TINJAUAN PUSTAKA Analisis Aksesibilitas, Dampak Ekonomi Dan Tingkat Pengembalian Kredit Program Kkpe Pada Peternak Sapi Di Jawa Tengah
mendapatkan nasabah yang benar-benar menguntungkan dilakukan dengan analisis 4C. Kasmir 2007 menyebutkan 4C sebagai berikut 1 Capacity, untuk melihat nasabah
dalam kemampuannya dalam bidang bisnis yang dihubungkan dengan pendidikannya, kemampuan bisnis juga diukur dengan kemampuannya dalam memahami tentang
ketentuan-ketentuan pemerintah; 2 Capital, penggunaan modal ditinjau dari laporan keuangannya melalui pengukuran seperti likuiditas, solvabilitas, rentabilitas, dan lainnya
dimana Capital ini juga harus dilihat dari sumber mana saja modal yang ada sekarang ini; 3 Collateral, merupakan jaminan yang diberikan calon nasabah baik yang bersifat fisik
maupun non fisik dimana jaminan hendaknya melebihi jumlah kredit yang diberikan serta harus diteliti keabsahannya; 4 Condition, dalam menilai kredit hendaknya juga dinilai
kondisi ekonomi dan politik sekarang dan di masa yang akan datang sesuai sektor masingmasing, serta prospek usaha dari sektor yang ia jalankan. Disamping keempat
kriteria di atas saat ini banyak yang menambah kriteria kelima, yaitu Character. Kriteria ini menitikberatkan pada pribadi dan perilaku seseorang.
Sejarah Perkembangan Kredit Program di Indonesia
Dalam sejarahnya, kredit program diawali dengan penyaluran kredit untuk sektor pertanian dan kemudian berkembang dimana cakupan kredit program tersebut juga tersedia
untuk sektor lainnya, namun dengan batasan masih tergolong dalam usaha mikro, kecil dan menengah UMKM. Skim kredit program pemerintah yang terkenal di masyarakat yaitu
Kredit Usaha Rakyat KUR yang diperuntukkan bagi UMKM yang layak mendapatkan fasilitas kredit, namun tidak mempunyai agunan yang cukup untuk persyaratan kredit
perbankan. Tujuan akhir diluncurkan program KUR adalah pengentasan kemiskinan dan penyerapan tenaga kerja. Selain KUR, skim kredit program pemerintah yang lainnya yaitu
Kredit Ketahanan Pangan dan Energi KKPE dan Kredit Usaha Pembibitan Sapi KUPS. Pemerintah juga melakukan program pembiayaan untuk usaha produktif yaitu Simpan
Pinjam khusus Perempuan SPP yang diberikan pada perempuan rumah tangga miskin Kusmuljono 2009.
Pengembangan kredit program sektor pertanian, sejak awal kemunculannya tidak terlepas dari program intensifikasi pertanian dan program peningkatan ekonomi pedesaan
dimana agenda utama dari program tersebut adalah untuk mencapai swasembada pangan. Pada awalnya, swasembada pangan lebih ditujukan pada swasembada beras mengingat
beras merupakan makanan pokok sebagian besar masyarakat Indonesia sehingga kredit program sektor pertanian di awal tersebut lebih ditujukan untuk intesifikasi usahatani padi.
Seiring dengan permasalam pertumbuhan penduduk yang relatif besar, konversi lahan pertanian ke sektor non pertanian dan sekaligus mengurangi ketergantungan terhadap beras
maka kredit program tidak hanya diperuntukan pada pembiayaan usahatani padi, tetapi juga untuk pembiaayaan komoditi pangan lainnya.
Kredit program yang pertama adalah untuk Padi Sentra pada tahun 1963 dan dilanjutkan dengan Program Bimas pada tahun 1966 dan di tahun 1969 berubah menjadi
Bimas Gotong Royong. Pada tahun 1970 Bimas Gotong Royong diubah menjadi Bimas yang disempurnakan sampai dengan tahun 1985. Penyempurnaa tersebut disesuaikan
dengan perkembangan permasalahan dimana Program Bimas diubah menjadi Inmas, Inmum, Insus dan Supra Insus. Secara umum Kredit Bimas dimaksudkan untuk
mempercepat adopsi teknologi budidaya padi melalui pendanaan untuk pengadaan bibit
unggul, pupuk, pestisida dan biaya hidup cost of living yang bertujuan untuk meningkatkan produktivitas padi.
Pada tahun 1985 Kredit Bimas berganti nama menjadi Kredit Usaha Tani KUT. Kredit program sektor pertanian tersebut disediakan dengan tujuan untuk menunjang
pelaksanaan program intensifikasi padi. Sejak disalurkannya KUT, cakupan komoditas yang dapat dibiayai kredit program ini menjadi lebih banyak yaitu padi, palawija dan
hortikultura. Dalam perkembangannya KUT mengalami berbagai perubahan dan penyesuaian mengikuti perkembangan ekonomi dan kebijakan pemerintah Insus, Supra
Insus, IP Padi-300 dan lain-lain. Setelah era KUT, secara silih berganti atau dalam waktu bersamaan, pemerintah menyalurkan berbagai skim kreditbantuan modal, baik yang
bersifat bantuan langsung maupun bergulir. Sebagai contoh, Bantuan Langsung Masyarakat BLM; Penguatan Modal Usaha Kelompok PMUK; subsidi bunga dalam
Kredit Ketahanan Pangan KKP atau yang mendekati komersial seperti Skim Pelayanan Pembiayaan Pertanian SP3.
Pemerintah mengganti KUT dengan kredit program yang diperbaharui, yaitu Kredit Ketahanan Pangan KKP. Aturan pada KKP adalah kembali pada keikutsertaan bank
yang berhadapan dengan peluang resiko executing sehingga menjadikan mereka sangat hati-hati dalam menghindari individu dan organisasi yang masih memeiliki tunggakan
KUT dan mempunyai riwayat buruk di masa lalu. Tingkat bunga masih disubsidi dengan beberapa modifikasi kredit masih muncul. Kredit program KKP ditujukan untuk 1
intensifikasi tanaman pangan padi, jagung, kedelai dan ubi kayu serta 2 pengadaan pangan. Target KKP adalah kelompok tani dan koperasi. Bank pelaksana adalah BUMN
seperti BRI, Bank Agro, Bukopin, Bank Mandiri dan Bank Pembangunan Daerah. Bank menggunakan dana mereka dalam penyaluran KKP tetapi mereka menerima subsidi bunga
dari kredit yang disalurkan. Pada tahun 2000, KKP diaplikasikan selain untuk tanaman pangan juga diaplikasikan untuk perkebunan tebu dan peternakan. Subsidi tingkat bungan
dibayar pemerintah yang secara bertahap dikurang hingga tahun 2003. Sumber pendanaan tergantung pada bank yang bersangkutan, dengan bunga sebesar 12 persen untuk tanaman
pangan dan 6 persen untuk tanaman perkebunan, perikanan dan peternakan. Dalam perkembangannya kredit program KKP, sejak tahun 2007 diubah nomenklaturnya menjadi
KKP-Energi.
Seperti sudah dikemukakan bahwa sesuai dengan namanya, kredit program disediakan untuk mendukung pelaksanaan program atau proyek tertentu termasuk untuk
kredit program sektor pertanian. Oleh karena itu, pelaksanaan kredit program bersifat dinamis baik dari sisi target komoditas atau penerima kredit, prosedur, rentang waktu
maupun penetapan indikator tingkat keberhasilan program. Disamping itu, karena penyempurnaan kredit program juga dalam rangka meningkatkan aksesibilitas masyarakat
petani terhadap kredit maka perubahan nomenklatur kredit program berdampak pada plafon, sistem penyaluran dan sistem pengembaliannya. Namun demikian, terdapat
kekhasan dalam penyaluran kredit program untuk sektor pertanian, yaitu 1 selalu disalurkan lewat kelompok tani; 2 melibatkan bank sebagai penyalur kredit apakah
dengan pola penyaluran chanelling atau executing; Petugas Penyuluh Lapangan dan dinas terkait sebagai pihak yang memberikan rekomendasi kepada bank terkait.
Secara umum, kredit program untuk sektor pertanian berasal dari dua sumber 1 Anggaran Pendapatan Belanja Negara APBN seperti kredit BIMAS, KUT, KKP, SP3,
BLM dan pengembangan Lembaga Keuangan Mikro Agribisnis LKMA ; 2 Proyek
bantuan asing baik yang berupa hubungan kerjasama bilateral seperti Second Kennedy Round SKR maupun kerjasama multilateral seperti Program Peningkatan Pendapatan
PetaniNelayan Kecil P4K.
Kredit Program KKPE dalam Pembiayaan Sektor Pertanian dan Peternakan Sapi
Kredit Ketahanan Pangan dan Energi KKPE. Total kredit perbankan nasional tahun 2010 sebesar Rp.1,397 triliun. Sementara kredit untuk sektor pertanian hanya Rp.77
triliun atau 5.5 persen, padahal kontribusi sektor pertanian pada pembentukan Produk Domestik Bruto menempati posisi kedua terbesar setelah manufaktur. Sulitnya akses
terhadap kredit perbankan juga tercermin pada tingginya suku bunga kredit untuk sektor pertanian mencapai 13.20 persen PSE, 2011.
Jenis-jenis kredit program untuk pembiayaan pertanian yang saat ini diluncurkan Kementerian Pertanian adalah Kredit Ketahanan Pangan dan Energi KPPE, Kredit Usaha
Mikro dan Kecil KUMK-SUP, Kredit Usaha Rakyat KUR dan Program Kemitraan Bina Lingkungan PKBL. Disamping itu juga ada pembiayaan syariah yang meliputi i
pengembangan skema pembiayaan berbasis syariah; dan ii pengembangan kelembagaan usaha petani yang berasal dari kelompok usahatani. Juga ada program tambahan yaitu i
program fasilitas skim pelayanan pembiayaan pertanian SP-3 dan ii kerjasama pemanfaatan bantuan Luar Negeri.
Kredit Ketahanan Pangan dan Energi KKPE yang dulu dikenal dengan Kredit Ketahanan Pangan KKP, sudah berjalan sejak Oktober 2000 merupakan penyempurnaan
dari KUT Kredit Usaha Tani, KKPA Kredit kepada Koperasi Primer untuk Anggotanya, serta Kredit Koperasi Pangan KKP. KKP ditujukan untuk membantu
permodalan petani dan peternak dengan suku bunga terjangkau sehingga mereka dapat menerapkan teknologi rekomendasi budidaya dan dapat mengembangkan agribisnisnya
secara layak.
Dalam perkembangannya KKP terus mengalami perubahan dan penyempurnaan baik dalam cakupan komoditas yang dibiayai, kebutuhan indikatif dan plafon maksimum
per debitur. Penyempurnaan KKP juga ditujukan untuk mendukung ketahanan energi sehingga mulai Oktober 2007 KKP berubah menjadi Kredit Ketahanan Pangan dan Energi
KKPE. KKPE adalah kredit investasi danatau modal kerja yang diberikan dalam rangka mendukung pelaksanaan Program Ketahanan Pangan dan Program Pengembangan
Tanaman Bahan Baku Bahan Bakar Nabati.
Tujuan dari KKPE adalah: a menyediakan kredit investasi dan atau modal kerja dengan suku bunga terjangkau, b mengoptimalkan pemanfaatan dana kredit yang
disediakan oleh perbankan untuk petanipeternak yang memerlukan pembiayaan usahanya secara efektif, efisien dan berkelanjutan guna peningkatan produksi sekaligus peningkatan
pendapatan dan kesejahteraanya, dan c mendukung peningkatan ketahanan pangan nasional dan ketahanan energi lain melalui pengembangan tanaman bahan baku bahan
bakar nabati.
Sedangkan sasaran KKPE adalah: a tersalurnya KKPE kepada petani dan peternak yang membutuhkan pembiyaankredit serta lancar dalam pengembalian kreditnya,
dan b peningkatan penerapan teknologi anjuran bagi petanipeternak yang memanfaatkan pembiayaankredit yang akhirnya terjadi peningkatan produktivitas usaha.
Sumber dana KKPE berasal dari Bank Pelaksana dan Resiko KKPE ditanggung sepenuhnya oleh Bank Pelaksana. Peran pemerintah antara lain menyediakan subsidi suku
bunga dan risk sharing untuk komoditas padi, jagung dan kedelai. Keputusan akhir kredit ada pada bank mengingat resiko kredit sepenuhnya ditanggung bank. Suku bunga KKPE
ditinjau tiap 6 bulan Direktorat Pembiayaan, 2011. Ketentuan tingkat bunga tersebut mulai berlaku tanggal 1 Oktober 2010 sampai 31 Maret 2011 Tabel 3.
Tabel 3 Tingkat bunga bank, tingkat bunga peserta KPPE dan subsidi bunga
Uraian Tingkat Bunga Bank
Tingkat Bunga kepada Peserta
Subsidi Bunga 1. KKPE Tebu
2. KKPE Lainnya 12
13 7
5 5
8 Sumber: Direktorat Pembiayaan, Kementan 2011
Tabel 4 berikut ditampilkan panduan ringkas kredit program KKPE mulai dari jenis usaha yang dibiayai sampai kepada lembaga bank pelaksana. Bank Pelaksana kredit
program KKPE meliputi 22 bank, yaitu 9 sembilan Bank Umum meliputi Bank BRI, Bank Mandiri, BNI, Bukopin, CIMB Niaga, Agroniaga, BCA, BII, dan Artha Graha dan
13 tiga belas Bank Pembangunan Daerah BPD, yaitu BPD Sumatera Utara, Sumatera Barat, Sumatera Selatan, Jawa Barat, Jawa Tengah, DI Yogyakarta, Jawa Timur, Bali,
Sulawesi Selatan, Kalimantan Selatan, Papua, Riau dan Nusa Tenggara Barat. Dari total Rp.8.4 trilyun plafon KKPE yang ditetapkan, nilai realisasi mencapai Rp.10.9 trilyun 129
persen. Realisasi penyaluran KKPE oleh Bank Umum mencapai Rp.10.1 trilyun 128 persen, sedangkan BPD menyalurkan Rp.0.78 trilyun 150 persen.
Terdapat enam provinsi yang belum memanfaatkan KKPE, yaitu Provinsi Sulawesi Tengah, Bangka Belitung, Sulawesi Barat, Maluku Utara, Irian Jaya Barat dan Kepulauan
Riau. Walaupun KKPE budidaya tanaman pangan terbesar ketiga setelah budidaya Tebu dan Peternakan, tetapi dari segi penyebarannya terluas dari semua subsektor yang
memperoleh KKPE, yaitu meliputi 27 provinsi. Penyebaran KKPE untuk budidaya tebu hanya di sembilan provinsi dan terbanyak atau fokus di Pulau Jawa. Sedangkan untuk
budidaya tanaman hortikultura selain fokus di Pulau Jawa, juga banyak diserap di Provinsi NTB dan sedikit di Kalsel dan Sumsel.
Usahatani dengan sistem kemitraan relatif membantu petani dalam hal penyediaan modal untuk sarana produksi, di samping itu juga menjamin pemasaran produk.
Perusahaan yang berperan sebagai mitra biasanya menyediakan modal bagi petani plasma yang bisa dibayar setelah panen. Misalnya, kemitraan kelompok tani cabe di Jember Jawa
Timur dengan PT Heinz ABC yang pembiayaan sarana produksinya difasilitasi dengan KKPE. Demikian juga kemitraan antara PisAgro dengan petani jagung di Mojokerto dan
Bank BRI mendukung dengan dana KKPE. Adanya berbagai keuntungan yang dirasakan oleh petani, maka Pemerintah perlu mendorong kemitraan antara petani dengan perusahaan
pengolah produk pertanian, produsen benih, maupun pedagang hasil pertanian dengan syarat perusahaan mitra menyediakan sarana produksi secara kredit bagi petani dan
menjamin pemasaran produk yang dihasilkan.
Petani pada prinsipnya lebih menyukai cara pengajuan kredit yang sederhana dan cepat walaupun bunganya relatif tinggi. Hal ini bisa dijembatani oleh pemerintah melalui
linkage program dengan meminjamkan KKPE kepada koperasi atau lembaga keuangan
perdesaan lainnya seperti yang sudah dilakukan selama ini. Juga ditemukan bantuan modal dari pengusaha penggilingan padi kepada petani atau pinjaman modal dari koperasi kepada
para anggotanya.
Tabel 4 Panduan kredit KPPE
Aspek Uraian
Usaha yang Dibiayai 1. Pangan, Hortikultura dan pengadaan pangan
2. Peternakan sapi, ayam, itik dan burung puyuh. 3. Perikanan tangkap dan budidaya dan pengembangan rumput Laut
4. Pengadaanperemajaan peralatan, mesin, dan sarana menunjang
Sumber Dana Bank Pelaksana 100
Plafon Kredit 1. Petani, peternak, pekebun, nelayan, budidaya ikan Rp50 juta;
2. Untuk koperasi dalam rangka pengadaan pangan Rp500 juta; 3. Untuk kelompok tani dalam rangka pengadaan peremajaan peralatan,
mesin, dan sarana lain Rp500 juta. Suku Bunga Kredit
1. Tebu, maksimal sebesar bunga penjaminan Bank LPS + 5 2. Komoditas lain, maksimal sebesar bunga penjaminan Bank + 6
Suku Bunga PetaniPeternak
1. Tebu: 7 p.a. 2. Komoditas lain: 6 p.a. ditinjau per 6 bln, ditetapkan Menkeu
Jangka Waktu Maksimal 5 tahun
Peran Pemerintah 1. Kemenkeu: penyediaan dana APBN untuk subsidi bunga, menunjuk
Bank Pelaksana, persetujuan plafon KKPE tiap Bank 2. Mentan: pembinaan dan pengendalian
3. Gubernur: pembinaan dan pengendalian 4. BupatiWalikota: pembinaan dan pengendalian, monev
5. Dinas Teknis: mengkoordinir, monev penyaluran dan pemanfaatan
KKPE, membimbing dan memantau kelompok tani Target Realisasi
Komitmen pendanaan oleh Bank : Rp.37.8 triliun Bank Pelaksana
9 bank umum dan 13 BPD Sumber: Direktorat Pembiayaan, Kementan 2011
Gambar 2 menampilkan skema yang ditempuh petani dan peternak secara individu untuk mendapatkan KKPE dari perbankan. Petani diharuskan menyusun Rencana
Kebutuhan Usaha RKU atau Rencana Definitif Kebutuhan Kelompok RDKK dan disahkan oleh Dinas TeknisBadan terkait 1 dan 2 untuk diajukan ke bank 3. Dalam
penyusunan RKU dan RDKK ini pihak petani dan kelompok tani dapat dibantu oleh lembaga seperti penyuluh. Setelah proposal tersebut dinilai pihak perbankan layak 4,
maka dilakukan akad kredit 5. Selanjutnya dalam proses pengembalian, petanikelompok tani langsung mengembalikan kredit ke bank pelaksana sesuai jadwal 6 dan 7. Petani
yang tergabung dalam kelompok secara periodik menyetorkan dana cicilannya ke kelompok dan pengurus kelompok meneruskan ke bank.
: Sumber: Direktorat Pembiayaan, Kementan 2011
Gambar 2 Prosedur pengajuan KPPE secara individu ke bank Demikian juga dengan petani yang melakukan kerjasama dengan mitra usaha tetap
harus menyusun RKURDKK dan disahkan oleh Dinas Teknis 1 dan 2. Peternak mengajukan kredit ke bank 3. Pihak mitra menjadi penjamin kredit 4 dan 5 dan
penjamin pasar 7 dengan membantu kelancaran pengembalian kredit yang berkoordinasi dengan bank pelaksana 8 Gambar 3.
Sumber: Direktorat Pembiayaan, Kementan 2011
Gambar 3 Prosedur pengajuan KPPE bekerjasama dengan mitra usaha
Karakteristik Peternakan Sapi Potong dan Sapi Perah di Indonesia
Di Indonesia, usaha peternakan sapi terbagi atas perusahaan peternakan sapi dan peternakan rakyat. Peternakan sapi rakyat umumnya merupakan usaha sambilan dan
jumlah ternak yang diusahakan relatif kecil. Untuk mendapatkan hasil yang baik diperlukan beberapa faktor produksi dan keahlian peternak. Faktor bibit dan sistem usaha
serta cara pemeliharaan ternak sapi, baik potong maupun perah, sangat menentukan tingkat keberhasilan Santoso 2008. Penelitian Indrayani 2011 menunjukkan bahwa vaiabel
yang berpengaruh nyata terhadap produksi usaha penggemukan sapi potong adalah jumlah hijauan, konsentrat, umur bakalan, dan penguasaan ternak. variabel jumlah penggunaan
tenaga kerja dan obat-obatan walaupun tidak nyata namun menunjukkan tanda yang sesuai dengan yang diharapkan. variabel konsentrat dan umur bakalan berpengaruh positif dan
sangat nyata, sehingga peternak perlu menambah penggunaan konsentrat dan memperhatikan umur sapi bakalan yang digunakan untuk mencapai produksi optimal.
Namun hasil penelitian Elly 2008 menunjukkan bahwa produksi ternak sapi berdasarkan bobot badan ditentukan oleh input produksi pakan dan obat-obatan.
Selama ini usaha ternak sapi memberi manfaat bagi peternak, walaupun dikelola sebagai usaha sambilan. Fungsi ternak bagi keluarga adalah sebagai sumber pendapatan,
sumber protein hewani, sumber tenaga kerja dan sebagai penghasil pupuk. Santoso et al 1983 menambahkan fungsi lainnya adalah sebagai penghasil bibit dan tabungan rumah
tangga. Hasil penelitian Hendrayana dan Yusuf 2003 menunjukkan keuntungan usaha penggemukan sapi potong sekitar 29 persen dari total biaya dalam satu periode
pemeliharaan.
Beberapa jenis sapi potong yang terdapat di Indonesia terbagi atas sapi lokal Bali, Ongole, Madura, maupun beberapa daerah lain dan sapi turunan Brahman, Limousin dan
Simental Setiawan 2012. Sapi Bali termasuk sapi yang paling diminati petani kecil karena memiliki beberapa keunggulan, seperti tingkat kesuburan tinggi sehingga dapat
beranak setiap tahun, tipe pekerja yang baik, efisien dalam memanfaatkan pakan, persentase karkas tinggi, daging rendah lemak, dan daya adaptasi terhadap lingkungan
tinggi. Sapi lokal yang memiliki penampilan mirip sapi bali adalah sapi Madura. Perbedaan keduanya adalah sapi Madura memiliki punuk. Satu lagi jenis sapi lokal yang
memiliki punuk adalah sapi Ongole. Di Pulau Jawa sapi ini berkembang dengan baik dan hasil persilangannya dengan sapi lokal disebut sapi peranakan Ongole PO dan banyak
dipeliharan peternak kecil.
Sapi peranakan yang banyak berkembang di Indonesia adalah Sapi Brahman yang berasal dari India. Sapi ini mampu beradaptasi dengan lingkungan yang baru dan memiliki
pertumbuhan yang cepat. Sapi ini termasuk primadona untuk negara-negara tropis termasuk Indonesia. Jenis sapi lain adalah sapi Limousin yang mempunyai tingkat
produksi yang baik dan memiliki berat rata-rata sapi dewasa sekitar 589 kg. Selanjutnya adalah Sapi Simmental yang berasal dari Switzerland. Mirip dengan sapi limousine, jenis
sapi ini digemari petani karena bobot dan badannya relatif besar, yaitu berat dewasa sekitar 680 kg.
Tinjauan Hasil Penelitian Terdahulu Aksessibilitas Petani terhadap Kredit Berdasarkan Teori Kelembagaan
Ekonomi kelembagaan adalah cabang ilmu ekonomi yang menekankan pentingnya aspek kelembagaan dalam menentukan bagaimana sistem ekonomi dan sosial bekerja
Black 2002. Ilmu Ekonomi Kelembagaan memusatkan diri pada pemahaman mengenai institusi lembaga yang dapat mempengaruhi perilaku ekonomi, sehingga dapat
menurunkan biaya transaksi. Dalam hal ini lembaga diharapkan dapat mendukung terjadinya transaksi exchange ekonomi secara efisien, lancar, terjamin, teratur dan stabil.
Ada beberapa pengertian lembaga institusi yang dikemukakan oleh para ekonom. Salah satunya pengertian yang paling banyak dipakai adaah pengertian yang dikemukakan oleh
Douglas C. North. North 1990 mendefinisikan institusi sebagai aturan-aturan constraints yang diciptakan oleh manusia untuk mengatur dan membentuk interaksi
politik, sosial, dan ekonomi. Aturan-aturan tersebut terdiri dari aturan formal seperti undang-undang, konstitusi dan aturan informal seperti norma sosial, konvensi, adat
istiadat. Karena itu ilmu ekonomi kelembagaan berusaha memperluas ilmu ekonomi dengan menentukan pokok bahasan pada aspek sosial, aspek legalnorma dan aturan-aturan
yang mendasari suatu kegiatan ekonomi.
Teori ekonomi kelembagaan muncul sebagai jawaban terhadap lemahnya aplikasi penggunaan teori ekonomi klasik di dalam memecahkan persoalan-persoalan ekonomi
dalam dunia nyata. Menurut ahli ekonomi kelembagaan beberapa asumsi teori ekonomi klasik tidak realistis dimana pada kenyataannya setiap pelaku ekonomi tidak dapat secara
bebas keluar masuk dalam pasar karena tidak semua pelaku memiliki informasi yang sama adanya asymmetric information atau karena bentuk kegagalan pasar market failure
lainnya seperti adanya eksternalitas dan barang publik. Informasi yang tidak sempurna menimbulkan konsekuensi biaya transaksi transaction cost. Intinya, selalu ada insentif
bagi individu untuk berperilaku menyimpang sehingga sistem ekonomi tidak bisa dibiarkan hanya dipandu oleh pasar. Dalam hal ini diperlukan kelembagaan non pasar
non-market institution untuk melindungi agar pasar tidak terjebak dalam kegagalan yang tidak berujung, yakni dengan jalan mendesain aturan main atau kelembagaan institutions
Yustika 2008: x
– xi. Biaya transaksi mempertimbangkan manfaat dalam melakukan transaksi di dalam
organisasi dan antara aktor organisasi yang berbeda dengan menggunakan mekanisme pasar. Schmid 1987 di sisi lain membedakan biaya transaksi atas tiga hal, yakni: 1 biaya
informasi, 2 biaya kontrak biaya negosiasibargaining dan pengambilan keputusan, dan 3 biaya pengawasan monitoring dan penegakan hukum compliance. Dalam konteks
inilah sering terjadi pemahaman yang keliru mengenai apa yang dimaksud dengan transaction cost. Transaction cost bukanlah biaya pertukaran cost of exchange atau salah
satu biaya dalam jual beli barang dan jasa termasuk lahan, namun lebih diartikan sebagai
“the cost of establishing and maintaining right” Allen 1991. Aksesibilitas terhadap Kredit Berdasarkan Teori Permintaan
Syukur dkk. 1990 menyatakan bahwa peran kredit sebagai pelancar pembangunan pertanian adalah: 1 membantu petani kecil dalam mengatasi keterbatasan modal dengan
bunga yang relatif ringan, 2 mengurangi ketergantungan petani dengan pedagang perantara dan pelepas uang, dengan demikian berperan dalam memperbaiki struktur dan
pola pemasaran hasil pertanian, 3 mekanisme transfer pendapatan diantara masyarakat untuk mendorong pemerataan, dan 4 insentif bagi petani untuk meningkatkan produksi
usahatani. Tetapi nyatanya masih banyak petani yang tidak dapat mengakses kredit dari lembaga keuangan formal yang memiliki tingkat suku bunga yang rendah.
Akses ke kredit adalah kemampuan petani secara individu maupun kelompok dalam mendapatkan fasilitas permodalan serta pelayanan keuangan dari perbankan-
lembaga keuangan. Suatu rumah tangga memiliki akses ke sumber kredit tertentu jika mampu meminjam dari sumber kredit tersebut, meskipun untuk berbagai alasan mungkin
memilih untuk tidak meminjam Diagne and Zeller 2001.
Mengenai akses ke kredit, Claessens 2006 menyebutkan akses ke kredit- keuangan mengacu pada ketersediaan suplai jasa keuangan. Beliau mengelompokkan ke
dalam 3 kelompok, yaitu Kelompok A memiliki akses dan menggunakan jasa keuangan, Kelompok B memiliki akses tetapi tidak ingin menggunakan jasa keuangan pengecualian
sukarela dan Kelompok C tidak memiliki akses dan dengan demikian tidak menggunakan jasa keuangan pengecualian paksa. Dengan demikian akses sama dengan A + B, yaitu
mereka yang menggunakan jasa keuangan A dan jelas memiliki akses. Yang tidak menggunakan atau pengecualian sukarela B tidak selalu mencerminkan tersedianya
layanan juga tidak selalu berarti penjatahan. Permintaan dan penawaran mungkin sedemikian rupa sehingga beberapa rumah tangga atau perusahaan memiliki akses ke
layanan keuangan, tetapi memutuskan untuk tidak menggunakannya karena mereka tidak perlu, tidak memiliki tabungan, bergantung pada cara bertransaksi non finansial barter,
atau menilai harganya terlalu tinggi Gambar 4.
Kurangnya akses, sehingga beberapa rumah tangga atau perusahaan sengaja dikecualikan C. Mereka mungkin tidak memiliki akses karena, misalnya, hambatan untuk
mengakses sistem keuangan formal yang terlalu tinggi atau biaya yang terlalu tinggi atau karena mereka tidak memiliki catatan kredit. Hasil kajian SMERU 2000 tentang kredit
bersubsidi untuk keluarga miskin menunjukkan bahwa beberapa program pembiayaan tersebut banyak dinikmati oleh keluarga tidak miskin. Pemilihan penerima program di
kebanyakan kabupaten contoh tidak secara khusus ditujukan kepada masyarakat miskin.
Sumber: Cf. Claessens 2006
Gambar 4 Pengelompokan akses ke kredit Faktor-faktor yang mempengaruhi akses petani terhadap sumber kredit terdiri dari
tiga hal, yaitu: 1 faktor yang berasal dari dalam diri petani itu sendiri, 2 faktor penunjang, dan 3 faktor ekonomi. Ketiga faktor tersebut akan terintegrasi dengan
sendirinya sehingga pada akhirnya akan mempengaruhi akses petani terhadap sumber kredit. Faktor yang berasal dari diri petani dibagi menjadi beberapa aspek, yaitu: umur
petani, tingkat pendidikan petani, jumlah anggota keluarga, pengalaman berusahatani, keikutsertaan dalam kepengurusan kelompok tani dan resiko kegagalan usahatani.
Ya Memanfaatkan Kredit
Tidak
Tidak punya
agunan Takut
tdk mampu
bayar Tidak
tahu Msh
punya kredit di
bank lain Masalah Akses
Income Tdk
cukup- resiko
tinggi Diskri-
minasi Harga-
fitur produk
Tdk Masalah Akses
Tidak butuh
Kultur Alasan
Agama
Sedangkan faktor ekonomi terdiri dari skala usahatani, kepemilikan lahan dan rasio pendapatan usahatani.
Akses terhadap pasar finansial adalah penting bagi masyarakat miskin. Seperti agen ekonomi yang lain, rumah tangga miskin dan UKM mendapat keuntungan dari kredit,
tabungan maupun jasa asuransi, dimana mereka mendapat peluang meningkatkan keuntungan usaha dan peningkatan potensi pendapatan The World Bank 2004. Lebih
lanjut dalam The World Bank 2010 disebutkan penyediaan akses terhadap kredit jasa keuangan berarti memperbaiki kondisi seseorang dalam berbagai dimensi, meningkatkan
partisipasi semua pihak dalam kegiatan ekonomi, serta menciptakan dan memperluas pangsa pasar lembaga keuangan. Namun disebutkan bahwa sebagian besar masyarakat
yang berpenghasilan rendah berpendapat bahwa produk-produk keuangan yang tersedia saat ini tidak sesuai dengan kebutuhan mereka.
Mosher 1966 mengatakan ada beberapa hal yang akan diperhitungkan petani dalam mengambil kredit atau tidak. Ini perlu dilakukan oleh petani sebagai bahan
pertimbangan agar mereka tidak terjerumus kedalam masalah, yaitu dengan: 1 menaksir besarnya hasil yang akan diperoleh pada saat panen, 2 menaksir harga pasar produknya,
3 biaya untuk mengusahakan pinjaman kredit, 4 sanksi, 5 tingkat kesulitan dalam memperoleh kredit, dan 6 ketepatan waktu dalam penyaluran kredit. Mayrowani et al.
1998 menyatakan bahwa berdasarkan hasil penelitian yang menggunakan model logit, bahwa intercept, umur kepala keluarga, jumlah anggota rumahtangga, pengeluaran
rumahtangga, rasio pendapatan usahatani terhadap total pendapatan, resiko kegagalan menjadi faktor yang berpengaruh terhadap aksessibilitas petani.
Di daerah pedesaan ada berbagai bentuk sumber lembaga pembiayaan yang dapat melayani masyarakat, baik yang bersifat formal maupun non formal. Lembaga yang
bersifat formal antara lain Bank BRI, BPR, Koperasi, Pegadaian, BKDLDKP, dan sebagainya. Sedang lembaga pembiayaan non formal antara lain kios saprotan, pedagang
hasil pertanian, pelepas uangrentenir, bank keliling, dan sebagainya. Kredit di pedesaan melibatkan dua kelompok yaitu petani atau masyarakat sebagai debitor, dan lembaga
pembiayaan baik formal maupun non formal sebagai kreditor. Kedua kelompok tersebut tentu berbeda kepentingan dan tujuan terhadap perkreditan, sehingga dapat menimbulkan
konflik pandangan. Konflik pandangan ini terjadi antara lembaga perkreditan pemerintah dengan masyarakat petani di pedesaan. Oleh karena itu di daerah pedesaan muncul
berbagai bentuk kelembagaan pembiayaan non formal, yang terbentuk sesuai dengan kebutuhan masyarakat.
Sumber kredit nonformal lebih bersifat fleksibel, tanpa prosedur berbelit, saling mengenal, dan berhubungan erat. Pinjaman tidak diawasi dengan ketat, petani bebas
menggunakan kreditnya, juga kreditor mengetahui betul kelayakan kredit petani serta bersedia memberi pinjaman kapan, dimana, dan berapa saja petani minta. Kredit formal
tidak fleksibel, prosedur berbelit, ke dua belah pihak tidak saling mengenal dengan baik, memerlukan waktu relatif lama baik untuk mengambil maupun membayar kredit.
Seringkali debitor harus mengeluarkan biaya yang cukup besar untuk mengurusnya, sehingga bunga yang berlaku menjadi tinggi Hastuti dan Supadi 2001.
Akses terhadap Kredit. Beberapa penelitian yang berkaitan dengan analisis aksesibilitas petani terhadap kredit dan dampak dari kredit terhadap output, tenaga kerja
dan pendapatan petani telah dilakukan walaupun secara terpisah-pisah. Beberapa penelitian yang terkait antara lain yang dilakukan oleh Sinaga 2011 tentang akses petani terhadap
kredit tidak memberikan perbedaan dalam efisiensi teknis usahatani tomat dan kentang. Berdasarkan analisis pendapatan usahatani, efisiensi teknis dan distribusi pendapatan dapat
disimpulkan bahwa perbedaan jenis usahatani mempengaruhi karakteristik kredit yang cocok dengan petani. Kredit yang tepat untuk petani tomat adalah kredit yang berasal dari
Credit Union dan toko sarana produksi pertanian, karena kredit ini dapat memberikan modal cair maupun bentuk input usahatani secara cepat. Sumber akses kredit dari lembaga
non formal berpeluang untuk membantu petani dalam mengatasi keterbatasan modal usahatani.
Penelitian Amjad dan SAF Hasnu 2007 tentang akses petani terhadap kredit pedesaan di Pakistan menyebutkan bahwa status pengusahaan, TK keluarga, pengalaman
meminjam ke bank, pendapatan non usahatani, nilai asset tidak tetap, dan kualitas infrastruktur merupakan variabel penting yang menentukan akses ke bank formal.
Sementara luas lahan yang diusahakan, TK keluarga, pengalaman meminjam ke bank, dan pendapatan non usahatani menjadi faktor penting yang menentukan akses ke bank
informal.
Penelitian Sumaryanto 1992 tentang faktor-faktor yang mempengaruhi keputusan petani untuk meminjam kredit usahatani bertujuan untuk mengetahui keragaan tingkat
kesembadaan petani dalam membiayai sendiri usahataninya, partisipasi petani dalam pengambilan kredit usahatani KUT, dan mengidentifikasi faktor-faktor yang
mempengaruhi perilaku permintaan kredit usahatani KUT. Alat analisis yang digunakan adalah analisis deskriptif dan analisis regresi logistik. Hasil penelitian menunjukkan bahwa
alasan utama petani mengambil KUT adalah modal usahatani yang tidak mencukupi untuk penerapan teknologi anjuran, partisipasi pengambil KUT dalam kredit lain masih rendah
dibanding petani yang tidak mengambil KUT, dan faktor luas kepemilikan sawah, keikutsertaan petani menjadi anggota kelompok tani, partisipasi petani dalam program
intensifikasi dan risiko kegagalan usahatani berpengaruh nyata terhadap keputusan petani untuk mengajukan pinjaman KUT. Faktor pendapatan rumah tangga, tingkat pendidikan
dan risiko terkena hama tidak berpengaruh signifikan.
Penelitian Irawan 1989 mengenai Pelayanan Kredit Non Formal di Pedesaan Sulawesi Selatan bertujuan untuk mengidentifikasi jenis lembaga dan sistem perkreditan
pada lembaga kredit non formal, mengkaji keterlibatan petani dalam aktivitas perkreditan dan mengidentifikasi faktor-faktor yang menentukan keterlibatan petani dengan lembaga
perkreditan. Alat analisis yang digunakan adalah analisis deskriptif dan analisis regresi logistik. Kesimpulan yang diperoleh dari penelitian adalah pemanfaatan lembaga
perkreditan yang cukup luas menandakan kehadiran lembaga perkreditan dibutuhkan, lembaga non formal lebih banyak melayani pinjaman petani dibandingkan dengan lembaga
formal seperti KUD dan BRI , dan faktor jarak ke KUD merupakan salah satu kendala yang cukup serius bagi petani untuk berhubungan dengan lembaga tersebut.
Selanjutnya, penelitian Bagi 1983 yang berjudul A Logit Model Farmer’s
Decisions About Credit di Amerika Serikat bertujuan untuk meramalkan kemungkinan penggunaan kredit jangka pendek dan kredit jangka panjang oleh petani berdasarkan
karakteristik individu petani dan aspek ekonomi dari rumah tangga petani. Alat analisis yang digunakan adalah analisis deskriptif dan analisis regresi logistik. Kesimpulan
penelitian adalah kemungkinan petani untuk mengambil kredit jangka pendek maupun jangka panjang secara langsung dipengaruhi oleh skala usaha, pengalaman bertani,
pendidikan formal, frekuensi pertemuan dengan agen ekstensi, dan jumlah anak di bawah
usia 14 tahun. Kemungkinan meminjam lebih tinggi pada petani kulit putih yang secara penuh bekerja pada bidang pertanian dibandingkan petani kulit hitam yang menjadikan
pertanian sebagai pekerjaan sampingan.
Penelitian Ati 1996 tentang faktor-faktor yang berpengaruh terhadap motivasi peternak dalam pengambilan paket kredit ternak domba di Kabupaten Majalengka
bertujuan untuk mengidentifikasi faktor-faktor yang berpengaruh terhadap motivasi peternak dalam pengambilan paket kredit ternak domba dan menentukan hubungan antara
faktor-faktor tersebut dengan motivasi pengambilan paket kredit ternak domba. Alat analisis yang digunakan adalah analisis regresi berganda. Kesimpulan yang dapat ditarik
dari penelitian adalah tingkat motivasi peternak penerima kredit lebih tinggi dari peternak bukan penerima kredit. Motivasi peternak penerima kredit dipengaruhi oleh umur,
pendidikan dan tingkat komunikasi langsung, sedangkan pada peternak bukan penerima kredit tidak ada faktor yang berpengaruh nyata.
Faktor-faktor yang signifikan berdasarkan hasil penelitian terdahulu dapat dikelompokkan ke dalam karakteristik sosial ekonomi, karakteristik usaha dan
karakteristik kredit. Karakteristik sosial ekonomi meliputi umur, pendidikan, pengalaman bertani, jumlah anak di bawah usia 14 tahun, frekuensi pertemuan dengan agen ekstensi,
tingkat komunikasi langsung, keikutsertaan petani menjadi anggota kelompok tani dan partisipasi petani dalam program intensifikasi.
Karakteristik usaha ternak meliputi luas kepemilikan sawah, skala usaha dan risiko kegagalan usahatani. Karakteristik kredit meliputi faktor jarak rumah dengan lembaga
pemberi kredit, besarnya hasil yang akan datang, biaya untuk mengusahakan pinjaman kredit, sanksi yang akan diterima apabila tidak dapat melunasi kredit pada waktunya,
tingkat kesulitan dalam memperoleh kredit, serta ketepatan waktu antara diperolehnya kredit dengan saat dibutuhkannya kredit. Faktor-faktor yang signifikan pada suatu
penelitian belum tentu memiliki signifikansi yang sama pada penelitian yang lain. Signifikansi suatu faktor sangat bergantung pada objek yang dikaji dalam penelitian.
Dampak Kredit Program
Kredit pertanian diperlukan rumah tangga pertanian selain karena keterbatasan keuangan juga karena ketidakpastian tingkat input, output serta adanya kegagalan pasar
market failure. Yang termasuk dalam kegagalan pasar seperti informasi yang tidak sempurna dan biaya-biaya transaksi transaction cost Singh et al. 1986; Stiglitz 1993;
Sadoulet and de Janvry 1995; Swinnen and Gow 1999; dan Duong and Izumida 2002. Muayila 2012 meneliti peranan kredit terhadap konsumsi rumah tangga dan efisiensi
produksi pertanian. Hasilnya menunjukkan konsumsi bahan makanan per kapita dan efisiensi produksi pertanian berkorelasi negatif dengan kendala dalam mengakses kredit.
Hasil penelitian Yasmeen et al. 2011 di Pakistan menunjukkan bahwa pemberian kredit pertanian oleh bank pemerintah setidak-tidaknya dapat meningkatkan standar hidup rumah
tangga pertanian.
Dampak Kredit terhadap Penggunaan Tenaga Kerja. Adanya penambahan modal
usaha berupa kredit KKPE akan menambah jumlah ternak yang dipelihara. Dengan demikian curahan waktu berupa tambahan tenaga kerja atau jam kerja akan bertambah.
Beberapa hasil penelitian sebelumnya juga menunjukkan kondisi yang mirip. Penelitian yang dilakukan oleh Marcellina 2012 menemukan bahwa pengusaha mikro yang
mendapat kredit mikro dari koperasi menggunakan tenaga kerja jam kerja yang lebih
banyak sebelum dan sesudah memperoleh kredit mikro dari Koperasi Enkas Mulia Kota Semarang atau terjadi peningkatan tenaga kerja jam kerja sebesar 12.5 persen setelah
mendapatkan kredit mikro. Selanjutnya, hasil penelitian Zulfanetti 2013 menggunakan data panel time series 2006-2010 dan cross section sembilan sektor ekonomi di Indonesia
menunjukkan bahwa Kredit Mikro, Kecil dan Menengah berpengaruh positif dan signifikan terhadap penyerapan tenaga kerja pada ketiga skala usaha tersebut UMKM.
Penelitian yang dilakukan Setyari 2012 yang mengevaluasi dampak kredit mikro terhadap kesejahteraan rumah tangga di Indonesia menunjukkan hasil bahwa manfaat
kredit mikro berpengaruh signifikan positif terhadap outcome.
Dampak Kredit terhadap Peningkatan ProduksiPopulasi Ternak dan Pendapatan. Hasil penelitian Ekowati 2012 menunjukkan bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi
produksi sapi potong di Jawa Tengah antara lain jumlah induk, curahan waktu kerja, service per conceptionpelayanan inseminasi buatan IB, jumlah pakan hijauan, jumlah
pakan tambahan, pengalaman beternak, dan penerapan agribisnis. Jumlah ternak yang dikelola rata-rata 4.94 ekor per peternak dan pendapatan sebesar Rp.1.9 jutatahun.
Sementara penelitian Napitupulu 1987 di Jawa Tengah menunjukkan bahwa faktor yang berpengaruh nyata terhadap produksi susu sapi perah adalah jumlah induk sapi, dedak,
singkong, dan obat-obatan. Selanjutnya, faktor yang mempengaruhi pendapatan peternak sapi adalah harga induk, jumlah sapi yang dipelihara, harga pakan hijauan, upah tenaga
kerja, dan bangsa ternak.
Penelitian Khan et al. 2007 menyebutkan bahwa dampak dari mikro kredit telah meningkatkan pendapatan peternak sapi di Pakistan. Namun masalahnya, banyak peternak
yang tidak menggunakan kredit untuk pengembangan ternak, sehingga tidak memberi hasil sesuai yang diharapkan.
Tingkat Pengembalian dan Keberlanjutan Kredit Program
Khander dkk. 1995 telah melakukan kajian tentang keberlanjutan program Grameen Bank di Bangladesh. Hasil kajian tersebut menunjukkan bahwa secara finansial
Grameen Bank telah dapat mencapai kemandirian self sufficiency serta secara meyakinkan telah membantu golongan miskin keluar dari kemiskinan. Tingkat anggota
yang keluar dari Grameen Bank hanya 5 persen dan tingkat pengembaliannya secara konsisten tetap tinggi dan mencapai lebih dari 90 persen. Hal ini menunjukkan bahwa
manfaat program ini cukup baik bagi anggotanya untuk berpartisipasi.
Penelitian sebelumnya dilakukan oleh Hossain 1988 terhadap kondisi ekonomi rumahtangga miskin di Bangladesh. Rumahtangga yang mendapat akses terhadap skim
kredit Grameen Bank memiliki kemampuan yang tinggi untuk menggunakan kredit. Dampak positif ditunjukkan oleh sebanyak 92.7 persen peserta laki-laki dan 90.0 persen
peserta wanita menyatakan bahwa kondisi ekonomi mereka membaik setelah menjadi anggota.
Kajian yang dilakukan Indroprahasto 1994 yang berkaitan dengan aspek kelembagaan menunjukkan bahwa peluang mengembalikan kredit pada lembaga-lembaga
kredit non-formal lebih tinggi dibanding lembaga kredit formal meskipun bunganya jauh lebih tinggi. Lembaga non-formal mengenakan bunga kredit sampai 34.5 persen per bulan,
sementara lembaga formal mengenakan 34 persen – 48 persen per tahun. Faktor trust
building dan personal contact yang dibangun lembaga kredit non-formal memiliki andil besar dalam pengembalian kredit ini.
Penelitian M.R. Kohansal et al. 2008 di Iran menunjukkan bahwa tingkat angsuran kredit merupakan faktor yang paling penting terhadap investasi pertanian,
kemudian luas lahan pertanian dan investasi sebelumnya merupakan urutan selanjutnya. Penelitian yang dilakukan Muryanto dkk. 2011 tentang pengembangan sapi yang
difasilitasi KKPE dan KUPS di Kabupaten Semarang menunjukkan potensi pengembangan sapi yang besar ternyata belum dapat terealisasi di lapangan. Beberapa faktor penghambat
adalah lambatnya realisasi kredit, bobot badan sapi di bawah standard dan pertumbuhan berat badan yang lambat.
Kajian yang berhubungan dengan perilaku rumah tangga terhadap kredit, diantaranya dilakukan oleh Kuntjoro 1983, Sanim 1997, dan Mayrowani dkk. 1998.
Ketiga penelitian ini menekankan pada aspek pembayaran kembali pinjaman, tingkat tunggakan dan daya serap kredit.
Daya serap dan tingkat tunggakan kredit memiliki sebab yang berbeda. Daya serap kredit terkait dengan prosedur pengajuan dan penyaluran kreditnya. Sementara itu tingkat
tunggakan dipengaruhi oleh banyak faktor, baik faktor internal petanikelompok tani maupun faktor di luar kontrol petanikelompok tani. Faktor internal petani antara lain
karakteristik diri petani, kemampuan petani menggunakan kredit faktor untuk usaha yang dapat memberikan keuntungan tinggi dan sistem pengawasan dalam kelompok tani. Selain
itu faktor penting yang mempengaruhi tunggakan kredit antara lain pandangan petani terhadap dana kredit yang disalurkan, pengalamannya dalam menggunakan kredit dan
tingkat kesadaran dalam membayar kredit.
Faktor-faktor yang mempengaruhi kemampuan petani dalam membayar kembali pinjaman kredit antara lain sistem seleksi calon penerima kredit, sistem monitoring dan
pengawasan kredit, kegagalan panen karena hama dan banjir. Hasil penelitian Kuntjoro 1983 pada petani Bimas di Kabupaten Subang menyebutkan bahwa faktor yang
berperanan positif mendorong petani bertanggungjawab dalam membayar kembali kredit pinjamannya adalah: 1 pengalaman mengikuti program Bimas, 2 tagihan langsung yang
dilakukan oleh petugas Bimas, dan 3 nisbah penerimaan total produksi padi dengan jumlah pinjaman kredit Bimas yang diterima. Sementara itu penelitian Sanim 1997 di
empat provinsi penyalur KUT Pola Khusus menunjukkan bahwa faktor positif yang mempengaruhi pengembalian KUT Pola Khusus adalah: 1 pengalaman sebagai penerima
KUT, 2 kelas kelompok tani, 3 keterlibatan dalam penyusunan Rencana Definitif Kebutuhan Kelompok RDKK, 4 jumlah tabungan di kelompok tani, dan 5 frekuensi
pembinaan oleh Penyuluh Pertanian Lapang PPL.
Sementara itu Mayrowani dkk. 1998 menyebutkan faktor yang mempengaruhi tingkat kelancaran pembayaran dan pengembalian kredit program adalah: 1 monitoring
yang dilakukan oleh petugas kredit, 2 kemudahan prosedur untuk mengakses kredit, 3 ketepatan waktu penyaluran, 4 bentuk dan cara penagihan, dan 5 kemampuan manajerial
kelompok tani dan Koperasi Unit Desa KUD.
Selanjutnya Syukur 1992 menyebutkan bahwa: 1 kelompok yang kokoh dan berdisiplin, 2 intensitas pertemuan antar anggota kelompok dengan petugas kredit, 3
pemahaman hak dan kewajiban penerima kredit, 4 sistem insentif dan pinalti yang jelas adalah beberapa faktor yang mempengaruhi kualitas skim kredit yang selanjutnya dapat
meningkatkan daya serap dan tingkat pengembalian kredit.
Dari uraian berbagai hasil penelitian terdahulu di atas, maka terdapat beberapa kesamaan maupun perbedaan dengan penelitian yang dilakukan. Kesamaannya adalah
kesamaan beberapa faktor yang diduga mempengaruhi keputusan peternak sapi dalam pengambilan kredit KKPE. Faktor yang diduga berpengaruh tercakup dalam karakteristik
sosial ekonomi meliputi usia, pendidikan, pengalaman dan pendapatan rumah tangga serta karakteristik usaha meliputi skala usaha, luas lahan hijauan. Selain itu, penggunaan alat
analisis deskriptif dan regresi logistik juga memiliki kesamaan seperti penelitian Sumaryanto 1992, Irawan 1989 dan Bagi 1983.
Perbedaan penelitian ini dengan penelitian terdahulu terletak pada jenis kredit yang belum banyak diteliti yaitu Kredit Ketahanan Pangan dan Energi KKPE untuk dua
komoditas, yaitu sapi potong dan sapi perah dan lokasi penelitian yang berada di Jawa Tengah. Selain itu, penelitian mengenai aspek aksesibilitas peternak terhadap kredit
KKPE, dampak kredit KKPE terhadap produksi, penggunaan tenaga kerja dan pendapatan, serta aspek pengembalian repayment kredit juga belum banyak dilakukan.
Metode Evaluasi
Hal yang berkaitan dengan metodologi untuk mengevaluasi kredit program khusus telah berkembang luas dari konsep pertama oleh USAID 1973. Titik fundamental dari
metodologi adalah bahwa dampak kredit tidak dapat diukur baik dengan perbandingan before-and-after atau perbandingan sederhana antara penerima dengan non penerima
Feder and Slade 1985. Evaluasi yang tepat membutuhkan pendugaan diferensial dari perubahan before-and-after dari penerima kredit versus non penerima yang sebanding.
Namun, karena alasan biaya, kenyamanan atau keterbatasan group control yang dapat dibandingkan, maka banyak evaluasi dampak mengandalkan informasi before-and-
after pada penerima manfaat program ‘before’ berdasarkan recall, misalnya Rao 1980
dan Page et al. 1977. Pada ulasannya di Proyek World Bank yang mendanai program- program pinjaman UKM, Levitsky 1986 menjelaskan studi evaluasi di 14 negara;
masing-masing mengukur kinerja sub-proyek yaitu investasi UKM yang didanai, namun tidak melihat atribut tambahan dari pinjaman. Studi-studi ini secara umum melebih-
lebihkan dampak kredit karena pengaruh perubahan sendiri dan investasi yang telah dilakukan dimana-mana adalah tidak benar disebabkan oleh kredit program.
Masih sedikit kajian-kajian yang dengan tepat mengisolasi dampak incremental tambahan dari kredit dengan mengukur perubahan diferensial antara peminjam dengan
non peminjam. World Bank 1976 menunjukkan contoh awal evaluasi program kredit pertanian di 5 negara. Dengan berbagai metode untuk menyeleksi without-credit control
group, hasil terbaik diperoleh dari daftar petani yang meminjam sesudah tanggal rujukan yang tetap Mexico dan Uruguay, atau nasabah bank lain yang tidak didanai program
kredit khusus Philipina.
Meskipun pendefinisian dampak adalah benar dengan membandingkan with-and- without, namun beberapa hal yang diduga akan menjadi masalah dalam metodologi seperti
kualitas data yang lemah khususnya dengan informasi recall; kebingungan dalam membandingkan penerima manfaat program dan non-penerima manfaat. Data perubahan
perbandingan selama periode waktu yang sama tidak selalu tersedia, dan analisis regresi jarang digunakan untuk mengendalikan perbedaan karakteristik awal.