait dengan ketimpangan dan desentralisasi fiskal, diantaranya: 20 Tulus T.H. Tambunan. Op Cit. Hal. 146 – 147. 1. Brodjonegoro dan Pakpahan 2002, melakukan uji evaluasi kuantitatif sederhana atas alokasi DAU 2001 dengan menganalisa korelasi alokasi DAU dengan variabel-variabel yang membentuknya, yaitu variabel- variabel potensial, variabel-variabel kebutuhan, serta variabel belanja pegawai dan SDO + Inpres. 21 Alat analisa yang digunakan untuk pemerataan fiskal antar daerah yaitu dengan bantuan Indeks Williamson. Uji korelasi menunjukkan cukup kuatnya hubungan antara alokasi DAU 2001 dengan variabel-variabel yang membentuknya untuk tingkat propinsi, sedang untuk tingkat kabupatenkota tidak cukup kuat hubungan antara alokasi DAU 2001 dengan variabel-variabel yang membentuknya. Namun demikian, alokasi DAU 2001 untuk kabupatenkota ternyata mampu memeratakan kemampuan fiskal antar daerah lebih baik dibandingkan alokasi untuk tingkat propinsi. 2. Riyanto 2003, melakukan penelitian tentang dampak desentralisasi fiscal terhadap perekonomian dan pemerataan pembangunan antar wilayah di Indonesia, dalam penelitiannya ia lebih menekankan pada penggunaan dana perimbangan. 22 Hasil estimasi dari model yang telah disusunnya menyatakan bahwa dampak dana perimbangan berpengaruh cukup signifikan terhadap peningkatan APBD, namun hal ini tidak berdampak secara signifikan terhadap perekonomian daerah. Uji ekonometrika pun 21 Bambang Brodjonegoro dan Arlen T. Pakpahan. 2002. Evaluasi atas Alokasi DAU dan Permasalahannya dalam Machfud Sidik, dkk Ed, Dana Alokasi Umum: Konsep, Hambatan, dan Prospek di Era Otonomi Daerah. Buku Kompas, Jakarta. Hal. 80 – 82. 22 Riyanto. 2003. Analisis Dampak Kebijakan Desentralisasi Fiskal terhadap Perekonomian Daerah dan Pemerataan Pembangunan Wilayah di Indonesia [Tesis]. Program Pasca Sarjana. Institut Pertanian Bogor. Hal. 206-211. menunjukkan bahwa pengaruh dana perimbangan terhadap pemerataan pembangunan wilayah mampu memperbaiki kesenjangan yang terjadi antar wilayah, namun secara aktual pemerataan pembangunan daerah pada tahun 2001 masih belum membaik. 3. Suhartono 2005, dalam studinya tentang signifikansi peran transfer fiskal dalam mengurangi kesenjangan antar daerah di wilayah Jawa Bagian Barat, diperoleh hasil yang menunjukkan kecenderungan pemerataan fiskal belum dapat membawa kepada kecenderungan pemerataan pembangunan. 23 Transfer fiskal terbukti sebagai instrumen pemerataan antar daerah karena ketimpangan pembangunan terbukti memiliki kaitan yang erat dengan persoalan ketimpangan transfer. Sementara itu, dalam uji ekonometrika, variabel dummy dalam hal ini desentralisasi fiskal belum mampu menekan tingkat ketimpangan pembangunan maupun tingkat ketimpangan fiskal antar kabupatenkota di wilayah Jawa Bagian Barat. Perbedaan penelitian ini dengan penelitian-penelitian sebelumnya, yaitu: 1. Pada penelitian ini akan di analisis peranan PAD dan transfer fiskal terhadap tingkat ketimpangan pendapatan, dimana kedua komponen ini merupakan salah satu pembentuk keuangan daerah dalam rangka desentralisasi fiskal. 2. Dalam studi ini, sebelum diberlakukannya desentralisasi fiskal, transfer fiskal merupakan penjumlahan dari dana SDO, Inpres serta dana bagi hasil. 23 Heri Suhartono. 2005. Signifikansi Peran Transfer Fiskal dalam Mengurangi Kesenjangan Antar Daerah di Wilayah Jawa Bagian Barat [Tesis]. Magister Perencanaan dan Kebijakan Publik. FE-UI. Hal. 120 – 122. Sedangkan setelah diberlakukannya desentralisasi fiskal, transfer fiskal adalah penjumlahan dari DAU dan dana bagi hasil. 3. Sebelum diestimasi, variabel-variabel dalam model pada penelitian ini yaitu PAD dan transfer fiskal, terlebih dahulu akan dibobot dengan jumlah penduduk, kecuali variabel dummy dalam hal ini desentralisasi fiskal. Pembobotan ini dilakukan dengan menggunakan Indeks Williamson.

III. KERANGKA PEMIKIRAN