dengan jumlah penduduk miskin pada Februari 2005 yang berjumlah 35,10 juta jiwa 15,97 persen, jumlah penduduk miskin mengalami peningkatan sebesar
3,95 juta jiwa.
5.2 Keuangan Pemerintah Daerah Propinsi
5.2.1 Peranan Belanja Pemerintah Daerah dalam Perekonomian Daerah
Studi ini mempelajari hubungan antara keuangan daerah dengan perkembangan perekonomian daerah. Oleh sebab itu, terlebih dahulu akan dilihat
sejauh mana kontribusi keuangan pemerintah daerah dalam output perekonomian daerah, yang dalam hal ini direpresentasikan oleh rasio belanja pemerintah daerah
terhadap PDRB. Berdasarkan angka rasio ini, dapat dikatakan bahwa secara umum kontribusi pengeluaran atau belanja pemerintah daerah ada pada kisaran
angka yang relatif kecil Tabel 5.5. Sampai dengan tahun 2001, rasio belanja rata-rata daerah propinsi terus
mengalami kenaikan. Kenaikan ini sangat signifikan yakni rata-rata untuk tiap- tiap propinsi pada periode 1998-2000 mengalami peningkatan dua kali lipatnya
dibandingkan pada periode 1993-1997. Kita ketahui bahwa pada periode ini bisa dikatakan Indonesia berada pada kondisi yang tidak stabil setelah krisis yang
melanda tahun 1998 dan rata-rata PDRB tiap propinsi pada periode ini mengalami penurunan. Hal ini sejalan dengan penjelasan sebelumnya, yang menyebutkan
bahwa faktor yang mempengaruhi meningkatnya pertumbuhan ekonomi Indonesia pasca krisis yaitu tingkat konsumsi pemerintah dan masyarakat yang tinggi.
Tabel 5.5. Rasio Belanja Pemerintah Daerah terhadap PDRB Tiap Propinsi di Indonesia dalam persen
Propinsi 1993-1997 1998-2000 2001 2002 2003 2004 Aceh
Sumut Sumbar
Riau Jambi
Sumsel Bengkulu
Lampung Jakarta
Jabar Jateng
DIY Jatim
Bali NTB
NTT Kalbar
Kalteng Kalsel
Kaltim Sulut
Sulteng Sulsel
Sultra
Maluku Papua
2,97 3,78
2,52 1,75
4,83 2,32
6,76 2,92
4,89 3,06
4,61 6,04
3,63 2,62
4,12 6,57
3,71 7,79
5,88 1,70
6,03
14,22 3,22
8,06 4,39
5,44 7,84
7,89 6,15
4,40
11,40 5,28
16,81 7,13
13,93 6,54
9,79 12,59
7,62 6,74
8,96 14,58
7,39 16,70
11,50 4,36
11,21 25,95
6,75 19,40
15,35 10,83
14,97 12,82
11,12 8,05
19,91 9,46
30,32 12,81
25,08 9,66
15,61 20,87
12,24 12,64
14,07 26,07
13,61 29,53
20,09
8,27 17,78
42,56 12,11
34,70 32,38
21,99 16,58
4,55 6,61
9,04 12,12
7,27 12,52
8,46 16,66
4,81 5,90
10,23 5,82
11,08 8,02
15,40 6,38
8,66 7,83
9,84
13,60 11,14
6,95 14,71
23,83 24,05
21,54 5,81
7,72 9,78
15,91 8,88
17,61 9,91
18,09 6,17
6,72 12,18
6,29 9,35
9,24 17,31
7,33 10,72
8,39 12,18
14,05 14,27
8,23 18,43
30,27 25,05
33,55 6,58
8,80 11,07
19,03 10,44
18,80 11,49
18,63
6,75 6,81
14,05 6,66
10,30 9,47
18,14 8,44
11,46 8,90
12,12 14,23
15,47 9,39
17,59 29,88
36,01
Rata-rata 4,76
10,66 18,80
10,85 12,75
14,39
Sumber: data BPS, diolah.
Kondisi ini tidak jauh berubah pada tahun 2001 yakni masih tetap meningkat dua kali lipatnya dibandingkan periode 1998-2000. Pada tahun ini
merupakan momentum awal bagi pemerintah daerah untuk dapat memberikan pelayanan bagi masyarakatnya secara luas, yang mana pada tahun ini merupakan
awal diterapkannya paket kebijakan Undang-undang tentang Otonomi Daerah. Dalam melaksanakan fungsinya sebagai pemerintahan yang mandiri untuk
pertama kalinya, wajar bila pada saat mengambil keputusan masih memerlukan
adaptasi dengan ”status” pemerintah daerah yang baru ini, terlebih terkait masalah anggaran. Lebih dari tiga dekade, pemerintah daerah terbiasa menerima
”instruksi” dari pusat. Sementara itu jika dilihat dari komponennya, terlihat adanya
kecenderungan semakin mengecilnya proporsi belanja pembangunan untuk rata- rata tiap propinsi di Indonesia. Hal ini terlihat secara jelas pada gambar 5.1 yang
menunjukkan perkembangan proporsi belanja pembangunan dan belanja rutin untuk angka rata-rata tiap propinsi di Indonesia.
Sumber: data BPS, diolah Gambar 5.1
.
Proporsi Belanja Pembangunan dan Belanja Rutin Pemerintah tiap
Propinsi di Indonesia 1993-2004
Sampai dengan tahun 2000, proporsi belanja pembangunan untuk rata-rata tiap propinsi mengalami peningkatan yang diiringi dengan penurunan terhadap
belanja rutinnya. Terhitung dari tahun 2001, dimana merupakan tahun awal pengimplementasian otonomi daerah, sampai dengan tahun 2004, keadaan justru
berbalik. Belanja pembangunan untuk rata-rata setiap propinsi mengalami
0,00 10,00
20,00 30,00
40,00 50,00
60,00 70,00
80,00 90,00
1993 1994 1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 rutin
pembangunan
penurunan yang cukup signifikan diiringi dengan peningkatan secara tajam pada belanja rutinnya. Ironis sekali, ketika semangat otonomi daerah yaitu sebagai
sarana untuk pelayanan publik yang lebih baik, justru proporsi belanja pembangunan menurun secara drastis.
Proporsi belanja pembangunan yang menurun ini diduga karena terdapat anggaran daerah berupa DAU yang disimpan dalam bentuk SBI. DAU yang
seharusnya dialokasikan untuk pembangunan daerah justru oleh pemda disimpan dalam SBI. Pemda beralasan atas penyimpanan anggarannya dalam bentuk SBI
karena mereka merasakan memiliki surplus anggaran. Namun demikian, yang menjadi masalah saat ini adalah pemda yang bersangkutan sebenarnya tidak
mengalami surplus anggaran, yang banyak terjadi sekarang justru keterlambatan penggunaan anggaran. Menteri keuangan Sri Mulyani mengatakan:
sebenarnya pemerintah daerah bisa saja menempatkan surplus anggarannya ke instrumen yang dianggap aman, baik melalui perbankan
atau SBI maupun pasar modal. Yang jadi masalah kalau sebenarnya tidak ada anggaran. Ini akan menimbulkan ironi, di satu sisi mungkin program
pembangunan dan pelayanan kepada masyarakat sangat dibutuhkan, tapi di sisi lain anggaran yang ada tidak dipakai
38
Tercatat sampai dengan April 2007 sebanyak Rp. 90 triliun anggaran Pemda disimpan di SBI, yaitu sebanyak 25 persen SBI yang tersimpan di bank sentral
adalah milik BPD. Dengan adanya pemarkiran DAU di SBI ini, tentu saja menghambat proses pembangunan daerah.
38
www.suarakarya-online.comnews.html?id=178218- 15k -
5.2.2 Pendapatan Asli Daerah PAD