PENDAHULUAN Analisis Aksesibilitas, Dampak Ekonomi Dan Tingkat Pengembalian Kredit Program Kkpe Pada Peternak Sapi Di Jawa Tengah
Dengan demikian menjadi penting mengkaji secara komprenehsif bagaimana aksesibilitas peternak terhadap KKPE, sejauhmana dampak penyaluran kredit program
KKPE terhadap peningkatan produksi, penyerapan tenaga kerja dan pendapatan di tingkat usahatani ternak serta bagaimana tingkat pengembalian kredit oleh peternak mengingat
sumberdaya pemerintah untuk mendanai kegiatan pembangunan pada prinsipnya terbatas. Efektivitas pembiayaan pemerintah dalam pencapaian ketahanan dan swasembada
pangandaging tidak hanya ditentukan oleh dampak KKPE terhadap perkembangan usaha ternak, juga akan sangat ditentukan oleh aksesibiltas peternak terhadap kredit program
KKPE tersebut sehingga analisis tingkat dan faktor-faktor yang mempengaruhi aksesibilitas peternak terhadap kredit program KKPE perlu dilakukan. Selanjutnya,
pencapaian ketahanan dan swasembada pangan tidak akan terlepas dari tingkat keberlanjutan pengembangan kredit program KKPE yang indikasinya dapat dikaji dari
tingkat pengembalian kredit KKPE dan faktor-faktor yang mempengaruhi tingkat pengembalian kredit KKPE tersebut.
Tabel 2 Penyaluran kredit KPPE di tingkat Nasional dan Jawa Tengah menurut kegiatan usaha tahun 2009 hingga 2013 milyar rupiah
Tahun Tebu
Sapi Tnm
Pangan Hortikul-
tura Pengadaan
Pangan Pengemb
singkong Total
Nasional 2009
1304.7 468.5
174.9 5.4
16.7 19.9
1990.1 2010
1323.8 552.2
124.4 25.5
9.8 13.5
2049.2 2011
1214.2 679.4
267.5 25.3
10.9 21.7
2219 2012
1769.6 1337.6
656.3 43.5
34.8 43.5
3885.3 2013
698.1 874.8
257.2 62.3
11.4 15.8
1919.6 Kumulatif
5612.3 3037.7
1480.3 162
83.6 114.4
12684.1 Provinsi Jawa Tengah
2009 366.1
51.6 6.6
0.4 3.4
428.1 2010
412.5 66.1
1.8 0.9
1.5 482.8
2011 542.7
121.9 47.4
3 3.3
4.7 723
2012 463.3
202.8 55.8
3.7 11.5
0.6 737.7
2013 211.2
171.1 53.9
7.7 3.8
4 451.8
Kumulatif 1995.8
613.5 165.6
15.7 23.6
9.3 2823.5
Keterangan: = Posisi sampai September 2013 Sumber: Pedoman Teknis KKPE 2013; Statistik PrasaranaSarana Pertanian, Kementan 2013
Permasalahan
Kondisi ketahanan pangan Indonesia saat ini masih riskan. Produksi yang ada belum mencukupi untuk memenuhi kebutuhan 255 juta jiwa, sehingga terpaksa dilakukan
impor. Kondisi ini tergambar pada pemenuhan pangan sebagai hak dasar masyarakat masih merupakan salah satu permasalahan mendasar dari permasalahan kemiskinan di
Indonesia. Rencana Pembangunan Jangka Menengah RPJM 2015-2019 menggambarkan masih terbatasnya kecukupan dan mutu pangan, yaitu belum terpenuhinya pangan yang
layak dan memenuhi syarat gizi bagi masyarakat miskin, rendahnya kemampuan daya beli,
masih rentannya stabilitas ketersediaan pangan secara merata dan harga yang terjangkau, ketergantungan yang masih tinggi terhadap makanan pokok beras, kurangnya diversifikasi
pangan, belum efisiennya proses produksi pangan, serta rendahnya harga jual yang diterima petani, serta masih tingginya ketergantungan terhadap import pangan.
Data yang digunakan MDGs dalam indikator kelaparan, hampir dua-pertiga dari penduduk Indonesia masih berada di bawah asupan kalori sebanyak 2100 kalori
perkapitahari. Hal ini menunjukkan bahwa permasalahan kecukupan kalori, disamping menjadi permasalahan masyarakat miskin, ternyata juga dialami oleh kelompok
masyarakat lainnya yang berpendapatan tidak jauh di atas garis kemiskinan.
Sebagaimana yang telah dikemukakan sebelumnya, bahwa kredit produksi seperti KKPE, mempunyai peranan penting dalam pembangunan ekonomi. Ditinjau dari sisi
makro peranan kredit merupakan alat kebijakan untuk pembangunan ekonomi yang antara lain bertujuan mendorong pertumbuhan ekonomi, pengembangan dunia usaha, dan
menciptakan kesempatan kerja. Sedangkan dari sisi mikro, kredit berperan banyak bagi petani-peternak sebagai penambah modal dari luar usaha modal eksternal, bahkan
seringkali kredit dipandang identik dengan input dalam peningkatan produksi dan pendapatan menuju ketahanan pangan Nuswantara 2012. Proses pembangunan sektor
pertanian itu sendiri dapat dipicu melalui ketersediaan dan akses yang mudah terhadap kredit, karena hal ini akan memberikan kemampuan peternak melakukan pengembangan
usaha dengan modal kerja baru atau investasi baru untuk mengadopsi teknologi baru. Beberapa hasil studi menunjukkan bahwa sebagian besar petani membutuhkan tambahan
modal untuk menjalankan usahataninya Diagne 1999; Mohamed 2003; Poliquit 2006; Simtowe and Zeller 2006; Komicha 2007; Yehuala 2008; Tang, Guan and Jin 2010.
Namun tidak bisa dipungkiri bahwa isu selama ini mengenai akses atau keterjangkauan petani atau peternak terhadap kredit formal seperti kredit program masih
relatif rendah. Rendahnya akses petanipeternak ini terkait dengan beberapa hal, seperti banyaknya persyaratan dan prosedur yang harus dipenuhi, ketersediaan agunan yang tidak
bisa dihindari dan suku bunga pinjaman yang masih terasa tinggi. Program kredit pedesaan di seluruh negara menunjukkan kinerja yang kurang baik karena administrasi yang buruk
dalam pelaksanaannya serta social opportunity cost yang sangat tinggi dari dana program. Risiko yang tinggi dari produksi pertanian Binswanger dan Rosenzweig 1986, informasi
yang asimetris dan kurangnya penegakan kontrak pinjaman Hoff dan Stiglitz 1990, campur tangan pemerintah yang ceroboh dalam pasar kredit, dan rent seeking sebagai
akibat dari penjatahan kredit, semuanya menjadi faktor yang diduga penyebab kinerja yang buruk dari skema kredit program di banyak Negara Akram 2012. Beberapa pengecualian
dalam hal ini adalah Grameen Bank di Bangladesh, yang menunjukkan hasil ekonomi yang positif.
Pemerintah memperkenalkan kredit program KKPE sebagai upaya dalam mengatasi permasalahan tersebut. Kredit program yang baru ini disertai dengan beberapa
perbaikan, yaitu 1 menyediakan dana yang lebih besar, sekitar 10 triliun rupiah dan 2 penyempurnaan sistem dan prosedur penyaluran, diantaranya adalah adanya subsidi suku
bunga sehingga tingkat bunga kredit program KKPE relatif murah. Meskipun skim kredit ini telah dilakukan penyempurnaan, akan tetapi tingkat penyalurannya masih sangat
rendah. Berdasarkan data pada Tabel 4 total realisasi kredit secara kumulatif periode tahun 2009-2013 hanya mencapai sekitar 30 persen dari plafonnya hanya terserap sekitar
Rp.12.7 trilyun dari plafon sekitar Rp.42 trilyun. Dengan demikian menjadi pertanyaan,
apakah benar kredit itu diperlukan oleh petanipeternak untuk peningkatan produksi dan pendapatan mereka? Jika tidak diperlukan, menjadi pertanyaan juga mengapa sebagian
petanipeternak mengambil kredit program tersebut dan faktor-faktor apa yang menjadi pertimbangan petanipeternak dalam mengambil kredit program?
Dalam pasar kredit, khususnya pasar kredit pertanian dan pedesaan tidak hanya tersedia kredit program KKPE, tetapi juga kredit non KKPE. Berdasarkan hal tersebut,
maka apabila kredit itu penting bagi peternak dalam upaya peningkatan produksi dan pendapatan, apakah tingkat penyerapan kredit program KKPE yang rendah lebih
disebabkan karena petanipeternak lebih memilih atau lebih tertarik dengan kredit non KKPE yang lebih mudah diakses walaupun tingkat suku bunga dan biaya administrasinya
relatif mahal? Apabila demikian, apakah berarti sistem dan prosedur penyaluran kredit program KKPE yang dibuat pemerintah dan diaplikasikan pihak perbankan masih
menimbulkan biaya transaksi yang besar? Di sisi lain, bisa jadi kredit program KKPE tidak diminati oleh pihak perbankan dan lebih menjadi beban. Hal ini tampak dari sedikitnya
pihak perbankan yang telah menyalurkan KKPE dan hanya BRI yang menonjol, padahal dalam panduan hampir semua perbankan bisa berperan serta Kementan 2013. Kondisi ini
kemungkinan terkait dengan resiko usaha di sektor pertanian yang dikenal relatif tinggi Binswanger dan Rosenzweig 1986 dan adanya keinginan agar aturan prosedur
pengembaliancicilan disesuaikan dengan karakteristik produksi di sektor pertanian yang sifatnya tidak harian atau bulanan melainkan musiman, sehingga pihak perbankan enggan
berpartisipasi dan kalaupun ikut, terpaksa menerapkan aturan yang ketat.
Hal lain lagi adalah adanya fakta yang saling bertentangan, yaitu walaupun tingkat penyerapan kredit program KKPE relatif rendah, namun dalam 5 tahun terakhir 2009-
2013 produksi pangan nasional secara umum, termasuk daging sapi mengalami peningkatan baik dari sisi produksi maupun produktivitas BPS 2014. Demikian juga
serapan tenaga kerja di pertanian serta tingkat kesejahteraan petani, yang digambarkan oleh angka nilai tukar petani NTP menunjukkan perbaikan. Dengan demikian menjadi
pertanyaan, bagaimana pemanfaatan kredit oleh petani, apakah digunakan sesuai dengan peruntukannya untuk usahatani atau usaha ternak? Kemudian, apakah peningkatan
produksi dan perbaikan NTP merupakan dampak dari kredit program?
Dalam hal pengembalian pinjaman kredit program, hasil evaluasi Deptan dan JICA 2006 dalam Ashari 2009, menunjukkan Non Performing Loan NPL KKP untuk
tanaman pangan 6.07 persen, tebu 0.02 persen, peternakan 4.03 persen, perikanan 14.00 persen, dan pengadaan barang 3.01 persen. Bahkan salah satu skim kredit
program yang dikembangkan pemerintah, yaitu Kredit Usaha Tani KUT mengalami masalah berat, dimana tunggakannya mencapai 68.8 persen Ritonga 2010. Terkait
dengan KKPE, menjadi pertanyaan apakah pengembalian KKPE mengalami kondisi yang sama dengan kredit program sebelumnya atau lebih baik, sehingga mendorong pemerintah
untuk melanjutkan dan mengembangkannya.
Beberapa hasil kajian telah menunjukkan bahwa berbagai kredit program telah dapat mencapai tujuannya dalam meningkatkan produksi. Walaupun ada juga indikasi
bahwa kinerjanya tidak memuaskan, terutama pada lembaga keuangan sebagai pelaksana. Menurut Martowijoyo 2002, lemahnya kinerja lembaga keuangan dapat dilihat dari tiga
aspek, yaitu: 1 rendahnya tingkat pelunasan kredit, 2 rendahnya moralitas aparat pelaksana, dan 3 rendahnya tingkat mobilisasi dana masyarakat. Kelemahan tersebut
membawa konsekuensi pada tidak berlanjutnya unsustainability lembaga keuangan yang
terbentuk setelah program selesai. Akibatnya, peserta program akan kembali mengalami kekurangan modal usaha Ashari 2006.
Kajian Braverman dan Guash 1993 menyebutkan bahwa intervensi pemerintah dalam pasar kredit perdesaan telah meningkatkan distribusi pendapatan perdesaan. Namun,
intervensi telah terbukti cukup sering menjadi regresif memundurkan. Kegagalan intervensi pemerintah ini diukur dengan target dana yang tersalur kepada petanipeternak
kecil, kerentanan terhadap tekanan politik, tingkat pengembalian, dan kemampuan lembaga keuangan untuk bertahan hidup dengan penarikan dana ekstemal.
Hasil temuan Akram et al. 2008 juga menunjukkan bahwa kredit program di Pakistan kurang memberi hasil yang optimal karena kebijakan pemerintah yang bertele-
tele. Namun tidak semua kredit program memberi dampak yang negatif terhadap perekonomian. Hasil kajian Bolnick Nelson 1999 menunjukkan bahwa kredit program
KIKKMKP memberi dampak positif terhadap pendapatan, output dan lapangan kerja. Demikian juga kajian dari Setyari 2012 menunjukkan bahwa kredit mikro memberikan
dampak yang signifikan positif terhadap tingkat kesejahteraan rumahtangga di Indonesia dilihat dari meningkatnya jumlah pengeluaran perkapita labor supply dari rumahtangga
penerima program.
Berdasarkan fenomena permasalahan tersebut, pertanyaan utama yang ingin dijawab dalam studi ini adalah sejauhmana intervensi pemerintah dengan menyediakan
kredit program KKPE di pasar kredit pertanian dan perdesaan memberikan akses yang lebih mudah bagi peternak. Selanjutnya bagaimana pemanfaatan kredit tersebut dan
apakah memberi dampak yang positif terhadap petani peternak sapi di Jawa Tengah khususnya dan terhadap pembangunan pertanian serta mendukung ketahanan dan
kedaulatan pangan di Indonesia umumnya. Setelah berdampak bagaimana kinerja pengembalian kredit tersebut, sehingga dapat berkelanjutan dalam mendukung
swasembada pangan. Berdasarkan temuan studi maka diharapkan dapat dirumuskan rekomendasi kebijakan penyempurnaan dan perbaikan program. Secara khusus, beberapa
pertanyaan yang ingin dijawab dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Bagaimana tingkat aksesibilitas peternak terhadap kredit program KKPE? 2. Apakah kredit program tersebut dimanfaatkan untuk pengembangan usaha ternak atau
digunakan untuk tujuan lain? 3. Sejauh mana dampak kredit program KKPE terhadap kinerja usaha produksijumlah
ternak, pendapatan dan kesempatan kerja peternak sapi? 4. Bagaimanakah tingkat pengembalian kredit program KKPE tersebut?
Pemerintah meluncurkan KKPE karena asumsinya petani membutuhkan kredit. Namun masalahnya petani sulit mengakses kredit tersebut. Memang pemerintah sudah
mengusahakan agar bunganya lebih rendah dari skim kredit lain maupun skim kredit sebelumnya dengan memberikan subsidi, namun berbagai persyaratan masih memberatkan
petani, misalnya harus tetap ada agunan. Sehingga sebagian masyarakat beranggapan skim KKPE ini pun tetap masih sulit.
Berpijak pada gambaran di atas, maka ingin dibuktikan apakah intervensi kebijakan pemerintah memberi dampak yang positif atau sebaliknya terhadap kinerja usaha. Bila
kenyataannya gagal, maka bagaimana cara untuk memperbaikinya, atau meminimalisir kegagalan tersebut. Kredit Program pemerintah yang akan dievaluasi adalah Kredit
Ketahanan Pangan dan Energi KKPE untuk peternakan Sapi Potong dan Sapi Perah yang
diluncurkan pemerintah di akhir tahun 2007. Beberapa hal yang mendasari pemilihan kredit program ini adalah:
1. Kredit KKPE adalah kredit perbankan dimana sebagian bunganya disubsidi pemerintah.
2. KKPE umumnya diberikan kepada kelompok group lending, walaupun tidak menutup kemungkinan perseorangan.
3. Fokus pada KKPE ternak sapi potong dan sapi perah karena komoditas ini merupakan komoditas pangan penting untuk Indonesia saat ini, dimana sapi potong termasuk yang
ditargetkan untuk tercapai swasembada di tahun 2014.
Tujuan dan Manfaat Penelitian Tujuan
Secara umum, berdasarkan latar belakang dan permasalahan yang telah dikemukakan, tujuan penelitian adalah untuk menganalisis akses peternak sapi terhadap
kredit program KKPE dan dampaknya terhadap kinerja usaha ternak sapi serta tingkat pengembalian kredit tersebut di Jawa Tengah. Tujuan penelitian secara khusus adalah
sebagai berikut: 1. Menganalisis akses peternak sapi terhadap KKPE.
2. Menganalisis pemanfaatan KKPE oleh peternak sapi penerima. 3. Menganalisis dampak KKPE terhadap kinerja usaha ternak sapi.
4. Menganalisis tingkat pengembalian kredit program KKPE. 5. Merumuskan perbaikan skema kredit program KKPE.
Manfaat
Manfaat yang diharapkan dari penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Sebagai bahan masukan dalam pengelolaan kebijakan pengembangan kredit program
untuk meningkatkan kinerja peternakan di Indonesia. 2. Sebagai sumbangan akademis dalam penelitian mengenai pengembangan kredit
program dari lembaga keuangan di masa mendatang.
Ruang Lingkup dan Keterbatasan Penelitian Ruang Lingkup
Kredit program KKPE untuk pengembangan ternak yang dioperasikan oleh perbankan adalah fokus disertasi ini. Informasi digali dari para peternak sapi sebagai
nasabah, pihak lembaga perbankan penyalur kredit dan lembaga mitra atau pembina. Penelitian ini dilakukan di wilayah Provinsi Jawa Tengah dengan berfokus pada: 1
aksesibilitas masyarakat peternak sapi terhadap kredit program, 2 peranan kredit program terhadap kinerja ekonomi masyarakat peternak sapi, khususnya peminjam, dan 3 tingkat
keberlanjutan kredit program ditinjau dari tingkat pengembalian kredit.
Adapun lingkup penelitian ini meliputi: 1. Sampel penelitian ini adalah peternak sapi potong dan sapi perah dan kelompok taninya
yang memperoleh kredit program KKPE maupun yang tidak memperoleh kredit program, staf lembaga perbankan, staf dinasSKPD terkait, serta lembaga mitra kerja.
2. Peternak yang menjadi contoh diambil dari wilayah Kabupaten Boyolali dan Kabupaten Semarang baik peternak sapi potong maupun sapi perah.
3. Lembaga perbankan yang diambil sebagai contoh adalah penyalur KKPE, seperti Bank BRI dan Bank Pembangunan Daerah Jawa Tengah.
4. Lembaga mitra kerja petani atau koperasi yang diambil menjadi contoh adalah yang bekerjasama dengan peternak sapi, seperti Asosiasi Peternak Sapi Potong Indonesia
ASPIN Boyolali. 5. Kinerja usaha peternak yang diamati adalah penggunaan input, pengambilan kredit,
penggunaan tenaga kerja, jumlah ternak dan susu, dan tingkat pendapatan dari usaha. 6. Tingkat pengembalian perlu dianalisis dalam rangka menilai keberlanjutan dari kredit
program tersebut. Dalam hal ini dikaji sistem dan pemanfaatan kredit, seperti berapa tingkat bunga yang diterapkan lembaga peminjam dan dasar penerapan biaya tersebut
apakah karena keputusan dari pusat atau mempertimbangkan biaya-biaya yang harus dikeluarkan. Biaya-biaya tersebut antara lain untuk seleksi screening, peluang gagal
default, opportunity cost dari uang dan lainnya Aleem, 1993.
7. Untuk keperluan analisis digunakan model ekonometrika dengan persamaan regresi berganda dan model logit, menggunakan data primer cross section dari hasil
membandingkan data penerima dan non penerima kredit melalui kegiatan survey.
Keterbatasan
Dari sisi lokasi, penelitian ini hanya dilakukan di Provinsi Jawa Tengah, khususnya di kabupaten sentra produksi ternak sapi. Sementara dari sisi sasaran penyaluran kredit,
penelitian ini hanya difokuskan pada skim kredit KKPE untuk peternak sapi. Dari sisi kedalaman analisis, 1 untuk aksesibilitas kredit mencakup kajian peluang mendapatkan
kredit melalui kajian terhadap faktor-faktor yang mempengaruhi aksesibilitas, 2 analisis pemanfaatan kredit hanya secara deskriptif saja dan 3 untuk analisis dampak penggunaan
kredit, dampak tersebut hanya dianalisis di tingkat usahatani dan rumah tangga saja; yaitu dampaknya terhadap jumlah ternak, kesempatan kerja dan pendapatan usaha. Selanjutnya
untuk analisis pengembalian kredit dibatasi tingkat pengembalian kredit peternak yang meminjam KKPE.
Kebaruan Novelty
Penelitian tentang kredit program sudah relatif banyak, termasuk penelitian tentang kredit program pada rumahtangga tani maupun ternak. Beberapa penelitian tentang kredit
menganalisis penggunaan tenaga kerja dan tingkat upah Lambert and Magnac 1994; Skoufias 1994; Sadoulet, de Janvry and Benyamin 1996; Sonoda and Maruyama 1999;
Barrett et al. 2005; Kusnadi et al. 2005. Untuk penelitian disertasi ini kebaruannya secara umum terletak pada kerangka analisis yang mengevaluasi kredit lebih konprehensif, mulai
dari 1 penyediaan kredit oleh pemerintah plafon, 2 bagaimana peternak mengakses kredit, 3 bagaimana memanfaatkan kredit, 4 bagaimana dampaknya terhadap serapan
tenaga kerja, peningkatan produksi dan jumlah ternak, dampaknya terhadap pendapatan, serta 5 bagaimana tingkat pengembalian KKPE. Inilah yang disebut dengan lingkaran
kebajikan lima dimensi spiral yang saling berkaitan. Oleh karena itu responden yang dijadikan sampel penelitian ini adalah para peternak sapi potong dan sapi perah.
Dari sisi metodologi, penelitian ini mencoba menangkap persoalan yang dihadapi peternak, mulai dari pengalaman mengakses kredit, memanfaatkannya, dampaknya, serta
pengembaliannya. Teori ekonomi yang digunakan adalah teori ekonomi produksi yang pada hakekatnya adalah teori yang menjelaskan bagaimana hubungan input dan output.
Dari sisi syarat memenuhi teori ekonomi produksi karena menganalisis produksi baik susu sapi maupun populasi ternak sapi potong, penggunaan tenaga kerja, bahkan pendapatan
rumah tangga. Analisis aksesibilitas terhadap kredit KKPE, dampak kredit dan analisis tingkat pengembalian peternak sapi saling melengkapi model dalam penelitian ini.
Dari hasil penelitian akses kredit, dampak serta tingkat pengembaliannya didapatkan: a akses peternak terhadap kredit masih bermasalah terutama dalam agunan,
sehingga dapat disarankan persyaratan kredit yang lebih fleksibel, b pemanfaatan kredit umumnya untuk tujuan produktif membeli sapi, namun sebagian usahanya terganggu,
sehingga terkendala dalam pengembalian, c kredit KKPE yang diterima telah memberi manfaat dalam peningkatan jumlah ternak maupun produksi susu, serta pendapatan, namun
tidak berpengaruh nyata dalam peningkatan penggunaan tenaga kerja karena hanya menambah penggunaan jam kerja, serta d pengembalian kredit masih bermasalah karena
adanya gangguan usaha.
Kebaruan lain dari penelitian ini adalah dapat menemu-kenali instrumen kebijakan yang dapat menggerakkan kelima dimensi lingkaran kebijakan kredit program secara
langsung. Instrumen yang dimaksud adalah agunan, kelompok tani dan suku bunga.