PENDAHULUAN Analisis Aksesibilitas, Dampak Ekonomi Dan Tingkat Pengembalian Kredit Program Kkpe Pada Peternak Sapi Di Jawa Tengah

Dengan demikian menjadi penting mengkaji secara komprenehsif bagaimana aksesibilitas peternak terhadap KKPE, sejauhmana dampak penyaluran kredit program KKPE terhadap peningkatan produksi, penyerapan tenaga kerja dan pendapatan di tingkat usahatani ternak serta bagaimana tingkat pengembalian kredit oleh peternak mengingat sumberdaya pemerintah untuk mendanai kegiatan pembangunan pada prinsipnya terbatas. Efektivitas pembiayaan pemerintah dalam pencapaian ketahanan dan swasembada pangandaging tidak hanya ditentukan oleh dampak KKPE terhadap perkembangan usaha ternak, juga akan sangat ditentukan oleh aksesibiltas peternak terhadap kredit program KKPE tersebut sehingga analisis tingkat dan faktor-faktor yang mempengaruhi aksesibilitas peternak terhadap kredit program KKPE perlu dilakukan. Selanjutnya, pencapaian ketahanan dan swasembada pangan tidak akan terlepas dari tingkat keberlanjutan pengembangan kredit program KKPE yang indikasinya dapat dikaji dari tingkat pengembalian kredit KKPE dan faktor-faktor yang mempengaruhi tingkat pengembalian kredit KKPE tersebut. Tabel 2 Penyaluran kredit KPPE di tingkat Nasional dan Jawa Tengah menurut kegiatan usaha tahun 2009 hingga 2013 milyar rupiah Tahun Tebu Sapi Tnm Pangan Hortikul- tura Pengadaan Pangan Pengemb singkong Total Nasional 2009 1304.7 468.5 174.9 5.4 16.7 19.9 1990.1 2010 1323.8 552.2 124.4 25.5 9.8 13.5 2049.2 2011 1214.2 679.4 267.5 25.3 10.9 21.7 2219 2012 1769.6 1337.6 656.3 43.5 34.8 43.5 3885.3 2013 698.1 874.8 257.2 62.3 11.4 15.8 1919.6 Kumulatif 5612.3 3037.7 1480.3 162 83.6 114.4 12684.1 Provinsi Jawa Tengah 2009 366.1 51.6 6.6 0.4 3.4 428.1 2010 412.5 66.1 1.8 0.9 1.5 482.8 2011 542.7 121.9 47.4 3 3.3 4.7 723 2012 463.3 202.8 55.8 3.7 11.5 0.6 737.7 2013 211.2 171.1 53.9 7.7 3.8 4 451.8 Kumulatif 1995.8 613.5 165.6 15.7 23.6 9.3 2823.5 Keterangan: = Posisi sampai September 2013 Sumber: Pedoman Teknis KKPE 2013; Statistik PrasaranaSarana Pertanian, Kementan 2013 Permasalahan Kondisi ketahanan pangan Indonesia saat ini masih riskan. Produksi yang ada belum mencukupi untuk memenuhi kebutuhan 255 juta jiwa, sehingga terpaksa dilakukan impor. Kondisi ini tergambar pada pemenuhan pangan sebagai hak dasar masyarakat masih merupakan salah satu permasalahan mendasar dari permasalahan kemiskinan di Indonesia. Rencana Pembangunan Jangka Menengah RPJM 2015-2019 menggambarkan masih terbatasnya kecukupan dan mutu pangan, yaitu belum terpenuhinya pangan yang layak dan memenuhi syarat gizi bagi masyarakat miskin, rendahnya kemampuan daya beli, masih rentannya stabilitas ketersediaan pangan secara merata dan harga yang terjangkau, ketergantungan yang masih tinggi terhadap makanan pokok beras, kurangnya diversifikasi pangan, belum efisiennya proses produksi pangan, serta rendahnya harga jual yang diterima petani, serta masih tingginya ketergantungan terhadap import pangan. Data yang digunakan MDGs dalam indikator kelaparan, hampir dua-pertiga dari penduduk Indonesia masih berada di bawah asupan kalori sebanyak 2100 kalori perkapitahari. Hal ini menunjukkan bahwa permasalahan kecukupan kalori, disamping menjadi permasalahan masyarakat miskin, ternyata juga dialami oleh kelompok masyarakat lainnya yang berpendapatan tidak jauh di atas garis kemiskinan. Sebagaimana yang telah dikemukakan sebelumnya, bahwa kredit produksi seperti KKPE, mempunyai peranan penting dalam pembangunan ekonomi. Ditinjau dari sisi makro peranan kredit merupakan alat kebijakan untuk pembangunan ekonomi yang antara lain bertujuan mendorong pertumbuhan ekonomi, pengembangan dunia usaha, dan menciptakan kesempatan kerja. Sedangkan dari sisi mikro, kredit berperan banyak bagi petani-peternak sebagai penambah modal dari luar usaha modal eksternal, bahkan seringkali kredit dipandang identik dengan input dalam peningkatan produksi dan pendapatan menuju ketahanan pangan Nuswantara 2012. Proses pembangunan sektor pertanian itu sendiri dapat dipicu melalui ketersediaan dan akses yang mudah terhadap kredit, karena hal ini akan memberikan kemampuan peternak melakukan pengembangan usaha dengan modal kerja baru atau investasi baru untuk mengadopsi teknologi baru. Beberapa hasil studi menunjukkan bahwa sebagian besar petani membutuhkan tambahan modal untuk menjalankan usahataninya Diagne 1999; Mohamed 2003; Poliquit 2006; Simtowe and Zeller 2006; Komicha 2007; Yehuala 2008; Tang, Guan and Jin 2010. Namun tidak bisa dipungkiri bahwa isu selama ini mengenai akses atau keterjangkauan petani atau peternak terhadap kredit formal seperti kredit program masih relatif rendah. Rendahnya akses petanipeternak ini terkait dengan beberapa hal, seperti banyaknya persyaratan dan prosedur yang harus dipenuhi, ketersediaan agunan yang tidak bisa dihindari dan suku bunga pinjaman yang masih terasa tinggi. Program kredit pedesaan di seluruh negara menunjukkan kinerja yang kurang baik karena administrasi yang buruk dalam pelaksanaannya serta social opportunity cost yang sangat tinggi dari dana program. Risiko yang tinggi dari produksi pertanian Binswanger dan Rosenzweig 1986, informasi yang asimetris dan kurangnya penegakan kontrak pinjaman Hoff dan Stiglitz 1990, campur tangan pemerintah yang ceroboh dalam pasar kredit, dan rent seeking sebagai akibat dari penjatahan kredit, semuanya menjadi faktor yang diduga penyebab kinerja yang buruk dari skema kredit program di banyak Negara Akram 2012. Beberapa pengecualian dalam hal ini adalah Grameen Bank di Bangladesh, yang menunjukkan hasil ekonomi yang positif. Pemerintah memperkenalkan kredit program KKPE sebagai upaya dalam mengatasi permasalahan tersebut. Kredit program yang baru ini disertai dengan beberapa perbaikan, yaitu 1 menyediakan dana yang lebih besar, sekitar 10 triliun rupiah dan 2 penyempurnaan sistem dan prosedur penyaluran, diantaranya adalah adanya subsidi suku bunga sehingga tingkat bunga kredit program KKPE relatif murah. Meskipun skim kredit ini telah dilakukan penyempurnaan, akan tetapi tingkat penyalurannya masih sangat rendah. Berdasarkan data pada Tabel 4 total realisasi kredit secara kumulatif periode tahun 2009-2013 hanya mencapai sekitar 30 persen dari plafonnya hanya terserap sekitar Rp.12.7 trilyun dari plafon sekitar Rp.42 trilyun. Dengan demikian menjadi pertanyaan, apakah benar kredit itu diperlukan oleh petanipeternak untuk peningkatan produksi dan pendapatan mereka? Jika tidak diperlukan, menjadi pertanyaan juga mengapa sebagian petanipeternak mengambil kredit program tersebut dan faktor-faktor apa yang menjadi pertimbangan petanipeternak dalam mengambil kredit program? Dalam pasar kredit, khususnya pasar kredit pertanian dan pedesaan tidak hanya tersedia kredit program KKPE, tetapi juga kredit non KKPE. Berdasarkan hal tersebut, maka apabila kredit itu penting bagi peternak dalam upaya peningkatan produksi dan pendapatan, apakah tingkat penyerapan kredit program KKPE yang rendah lebih disebabkan karena petanipeternak lebih memilih atau lebih tertarik dengan kredit non KKPE yang lebih mudah diakses walaupun tingkat suku bunga dan biaya administrasinya relatif mahal? Apabila demikian, apakah berarti sistem dan prosedur penyaluran kredit program KKPE yang dibuat pemerintah dan diaplikasikan pihak perbankan masih menimbulkan biaya transaksi yang besar? Di sisi lain, bisa jadi kredit program KKPE tidak diminati oleh pihak perbankan dan lebih menjadi beban. Hal ini tampak dari sedikitnya pihak perbankan yang telah menyalurkan KKPE dan hanya BRI yang menonjol, padahal dalam panduan hampir semua perbankan bisa berperan serta Kementan 2013. Kondisi ini kemungkinan terkait dengan resiko usaha di sektor pertanian yang dikenal relatif tinggi Binswanger dan Rosenzweig 1986 dan adanya keinginan agar aturan prosedur pengembaliancicilan disesuaikan dengan karakteristik produksi di sektor pertanian yang sifatnya tidak harian atau bulanan melainkan musiman, sehingga pihak perbankan enggan berpartisipasi dan kalaupun ikut, terpaksa menerapkan aturan yang ketat. Hal lain lagi adalah adanya fakta yang saling bertentangan, yaitu walaupun tingkat penyerapan kredit program KKPE relatif rendah, namun dalam 5 tahun terakhir 2009- 2013 produksi pangan nasional secara umum, termasuk daging sapi mengalami peningkatan baik dari sisi produksi maupun produktivitas BPS 2014. Demikian juga serapan tenaga kerja di pertanian serta tingkat kesejahteraan petani, yang digambarkan oleh angka nilai tukar petani NTP menunjukkan perbaikan. Dengan demikian menjadi pertanyaan, bagaimana pemanfaatan kredit oleh petani, apakah digunakan sesuai dengan peruntukannya untuk usahatani atau usaha ternak? Kemudian, apakah peningkatan produksi dan perbaikan NTP merupakan dampak dari kredit program? Dalam hal pengembalian pinjaman kredit program, hasil evaluasi Deptan dan JICA 2006 dalam Ashari 2009, menunjukkan Non Performing Loan NPL KKP untuk tanaman pangan 6.07 persen, tebu 0.02 persen, peternakan 4.03 persen, perikanan 14.00 persen, dan pengadaan barang 3.01 persen. Bahkan salah satu skim kredit program yang dikembangkan pemerintah, yaitu Kredit Usaha Tani KUT mengalami masalah berat, dimana tunggakannya mencapai 68.8 persen Ritonga 2010. Terkait dengan KKPE, menjadi pertanyaan apakah pengembalian KKPE mengalami kondisi yang sama dengan kredit program sebelumnya atau lebih baik, sehingga mendorong pemerintah untuk melanjutkan dan mengembangkannya. Beberapa hasil kajian telah menunjukkan bahwa berbagai kredit program telah dapat mencapai tujuannya dalam meningkatkan produksi. Walaupun ada juga indikasi bahwa kinerjanya tidak memuaskan, terutama pada lembaga keuangan sebagai pelaksana. Menurut Martowijoyo 2002, lemahnya kinerja lembaga keuangan dapat dilihat dari tiga aspek, yaitu: 1 rendahnya tingkat pelunasan kredit, 2 rendahnya moralitas aparat pelaksana, dan 3 rendahnya tingkat mobilisasi dana masyarakat. Kelemahan tersebut membawa konsekuensi pada tidak berlanjutnya unsustainability lembaga keuangan yang terbentuk setelah program selesai. Akibatnya, peserta program akan kembali mengalami kekurangan modal usaha Ashari 2006. Kajian Braverman dan Guash 1993 menyebutkan bahwa intervensi pemerintah dalam pasar kredit perdesaan telah meningkatkan distribusi pendapatan perdesaan. Namun, intervensi telah terbukti cukup sering menjadi regresif memundurkan. Kegagalan intervensi pemerintah ini diukur dengan target dana yang tersalur kepada petanipeternak kecil, kerentanan terhadap tekanan politik, tingkat pengembalian, dan kemampuan lembaga keuangan untuk bertahan hidup dengan penarikan dana ekstemal. Hasil temuan Akram et al. 2008 juga menunjukkan bahwa kredit program di Pakistan kurang memberi hasil yang optimal karena kebijakan pemerintah yang bertele- tele. Namun tidak semua kredit program memberi dampak yang negatif terhadap perekonomian. Hasil kajian Bolnick Nelson 1999 menunjukkan bahwa kredit program KIKKMKP memberi dampak positif terhadap pendapatan, output dan lapangan kerja. Demikian juga kajian dari Setyari 2012 menunjukkan bahwa kredit mikro memberikan dampak yang signifikan positif terhadap tingkat kesejahteraan rumahtangga di Indonesia dilihat dari meningkatnya jumlah pengeluaran perkapita labor supply dari rumahtangga penerima program. Berdasarkan fenomena permasalahan tersebut, pertanyaan utama yang ingin dijawab dalam studi ini adalah sejauhmana intervensi pemerintah dengan menyediakan kredit program KKPE di pasar kredit pertanian dan perdesaan memberikan akses yang lebih mudah bagi peternak. Selanjutnya bagaimana pemanfaatan kredit tersebut dan apakah memberi dampak yang positif terhadap petani peternak sapi di Jawa Tengah khususnya dan terhadap pembangunan pertanian serta mendukung ketahanan dan kedaulatan pangan di Indonesia umumnya. Setelah berdampak bagaimana kinerja pengembalian kredit tersebut, sehingga dapat berkelanjutan dalam mendukung swasembada pangan. Berdasarkan temuan studi maka diharapkan dapat dirumuskan rekomendasi kebijakan penyempurnaan dan perbaikan program. Secara khusus, beberapa pertanyaan yang ingin dijawab dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Bagaimana tingkat aksesibilitas peternak terhadap kredit program KKPE? 2. Apakah kredit program tersebut dimanfaatkan untuk pengembangan usaha ternak atau digunakan untuk tujuan lain? 3. Sejauh mana dampak kredit program KKPE terhadap kinerja usaha produksijumlah ternak, pendapatan dan kesempatan kerja peternak sapi? 4. Bagaimanakah tingkat pengembalian kredit program KKPE tersebut? Pemerintah meluncurkan KKPE karena asumsinya petani membutuhkan kredit. Namun masalahnya petani sulit mengakses kredit tersebut. Memang pemerintah sudah mengusahakan agar bunganya lebih rendah dari skim kredit lain maupun skim kredit sebelumnya dengan memberikan subsidi, namun berbagai persyaratan masih memberatkan petani, misalnya harus tetap ada agunan. Sehingga sebagian masyarakat beranggapan skim KKPE ini pun tetap masih sulit. Berpijak pada gambaran di atas, maka ingin dibuktikan apakah intervensi kebijakan pemerintah memberi dampak yang positif atau sebaliknya terhadap kinerja usaha. Bila kenyataannya gagal, maka bagaimana cara untuk memperbaikinya, atau meminimalisir kegagalan tersebut. Kredit Program pemerintah yang akan dievaluasi adalah Kredit Ketahanan Pangan dan Energi KKPE untuk peternakan Sapi Potong dan Sapi Perah yang diluncurkan pemerintah di akhir tahun 2007. Beberapa hal yang mendasari pemilihan kredit program ini adalah: 1. Kredit KKPE adalah kredit perbankan dimana sebagian bunganya disubsidi pemerintah. 2. KKPE umumnya diberikan kepada kelompok group lending, walaupun tidak menutup kemungkinan perseorangan. 3. Fokus pada KKPE ternak sapi potong dan sapi perah karena komoditas ini merupakan komoditas pangan penting untuk Indonesia saat ini, dimana sapi potong termasuk yang ditargetkan untuk tercapai swasembada di tahun 2014. Tujuan dan Manfaat Penelitian Tujuan Secara umum, berdasarkan latar belakang dan permasalahan yang telah dikemukakan, tujuan penelitian adalah untuk menganalisis akses peternak sapi terhadap kredit program KKPE dan dampaknya terhadap kinerja usaha ternak sapi serta tingkat pengembalian kredit tersebut di Jawa Tengah. Tujuan penelitian secara khusus adalah sebagai berikut: 1. Menganalisis akses peternak sapi terhadap KKPE. 2. Menganalisis pemanfaatan KKPE oleh peternak sapi penerima. 3. Menganalisis dampak KKPE terhadap kinerja usaha ternak sapi. 4. Menganalisis tingkat pengembalian kredit program KKPE. 5. Merumuskan perbaikan skema kredit program KKPE. Manfaat Manfaat yang diharapkan dari penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Sebagai bahan masukan dalam pengelolaan kebijakan pengembangan kredit program untuk meningkatkan kinerja peternakan di Indonesia. 2. Sebagai sumbangan akademis dalam penelitian mengenai pengembangan kredit program dari lembaga keuangan di masa mendatang. Ruang Lingkup dan Keterbatasan Penelitian Ruang Lingkup Kredit program KKPE untuk pengembangan ternak yang dioperasikan oleh perbankan adalah fokus disertasi ini. Informasi digali dari para peternak sapi sebagai nasabah, pihak lembaga perbankan penyalur kredit dan lembaga mitra atau pembina. Penelitian ini dilakukan di wilayah Provinsi Jawa Tengah dengan berfokus pada: 1 aksesibilitas masyarakat peternak sapi terhadap kredit program, 2 peranan kredit program terhadap kinerja ekonomi masyarakat peternak sapi, khususnya peminjam, dan 3 tingkat keberlanjutan kredit program ditinjau dari tingkat pengembalian kredit. Adapun lingkup penelitian ini meliputi: 1. Sampel penelitian ini adalah peternak sapi potong dan sapi perah dan kelompok taninya yang memperoleh kredit program KKPE maupun yang tidak memperoleh kredit program, staf lembaga perbankan, staf dinasSKPD terkait, serta lembaga mitra kerja. 2. Peternak yang menjadi contoh diambil dari wilayah Kabupaten Boyolali dan Kabupaten Semarang baik peternak sapi potong maupun sapi perah. 3. Lembaga perbankan yang diambil sebagai contoh adalah penyalur KKPE, seperti Bank BRI dan Bank Pembangunan Daerah Jawa Tengah. 4. Lembaga mitra kerja petani atau koperasi yang diambil menjadi contoh adalah yang bekerjasama dengan peternak sapi, seperti Asosiasi Peternak Sapi Potong Indonesia ASPIN Boyolali. 5. Kinerja usaha peternak yang diamati adalah penggunaan input, pengambilan kredit, penggunaan tenaga kerja, jumlah ternak dan susu, dan tingkat pendapatan dari usaha. 6. Tingkat pengembalian perlu dianalisis dalam rangka menilai keberlanjutan dari kredit program tersebut. Dalam hal ini dikaji sistem dan pemanfaatan kredit, seperti berapa tingkat bunga yang diterapkan lembaga peminjam dan dasar penerapan biaya tersebut apakah karena keputusan dari pusat atau mempertimbangkan biaya-biaya yang harus dikeluarkan. Biaya-biaya tersebut antara lain untuk seleksi screening, peluang gagal default, opportunity cost dari uang dan lainnya Aleem, 1993. 7. Untuk keperluan analisis digunakan model ekonometrika dengan persamaan regresi berganda dan model logit, menggunakan data primer cross section dari hasil membandingkan data penerima dan non penerima kredit melalui kegiatan survey. Keterbatasan Dari sisi lokasi, penelitian ini hanya dilakukan di Provinsi Jawa Tengah, khususnya di kabupaten sentra produksi ternak sapi. Sementara dari sisi sasaran penyaluran kredit, penelitian ini hanya difokuskan pada skim kredit KKPE untuk peternak sapi. Dari sisi kedalaman analisis, 1 untuk aksesibilitas kredit mencakup kajian peluang mendapatkan kredit melalui kajian terhadap faktor-faktor yang mempengaruhi aksesibilitas, 2 analisis pemanfaatan kredit hanya secara deskriptif saja dan 3 untuk analisis dampak penggunaan kredit, dampak tersebut hanya dianalisis di tingkat usahatani dan rumah tangga saja; yaitu dampaknya terhadap jumlah ternak, kesempatan kerja dan pendapatan usaha. Selanjutnya untuk analisis pengembalian kredit dibatasi tingkat pengembalian kredit peternak yang meminjam KKPE. Kebaruan Novelty Penelitian tentang kredit program sudah relatif banyak, termasuk penelitian tentang kredit program pada rumahtangga tani maupun ternak. Beberapa penelitian tentang kredit menganalisis penggunaan tenaga kerja dan tingkat upah Lambert and Magnac 1994; Skoufias 1994; Sadoulet, de Janvry and Benyamin 1996; Sonoda and Maruyama 1999; Barrett et al. 2005; Kusnadi et al. 2005. Untuk penelitian disertasi ini kebaruannya secara umum terletak pada kerangka analisis yang mengevaluasi kredit lebih konprehensif, mulai dari 1 penyediaan kredit oleh pemerintah plafon, 2 bagaimana peternak mengakses kredit, 3 bagaimana memanfaatkan kredit, 4 bagaimana dampaknya terhadap serapan tenaga kerja, peningkatan produksi dan jumlah ternak, dampaknya terhadap pendapatan, serta 5 bagaimana tingkat pengembalian KKPE. Inilah yang disebut dengan lingkaran kebajikan lima dimensi spiral yang saling berkaitan. Oleh karena itu responden yang dijadikan sampel penelitian ini adalah para peternak sapi potong dan sapi perah. Dari sisi metodologi, penelitian ini mencoba menangkap persoalan yang dihadapi peternak, mulai dari pengalaman mengakses kredit, memanfaatkannya, dampaknya, serta pengembaliannya. Teori ekonomi yang digunakan adalah teori ekonomi produksi yang pada hakekatnya adalah teori yang menjelaskan bagaimana hubungan input dan output. Dari sisi syarat memenuhi teori ekonomi produksi karena menganalisis produksi baik susu sapi maupun populasi ternak sapi potong, penggunaan tenaga kerja, bahkan pendapatan rumah tangga. Analisis aksesibilitas terhadap kredit KKPE, dampak kredit dan analisis tingkat pengembalian peternak sapi saling melengkapi model dalam penelitian ini. Dari hasil penelitian akses kredit, dampak serta tingkat pengembaliannya didapatkan: a akses peternak terhadap kredit masih bermasalah terutama dalam agunan, sehingga dapat disarankan persyaratan kredit yang lebih fleksibel, b pemanfaatan kredit umumnya untuk tujuan produktif membeli sapi, namun sebagian usahanya terganggu, sehingga terkendala dalam pengembalian, c kredit KKPE yang diterima telah memberi manfaat dalam peningkatan jumlah ternak maupun produksi susu, serta pendapatan, namun tidak berpengaruh nyata dalam peningkatan penggunaan tenaga kerja karena hanya menambah penggunaan jam kerja, serta d pengembalian kredit masih bermasalah karena adanya gangguan usaha. Kebaruan lain dari penelitian ini adalah dapat menemu-kenali instrumen kebijakan yang dapat menggerakkan kelima dimensi lingkaran kebijakan kredit program secara langsung. Instrumen yang dimaksud adalah agunan, kelompok tani dan suku bunga.

2. TINJAUAN PUSTAKA

Kredit Program di Indonesia Konsep dan Tujuan Kredit Program Sejak jaman Orde Baru, pemerintah mengucurkan kredit program selalu dalam kaitan dengan peningkatan produksi pangan. Pengertian kredit sendiri sesuai dengan UU Perbankan Nomor 10 Tahun 1998 adalah penyediaan uang atau tagihan yang dapat dipersamakan dengan itu, berdasarkan persetujuan atau kesepakatan pinjam-meminjam antara bank dengan pihak lain yang mewajibkan pihak peminjam melunasi utangnya setelah jangka waktu tertentu dengan pemberian bunga. Menurut Gilarso 1992:246 kredit adalah pemberian uang, barang atau jasa kepada pihak lain, tanpa menerima imbalan pembayaran langsung atau bersamaan tetapi dengan percaya bahwa pihak yang menerima uang atau barang tersebut akan mengembalikan atau melunasi hutangnya sesuai jangka waktu tertentu. Menurut Undang-Undang No. 14 Tahun 1967 Pasal 1c, mengenai pokok- pokok perbankan, kredit adalah penyediaan uang atau tagihan-tagihan yang dapat disamakan dengan itu berdasarkan persetujuan pinjam-meminjam antara bank dengan pihak lain. Dalam hal mana, pihak peminjam berkewajiban melunasi utangnya setelah jangka waktu tertentu dengan jumlah bunga yang telah ditentukan. Jenis-jenis kredit menurut Kasmir 2007 yang diberikan oleh bank dapat dilihat dari berbagai segi, antara lain 1 Dilihat dari segi kegunaan, 2 Dilihat dari segi tujuan kredit, 3 Dilihat dari segi jangka waktu, 4 Dilihat dari segi jaminan, 5 Dilihat dari segi sektor usaha, dan 6 Dilihat dari segi pihak yang memberikan kredit. Berdasarkan aspek- aspek tersebut berikut akan diuraikan jenis-jenis kredit dimaksud. Jeni skredit dilihat dari segi kegunaan mencakup 1 Kredit investasi yaitu kredit ini diberikan untuk keperluan perluasan usaha atau membangun proyekpabrik baru atau keperluan rehabilitasi dan 2 Kredit modal kerja yaitu kredit yang digunakan untuk keperluan meningkatkan produksi dalam operasionalnya, seperti bahan baku dan pembayaran gaji pegawai. Dilihat dari segi tujuan kredit, jenis kredit terdiri dari 1 Kredit produktif, yaitu kredit ini digunakan untuk melancarkan usaha atau produksi, misalnya sebagai modal kerja maupun investasi, 2 Kredit konsumtif yaitu kredit yang digunakan untuk memenuhi kebutuhan hidup atau konsumsi pribadi dan 3 Kredit perdagangan yaitu kredit yang digunakan untuk perdagangan, biasanya untuk membeli barang dagangan yang pembayarannya diharapkan dari hasil penjualan barang dagangan tersebut. Berdasarkan jangka waktu, jenis kredit sebagai berikut 1 Kredit jangka pendek, merupakan kredit yang memiliki jangka waktu kurang dari 1 tahun atau paling lama 1 tahun dan biasanya digunakan untuk keperluan modal kerja, 2 Kredit jangka menengah, jangka waktu kreditnya berkisar antara 1 tahun sampai dengan 3 tahun, biasanya untuk investasi dan 3 Kredit jangka panjang, merupakan kredit yang masa pengembaliannya paling panjang dimana jangka panjang waktu pengembaliannya diatas 3 tahun atau lebih. Sementara dilihat dari segi jaminan, jenis kredit dibedakan 1 Kredit dengan jaminan, yaitu kredit yang diberikan dengan suatu jaminan, jaminan tersebut dapat berbentuk barang berwujud atau tidak berwujud atau jaminan orang; 2 Kredit tanpa jaminan, yaitu kredit yang diberikan tanpa jaminan barang atau orang tertentu. Kredit jenis ini diberikan dengan melihat prospek usaha dan karakter serta loyalitas atau nama baik si calon debitur selama ini. Berdasarkan sektor usaha, jenis kredit terdiri dari kredit pertanian, kredit peternakan, kredit industri, kredit pertambangan, kredit pendidikan, kredit profesi, kredit perumahan, dan sektor-sektor lainnya. Dilihat dari segi pihak yang memberikan kredit, jenis kredit mencakup 1 Kredit Penjual adalah kredit yang diberikan kepada pembeli dengan membayar belakangan setelah barang tersebut diterima, 2 Kredit Pembeli menaruh kredit kepada penjual, tetapi barang diterima sesudah beberapa waktu seperti uang muka, 3 Kredit Bank adalah kredit yang disediakan oleh bank, baik itu digunakan untuk modal kerja, investasi maupun untuk yang lainnya, 4 Kredit Pemerintah adalah kredit yang diberikan oleh pemerintah kepada pemborong, seperti pembuatan jalan dan 5 Kredit Luar Negeri adalah kredit yang diberikan oleh luar negeri untuk pemerintah atau lembaga dalam rangka perdagangan internasional. Kredit juga dibedakan antara kredit komersial dan kredit program ditinjau dari aspek pendanaan. Pengertian kedua jenis kredit tersebut adalah sebagai berikut: a Kredit program atau kredit bersubsidi, yakni kredit yang disediakan pemerintah dalam membiayai berbagai program sektor ekonomi dengan bunga yang rendah dan persyaratan yang ringan. b Kredit komersial, yakni kredit yang di berikan oleh perbankan dengan persyaratan- persyaratan yang berlaku umum atau yang berlaku di pasar. Mengingat dalam sejarahnya, banyak kredit program yang disediakan untuk mendukung pembangunan sektor pertanian, maka Pasandaran 1989 mendefinisikan kredit tersebut sebagai kredit yang disalurkan ke pedesaan seperti berikut ini. Kredit program pemerintah merupakan kredit yang sengaja dintroduksikan ke pedesaan untuk mengisi kesenjangan dana yang tersedia di pedesaan. Pada umumnya kredit program pemerintah ini merupakan suatu kredit yang terintegrasi dengan suatu program yang sudah ditetapkan. Dengan kredit program ini, pemerintah memberikan subsidi pada beberapa hal. Menurut Hermanto 1992, pemberian subsidi diantaranya adalah 1 subsidi terhadap tingkat suku bunga; 2 subsidi terhadap biaya resiko kegagalan kredit dan 3 subsidi terhadap biaya administrasi dalam penyaluran, pelayanan dan penarikan kredit. Bila dikaitkan dengan tujuan program pemerintah, untuk meningkatkan kemandirian keuangan masyarakat pedesaan dalam membiayai pembangunan ekonominya, maka kredit program ini kurang efektif karena masyarakat pedesaan biasanya memandang kredit tersebut sebagai bantuan pemerintah semata. Modal petani dalam berusahatani terdiri dari modal sendiri dan modal dari luar pinjaman. Pinjaman tersebut ada yang bersumber dari lembaga resmiformal dan ada yang dari lembaga non formal. Modal yang berasal dari lembaga formal juga dapat dibagi menjadi pinjaman komersial dan ada yang bersubsidi. Pinjaman bersubsidi ini umumnya berkaitan dengan program pemerintah dan disebut kredit program, misalnya bantuan untuk peningkatan produksi pertanian atau untuk memperkuat permodalan pelaku usaha kecil dan menengah UKM agar mereka lebih berkembang. Adapun bentuk skim kredit program tersebut seperti dana bergulir, penguatan modal, subsidi bunga dan yang mengarah ke komersial dimana sebagian pinjaman tersebut dijamin pemerintah. Adapun peranan kredit dalam pembangunan pertanian, menurut Syukur et al. 1998 bukan hanya sebagai faktor pelancar akan tetapi juga berfungsi sebagai satu titik kritis pembangunan pertanian critical point of development. Hal ini telah mendorong pemerintah untuk menjadikannya sebagai instrumen kebijakan penting. Berbagai program bantuan kredit telah diluncurkan pemerintah sejak lama dan sumbernya ada yang berasal dari: 1 Anggaran Pembangunan dan Belanja Negara APBN, seperti Kredit Bimas, KUT, KKP, Skim Pelayanan Pembiayaan Pertanian SP3, BLM, Kredit Ketahanan Pangan dan Energi, Kredit Pengembangan Energi Nabati dan Revitalisasi Perkebunan KPEN-RP, Kredit Usaha Pembibitan Sapi KUPS, dan Kredit Usaha Rakyat KUR; dan 2 Proyek Bantuan Asing seperti Second Kennedy Round dan Program Peningkatan Pendapatan PetaniNelayan Kecil P4K. Berbagai program pembiayaan tersebut telah memberi dampak yang beragam, seperti dapat meningkatkan produksi dan mencapai swasembada padi tahun 1984 kredit Bimas, menyisakan tunggakan pembayaran dari kelompok tani hampir 75 persen dari Rp.8 triliun tahun 1999 kredit KUT, dan kredit KKP yang ditujukan untuk ketahanan pangan telah menyalurkan Rp.4.98 triliun tahun 2006. Hasil evaluasi Deptan dan JICA 2006 dalam Ashari 2009, Non Performing Loan NPL KKP untuk tanaman pangan 6.07 , tebu 0.02 , peternakan 4.03 , perikanan 14.00 , dan pengadaan barang 3.01 . Dalam perkembangannya, sejak tahun 2007 KKP diubah nomenklaturnya menjadi Kredit Ketahanan Pangan dan Energi KKPE. Hingga 2011 tingkat realisasi penyerapan skim kredit program tersebut rata-rata masih rendah, berkisar 20 persen per tahun dari total komitmen bank pelaksana sebesar Rp.8.779 triliun Kementan 2012. Kredit KUR yang dikucurkan untuk sektor pertanian sebesar Rp.3.99 triliun dari semua sektor sebesar Rp.24.40 triliun. Lebih lanjut hasil evaluasi Kementan 2012, menunjukkan bahwa rendahnya tingkat serapan kredit program tersebut disebabkan antara lain: 1 usaha pertanian dianggap perbankan mempunyai risiko yang tinggi, 2 terbatasnya penyediaan agunan yang dimiliki petani seperti sertifikat lahan yang dipersyaratkan perbankan, 3 perbankan menerapkan prinsip kehati-hatian mengingat risiko sepenuhnya ditanggung perbankan kecuali KUR dan 4 khusus calon debitur KPEN-RP masalah status lahan belum bersertifikat dan sebagian provinsikabupatenkota belum memiliki RTRWPRTRWK, 5 untuk KUR sektor pertanian sudah disediakan penjaminan sebesar 80 persen, namun suku bunga yang dibebankan petani cukup tinggi untuk KUR mikro Rp.20 juta maksimum 22 persen dan KUR ritel Rp.20 juta maksimum 14 persen per tahun. Menurut Kasmir 2007, unsur-unsur yang terkandung dalam pemberian suatu fasilitas kredit yaitu: 1 kepercayaan, 2 kesepakatan, 3 jangka waktu, 4 resiko, serta 5 balas Jasa. Lebih lanjut disebutkan bahwa tujuan pemberian kredit tidak terlepas dari misi pendirian suatu bank. Adapun tujuan utama pemberian kredit yaitu 1 Mencari keuntungan, tujuannnya untuk memperoleh hasil dari pemberian kredit tersebut; 2 Membantu usaha nasabah, tujuannya untuk membantu usaha nasabah yang memerlukan dana, baik dana investasi maupun dana untuk modal kerja; 3 Membantu pemerintah dimana bagi pemerintah, semakin banyak kredit yang disalurkan oleh pihak perbankan, maka semakin baik, mengingat semakin banyak kredit berarti adanya peningkatan pembangunan di berbagai sektor. Kemudian disamping tujuan tersebut, suatu fasilitas kredit memiliki fungsi sebagai berikut 1 Untuk meningkatkan daya guna uang, 2 Untuk meningkatkan peredaran dan lalu lintas uang, 3 Untuk meningkatkan daya guna barang, 4 Meningkatkan peredaran barang, 5 Sebagai alat stabilitas ekonomi, 6 Untuk meningkatkan kegairahan usaha, 7 Untuk meningkatkan pemerataan pendapatan, 8 Untuk meningkatkan hubungan internasional. Dalam pemberian kredit oleh bank, perlu dilakukan melalui prosedur penilaian yang benar. Biasanya kriteria penilaian yang harus dilakukan oleh bank untuk mendapatkan nasabah yang benar-benar menguntungkan dilakukan dengan analisis 4C. Kasmir 2007 menyebutkan 4C sebagai berikut 1 Capacity, untuk melihat nasabah dalam kemampuannya dalam bidang bisnis yang dihubungkan dengan pendidikannya, kemampuan bisnis juga diukur dengan kemampuannya dalam memahami tentang ketentuan-ketentuan pemerintah; 2 Capital, penggunaan modal ditinjau dari laporan keuangannya melalui pengukuran seperti likuiditas, solvabilitas, rentabilitas, dan lainnya dimana Capital ini juga harus dilihat dari sumber mana saja modal yang ada sekarang ini; 3 Collateral, merupakan jaminan yang diberikan calon nasabah baik yang bersifat fisik maupun non fisik dimana jaminan hendaknya melebihi jumlah kredit yang diberikan serta harus diteliti keabsahannya; 4 Condition, dalam menilai kredit hendaknya juga dinilai kondisi ekonomi dan politik sekarang dan di masa yang akan datang sesuai sektor masingmasing, serta prospek usaha dari sektor yang ia jalankan. Disamping keempat kriteria di atas saat ini banyak yang menambah kriteria kelima, yaitu Character. Kriteria ini menitikberatkan pada pribadi dan perilaku seseorang. Sejarah Perkembangan Kredit Program di Indonesia Dalam sejarahnya, kredit program diawali dengan penyaluran kredit untuk sektor pertanian dan kemudian berkembang dimana cakupan kredit program tersebut juga tersedia untuk sektor lainnya, namun dengan batasan masih tergolong dalam usaha mikro, kecil dan menengah UMKM. Skim kredit program pemerintah yang terkenal di masyarakat yaitu Kredit Usaha Rakyat KUR yang diperuntukkan bagi UMKM yang layak mendapatkan fasilitas kredit, namun tidak mempunyai agunan yang cukup untuk persyaratan kredit perbankan. Tujuan akhir diluncurkan program KUR adalah pengentasan kemiskinan dan penyerapan tenaga kerja. Selain KUR, skim kredit program pemerintah yang lainnya yaitu Kredit Ketahanan Pangan dan Energi KKPE dan Kredit Usaha Pembibitan Sapi KUPS. Pemerintah juga melakukan program pembiayaan untuk usaha produktif yaitu Simpan Pinjam khusus Perempuan SPP yang diberikan pada perempuan rumah tangga miskin Kusmuljono 2009. Pengembangan kredit program sektor pertanian, sejak awal kemunculannya tidak terlepas dari program intensifikasi pertanian dan program peningkatan ekonomi pedesaan dimana agenda utama dari program tersebut adalah untuk mencapai swasembada pangan. Pada awalnya, swasembada pangan lebih ditujukan pada swasembada beras mengingat beras merupakan makanan pokok sebagian besar masyarakat Indonesia sehingga kredit program sektor pertanian di awal tersebut lebih ditujukan untuk intesifikasi usahatani padi. Seiring dengan permasalam pertumbuhan penduduk yang relatif besar, konversi lahan pertanian ke sektor non pertanian dan sekaligus mengurangi ketergantungan terhadap beras maka kredit program tidak hanya diperuntukan pada pembiayaan usahatani padi, tetapi juga untuk pembiaayaan komoditi pangan lainnya. Kredit program yang pertama adalah untuk Padi Sentra pada tahun 1963 dan dilanjutkan dengan Program Bimas pada tahun 1966 dan di tahun 1969 berubah menjadi Bimas Gotong Royong. Pada tahun 1970 Bimas Gotong Royong diubah menjadi Bimas yang disempurnakan sampai dengan tahun 1985. Penyempurnaa tersebut disesuaikan dengan perkembangan permasalahan dimana Program Bimas diubah menjadi Inmas, Inmum, Insus dan Supra Insus. Secara umum Kredit Bimas dimaksudkan untuk mempercepat adopsi teknologi budidaya padi melalui pendanaan untuk pengadaan bibit