MEMBANGUN SKEMA KKPE MANDIRI BERKELANJUTAN

menggunakan KKPE sepenuhnya untuk kegiatan usaha ternak sapi, namun alkasi pemanfaatannya tidak sampai pada adopsi teknologi baru karena hampir semua teknologi yang ada untuk usaha kecil sudah diamanfaatkan oleh petani sperti teknologi inseminasi buatan IB, varietas sapi dan lainnya Gambar 21. Karena itu hasil survey juga menunjukkan bahwa KKPE memberikan dampak yang positif terhadap jumlah ternak yang dipelihara, pendapatan usaha ternak dan curahan jam kerja peternak. Pengaruh KKPE tersebut signifikan terhadap seluruh variabel dependen tersebut kecuali pengaruhnya terhadap pendapatan usaha ternak. Pengaruh terhadap jumlah ternak dan curahan jam kerja peternak signifikan karena semua peternak sampel menggunakan KKPE untuk membeli sapi, jadi jumlah sapinya pasti mengalami peningkatan dengan kisaran 1 hingga 7 ekor, tapi sebagian besar kurang dari 4 ekor sehingga sebagian besar peternak total pemilikan sapinya kurang dari 5 ekor. Jadi sebagian besar peternak sampel dengan adanya KKPE masih termasuk dalam skala usaha kecil. Dengan skala usaha tersebut, penambahan sapi KKPE tidak sampai menyebabkan penambahan jumlah tenaga kerja dimana satu tenaga kerja dapat mengelola 15-20 sapi potong atau sekitar 10 ekor sapi perah, melainkan hanya meningkatkan curahan jam kerja peternak. Terhadap pendapatan usaha ternah, kredit tidak berpengaruh signifikan disebabkan beberapa faktor diantaranya adalah sebagian petani sampel menggunakan KKPE tidak sepenuhnya untuk kegiatan usaha ternak, beberapa petani sampel belum mempunyai pengalaman dalam beternak sapi, flutuasi harga yang sangat tajam saat membeli sapi KKPE dan saat menjual sapi KKPE sehingga usaha ternak kurang menguntungkan serta beberapa peternak sampel KKPE nya sudah lunas. Peternak sampel yang kreditnya sudah lunas, umumnya pemilikan sapinya kembali ke semula, di satu pihak karena sapinya dijual untuk membayar cicilan kredit dan di pihak lain karena sifat usaha ternak dalam rumahtangga merupakan substitusi usaha non ternak dalam hal penggunaan tenaga kerja. Berdasarkan data sekunder, secara umum tingkat pengembalian kredit di Jawa Tengah dan lokasi studi relatif rendah diukur dengan nilai NPL. Per Desember 2014, nilai NPL bank penyalur kredit terbesar di Jawa Tengah lebih dari 5 persen. Sementara di Kabupaten Semaranglokasi studi untuk dua bank penyalur tersebut, nilai NPL dalam kurun waktu 2011-2014 cenderung meningkat dan 3 tahun terakhir nlai NPL tersebut jauh lebih besar dari 5 persen, bahkan di atas 10 persen. Di tingkat usahatani peternak sampel, terdapat 10 persen peternak yang tingkat pengembalian kreditnya kurang dari 95 persen. Meskipun pendapatan usaha ternak sapi tidak berpengaruh nyata terhadap tingkat pengembalian kredit, namun pengaruhnya positif, artinya pendapatan yang lebih kecil dapat menurunkan tingkat pengembalian kredit dan sebaliknya. Adapun faktor-faktor yang mempengaruhi tingkat pengembalian kredit secara nyata adalah keberadaan agunan, kondisi kelompok peternak, gangguan usaha, suku bunga dan biaya administrasi. Keberadaan agunan dan kondisi kelompok tani berhubungan positif dengan tingkat pengembalian kredit dan sebaliknya dengan ketiga variabel lainnya. Hal ini mengindikasikan bahwa, tingkat keamanan pengembalian kredit yang baik tidak cukup hanya mengandalkan keberaaan pemilikan agunan, tet api juga peternak penerima KKPE harus tergabung dalam kelompok peternak yang aktif, mempunyai pengalaman usaha agar usahanya tidak sensitif terhadap gangguan usaha, serta biaya kredit suku bunga dan administrasi yang tidak memberatkan. Secara umum, adanya penyimpangan dalam penggunaan KKPE oleh peternak sampel dan target sasaran KKPE menjadi salah satu penyebab tingkat pengembalian kredit kurang lancar atau tidak lancar. Gangguan usaha umumnya terjadi pada peternak sampel yang tidak memiliki pengalaman usaha atau peternak pemula yang sebetulnya tidak menjadi target atau sasaran KKPE. Namun dalam studi ini ditemukan beberapa peternak sampel yang sebelumnya tidak pernah beternak sapi. Kondisi ini menyebabkan usaha ternaknya tidak berkembang dengan baik, sapi yang dibiayai KKPE terkena penyakit bahkan ada yang hingga mati. Suku bunga mengalami kenaikan beberpa kali karena memang setiap enam bulan sekali pihak perbankan mengevaluasi suku bunga yang kadang berakhir dengan peningkatan suku bunga. Tingkat suku bunga tersebut kini sudah mencapai 7 persen per tahun dari awalnya hanya sebesar 4 persen per tahun. Biaya administrasi yang relatif besar biasanya untuk membayar notaris terkait agunan yang dapat mencapai Rp 900 ribu hingga Rp 5 juta per kelompok tergantung jumlah agunan dan nilai agunan. Kedua biaya kredit tersebut mempengaruhi pengembalian kredit terutama bagi peternak sampel yang tidak menggunakan KKPE sepenuhnya untuk usaha sapi dan juga bagi peternak sampel yang mengalami gangguan usaha. Peternak sampel yang tergabung dalam kelompok tani yang aktif tingkat pengembalian kreditnya lebih baik karena kelompok yang aktif dapat menjadi “social control” atau “social guarantie” bagi efektifitas program maupun efisiensi kredit program KKPE. Hal ini terbukti dari munculnya “rent seeker” dari dalam kelompok yang tidak aktif dan didukung oleh sistem administrasi pengembalian kredit yang memungkinkan timbulnya rent seeker tersebut. Nilai kredit yang terlalu besar, juga cenderung menimbulkan tingkat pengembali an yang rendah walaupun dalam studi ini, variabel tersebut tidak masuk dalam model. Fakta di lapangan menunjukkan, bahwa beberapa peternak menerima kredit yang lebih besar dari pagu KKPE. Hal ini dimungkinkan karena ada dorongan dari petugas lapang bank untuk memanfaatkan kredit sesuai pagu untuk masing-masing anggota kelompok yang mengajukan. Pada prakteknya, sebagian besar peternak tidak bersedia untuk mengambil KKPE sesuai pagu, sehingga terdapat peternak yang akhirnya mengambil kredit yang relatif besar lebih besar daripada pagu kredit yang tersedia karena selain mengambil jatahnya sesuai pagu, juga ditambah dari sisa pagu KKPE peternak lainnya dalam kelompok yang sama. Selanjutnya, hasil analisis menunjukkan bahwa kredit program KKPE memberi dampak yang positif kepada kinerja usaha ternak, yaitu berpengaruh positif dan signifikan terhadap jumlah ternak, berpengaruh positif dan signifikan terhadap curahan jam kerja serta berpengaruh positif terhadap pendapatan dari usaha ternak. Karena umumnya usaha ternak masih skala kecil dan dianggap sebagai usaha sambilan, maka penggunaan tenaga kerja umumnya masih dari dalam keluarga. Disamping variabel jumlah kredit, maka jumlah ternak, luas kandang dan luas lahan termasuk variabel yang penting dalam aspek dampak. Variabel-variabel tersebut berpengaruh positif dan signifikan terhadap serapan tenaga kerja dan pendapatan Tabel 36. Tabel 33 Variabel-variabel yang berpengaruh nyata pada antar analisis No Variabel Analisis Akses Analisis Pengem- balian Analisis Dampak Jumlah ternak Penggunaan TK Pendapatan 1. Luas lahan - - V - V 2. Luas kandang V - V - - 3. Jumlah ternak - - - V V 4. Pengalaman V - V - - 5. Kelompok tani V V V - - 6. Agunan V V - - - 7. Pendapatan dari ternak V - - V - 8. Pendapatan non ternak - - - - V 9. Jumlah kredit - - V V - 10. Suku bunga V V - - - 11. Biaya administrasi - V - - - 12. Gangguan usaha - V - - - Sumber: Data Olahan Apabila dikaitkan dampak KKPE dengan tingkat pengembalian, maka peternak yang banyak mengalami gangguan dalam pengembalian terutama peternak skala kecil. Sebagian besar peternak kecil ini masih pemula dan belum pengalaman dalam meminjam ke bank. Untuk itu rekomendasi kredit KKPE ke depan antara lain peternak skala kecil dibatasi pagu kreditnya sampai Rp.50 juta saja, sementara peternak skala besar boleh sampai Rp.100 juta. Terlalu berisiko memberi kredit dalam jumlah besar kepada debitur yang usahanya sambilan dan pengalaman yang terbatas dalam mengelola dana yang besar. Hasil penelitian juga menunjukkan bahwa kredit program yang umumnya kecil diperuntukkan bagi petanipeternak kecil, dan apabila pagunya besar maka dikhawatirkan tingkat kemacetannya akan tinggi. Keterkaitan antar dimensi kredit program KKPE Pembahasan kredit program ini tidak lepas dari beberapa aspek atau dimensi, yaitu mulai dari ketersediaan, pemanfaatan, dampak, serta pengembalian. Apabila ditinjau ke lima dimensi kredit program di atas, berdasarkan analisis yang dilakukan tampak bahwa ada beberapa faktor atau variabel yang selalu muncul dengan pengaruh signifikan di setiap analisis, yaitu faktor agunan, kelompok tani dan suku bunga. Ketiga faktor atau variabel ini perlu menjadi perhatian karena merupakan determinan utama dalam menggerakkan siklus lima dimensi ini menjadi siklus kebajikan virtuous circle Gambar 24. Perkembangan lingkaran kebajikan kredit program ini untuk selanjutnya bisa menuju kepada dua arah yang kontras, yaitu berkembang atau menyusut. Lingkaran ini berkembang seperti bola salju snowball bila kredit ini berjalan sesuai rencana, memberi dampak yang positif dan tingkat pengembalian yang tinggi, sehingga ketersediaan kredit meningkat dan programnya berkelanjutan atau yang terjadi sebaliknya. Gambar 24 Lima dimensi lingkaran kebajikan kredit program Evaluasi Skema KKPE dan Implementasinya Skema Kredit Program KKPE Kredit program KKPE merupakan kredit komersial dengan bantuan subsidi bunga oleh pemerintah. Hal ini sesuai dengan Peraturan Menteri Keuangan No. 198PMK.052010 yang menyebutkan bahwa pemerintah memberikan subsidi bunga kredit KKPE. Namun demikian karena merupakan kredit program, skema persyaratan, prosedur serta ketentuan mengenai kredit lainnya dari kredit program ini akan berbeda dengan kredit komersial pada umumnya dan tidak jauh berbeda dengan kredit program lainnya. Pemberian subsidi bunga diharapkan dapat menjadi salah satu insentif bagi petani untuk meningkatkan produktivitas dan daya saing usahanya. Selanjutnya tujuan dari pemberian KKPE ini adalah untuk membantu memenuhi permodalan petanipeternak dengan suku bunga yang disubsidi oleh Pemerintah agar petanipeternak dapat menerapkan teknologi rekomendasi budidaya yang dianjurkan. Kredit program KKPE merupakan penyempurnaan dari kredit program KKP. Berdasarkan buku panduan teknis, menunjukkan bahwa perbaikan-perbaikan yang dilakukan pemerintah terhadap KKPE dibanding kredit program sebelumnya, seperti KKP adalah jenis komoditas yang didanai lebih banyak, batas kredit yang lebih besar dan terus meningkat mulai Rp.15 jutapengusul menjadi Rp.25 jutapengusul dan saat ini mencapai Rp.100 jutapengusul, batas luas lahan yang boleh didanai meningkat dari 2 hektar menjadi 4 hektar, batas waktu pinjaman dari 3 tahun menjadi 5 tahun, plafon kredit yang disediakan pemerintah meningkat dari Rp.2 triliun menjadi Rp.10.8 triliun per tahun. Meskipun KKPE memiliki banyak kelebihan dibandingkan dengan kredit program lainnya, namun tidak serta merta akses petani atau peternak khususnya terhadap KKPE tersebut menjadi mudah. Sebagaimana sudah disampaikan bahwa di Jawa Tengah, baru sekitar 1.3 persen peternak yang menggunakan KKPE. Sementera dari sisi efektifitas dan efisiensi penyaluran KKPE, penyaluran KKPE memberikan dampak positif terhadap usaha sapi di tingkat petani baik dari aspek jumlah ternak yang diusahakan, pendapatan dan jam kerja, namun pengaruh tersebut belum signifikan terutama terhadap pendapatan. Disamping itu, tingkat kemacetan KKPE termasuk relatif tinggi. Aksesibilitas peternak terhadap KKPE dan pengaruh KKPE tersebut terhadap usaha ternak di tingkat petani salah satunya ditentukan oleh skema KKPE itu sendiri dan implementasinya. Oleh karena itu menjadi penting untuk mengkaji skema KKPE terkait dengan keragaan KKPE ditinjau dari aspek-aspek tersebut. Disamping itu juga perlu dikaji bagaimana implementasi dari skema KKPE yang telah ditetapkan pemerintah. Skema kredit yang baik belum tentu implementasinya sesuai dengan apa yang sudah ditetapkan karena beberapa hal dan sebaliknya. Implementasi tersebut akan sangat menentukan bagaimana akhirnya aksesibilitas peternak terhadap KKPE serta bagaimana dampak atau pengaruh KKPE terhadap kinerja usaha ternak di tingkat petani. Skema kredit program KKPE menurut pedoman teknis yang dikeluarkan oleh Kementerian Pertanian 2014 diperlihatkan pada Tabel 37. Pelaku usaha yang bisa memanfaatkan skim kredit dari program KKPE adalah petanipeternak, kelompok tani serta koperasi. Dari sisi persyaratan untuk mendapatkan atau mengajukan KKPE, kecuali keberadaan agunan, persyaratan lainnya tidak sulit untuk dipenuhi oleh peternak. Dengan bantuan atau bimbingan petugas pertanian atau PPL Penyuluh Pertanian Lapang, persyaratan mengenai status kelompok, RDKK, NPWP dapat dengan mudah dipenuhi. Tabel 37 Skema Kredit Program KKPE Uraian Kredit Program KKPE 1. Syarat mendapatkan kredit - Individu atau kelompok, diutamakan kelompok - Identitas diri - Proposal dilengkapi Rencana Definitif Kebutuhan Kelompok RDKK yang diketahui dan ditandatangani anggota serta petugas pertanian dan disahkan oleh Dinas Teknis terkait - Memiliki NPWP untuk kredit Rp 50 juta - Usia ≥ 21 tahun atau sudah menikah - Bersedia mengikuti petunjuk teknis penyuluhan pertanian dan ketentuan sebagai peserta KKPE - Kelompok tani terdaftar pada Dinas Teknis terkait; mempunyai anggota yang melakukan usaha terkait, pengurus yang aktif dan aturan kelompok yang disepakati anggota - Memanfaatkan KKPE sesuai anjuran teknologi budidaya dari Dinas Teknis terkait - Tersedia agunan 2. Ketentuan kredit a. Suku bunga 4 sampai 7 per tahun b. Biaya kredit lainnya Biaya akta notaris agunan Rp 500 ribu – Rp 5 juta per sertifikat c. Paguplafon kredit Rp 20 -100juta d. Jangka waktu pinjaman 2-5 tahun tergantung kesepakatan dengan cicilan pokok per 6 bulan atau per tahun e. Waktu pencairan kredit 1 bulan – 2 tahun 3. Mekanisme penyaluran dan pengembalian kredit Melalui kelompok dan atas nama kelompok 4. Peran lembaga kredit Executing Meskipun dari keseluruhan persyaratan pengajuan KKPE tersebut hanya agunan yang sulit dipenuhi, namun keberadaan agunan tersebut menjadi penghambat utama akses peternak terhadap KKPE mengingat sebagian besar peternak tidak memiliki agunan. Sebetulnya, melalui kelompok, agunan yang diserahkan kepada pihak bank penyalur tidak harus milik semua peternak calon penerima KKPE, bisa milik salah satu peternak atau lebih yang penting nilai agunan tersebut dapat menutupi seluruh pinjaman kelompok atau sekitar 130 persen dari total nilai kredit yang diajukan. Namun demikian, pada umumnya pihak kelompok tetap mengharuskan semua anggota calon penerima KKPE menyerahkan agunan dan kemudian agunan yang tidak diserahkan ke pihak bank akan ditahan oleh kelompok dan baru akan dikembalikan ke anggota setelah pembayaran KKPE kelompok lunas. Hal ini dilakukan kelompok untuk menjaga kemungkinan kredit mengalami kemacetan dan anggota kurang bertanggungjawab. Pada umumnya peternak memiliki aset lahan, namun belum dapat dijadikan agunan karena belum disertifikasi mengingat biaya sertifikasi yang relatif mahal. Sementara sertifikasi murah yang difasilitasi pemerintah selama ini, menurut masyarakat keberadaannya tidak secara transfaran diketahui. Dalam hal ketentuan kredit lainnnya, KKPE lebih baik daripada kredit program lainnya. Waktu pengembalian kredit, lebih fleksibel tergantung kesepakatan, bisa 2-5 tahun dan cicilan pokok juga disesuaikan dengan pola usaha, bisa per enam bulan atau per tahun. Waktu pencairan kredit, memang dinilai peternak relatif lama hingga ada yang mencapai 2 tahun, namun karena kebutuhan akan KKPE bukan merupakan kebutuhan yang mendesak maka waktu pencairan yang lama tersebut tidak menjadi masalah. Yang dianggap cukup bermasalah bagi peternak adalah suku bunga dan biaya notaris untuk agunan. Meskipun peternak menilai bahwa suku bunga kredit relatif rendah dibandingkan dengan kredit komersial, namun karena di satu pihak nilai KKPE relatif besar dan di pihak lain suku bunga cenderung meningkat maka secara nominal nilai suku bunga tersebut dirasakan cukup besar. Sementara itu, harga jual sapi cenderung berfluktuasi dengan kecenderungan ketika membeli relatif mahal dan ketika menjual relatif murah, maka suku bunga yang cenderung meningkat akan menyebabkan penurunan pendapatan usaha. Hasil analisis kelayakan usaha sapi dalam studi ini, dengan pembiayaan KKPE sebesar Rp 50 juta, menunjukkan bahwa pada tingkat suku bunga kredit 7 persen dan periode analisis 3 tahun usaha beternak sapi dengan pembiayaan KKPE menguntungkan. Nilai IRRnya sebesar 9 persen, lebih besar daripada sukubunga KKPE, akan tetapi perbedaannya tidak terlalu besar dan nilai Net Present Valuenya NPV adalah lebih besar dari nol yaitu sekitar Rp 2.5 juta. Biaya notaris dinilai relatif besar karena sertifikat yang diajukan tidak cukup satu sertifikat per kelompok, bahkan kadang sertifikat semua anggota calon penerima KKPE harus digunakan sebagai agunan. Dengan melalui kelompok, pinjaman atau pengajuan KKPE kepada pihak bank adalah atas nama kelompok sebagai kuasa dari anggota dan penandatanganan akad kredit dilakukan oleh kelompok tersebut khususnya pengurus. Jadi, dalam hal ini pinjaman KKPE akan diterima oleh kelompok kemudian disalurkannya kepada anggota. Kemudian kelompok mempunyai kewajiban untuk menseleksi anggota calon penerima KKPE, mengawasi penggunaan kredit oleh anggota, melakukan penagihan kepada anggota kelompok dan menyetorkan pengembalian sesuai jadwal yang ditetapkan, serta bertanggung jawab penuh atas pelunasan kredit petani kepada Bank Pelaksana. Anggota tidak menyetor pengembalian kepada bank pelaksana, melainkan kepada kelompok karena memang pinjaman KKPE adalah atas nama kelompok. Dalam Pedoman teknis KKPE terdapat panduan penggunaan KKPE oleh peternak secara detail, namun hanya pedoman untuk nilai maksimum atau plafon KKPE yaitu Rp 100 juta atau disebut dengan rincian kebutuhan indikatif plafon KKPE. Berdasarkan panduan tersebut, secara umum KKPE yang diterima oleh peternak, sebagian besar harus digunakan untuk membeli sapi 76, selebihnya atau sekitar 24 persen harus digunakan untuk input dan saran produksi lainnya yang mencakup kandang; peralatan; pakan; obat, vitamin dan mineral serta boleh juga digunakan untuk biaya sertifikasi lahan, asuransi ternak dan biaya beban hidup. Agar penyaluran, pemanfaatan dan pengembalian KKPE berjalan lancar, sesuai ketentuan yang berlaku dan dapat memberikan manfaat bagi petanipeternak maka dalam pelaksanaan KKP-E di tingkat lapangan pemerintah memberikan kegiatan pembinaan, monitoring, evaluasi dan pelaporan secara rutin. Untuk itu dalam buku pedoman teknis juga mencakup panduan untuk melakukan kegiatan tersebut. Inti dari panduan pelakasanaan kegiatan pembinaan, monitoring, evaluasi dan pelaporan akan dijelaskan sebagai berikut. Dalam hal pembinaan, terdapat dua hal penting. Pertama, pembinaan di tingkat propinsi dan kabupatenkota dilakukan Dinas TeknisBadan berkoordinasi dengan instansi tekait lainnya dan Cabang Bank Pelaksana setempat. Kedua, tugas Dinas TeknisBadan dalam pembinaan diarahkan: a Menginventarisir petanipeternakpekebun dan kelompok tani CPCL yang layak usahanya untuk dibiayai KKP-E; b Membimbing petanipeternakpekebun, dan kelompok tani dalam penyusunan rencana kebutuhan usaha atau RDKK; c Melakukan sosialisasi sumber pembiayaan pertanian kepada petani- peternakpekebun dan penyuluh pertanian di tingkat lapangan; d Melakukan intermediasi akses pembiayaan ke Bank pelaksana setempat; e Memfasilitasi mencarikan penjamin pasar hasil produksi atau penjamin kredit; f Membimbing, mendampingi dan mengawal petanipeternakpekebun dan kelompoktani dalam pemanfaatan KKP-E secara optimal, sehingga mau dan mampu menerapkan teknologi anjuran guna meningkatkan mutu intensifikasinya; g Memberikan pemahaman kepada petanipeternakpekebun dan kelompoktani bahwa kredit yang diterima wajib dikembalikan sesuai jadwal. Dalam hal monitoring dan evaluasi monev dan pelaporan ketentuannya sebagai berikut. Monitoring harus dilaksanakan secara terencana dan teratur mulai dari aspek rencana penyaluran, perkembangan penyaluran, kelompok sasaran dan pengembalian KKP-E dilakukan secara periodik berjenjang dari tingkat kabupatenkota, propinsi dan pusat. Cabang Bank Pelaksana KKP-E wajib menyampaikan laporan bulanan perkembangan penyaluran dan pengembalian KKP-E yang dikelolanya kepada Dinas Teknis Tanaman Pangan dan Hortikultura, Perkebunan, Peternakan setempat selambat- lambatnya tanggal 10 bulan berikutnya. Implementasi Kredit Program KKPE Setiap tahun Kementerian Pertanian menyusun dan menyempurnakan buku Pedoman Teknis KKPE sebagai pedoman bagi seluruh pemangku kepentingan baik di pusat maupun di tingkat daerah dalam pelaksanaan KKP-E sehingga penyaluran dan pengembalian kreditnya dapat berjalan baik dan tepat sasaran sehingga akhirnya tujuan penyaluran KKPE dapat tercapai. Oleh karena itu menjadi penting, mengkaji sejauhmana implementasi penyelauran KKPE mengacu pada pedoman teknis tersebut dan bagaimana pengaruhnya terhadap efektifitas dan efisiensi dari penyaluran KKPE tersebut. Dalam penelitian ini, indikator implementasi program KKPE dikaji dengan membandingkan beberapa aspek penting dalam pedoman teknis KKPE dengan pelaksanaannya Tabel 33. Sebagaimana sudah diungkapakan bahwa pelaku usaha yang bisa memanfaatkan skim kredit dari program KKPE adalah petanipeternak, kelompok tani serta koperasi, namun di Jawa Tengah sebagian besar KKPE disalurkan melalui kelompok tani karena kebijakan dari pihak bank pelaksana memang lebih memprioritaskan mekanisme tersebut atau melalui kelompok dengan pertimbangan efisisensi dan kelompok diharapkan dapat menjadi social garantie peternak calon penerima KKPE karena kelompok dianggap lebih memahami mengenai kondisi 5 C character, condition of economy, capacity to repay, capital dan collateral-moral dari peternak sebagai calon nasabah KKPE. Oleh karena itu seleksi terhadap anggota kelompok yang berhak menjadi calon penerima KKPE diserahkan kepada kelompok. Disamping itu, sebagian besar peternak belum berpengalaman berhubungan dengan pihak berbankan sehingga melalui kelompok lebih memberikan kenyamanan bagi peternak. Pada umumnya kelompok penerima KKPE tidak bermitra dengan perusahaan atau koperasi yang dapat menjadi avalis. Dengan mengkaji skema KKPE yang mencakup persyaratan, prosedur, ketentuan kredit serta kewajiban kelompok mengimplikasikan bahwa tanpa pengawasan yang memadai dari pihak bank pelaksana, dinas terkait dan pemerintah secara umum maka efektifitas dan efesiensi dari penyaluran KKPE banyak ditentukan oleh keragaan dari kelompok. Berdasarkan buku panduan, menunjukkan bahwa perbaikan-perbaikan yang dilakukan pemerintah terhadap KKPE dibanding kredit program sebelumnya, seperti KKP adalah jenis komoditas yang didanai lebih banyak, batas kredit yang lebih besar dari Rp.15 juta ke Rp.25 juta dan saat ini mencapai Rp.100 jutapengusul, batas luas lahan yang boleh didanai meningkat dari 2 ha ke 4 ha, batas waktu pinjaman dari 3 tahun ke 5 tahun, plafon kredit yang disediakan pemerintah meningkat dari Rp.2 triliun menjadi Rp.10.8 triliun per tahun. Namun disamping kelebihan-kelebihan tersebut di atas, peternak masih juga merasakan berbagai kelemahan dalam kredit tersebut. Kelemahan tersebut salah satunya menyebabkan peternak tidak dapat mengakses kredit. Padahal Kredit Ketahanan Pangan dan Energi KKPE adalah kredit yang diberikan bank pelaksana kepada pelaku usaha termasuk peternak sapi dengan subsidi bunga dari pemerintah. Hal ini sesuai dengan Peraturan Menteri Keuangan No. 198PMK.052010 yang menyebutkan bahwa pemerintah memberikan subsidi bunga kredit KKPE. Subsidi bunga ini diharapkan dapat menjadi salah satu insentif bagi petani untuk meningkatkan produktivitas dan daya saing usahanya. Selanjutnya tujuan dari pemberian KKPE ini adalah untuk membantu memenuhi permodalan petanipeternak dengan suku bunga yang disubsidi oleh Pemerintah agar petanipeternak dapat menerapkan teknologi rekomendasi budidaya yang dianjurkan. Berdasarkan Peraturan Menteri Pertanian 12PermentanOT.14012013 tentang Pedoman Pelaksanaan KKPE disebutkan bahwa kegiatan usaha yang dapat dibiayai KKPE antara lain pengembangan peternakan termasuk sapi potong dan sapi perah. Pelaku usaha yang bisa memanfaatkan skim kredit dari program KKPE adalah petanipeternak, kelompok tani serta koperasi. Kebutuhan indikatif KKPE meliputi komponen biaya untuk pengadaan sapi, kandangmanajemen, pakan, obat-obatan, inseminasi buatan, serta asuransi. Pelaku usaha peserta program KKPE di Jawa Tengah, khususnya di Kabupaten Boyolali dan Semarang merupakan petani perseorangan dan petani yang tergabung dalam kelompok tani ternak. Para peternak sapi ini secara administratif terdaftar sebagai kelompok tani dan atau kelompok ternak. Umumnya anggota kelompok tani ternak bukanlah murni seorang peternak, melainkan petani yang memiliki usaha sambilan ternak sapi. Konsekuensi negatif dari status peserta yang bukan peternak murni antara lain pengelolaan usaha ternak sapi tidak dilakukan dengan optimal, karena alokasi waktu, tenaga dan dana terbagi untuk usahatani lainnya. Sementara konsekwensi positifnya, semua cabang usahatani saling melengkapi dan memberi penghasilan tambahan Padmaningrum 2012. Agunan yang digunakan untuk pengajuan pinjaman berupa sertifikat tanah hak milik anggota atau pengurus kelompok. Pengajuan skim kredit KKPE sendiri atas nama kelompok, yang kemudian didistribusikan kepada anggota sesuai dengan Rencana Definitif Kebutuhan Kelompok RDKK. Plafon kredit untuk setiap orang maksimal Rp.100 juta. Kebutuhan indikatif untuk satuan usaha ternak sapi adalah biaya pengadaan Rp.76 juta, kandang Rp.5 juta, pakan Rp.13.6 juta, biaya sertifikasi lahan Rp.1 juta dan selebihnya alat dan asuransi. ` Program KKPE akan bisa berjalan dengan baik apabila pelaksanaannya di lapangan mengacu pada panduan atau pedoman teknis serta standar yang sudah diterapkan. Dalam hal ini, indikator implementasi program KKPE dilihat dengan membandingkan masing-masing aspek dalam pedoman teknis KKPE dengan pelaksanaannya Tabel 38. Tabel 348 Perbandingan antara panduan dengan implementasi KKPE No Panduan Implementasi A. PeternakKelompok tani: 1 Kelompok ternak memiliki organisasi dan pengurus aktif dan anggota yang terdiri dari peternak Organisasi dan pengurus aktif dan Anggota kelompok ternak bukan peternak murni, melainkan petani yang sekaligus beternak sapi peternakan rakyat 2 Kelompokgabungan kelompok ternak bermitra dengan perusahaan atau koperasi Di lokasi ini tidak ada mitra 3 Kelompokgabungan kelompok ternak memperoleh rekomendasi dari Dinas kabupatenkota Ada rekomendasi dari Dinas Peternakan dan Perikanan untuk memperoleh skim KKPE B. Kewajiban: 1 Peternak wajib menyusun RKURDKK Umumnya RDKK disusun pengurus dan keterlibatan anggota minim 2 Penerima KKPE wajib memanfaatkan kredit sesuai RDKK Beberapa penyimpangan RDKK: kredit untuk beberapa orang saja atau jumlahnya lebih besar dan anggota lain lebih kecil 3 Pengurus Keltan wajib mengawasi penggunaan kredit oleh anggota Sebagian Pengurus turut dalam penyimpangan pembagian kredit 4 Pengurus wajib menagih dan menyetor kredit serta bertanggungjawab penuh atas pelunasan kredit petani kepada bank Sebagian pengurus menyalahgunakan setoran anggota dan mengharapkan tanggung renteng. Dalam realisasinya tanggung renteng sulit untuk dilaksanakan C. Kredit: 1 Sebagian kredit untuk dana asuransi Belum ada asuransi ternak Sumber : Data primer Dari Tabel 38 terlihat bahwa dari sisi organisasi dan keaktifan kelompok peternak, antara lain dilihat dari penyelenggaraan pertemuan rutin dan kegiatan kelompok. Selain memiliki pengurus dan anggota yang aktif, kelompok tani juga memiliki aturan yang disepakati anggota. Persyaratan yang mewajibkan penerima KKPE adalah peternak diimplementasikan dalam bentuk penetapan peserta program dari kalangan petani yang memiliki usaha ternak. Sebagaimana petani lain, peternak peserta KKPE tidak hanya mengandalkan pendapatan dari satu jenis usahatani saja, melainkan mengkombinasikan berbagai penanaman komoditas seperti tembakau, sayur-buah, tanaman pangan dan palawija dengan peternakan seperti ayam ataupun kambing sesuai dengan potensi daerahnya. Kombinasi ini selain mendukung pertanian terpadu dengan konsep zero waste, juga saling melengkapi. Kotoran ternak dapat dimanfaatkan sebagai pupuk, dan sebagian pupuk yang diberikan untuk tanaman petani. Pendapatan yang diperoleh dari berbagai cabang usahatani ini, menjadi penolong peternak peserta program KKPE, karena usaha penggemukan sapi tidak bisa dipetik hasilnya dalam jangka pendek, kecuali sapi perah, sehingga angsuran kredit berupa bunga yang dibayar setiap bulan diambil dari hasil usahatani lain, bukan dari pemeliharaan ternak potong. Untuk angsuran pinjaman pokok yang dibayar setiap semester atau tahun, rata- rata peserta KKPE mengambil dana dari penjualan anak sapipedet, bahkan menjual induk sapi yang seharusnya tidak diperbolehkan. Dari hasil wawancara, banyak peserta KKPE yang menjual induk sapi program KKPE untuk melunasi kredit, selain itu peserta juga ada yang menjual induk sapi dan menukarnya dengan induk baru karena sapi tidak bunting melalui proses inseminasi buatan IB lebih dari 3 kali, dengan biaya per pelaksanaan IB berkisar Rp.40,000-50,000. Apabila dilihat dari kemampuan kelompok ternak untuk memenuhi prosedur baku pelaksanaan usaha ternak sapi, secara realita belum diimplimentasikan secara penuh. Sebagai petani yang sekaligus beternak sapi, peserta KKPE umumnya sudah berpengalaman terbiasa memelihara sapi, sehingga dianggap sudah memenuhi prosedur baku pelaksanaan pemeliharaan ternak. Namun pengusahaan ternak selama ini masih berdasarkan ‘kebiasaan’, yakni pola tindakan peternak sehari-hari. Pemeliharaan sapi yang dilakukan peternak bertujuan untuk penggemukan atau produksi susu. Namun usaha yang relatif sudah lama tersebut bukanlah jaminan untuk berhasil terus. Pemahaman ini yang perlu ditekankan pada semua elemen yang terlibat dalam pengelolaan program KKPE. Keberhasilan program KKPE didukung oleh ketepatan dan kelancaran penyaluran dan pengembalian kredit program, keberhasilan praktek beternak sapi oleh petani yang berarti memerlukan dukungan teknis dan manajemen serta evaluasi dan monitoring dalam implementasinya. Faktor penting dalam pemeliharaan sapi adalah faktor induk disamping manajemen pemeliharaan yang baik Padmaningrum 2012. Dalam program KKPE sapi perah yang dianjurkan sebagai induk adalah sapi betina buntingsiap bunting dan untuk sapi potong adalah sapi bakalan. Permasalahan pada pemeliharaan sapi perah yang sering dijumpai adalah menurunnya kesuburan atau berkurangnya fertilitas induk sapi yang ditandai dengan perkawinan lebih dari 3 kali tidak terjadi kebuntingan, birahi kembali terlambat lebih dari 3 bulan setelah beranak, siklus birahi tidak teratur, tanda-tanda birahi secara berkala tidak tampak birahi semu serta keluar cairan tidak normal dari alat kelamin seperti darah atau nanah Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Jawa Tengah 2010. Kendala Implementasi KKPE Kredit produksi merupakan salah satu faktor pelancar pembangunan pertanian Mosher 1991. Guna membantu petani mengambil langkah ini, perlu dipermudah cara mendapatkannya dan diberi bimbingan mengenai cara menggunakannya. Ada beberapa masalah petani sehubungan dengan kredit produksi, yakni hal yang perlu diperhitungkan sebelum memutuskan mengambil kredit produksi: 1 menaksir besarnya hasil yang akan diperoleh; 2 menaksir berapa harga produk saat panen; 3 biaya kredit; 4 sanksi kalau tidak melunasi pinjaman; 5 kemudahan memperoleh kredit; serta 6 dapat meminjam tepat waktu. Setiap petani mendasarkan tindakannya atas perhitungan biaya cost dan hasil return. Ada diantaranya biaya dan hasil itu dinyatakan dalam bentuk uang nilai, ada pula yang bersangkut-paut dengan kedudukan dan tanggung jawab petani dalam masyarakat. Perangsang produksi yang efektif bagi petani dan berlaku pula bagi peserta program KKPE terutama yang bersifat ekonomis, yakni: perbadingan harga yang menguntungkan, bagi hasil yang wajar serta tersedianya barang dan jasa yang ingin dibeli oleh petani untuk keluarganya Mosher 1991. Pengembangan teknologi pedesaan harus mengikuti tiga prinsip pokok agar dapat diterima masyarakat, yakni secara teknis dapat dilaksanakan, secara ekonomis menguntungkan dan secara sosial tidak menimbulkan kerawanan atau keretakan sosial Levis 1996. Demikian halnya dengan program KKPE, penyerapan kredit program dan keberhasilan usaha yang dibiayai dari program ini, akan banyak dipengaruhi oleh persepsi peserta terhadap aspek ekonomis program KKPE, dengan tidak mengesampingkan aspek teknis dan sosial. Dari analisis hasil wawancara, kendala implementasi program KKPE untuk kelompokgabungan kelompok peternak dapat diuraikan dalam kerangka aspek teknis dan aspek ekonomis tersebut. Dari aspek teknis, kendala yang dihadapi adalah: 1 secara teknis dan manajemen kelompokgabungan kelompok peternak peserta KKPE belum memiliki kemampuan yang memadai dalam usaha sapi; 2 kurangnya infrastruktur pendukung yang berkualitas; 4 kurangnya pembinaanpendampingan dari instansi terkait; 5 kurangnya monitoring pelaksanaan. Dari aspek ekonomi, kendala yang dihadapi terletak pada faktor: 1 fluktuasi harga pasar, dimana harga sapi menurun tajam dibandingkan dengan harga pembelian awal saat peserta memulai usaha, yang menyebabkan peserta mengalami kerugian karena tidak sebanding dengan biaya pemeliharaan yang sudah dikeluarkan; 2 kesulitan dalam membayar angsuran pokok maupun bunga kredit, karena sebagian jangka waktu kredit yang terlalu pendek 2 tahun; 3 adanya resiko kegagalan IB, ternak lumpuh serta resiko kematian sapi. Apabila dikaitkan dengan pemenuhan kriteria 5-C character, condition of economy, capacity to repay, capital dan collateral- moral yakni produktivitas, kemampuan membayar, semangat kerja dan agunan tambahan yang diterapkan sistem perbankan yang baku dalam penyaluran kredit, maka sebenarnya tidak ada alasan peternak untuk menunggak angsuran kredit. Prosedur untuk memperoleh pinjaman kredit itu sangat bergantung pada perbankan yang menyalurkan. Meski begitu, pihak perbankan yang ditunjuk sebagai pelaksana harus menyediakan dana kredit hingga 10 kali dari dana yang diajukan. Implementasi kredit program bisa saja tidak berhasil karena tingkat kemacetan kredit di tingkat masyarakat. Sumber permodalan informal, seperti rentenir atau pedagang saprotan tidak terlalu berperan dalam mendukung permodalan peternak sapi, karena kebutuhan modal yang relatif besar. Sementara rentenir biasanya memberi pinjaman yang relatif kecil. Skema KKPE Mandiri dan Berkelanjutan Berdasarkan berbagai analisis yang dirangkum dalam Tabel 25, terutama analisis pemanfaatan, dampak dan tingkat pengembalian, maka kondisi yang terjadi di lapangan cenderung akan mengarah kepada visious circle lingkaran setan. Harapan perkembangan lingkaran kebajikan kredit program ini akan menyusut dan pada akhirnya berhenti. Apabila dari awal sudah mulai salah arah, dimana sebagian pemanfaatan untuk tujuan non produktif, kemudian dampaknya tidak sesuai dengan harapan, maka akan mempengaruhi tingkat pengembalian, yaitu terjadi kemacetan atau NPL yang tinggi Gambar 26. Bila hal ini yang terjadi, maka kemungkinan pemerintah tidak akan menambah plafon kredit yang ada. Gambar 25 Skema KKPE mandiri dan berkelanjutan menuju Virtuous Circle Skema KKPE saat ini: - KKPE tersedia relatif besar - Potensi permintaan KKPE oleh peternak relatif besar - Akses peternak terkendala oleh agunan - Sistem penyaluran dan pengembalian KKPE serta monev yang lemah menyebabkan terjadinya penyimpangan dan timbulnya rent seeker - Bentuk penyimpangan: penggunaan KKPE, sasaran tidak tepat, nilai kredit terlalu besar - Sebagian KKPE disalurkan pada kelompok kurang aktif - biaya KKPE suku bunga dan administrasi yang kurang menguntungkan usaha Skema KKPE mandiri dan berkelanjutan : - Akses peternak terhadap KKPE tidak terkendala, agunan tersedia - Sistem penyaluran, pengembalian administrasi pengembalian dan monevpembinan KKPE yang meminimalkan penyimpangan dan timbulnya rent seeker - Besar dan biaya KKPE memungkinkan usaha sapi lebih menguntungkan - KKPE sepenuhnya digunakan untuk usaha beternakproduktif - Kelompok aktif - Peternak berpengalaman - Ketersediaan lahan Kondisi saat ini: - Peternak yang memanfaatkan KKPE masih relatif kecil - KKPE belum sepenuhnya berpengaruh signifikan terhadap produksi pendapatan dan kesempatan kerja - Kemacetan KKPE relatif besar NPL dan tingkat pengembalian KKPE peternak Kondisi ideal : - Ketersediaan kredit banyak - Mudah diakses - Banyak peternak memanfaatkan KKPE - KKPE berpengaruh nyata terhadap peningkatan produksi, pendapatan dan kesempatan kerja - Tingkat pengembalian KKPE lancar atau NPL kecil Gap Virtuous circle Visious circle Tujuan awal mengucurkan kredit program KKPE untuk mendukung pencapaian ketahanan pangan dan swasembada daging sapi akan terancam bahkan tidak akan tercapai. Bahkan juga kondisi ini akan meningkatkan kemiskinan peternak sapi di pedesaan. Gambar 26 Lingkaran setan Virtuous Circle: Kredit Mandiri dan Berkelanjutan Dari analisis aksesibilitas, dampak dan pengembalian kredit diperoleh beberapa variabel utama determinants factor yang diharapkan menjadi penggerak utama kelima dimensi kredit program tersebut. Pada kondisi yang ada variabel-variabel utama tersebut masih menjadi masalah, sehingga virtuous circle yang diharapkan dikhawatirkan akan menjadi vicious circle. Untuk itu variabel utama ini perlu dibenahi agar kondisi menuju lingkaran kebajikan, yaitu lingkaran yang berkembang seperti bola salju snowball dimana penyaluran kredit ini berjalan sesuai rencana, memberi dampak yang positif dan tingkat pengembalian yang tinggi, sehingga ketersediaan kredit meningkat menuju kemandirian dan programnya berkelanjutan Gambar 27. Yang dimaksud kredit mandiri dan berkelanjutan ini adalah organisasi kredit mampu melanjutkan layanan keuangansecara jangka panjang. Dua ukuran utama adalah keberlanjutan basis dana dari pengembalian dan keberlanjutan operasi. Kondisi ini akan menghasilkan hal-hal positif berupa keuangan yang berkelanjutan dan peningkatan jangkauan klien akses. Agar kondisi virtuous circle bisa tercapai, maka diperlukan syarat keharusan dan syarat kecukupan. Syarat keharusannya adalah agunan dan kelompok tani, sementara syarat kecukupan adalah suku bunga. Kemudian asumsi yang digunakan adalah kondisi pasar kondusif dan tidak menjadi penghalang constraint. Kedua variabel agunan dan kelompok tani perlu dibenahi dengan serius. Pembiayaan KKPE dilandasi anggapan bahwa petani umumnya sudah bankable tetapi belum feasible. Oleh karena itu petani yang mengajukan KKPE harus menyerahkan agunan minimal 130 persen dari nilai kredit. Asumsi ini perlu ditinjau ulang karena umumnya petani menjalankan usahanya secara menguntungkan tetapi tidak memiliki agunan yang memadai untuk mendapatkan KKPE. Bunga KKPE yang relatif rendah 6-7 persen per tahun sebenarnya tidak masalah bagi bank karena selisih bunga dibanding kredit komersial dibayar oleh pemerintah. berhenti Gambar 27 Lingkaran kebajikan yang berkembang Pihak perbankan mengharuskan peternak debitur memiliki agunan yang bersertifikat walaupun sebenarnya mereka mempunyai lahan atau asset lain seperti rumah atau kandang yang sesuai namun tidak bersertifikat. Agunan yang diminta bank biasanya mengacu pada peraturan, yaitu 130 persen dari nilai kredit, dan tidak boleh melebihi ketentuan karena akan memberatkan calon debitur. Dengan kata lain, semakin tinggi nilai agunan maka akan semakin sedikit peternak dan atau kelompok tani ternak yang memenuhi syarat sebagai penerima KKPE. Agar petani mempunyai agunan perlu dibantu melaui program pembuatan sertifikat tanah secara nasional. Program sertifikasi tanah ini harus massal dan berlaku di semua daerah agar semakin banyak petani yang mempunyai sertifikat tanah. Disamping itu biaya pembuatan sertifikat harus relatif murah agar petani mampu membayar. Semakin banyak petani yang memiliki sertifikat tanah akan mempermudah mereka dalam mengakses KKPE. Pemanfaatan KKPE melalui linkage program perlu terus didorong akan jangkauannya semakin luas. Selanjutnya, keberadaan kelompok tani berpengaruh nyata dalam aspek aksesibilitas peternak ke kredit. Sebagian besar KKPE diberikan kepada peternak yang tergabung dalam kelompok tani. Demikian juga perbankan akan sangat selektif dalam menilai peternak maupun kelompok ternaknya, apakah termasuk yang aktif atau tdak. Demikian juga dengan aspek pengembalian, apabila kelompoknya aktif, maka kemungkinan macet relatif kecil, karena akan selalu diingatkan dalam berbagai kesempatan pertemuan kelompok. Untuk itu dari sisi organisasi diperlukan kelompok peternak yang aktif, antara lain dilihat dari penyelenggaraan pertemuan rutin dan kegiatan kelompok. Selain memiliki pengurus dan anggota yang aktif, kelompok tani juga memiliki aturan yang disepakati anggota. Dinas Peternakan provinsi dan kabupaten perlu melakukan pelatihan-pelatihan kelembagaan kelompok tani yang rutin. Disamping itu pemerintah perlu mengangkat pendamping yang juga memonitor keaktifan kelompok disamping teknis tatalaksana usaha ternak dan keuangan. Kegiatan rutin kelompok tani seperti setiap 40 hari selapanan diadakan pertemuan, membentuk unit usaha kelompok dan simpan pinjam akan dapat meningkatkan keaktifan dari kelompok. Disamping itu hal yang utama adalah bagaimana memilih dan mengangkat pengurus kelompok ketua, sekretaris dan bendahara yang sesuai, karena keaktifan kelompok tergantung pada pengurus ini. Suku bunga. Sampai saat ini peternak menganggap suku bunga kredit KKPE adalah kecil dan sesuai dengan harapan mereka. Walaupun setiap tahun ada peningkatan, namun masih lebih rendah dibanding kredit program lain maupun kredit komersial. Untuk itu harapan peternak, suku bunga ini jangan terlalu tinggi, karena keuntungan usaha ternak mereka juga hanya kecil. Apabila variabel-variabel penting ini sudah terbenahi, maka diharapkan akan menuju tahapan peningkatan penyaluran KKPE yang berkembang. Pemerintah mengalokasikan semakin banyak dana untuk KKPE dan pemerintah harus menetapkan alokasi secara khusus nilai KKPE untuk sektor hulu usahatani. Fakta menunjukkan bank lebih suka menyalurkan KKPE untuk sektor hilir pengolahan dan perdagangan karena risikonya lebih kecil. Dana untuk sektor hulu terus ditingkatkan secara sistematis dari tahun ke tahun agar lebih banyak petani yang terjangkau melalui pembiayaan KKPE. Bank harus lebih proaktif dalam menyalurkan kredit program kepada kelompok-kelompok tani potensial tetapi belum terjangkau oleh pembiayaan resmi. Dinas Pertanian Tanaman Pangan dan Hortikultura, Perkebunan, Peternakan tingkat kabupatenkotamadya harus proaktif bekerjasama dengan perbankan, bukan sebagai penghambat, dalam membantu penyaluran KKPE. Dinas Pertanian bisa mendapatkan anggaran khusus dalam membantu penyaluran KKPE tetapi harus ada target minimal penyaluran KKPE di tiap wilayah kerjanya. Sosialisasi lebih ekstensif dan intensif oleh pihak bank dan Dinas Pertanian dalam penyaluran KKPE agar semakin banyak peternak mandiri maupun anggota kelompok tani dan koperasiKUD yang mengenal dan memanfaatkan. 9 . KESIMPULAN DAN REKOMENDASI Kesimpulan Berdasarkan kajian terhadap aksesibilitas, pemanfaatan, dampak dan tingkat pengembalian kredit program KKPE oleh peternak di lokasi studi, secara umum dapat disimpulkan bahwa KKPE mempunyai potensi yang besar dalam mendukung program swasembada daging dengan disertai penyempurnaan terhadap skema kredit program KKPE tersebut. Adapun secara detail kesimpulan dari penelitian adalah sebagai berikut: 1. Aksesibilitas. Akses peternak sapi baik sapi perah maupun sapi potong terhadap kredit program KKPE di Jawa Tengah masih rendah mengingat terdapat persyaratan yang secara umum sulit dipenuhi oleh peternak sapi yakni persyaratan adanya agunan. Oleh karena itu tingkat pemanfaatan kedit tersebut masih relatif rendah meskipun pemanfaatan yang rendah tersebut tidak hanya disebabkan masalah akses dan masalah akses adalah yang utama, masalah lainnya adalah khawatir resiko usaha yg mengganggu kemampuan membayar, tidak mengetahui keberadaan kredit program KKPE informasi yang asismetri, tidak berminat dan sedang memiliki kredit di lembaga kredit formal. 2. Hasil analisis logit menunjukkan bahwa faktor yang secara signifikan mempengaruhi akses peternak sapi terhadap kredit program KKPE adalah pemilikan agunan, keanggotaan dalam kelompok tani, pemilikan kandang serta pengalaman dalam usaha ternak sapi. Semua variabel tersebut berpengaruh positif, kecuali variabel pemilikan kandang.

3. Pemanfaatan. Sebagian besar peternak memanfaatkan kredit program KKPE untuk

usaha ternaknya, yaitu digunakan untuk membeli sapi bakalan atau induk sapi perah yang bunting, pakan, obat dan perbaikan kandang. Namun terdapat sebagian peternak yang menggunakan kredit program KKPE untuk keperluan yang sifatnya konsumtif karena didorong kebutuhan maupun secara sengaja, sehingga berpotensi mengganggu kinerja usaha ternaknya.

4. Dampak KKPE. Berdasarkan hasil analisis regresi memperlihatkan bahwa kredit

program KKPE memberikan pengaruh yang positif baik terhadap populasi ternak, jam kerja maupun pendapatan usahatani ternak dengan pengaruh yang signifikan kecuali terhadap pendapatan usahatani ternak. 5. Jumlah ternak selain dipengaruhi secara positif dan signifikan oleh variabel kredit program KKPE, juga dipengaruhi oleh luas lahan, pengalaman usaha, keaktifan dalam kelompok tani, dan luas kandang. Ketersediaan lahan, untuk menghasilkan rumput, dewasa ini menjadi penghambat perluasan usaha ternak mengingat harga pakan yang relatif mahal dan cenderung meningkat. Sementara populasi ternak berpengaruh signifikan dan positif terhadap penggunaan jam kerja dari tenaga kerja. Variabel lain yang berpengaruh positif dan signifikan adalah pendapatan usahatani ternak dan jumlah kredit. Selanjutnya, pendapatan usahatani ternak dipengaruhi secara positif dan signifikan oleh jumlah ternak, produksi susu dan luas lahan. Sedangkan pendapatan non ternak berpengaruh negatif dan signifikan dan kredit KKPE berpengaruh positif namun tidak signifikan.

6. Tingkat pengembalian KKPE. Faktor-faktor yang mempengaruhi tingkat

pengembalian KKPE peternak sapi secara signifikan adalah tingkat suku bunga, biaya administrasi, kepemilikan agunan, kondisi kelompok peternak, serta gangguan atau resiko usaha. Variabel kepemilikan agunan dan kondisi kelompok tani berpengaruh positif dan lainnya berpengaruh negatif. Berdasarkan data sekunder, kinerja pengembalian KKPE peternak sapi Jawa Tengah kurang baik yang ditunjukkan dengan nilai NPL yang relatif besar 12.5. 7. Berdasarkan kondisi lapangan dan hasil analisis, maka kredit program KKPE ini cenderung mengarah ke vicious circle lingkaran setan. Faktor kunci agunan, kelompok tani dan suku bunga kurang mendukung KKPE berkembang. Rekomendasi Rekomendasi Kebijakan 1. Mengingat kredit progam KKPE memberikan dampak yang positif terhadap jumlah ternak, penyerapan tenaga kerja dan pendapatan maka penyaluran KKPE perlu dilanjutkan dan diperluas aksesnya agar dukungan terhadap pencapaian ketahanan pangan dan swasembada daging khususnya, perluasan kesempatan kerja dan peningkatan pendapatan masyarakat terutama peternak tercapai dan berkelanjutan. 2. Agar KKPE dapat secara efektif sebagai sarana untuk mencapai ketahanan pangan dan swasembada daging, perluasan kesempatan kerja dan peningkatan pendapatan peternak, maka perlu pembenahan terhadap beberapa variabel kunci, sehingga kondisi viciuous circle menjadi virtuous circle lingkaran kebajikan. Instrument kebijakan yang perlu dibenahi tersebut adalah agunan dan kelompok tani syarat keharusan dan suku bunga syarat kecukupan. a. Pembenahan agunan dilakukan dengan sertifikasi massal dengan biaya yang lebih murah. Dukungan pendanaannya dapat melalui skim kredit KKPE dimana plafon yang diberikan dengan mengikutsertakan biaya pensertifikatan tanah. b. Penataan kelompok tani dilakukan dengan pelatihan-pelatihan oleh Dinas Peternakan dan instansi terkait. Disamping itu perlu diangkat pendamping yang mampu memberikan bimbingan teknis, tertib administrasi, optimalisasi kelompok dalam pengelolaan KKPE maupun melakukan monitoring dari mulai perencanaan hingga implementasi. Rekomendasi Penelitian Lanjutan 1. Dapat diteliti lebih lanjut tentang akses, manfaat dan tingkat pengembalian kredit untuk komoditas lain yang masuk dalam skim kredit program KKPE. Kemungkinan ini didasari oleh perbedaan sosial, budaya, dan ekonomi petani. 2. Menganalisis lebih lanjut dampak kredit program KKPE terhadap peternak atau petani penerima KKPE dengan menggunakan pendekatan dan informasi before and after. DAFTAR PUSTAKA Akram W, Hussain Z, Sial MH and Hussain I. 2008. Agricultural credit constraints and borrowing behavior of farmers in rural Punjab. European Journal of Scientific Research. 232:294-304. Agung J, Kusmiarso B, Pramono B, Erwin G. Hutapea, Prasmuko A, Prastowo NJ. 2001. Credit Crunch di Indonesia Setelah Krisis: Fakta, Penyebab dan Implikasi Kebijakan. Jakarta ID: Direktorat Riset Ekonomi dan Kebijakan Moneter. Bank Indonesia. Ashari. 2006. Potensi lembaga keuangan mikro LKM dalam pembangunan ekonomi perdesaan dan kebijakan kengembangannya. Analisis Kebijakan Pertanian. 4 2: 146-164. _____. 2009. Optimalisasi kebijakan kredit program sektor pertanian di Indonesia. Analisis Kebijakan Pertanian. 71:21-42. Baker, C.B. 1968. Credit in the Production Organization of the firm. American Journal of Agricultural Economics, vol. 50, no. 3, August 1968. [BPS] Badan Pusat Statistik. 2010. Sensus Penduduk. Jakarta ID: BPS. _____. 2013. Statistik Indonesia 2013. Jakarta ID: BPS. _____. 2013. Statistik Keuangan 2013. Jakarta ID: BPS. [BD] Bank Dunia. 2010. Meningkatkan Akses terhadap Jasa Keuangan di Indonesia. Jakarta ID: Bank Dunia. Bhatt N, Shui-Yan Tang. 2012. Determinants of repayment in microcredit: Evidence from programs in the United States. International Journal of Urban and Regional Research. Volume 26.2 Juni 2002: 360-376. Blanchflower, O. 1998. What make the entrepreneur? Journal of Labor Economics 161: 26-60. Bolnick BR, Nelson E. 1999. Evaluating the economic impact of a special credit programme: KIKKMPK in Indonesia. Journal of Development Studies. 26 2: 299- 312 Braverman A, Guasch JL. 1993. Administrative Faiures in Government Credit Programs. The Economics of Rural Organization: Theory, Practice and Policy. Edited by Hoff, K. et al. New York US: Oxford University Pr. Brown J. 1984. Small scale bank lending in developing countries: a comparative analysis. Washington US: US-AID. Chenn MA, Dunn E. 1996. Household economic portfolios. Management Systems International AIMS Paper. Washington, D.C. [DEPTAN] Kementerian Pertanian. 2012. Laporan Kinerja Kementerian Pertanian 2011. Jakarta ID: Deptan. [DEPTAN] Kementerian Pertanian. 2014. Renstra Kementerian Pertanian 2015-2019. Jakarta ID: Deptan. DeNegri JA, Maffioli A, Rodriguez CM, Vazquez G. 2011. The impact of public credit programs on Brazilian firms. Working Papers. No. IDB-WP-293. Office of Strategic Planning and Development Effectiveness, Inter-American Development Bank. Dzadze P, Osei MJ, Aidoo R, Nurah GK. 2012. Factors determining access to formal credit in Ghana: A case study of smallholder farmers in the Abura-Asebu Kwamankese district of central region of Ghana. Journal of Development and Agricultural Economics. 4 14: 416-423. Diagne A, Zeller M. 2001. Access to credit and its impact on welfare in Malawi. Research Report 116. Washington US: International Food Policy Research Institute. Ekowati T. 2012. Analisis usaha ternak sapi potong dan optimalisasi usaha peternakan berbasis sistem agribisnis di Jawa Tengah [Disertasi]. Yogyakarta ID Universitas Gajahmada. Feder G, Slade RH. 1985. Methodological issues in the evaluation of extention Impact. Washington D.C. Garson DS. 2006. “Logistic Regression”, [Internet]. Tersedia pada: http:www.chass.- ncse.edugarsonpa765logistic.htmlltests Ghozali I. 2009. Analisis Multivariate dengan program SPSS. Semarang ID: BP Universitas Diponegoro. Hastuti EL, Supadi. 2001. Aksessibilitas masyarakat terhadap kelembagaan pembiayaan pertanian di pedesaan. Bogor ID: Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian, Departemen Pertanian. Henderson JM, Quandt RE. 1980. Microeconomics Theory, A Mathematical Approach. Third Edition. Tokyo JP: McGraw-Hill International Company. Hermanto. 1992. Keragaan penyaluran kredit pertanian: suatu analisis data makro. dalam perkembangan perkreditan di Indonesia. Edisi Monograph Series No. 3. Bogor ID: Pusat Penelitian Sosial Ekonomi Pertanian. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Hernanto F. 1989. Ilmu Usahatani. Jakarta ID: PT. Penebar Swadaya. Hoff K, Stiglizt JE. 1993. Imperfect Information and Rural Credit Market: Puzzles and Policy Perspectives in the Economics of Rural Organization: Theory, Practice and Policy. Edited by Hoff K. et al. New York US: Oxford University Pr. Hosmer, WD, Lemeshow S. 1989. Applied Logistic Regression. Second Edition. John Wiley Sons. Canada. Hunt RW. 1983. The evaluation of small enterprise programs and projects: issues in business and community development, Washington. US-AID Evaluation Special Study No. 13. Iqbal M. 1981. The demand and supply of funds among agricultural households: a teoritical and empirical analysis [Dissertation]. New Haven US: Faculty of The Graduate School of Yale University. Jain TR, OP Khanna, Vir Sen. 2009. Development and Environmental Economics and International Trade. New Delhi. V.K. Publications. Kasmir. 2007. Bank Lembaga Keuangan Lainnya. Jakarta ID: PT. Raja Grafindo Persada. Khandker SR. 1996. Grameen Bank: impact, cost, and program sustainability. Asian Development Review. 14 1: 65. Khandker SR, Khalily B, Khan ZH. 1995. Grameen Bank: performance and sustainability. World Bank Discussion Paper 306. The World Bank. Washington, DC. Kohansal MR, Ghorbani M, Mansoori H. 2008. Effect of credit accessibility of farmers on agricultural investment and investigation of policy options in Khorasan-Razavi Province. Journal of Applied Sciences. 8: 4455-4459.