V. GAMBARAN UMUM KEUANGAN PEMERINTAH DAERAH
5.1 Kondisi Perekonomian dan Pembangunan di Indonesia
Perkembangan Perekonomian Indonesia dapat dilihat antara lain dari aspek pertumbuhan ekonomi. Dari tahun 1994 sampai dengan 1996 laju
pertumbuhan ekonomi Indonesia relatif stabil yaitu sekitar 6 persen. Namun mulai tahun 1997 pertumbuhan ekonomi Indonesia mengalami penurunan bahkan
mencapai nilai yang negatif di tahun 1998 yaitu -13,13 persen. Pertumbuhan ekonomi yang rendah ini tidak lain disebabkan karena ketidakmampuan Indonesia
dalam menghadapi krisis yang melanda Asia pada pertengahan 1997 silam. Krisis ekonomi yang melanda Asia ini justru menjadi krisis multidimensi di Indonesia,
tidak hanya krisis ekonomi maupun moneter, tapi juga krisis ini menjalar hampir kesemua bidang, baik politik, sosial, bahkan krisis ketidakpercayaan masyarakat
terhadap pemerintah. Setelah mengalami kontraksi yang besar pada tahun 1998, perekonomian
Indonesia perlahan mulai bangkit lagi. Pada tahun 1999 perekonomian tumbuh sekitar 0,79 persen; tahun 2000 4,92 persen; tahun 2001 3,4 persen; tahun 2002
3,66 persen; tahun 2003 4,61 persen dan tahun 2004 sebesar 4,86 persen. Kemampuan Indonesia untuk dapat meningkatkan kembali pertumbuhannya pasca
krisis ini tidak lain disebabkan oleh tingginya tingkat konsumsi masyarakat. Bahkan sampai tahun 2006 pertumbuhan ekonomi Indonesia masih didominasi
oleh tingkat konsumsi masyarakat dan bukannya investasi.
Peningkatan pertumbuhan ini memberikan harapan bagi bangsa Indonesia untuk segera keluar dari krisis multidimensi tersebut, walaupun pertumbuhan
masih di bawah target yang diinginkan yaitu sebesar 5 persen. Namun demikian, hal ini memperlihatkan tanda-tanda ke arah pemulihan ekonomi yang diharapkan.
Selanjutnya, perekonomian Indonesia dapat dilihat dari nilai PDB-nya. Dalam hal ini dilihat dari nilai PDB berdasarkan harga berlaku dan nilai PDB
berdasarkan harga konstan 1993, seperti dapat dibaca pada Tabel 5.1 berikut ini.
Tabel 5.1. PDB Indonesia Atas Dasar Harga Berlaku dan Kostan 1993 dalam miliar rupiah
Tahun Harga Berlaku
Harga Konstan 1993
1993 1994
1995 1996
1997 1998
1999 2000
2001 2002
2003 2004
329.775,8 382.219,9
454.514,2 532.567,5
627.695,9 955.753,9
1,099.731,8 1.264.918,7
1.467.655,5 1.619.062,0
1.794.663,9 2.032.825,4
296.861,4 320.652,5
350.290,2 378.871,2
398.675,7 341.992,6
345.419,2 363.758,8
379.020,4 397.056,4
417.822,7 440.862,9
Sumber: BPS, 2004.
Pada tabel 5.1 terlihat adanya perbedaan nilai PDB atas harga berlaku dan konstan 1993 yang cukup tinggi. Berdasarkan harga berlaku, nilai PDB tiap
tahunnya terus mengalami peningkatan bahkan pada masa krisis melanda Indonesia, nilai PDB ini terus saja meningkat. Untuk PDB atas dasar harga
konstan 1993, terlihat pada tahun 1993 sampai tahun 1997 nilai PDB terus mengalami peningkatan, namun pada saat krisis melanda 1998 nilai PDB ini
tidak dapat bertahan apalagi sampai terus meningkat seperti halnya PDB harga berlaku, ia bahkan menurun sebanyak 57 triliun lebih walaupun setelahnya
kembali meningkat secara perlahan. Hal ini menandakan bahwa perekonomian Indonesia tidak mampu menghadapi gejolak krisis yang melanda Asia yang
akhirnya merambat juga ke Indonesia. Keberhasilan dari pembangunan yang dilakukan oleh sebuah negara tidak
hanya dilihat dari angka pertumbuhan ekonominya yang tinggi maupun besarnya PDB yang diperolehnya. Keberhasilan yang sebenarnya dari pembangunan sebuah
negara dan yang merupakan tujuan akhir dari bernegara yaitu kesejahteraan masyarakatnya. Salah satu indikator yang paling dekat dalam merepresentasikan
tingkat kesejahteraan ini yaitu dapat dilihat dari pembangunan manusianya, dalam hal ini indeks pembangunan manusia IPM.
Pada Tabel 5.2 dapat dilihat sebanyak 5 propinsi ditahun 1996 IPM-nya sama dengan IPM Indonesia secara keseluruhan, bahkan 11 propinsi memiliki
IPM yang lebih tinggi dari IPM Indonesia dan Jakarta sebagai ibu kota negara menduduki peringkat nomor 1. Setelah setahun Indonesia dilanda krisis 1999
IPM Indonesia mengalami penurunan dan ini tentu saja diikuti oleh penurunan IPM untuk masing-masing propinsi. Penurunan IPM propinsi ini tidak terlalu
buruk, terbukti dengan adanya peningkatan jumlah propinsi yang nilai IPM-nya di atas IPM Indonesia yakni menjadi 15 propinsi. Kondisi IPM yang menurun ini
dapat ditingkatkan lagi setelah empat tahun krisis melanda Indonesia 2002 dan sekali lagi, ibu kota negara memiliki nilai IPM diperingkat nomor satu.
Tabel 5.2. Indeks Pembangunan Manusia tiap Propinsi di Indonesia Indeks Pembangunan Manusia
Propinsi 1996 1999 2002
Aceh Sumut
Sumbar Riau
Jambi Sumsel
Bengkulu Lampung
Jakarta Jabar
Jateng DIY
Jatim Kalbar
Kalteng Kalsel
Kaltim Sulut
Sulteng Sulsel
Sultra Bali
NTB NTT
Maluku Papua
69 71
69 71
69 68
68 68
76 68
67 72
66 64
71 66
71 72
66 66
66 70
57 61
68 60
65,3 66,6
65,8 67,3
65,4 63,9
64,8 63,0
72,5 64,6
64,6 68,7
61,8 60,6
66,7 62,2
67,8 67,1
62,8 63,6
62,9 65,7
54,2 60,4
67,2 58,8
66,0 68,8
67,5 69,1
67,1 66,0
66,2 65,8
75,6 65,8
66,3 70,8
64,1 62,9
69,1 64,3
69,9 71,3
64,4 65,3
64,1 67,5
57,8 60,3
66,5 60,1
Indonesia 68
64,3 65,8
Sumber: BPS, 2004.
Dibalik kemampuan Indonesia dalam mengembalikan tingkat kesejahteraan masyarakatnya pasca krisis, justru indikator lain menunjukkan
adanya penurunan taraf kesejahteraan sejak tahun 1997, yang dapat dikaitkan sebagai dampak dari krisis yang dialami Indonesia. Contoh mengenai dampak
negatif krisis terhadap perkembangan taraf kesejahteraan lainnya yaitu angka pengangguran terbuka naik dari 912.000 jiwa menjadi 10.251.000 jiwa untuk
tahun 2002 dan 2004.
Lebih jauh, sampai dengan tahun 2005 dan 2006 angka pengangguran terbuka ini terus saja meningkat, yakni 10.854.254 jiwa 2005 menjadi
11.104.693 jiwa 2006. Angka ini jauh lebih rendah dari angka jenis pengangguran yang lainnya, yakni jumlah setengah pengangguran. Untuk tahun
yang sama jumlah setengah pengangguran, yaitu 29.642.127 jiwa 2005 menjadi 29.924.630 2006.
Tabel 5.3. Persentase Penduduk Miskin tiap Propinsi di Indonesia Persentase Penduduk Miskin
Propinsi 2002 2003 2004
Aceh Sumut
Sumbar Riau
Jambi Sumsel
Bengkulu Lampung
Jakarta Jabar
Jateng DIY
Jatim Kalbar
Kalteng Kalsel
Kaltim Sulut
Sulteng Sulsel
Sultra Bali
NTB NTT
Maluku Papua
29,83 15,84
11,57 13,61
13,18 22,32
22,70 24,05
3,42 13,38
23,06 20,14
21,91 15,46
11,88
8,51 12,20
11,22 24,89
15,88 24,22
6,89 27,76
30,74 34,78
41,80 29,76
15,89 11,24
13,52 12,74
21,54 22,63
22,43
3,42 12,90
21,78 19,86
20,93 14,79
11,37
8,16 12,15
9,01 23,04
15,85 22,84
7,34 26,34
28,63 32,85
39,03 28,47
14,93 10,46
13,12 12,45
20,92 22,39
22,22
3,18 12,10
21,11 19,14
20,08 13,91
10,44
7,19 11,57
8,94 21,69
14,90 21,90
6,85 25,38
27,86 32,13
38,69
Sumber: BPS, 2004.
Untuk melihat indikasi lain dari taraf kesejahteraan dapat dilihat dari jumlah penduduk miskin Tabel 5.3. Sampai dengan tahun 2004, jumlah
penduduk miskin per propinsi yang memiliki persentase tertinggi pada tahun 2002
terdapat di propinsi Papua, Maluku, dan Nusa Tenggara Timur, yakni rata-rata di atas 30 persen. Dibandingkan pada tahun 2002, persentase penduduk miskin pada
tahun 2004 di semua propinsi mengalami penurunan. Pada tahun 2004 ini terdapat empat propinsi yang masih dapat digolongkan sebagai propinsi dengan persentase
penduduk miskinnya relatif besar, yaitu lebih dari 27 persen. Keempat propinsi tersebut yaitu: Papua, Maluku, Nusa Tenggara Timur, dan Aceh.
Selanjutnya, perkembangan jumlah penduduk miskin untuk tingkat nasional dapat dilihat pada Tabel 5.4. Pada periode 1996-1999 jumlah penduduk
miskin meningkat sebesar 13,96 juta karena krisis ekonomi, yaitu dari 34,01 juta pada tahun 1996 menjadi 47,97 juta pada tahun 1999. Pada periode 1999-2002
terjadi penurunan jumlah penduduk miskin sebesar 9,57 juta, yaitu dari 47,97 juta pada tahun 1999 menjadi 38,40 juta pada tahun 2002. Penurunan jumlah
penduduk miskin juga terjadi pada periode 2002-2005 sebesar 3,3 juta, yaitu dari 38,40 juta pada tahun 2002 menjadi 35,10 juta pada tahun 2005.
Tabel 5.4.
Jumlah Penduduk
Miskin Menurut
Daerah di
Indonesia dalam juta jiwa
Tahun Kota
Desa Kota + Desa
1996 9,42 24,59 34,01
1998 17,60 31,90 49,50
1999 15,64 32,33 47,97
2000 12,30 26,40 38,70
2001 8,60 29,30 37,90
2002 13,30 25,10 38,40
2003 12,20 25,20 37,30
2004 11,40 24,80 36,10
2005 12,40 22,70 35,10
Sumber: BPS, 2006.
Sementara itu, sampai dengan bulan Maret 2006, jumlah penduduk miskin di Indonesia tercatat sebanyak 39,05 juta 17,75 persen. Jika dibandingkan
dengan jumlah penduduk miskin pada Februari 2005 yang berjumlah 35,10 juta jiwa 15,97 persen, jumlah penduduk miskin mengalami peningkatan sebesar
3,95 juta jiwa.
5.2 Keuangan Pemerintah Daerah Propinsi