3.2 Kerangka Pemikiran
Konseptual
Keberhasilan ekonomi suatu negara biasanya diukur dari tingginya angka pertumbuhan ekonomi negara tersebut. Namun demikian, terdapat satu ukuran
yang lebih representatif dalam melihat keberhasilan ekonomi suatu negara ini, yaitu dilihat dari segi kesejahteraan masyarakatnya dan hal ini dapat dilihat
melalui dimensi pemerataan equality. Pembangunan yang semata-mata mengejar pertumbuhan diyakini akan menghasilkan berbagai kesenjangan dalam
kesejahteraan golongan masyarakat antara golongan kaya dan golongan miskin maupun dalam bentuk kesenjangan antar daerah atau ketimpangan wilayah.
Dua dari tiga masalah pembangunan jangka panjang di Indonesia adalah bersangkutan dengan masalah ketimpangan atau kesenjangan, yaitu
ketimpangan pada perimbangan kekuatan diantara golongan-golongan masyarakat dan ketidakseimbangan ekonomi antar daerah. Satu masalah
lainnya adalah persoalan lapangan kerja produktif dan pengangguran.
29
Maka dapat dipahami jika masalah ketimpangan atau kesenjangan antar daerah selalu menjadi salah satu isu utama dalam pembangunan daerah di
Indonesia. Tujuan jangka panjang dari pembangunan ekonomi di Indonesia pada
masa Orde Baru adalah meningkatkan kesejahteraan masyarakat melalui suatu proses industrialisasi dalam skala besar, yang pada saat itu
diangggap sebagai satu-satunya cara yang paling tepat dan efektif untuk menanggulangi masalah-masalah ekonomi, seperti kesempatan kerja dan
defisit neraca pembayaran.
30
Pada awal pemerintahan Orde Baru, para pembuat kebijaksanaan dan perencana pembangunan masih sangat percaya bahwa proses pembangunan
ekonomi yang terpusatkan hanya di Pulau Jawa saja, khususnya Jakarta dan
29
Heri Suhartono. Op Cit. Hal. 2.
30
Tulus T.H. Tambunan, Op Cit, Hal. 10.
sekitarnya, dan hanya di sektor-sektor tertentu, pada akhirnya akan menghasilkan apa yang disebut efek “tetesan kebawah”. Didasarkan pada kerangka pemikiran
tersebut, pada awal periode Orde Baru strategi pembangunan ekonomi lebih berorientasi kepada pertumbuhan ekonomi yang tinggi.
Dimulai pada Repelita I, strategi pembangunan dan kebijakan ekonomi terpusatkan pada pembangunan industri-industri yang dapat menghasilkan devisa
lewat ekspor dan substitusi impor. Industri-industri tersebut diantaranya: industri yang memproses bahan baku yang tersedia di dalam negeri, industri yang padat
karya, industri yang mendukung pembangunan regional, dan juga industri dasar seperti pupuk, semen, kimia dasar, kertas dan tekstil.
31
Dampak Repelita I dan repelita-repelita berikutnya terhadap perekonomian Indonesia cukup mengagumkan, terutama dilihat pada tingkat makro. Pada awal
Repelita I 1969, PDB Indonesia tercatat 2,7 triliun pada harga berlaku atau 4,8 triliun pada harga konstan. Pada tahun 1990 menjadi 188,5 triliun rupiah pada
harga berlaku atau 112,4 triliun rupiah pada harga konstan dan selama periode 1969-1990, laju pertumbuhan PDB pada harga konstan rata-rata pertahun di atas
7 . Kesuksesan pemerintah dalam memacu pertumbuhan ekonomi tersebut
ternyata tidak serta merta mampu memecahkan kemiskinan. Tercatat sampai awal tahun 1990 jumlah penduduk miskin sebanyak 27,2 juta jiwa dengan proporsi
75 berada di tingkat desa. Sementara itu tingkat ketimpangan yang terjadipun cenderung terus meningkat. Sebagai reaksi pemerintah terhadap kenyataan
31
Ibid.
tersebut, maka orientasi kebijakan pemerintah selanjutnya menjadi pertumbuhan dengan pemerataan.
Yang menjadi persoalan lebih substansial di balik seluruh prestasi yang terekam secara statistik adalah terletak pada bahwa baik proses
pertumbuhan, distribusi apalagi transformasi yang terjadi berada jauh tertekan dari yang seharusnya dapat dicapai. Hal ini disebabkan apa yang
sering dikenal sebagai adanya distorsi: distorsi pasar, distorsi ekonomi dan distorsi ekonomi secara luas.
32
Adanya berbagai distorsi yang dilakukan, berujung pada daya saing yang rendah serta ketertinggalan Indonesia dengan negara-negara Asia lainnya yang
memiliki start yang relatif sama, seperti Malaysia. Disamping adanya distorsi tersebut, “terjadi pula misalokasi dalam proses pembangunan yang mengakibatkan
tak terjadinya industrialisasi yang menjawab kebutuhan employment, dangkalnya penguasaan teknologi dan struktur industri serta struktur ekonomi secara
keseluruhan”.
33
Adanya krisis mata uang yang melanda Asia, ternyata Indonesia-lah yang mengalami posisi paling parah setelah tiga hingga enam bulan semenjak awal
krisis.
34
Tercatat tingkat depresiasi rupiah yang dialami Indonesia adalah paling parah sekitar 300 persen dibandingkan dengan negara-negara lain yang terkena
32
Didin S. Damanhuri. 1999. PJP I, Krisis Ekonomi dan Masa Depan Pembangunan dalam Pilar-pilar Reformasi Ekonomi-Politik, Upaya Memahami Krisis Ekonomi dan Menyongsong
Indonesia Baru . CIDES dan Pustaka Hidayah, Jakarta. Hal.13.
33
Ibid. Hal. 15.
34
Krisis yang melanda Asia ini dimulai dengan pengakuan Spekulan-Soros yang tak puas akibat diterimanya Myanmar menjadi anggota ASEAN, lantas ia menggoncang Thailand yang
merembet ke Filipina, Malaysia, Indonesia, Singapura dan belakangan menohok Korea Selatan bahkan juga Jepang Damanhuri, 1999: 21. Sekitar Mei 1997 bank sentral Thailand
menyerahkan sepenuhnya nilai tukar Baht pada mekanisme pasar, akibatnya nilai Baht terdepresiasi sekitar 15 persen sampai 20 persen hingga mencapai nilai terendah, yakni 28,20
Baht per dolar AS.
krisis. “Dalam konteks ini berarti memang membuktikan fundamental ekonomi serta politik secara konprehensif, posisi Indonesia berada paling lemah diantara
delapan NIB Negara Industri Baru yang sebelumnya sering disebut sebagai negara-negara yang mengalami “keajaiban Asia” Asian miracle”.
35
Ketidakmampuan Indonesia
dalam menerima gejolak krisis tersebut,
ditambah dengan kekecewaan yang dirasakan masyarakat atas ketidakadilan dalam proses pembangunan dan hasil-hasilnya, memunculkan semangat reformasi
terutama dikalangan pemuda. Sekitar akhir bulan Mei 1998, gedung DPR-MPR diduduki oleh ribuan mahasiswa yang menuntut pengunduran diri Presiden
Soeharto dan adanya tuntutan reformasi di segala bidang. Salah satu tuntutan reformasi tersebut yaitu tuntutan terhadap pemerintahan daerah yang lebih otonom.
Untuk menjaga integrasi nasional atas tuntutan masyarakat tersebut juga merespon tuntutan akan keadilan daerah setelah lengsernya Soeharto, maka pada
saat pemerintahan Habibie dikeluarkanlah satu paket kebijakan tentang Otonomi Daerah. Kebijakan ini terangkum dalam satu paket undang-undang, yakni
UU. No. 221999 tentang Pemerintah Daerah dan UU No. 251999 tentang Perimbangan Keuangan Pusat-Daerah. Pelaksanaan kedua Undang-undang
tersebut secara resmi dimulai pada tanggal 1 Januari 2001. Dengan berlakunya UU. No. 221999 dan UU No. 251999 yang mengatur kebijakan pemerintahan
daerah dan desentralisasi fiskal sebagai awal dimulainya suatu era baru penyelenggaraan pemerintah daerah yang lebih otonom, membuka satu harapan
baru untuk memecahkan masalah ketimpangan yang terjadi selama ini.
35
Didin S. Damanhuri. Op Cit. Hal 17.
Untuk melengkapi kerangka pemikiran konseptual dalam studi ini, maka dapat dilihat pula bagan alur pendekatan studi ini Gambar 3.2. Pada bagan alur
tersebut, penulis memulai dari adanya kebijakan reformasi pembangunan berupa Otonomi Daerah. Kebijakan Otonomi Daerah ini tercantum secara utuh dalam
UU. No. 221999 tentang Pemerintah Daerah dan UU No. 251999 tentang Perimbangan Keuangan Pusat-Daerah. Kedua undang-undang ini selanjutnya
diamandemen menjadi UU no. 32 dan no. 33 tahun 2004. Adanya perbedaan karakteristik wilayah memunculkan ketimpangan
pendapatan antar wilayah. Salah satu tujuan dikeluarkannya UU No. 251999 tersebut yaitu untuk meminimalisir ketimpangan, yaitu melalui sumber-sumber
pembiayaan, diantaranya PAD dan transfer fiskal. Ujung dari semua kebijakan yang dibuat oleh pemerintah, tentunya untuk kesejahteraan masyarakatnya.
Karenanya, dalam studi ini penulis ingin mengetahui dampak dari dikeluarkannya kebijakan pemerintah yakni berupa desentralisasi fiskal. Apakah mampu
mensejahterakan masyarakatnya dengan cara menekan ketimpangan antar wilayah?
= Wilayah Analisis
Gambar 3.2 Bagan Alur Pendekatan Studi
OTONOMI DAERAH
Revenue Power UU No. 22 th. 1999
diamandemen: UU No. 32 th. 2004
tentang Pemerintah Daerah
Revenue Sharing
UU No. 25 th. 1999 diamandemen: UU
No. 33 th. 2004 tentang
Perimbangan Keuangan
Pemerintah Pusat Daerah
PAD
Pajak Retribusi
BUMD
Dana Perimbangan
DAU BHPBHBP
DAK
Pinjaman Daerah
KETIMPANGAN PENDAPATAN
Perbedaan Karakteristik Wilayah
Sumber Daya Alam Sumber Daya Manusia
OLS, Regresi Berganda
Kebijakan Pemerintah Pusat dan Daerah
Kesejahteraan Masyarakat
Kebijakan Reformasi Pembangunan
IV. METODOLOGI PENELITIAN 4.1
Kasus dan Unit Data
Waktu amatan penelitian ini yaitu dimulai dari tahun 1993 sampai dengan tahun 2004. Penelitian ini mengambil studi wilayah pada tingkatan nasional yaitu
Negara Kesatuan Republik Indonesia dengan unit amatan pada tingkatan propinsi. Untuk keperluan analisis jumlah propinsi tidak akan mengikuti jumlah
propinsi yang baru yaitu sebanyak 33 propinsi, melainkan akan menggunakan propinsi sebelum diberlakukannya Otonomi Daerah yaitu sebanyak 26 propinsi
dengan memasukkan propinsi baru pada propinsi lamanya. Hal ini dilakukan karena keterbatasan data pada propinsi baru yang nantinya akan membuat hasil
penelitian ini menjadi bias. Dengan demikian, unit daerah yang diamati meliputi: 1 Propinsi Nangroe Aceh Darussalam NAD; 2 Propinsi Sumatra Utara; 3
Propinsi Sumatra Barat; 4 Propinsi Riau termasuk propinsi Kepulauan Riau didalamnya; 5 Propinsi Jambi; 6 Propinsi Sumatra Selatan termasuk propinsi
Bangka Belitung didalamnya; 7 Propinsi Bengkulu; 8 Propinsi Lampung; 9 Propinsi DKI Jakarta; 10 Propinsi Jawa Barat termasuk propinsi Banten
didalamnya; 11 Propinsi Jawa Tengah; 12 Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta DIY; 13 Propinsi Jawa Timur; 14 Propinsi Bali; 15 Propinsi
Nusa Tenggara Barat; 16 Propinsi Nusa Tenggara Timur; 17 Propinsi Kalimantan Barat; 18 Propinsi Kalimantan Tengah; 19 Propinsi Kalimantan
Selatan; 20 Propinsi Kalimantan Timur; 21 Propinsi Sulawesi Utara termasuk propinsi Gorontalo didalamnya; 22 Propinsi Sulawesi Selatan; 23 Propinsi
Sulawesi Tengah termasuk propinsi Sulawesi Barat didalamnya; 24 Propinsi