AKSESIBILITAS, PEMANFAATAN, DAMPAK EKONOMI, DAN PENGEMBALIAN KREDIT KKPE OLEH PETERNAK SAPI

seperti photo copy KTP suami –isteri, rekomendasi Kepala Desa, PPL, Camat serta Kepala Dinas Peternakan. Rekomendari dari insatansi terkait relatif tidak sulit karena umumnya dibantu oleh PPL setempat. Tabel 23 Persepsi peternak sapi penerima KKPE terhadap persyaratan dan prosedur mendapatkan kredit program KKPE No Uraian Persepsi dan Persentase Peternak Persepsi Persepsi Persepsi A. Persyaratan: Suku bunga Ringan 97.8 Sedang 2.2 Berat 0.0 Agunan Ringan 11.2 Cukup 33.7 Memberatkan 55.1 Besarankredit Kecil 2.2 Cukup 86.5 Besar 11.2 Sistem gembalian Fleksibel 91.0 Cukup 9.0 Kaku 0.0 B. Prosedur Mudah 55.1 Cukup 22.5 Rumit 22.5 C. Waktu Pencairan Cepat 31.5 Cukup 55.1 Lama 13.5 Sumber: data primer Faktor-faktor yang Mempengaruhi Aksesibilitas Peternak Sapi terhadap KKPE Analisis terhadap faktor-faktor yang mempengaruhi aksesibilitas peternak sapi terhadap kredit program KKPE dilakukan dengan menggunakan model logit. Hasil estimasi dengan menggunakan SPSS 20 menunjukkan bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi akes peternak terhadap kredit program KKPE merupakan model yang baik yang dapat dilihat dari Adjusted R-squared R 2 yang mencapai 74.0 persen dan dari nilai -2Log likelihood yang mencapai merupakan uji seluruh model sebesar 55.553. Nilai - 2Log likelihood merupakan uji seluruh model. Dengan kedua nilai tersebut menunjukkan bahwa semua peubah bebas secara bersama-sama berpengaruh nyata dan mampu menjelaskan variasi peubah tak bebas sebesar 74.0 persen dan selebihnya dijelaskan oleh variabel di luar model. Disamping itu, hasil uji ekonometrik menunjukkan bahwa model yang dibangun terbebas dari pelanggaran asumsi baik masalah normalitas, heterekedastisitas maupun multikolinier. Terdapat beberapa faktor yang diduga mempengaruhi akses peternak sapi terhadap kredit program KKPE yang mencakup karakteristik petern ak usia, pendidikan, pengalaman usaha dan rumahtangga peternak ukuran rumahtangga, luas pemilikan lahan dan pendapatan non usaha ternak sapi usaha ternak luas kandang dan pendapatan dari usaha ternak sapi serta persyaratan kredit program KKPE agunan dan keaktifan dalam kelompok tani. Hasil estimasi menunjukkan bahwa dari 10 peubah atau faktor yang diduga berpengaruh, hanya lima peubah yang memberikan pengaruh yang nyata dan dengan arah yang sesuai dengan harapan kecuali untuk peubah luas kandang. Kelima peubah tersebut adalah luas kandang, pengalaman, agunan, keaktifan dalam kelompok peternak serta pendapatan usahatani ternak. Kecuali peubah luas kandang, peubah lainnya memberikan pengaruh dengan arah yang sesuai dengan harapan dan peubah keberadaan agunan memberikan peluang yang terbesar dalam mendapatkan kredit Tabel 27. Kepemilikan agunan berpengaruh nyata dan memiliki peluang yang paling besar dalam mendapatkan kredit program KKPE dimana peubah kepemilikan agunan bertanda positif dan memiliki nilai odd ratio sebesar 652.4. Hal ini menunjukkan bahwa peluang peternak sapi yang memiliki agunan untuk mendapatkan kredit program KKPE lebih besar 652.4 kali dibandingkan dengan peternak sapi yang tidak memiliki agunan. Hal ini dikarenakan agunan menjadi syarat utama dalam mendapatkan kredit program KKPE meskipun untuk kelompok, agunan tidak harus disediakan oleh masing-masing anggota kelompok yang mengajukan kredit melainkan cukup disediakan oleh beberapa anggota yang penting nilainya memadai untuk mendapatkan sejumlah nilai kredit yang diinginkan kelompok. Sebagaimana sudah disampaikan sebelumnya bahwa setiap anggota kelompok peternak sapi yang mengajukan kredit program KKPE harus menyerahkan agunan kepada kelompok tani meskipun agunan yang diserahkan kepada pihak bank yang menyalurkan kredit program KKPE hanya milik beberapa anggota saja. Semua agunan akan disimpan oleh pengurus kelompok dan baru dikembalikan setelah pengembalian kredit program KKPE selesai dibayar atau lunas. Hal ini dilakukan kelompok karena nilai kredit dianggap relatif besar sehingga kalau terdapat salah satu anggota mengalami kemacetan dalam pengembalian kreditnya akan sangat membebani semua anggota kelompok. Tabel 24 Hasil estimasi model akses peternak sapi terhadap kredit program KPPE No Variabel B S.E. Wald Sig. ExpB 1. Usia tahun -0.016 0.046 0.129 0.720 0.984 2. Pendidikan tahun 0.161 0.125 1.650 0.199 1.175 3. Ukuran keluarga 0.058 0.316 0.033 0.855 1.060 4. Luas lahan ha 0.665 0.857 0.601 0.438 1.944 5. Luas kandang m2 -0.006 0.003 4.461 0.035 0.994 6. Pengalaman tahun 0.111 0.049 5.012 0.025 1.117 7. Agunan 6.481 1.484 19.065 0.000 652.436 8. Keanggotaan dlm Kelompok tani 3.410 1.182 8.318 0.004 30.262 9. Pendapatan dr ternak 0.000 0.000 3.442 0.064 1.000 10. Pendapatan non ternak 0.000 0.000 0.313 0.576 1.000 Constant -8.664 3.561 5.919 0.015 0.000 Nagelkerke R Square 0.740 Hosmer and Lemeshow Test 4.041 -2 Log-Likelihood Block number = 0 87.509 -2 Log-Likelihood Block number = 1 55.553 Temuan ini sejalan dengan penelitian-penelitian sebelumnya yang menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi akses terhadap kredit formal khususnya. Keberadaan jaminan mempunyai pengaruh yang signifikan di beberapa penelitian walaupun tidak semua jaminan yang dimasukan dalam model adalah jaminan berupa aset milik yang mengajukan kredit, melainkan jaminan dari seorang guarantor atau jaminan dari kelompok social collateral. Misalnya studi Ololade dan Olagunju 2013 menunjukkan bahwa keberadaan guarantor mempengaruhi akses terhadap kredit. Begitu pula dengan studi Nimoh et all 2013 yang memperlihatkan bahwa kelompokorganisasi dapat dijadikan sebagai penjamin akses terhadap kredit. Sementara hasil studi Mohamed dan Temu 2008, Ajagbe 2010 dan Sayaka dan Rudi 2011 memperlihatkan bahwa keberadaan jaminan collateral berupa aset mempengaruhi secara signifikan akses terhadap kredit. Keanggotaan dalam kelompok mempengaruhi secara positif dan signifikan akses terhadap kredit program KKPE dengan nilai odd ratio sebesar 30.3. Artinya peluang peternak sapi yang menjadi anggota kelompok untuk mendapatkan kredit program KKPE lebih besar 30.3 kali daripada peternak sapi yang tidak menjadi anggota kelompok. Walaupun sebenarnya persyaratan untuk mendapatkan kredit program KKPE bisa melalui kelompok dan bisa juga secara langsung, namun pihak bank lebih menyukai penyaluran kredit memlaui kelompok. Bank menilai bahwa penyaluran dan pengembalian kredit melalui kelompok lebih lebih efisien, mengingat perjanjian dibuat atas nama kelompok, monitoring dan pembinaan juga dapat dilakukan melalui dan dikelola oleh kelompok sehingga secara administratif lebih sederhana. Disamping itu, bagi pihak bank, kelompok peternak dapat dijadikan social collateral. Hal ini didukung oleh hasil studi Nimoh et all 2013 yang menunjukkan bahwa keanggotaan dalam kelompok mempengaruhi secara positif dan signifikan terhadap akses kredit. Pengalaman beternak sapi juga mempengaruhi akses terhadap kredit program KKPE secara positif dan siginifikan dengan nilai odd ratio sebesar 1.1. Hal ini menunjukkan bahwa semakin tinggi pengalaman peternak dalam usaha ternak, maka peluang mereka untuk mendapatkan kredit program KKPE lebih besar 1.1 dibandingkan dengan mereka yang memiliki pengalaman usaha ternak yang lebih rendah. Karena nilai odd ratio tersebut hampir mendekati 1.0 maka sebetunya dapat dikatakan bahwa semakin tinggi pengalaman dalam usaha ternak maka peluang mereka untuk mendapatkan dan tidak mendapatkan kredit program KKPE adalah sama. Hal ini menunjukkan bahwa semakin tinggi pengalaman peternak dalam usaha ternak, maka peluang mereka untuk mendapatkan kredit program KKPE lebih besar 1.1 dibandingkan dengan mereka yang memiliki pengalaman usaha ternak yang lebih rendah. Karena nilai odd ratio tersebut hampir mendekati 1.0 maka sebetunya dapat dikatakan bahwa semakin tinggi pengalaman dalam usaha ternak maka peluang mereka untuk mendapatkan dan tidak mendapatkan kredit program KKPE adalah sama. Hampir sama halnya dengan pengalaman beternak sapi, pendapatan dari usaha sapi mempengaruhi akses terhadap kredit program KKPE secara positif dan signifikan dengan nilai odd ratio sebesar 1.0. Hal ini menunjukkan bahwa semakin tinggi pendapatan usaha sapi, maka peluang mereka untuk mendapatkan dan tidak mendapatkan kredit program KKPE adalah sama. Pihak perbankan penyalur kredit program KKPE memang lebih mengutamakan peternak sapi yang sudah berpengalaman dalam beternak sapi, dengan harapan dapat menjamin keamanan pengembalian kredit. Mereka yang berpengalaman dalam beternak sapi dapat diharapkan usahanya akan berjalan lancar dan pendapatan usaha ternaknyapun akan lebih baik sehingga menjamin pengembalian kredit. Khusus untuk luas kandang, meskipun berpengaruh nyata terhadap akses mendapatkan kredit program KKPE, namun arahnya tidak sesuai dengan harapan yaitu berhubungan secara negatif dengan nilai odd ratio sebesar 0.994. Hal ini menggambarkan bahwa semakin tinggi luas kandang ternak yang dimiliki peternak maka mereka lebih berpeluang untuk tidak mendapatkan kredit. Hal ini dimungkinkan, bahwa peternak yang memiliki kandang yang relatif besar adalah peternak sapi skala relatif besar sehingga mereka tidak memerlukan atau tidak menggunakan kredit program KKPE karena mereka cukup menggunakan modal sendiri untuk mengembangkan usaha ternaknya. Karakteristik peternak seperti usia, pendidikan, ukuran rumahtangga tidak mempengaruhi akses terhadap kredit program KKPE secara nyata. Kondisi ini terjadi karena baik peternak sapi yang menggunakan kredit program KKPE maupun yang tidak menggunakan memiliki karakteristik usia, pendidikan dan ukuran rumahtangga yang hampir sama. Hal ini sejalan dengan beberapa hasil studi sebelumnya, diantaranya adalah studi Mohamed and Temu 2008 untuk ketiga peubah karakteristik peternak tersebut; studi Ololade dan Olagunju 2013 khusus untuk peubah pendidikan; dan studi Ajagbe 2013 khusus untuk peubah usia. Luas pemilikan lahan dan pendapatan di luar usahatani sapi tidak memberikan pengaruh yang nyata terhadap akses mendapatkan kredit program KKPE. Hal ini dimungkinkan karena variasi pemilikan lahan relatif sama walaupun khusus untuk pemilikan lahan selain memiliki pengaruh yang positif, juga nilai odd ratio sebesar 1.9. Artinya semakin luas pemilikan lahan, maka peluang mereka untuk mendapatkan kredit program KKPE lebih besar 1.9 kali dari mereka yang pemilikan lahannya relatif sempit. Pemanfaatan Kredit Program KKPE oleh Peternak Sapi Pemanfaatan kredit oleh peternak akan menentukan dampaknya terhadap kinerja usaha sapi penerima kredit. Pemanfaatn kredit tersebut perlu dikaji karena banyak hasil penelitian menunjukkan bahwa dalam ekonomi rumahtangga petani, pada umumnya mempunyai pola nafkah ganda atau mempunyai beberapa sumber nafkah dan umumnya tidak membedakan antara keuangan rumahtangga dan keuangan usaha. Harapannya, KKPE digunakan untuk meningkatkan modal usaha ternak sapi, baik modal kerja maupun modal tetap sehingga penggunaan kredit tersebut mampu meningkatkan populasi ternak, tenaga kerja dan pendapatan usaha ternak. Penggunaan kredit program KKPE yang kurang sesuai dengan peruntukan dikhawatirkan akan berdampak negatif pada keragaan usaha ternak sapi dan pada gilirannya pada tingkat pengembalian kredit serta keberlanjutan program KKPE itu sendiri serta program swasembada pangan dan atau daging. Kajian terhadap pemanfaatan kredit akan dilakukan secara deskriptif. Sebagaimana sudah disampaikan bahwa nilai kredit KKPE maksimum yang dapat digunakanan peternak sapi adalah Rp 100 juta sejak awal tahun 2014 dan sebelumnya hanya Rp 50 juta. Oleh karena itu pengajuan kredit KKPE per peternak melalui kelompok dalam RDKK nilai pengajuannya tidak akan melebihi nilai maksimum tersebut. Tidak semua anggota kelompok mengajukan kredit program KKPE. Berdasarkan data kelompok yang anggotanya menjadi sampel dalam penelitian ini, rata-rata jumlah anggota per kelompok yang mengajukan dan mendapatkan kredit adalah hanya sekitar 11 orang. Rata-rata nilai pengajuan kredit per kelompok adalah Rp 416.5 juta dengan rencana pemanfaatan untuk bibit ternak, pakan dan obat. Sebagian besar 86 kredit KPPE direncakan untuk membeli bibit ternak sapi, dan sisanya untuk membeli input lainnya khususnya pakan dan obat. Tidak terlihat alokasi dana kredit untuk pembuatan kandang ternak karena pada umumnya peternak sudah memiliki kandang dan dengan penambahan ternak dengan dana kredit program KKPE , kandang ternak yang sudah ada masih memadai. Dengan nilai kredit per kelompok demikian, rata-rata nilai kredit yang diterima per peternak sapi yang mengajukan kredit adalah Rp 40.8 juta Tabel 28. Nilai kredit yang diajukan per peternak tersebut lebih rendah dari kredit KKPE maksimum yang dapat digunakan. Hal ini dimungkinkan karena petani sampel terdiri dari penerima kredit berbagai tahun, sejak tahun 2011 dimana maksimum kredit yang dapat digunakan peternak berubah sepanjang waktu. Secara umum, dalam RDKK setiap kelompok akan mengajukan kredit per orang dengan nilai yang sama dan sebesar kredit maksimum yang dapat diambil. Hal ini dimungkinkan karena pihak perbankan, khususnya bagian lapangan, account officer akan membujuk kelompok dan peternak untuk memanfaatkan total kredit yang tersedia. Tabel 25. Rata-rata nilai dan penggunaan KKPE berdasarkan RDKK oleh peternak sapi dan kelompok peternak sapi No Peserta Orang Bibit ternak Pakan Rp Obat Rp Jumlah Rp Ekor Nilai Rp Peternak 1 3.3 35,166,667 4,816,667 850,000 40,833,333 Kelompok 11.2 34 358,700,000 49,130,000 8,670,000 416,500,000 Sumber: Data primer olahan Pada kenyataannya, sebagian besar peternak sapi cenderung untuk tidak mengambil nilai kredit yang maksimum mengingat beberapa keterbatasan. Peternak sapi tidak mudah untuk dapat memperluas usahanya mengingat mempunyai keterbatasan dalam penyediaan tenaga kerja, input dan sarana pendukung usahatani seperti lahan untuk pengadaan rumput. Disamping itu, tidak semua petani yang mengajukan kredit mempunyai agunan yang sesuai dan bahkan terdapat peternak yang untuk agunannya meminjam agunan milik saudara. Oleh karena itu, dalam realisasinya secara umum setiap peternak tidak menerima kredit yang sama dengan yang diajukan dalam RDKK. Sebagian peternak mendapatkan kredit dengan nilai yang lebih rendah daripada nilai kredit yang diajukan dan sebaliknya dengan sebagian peternak lainnya sebagimana yang terlihat pada Tabel 29. Sebagian besar 70 peternak sapi penerima kredit program KKPE, nilai penerimaan kreditnya kurang dari Rp 50 juta dan sebanyak 30 persen lainnya menerima kredit KKPE lebih besar sama dengan Rp 50 juta. Dari sejumlah peternak yang menerima kredit kurang dari Rp 50 juta, sekitar 57 persen diantaranya mengambil kredit kredit sebesar Rp 25 juta ke bawah. Nilai kredit KKPE tertinggi yang diterima peternak adalah Rp 200 juta dan nilai kredit KKPE terendah yang diterma peternak adalah Rp 5 juta. Penyimpangan alokasi kredit dari RDKK tidak hanya maslah nilai, tetapi juga bisa penyimpangan dalam hal jumlah peternak penerima kredit. Contoh kasus dimana dalam RDKK hanya 5 orang anggota kelompok yang mengusulkan kredit program KKPE yang masing-masing mengusulkan nilai kredit yang sama yaitu Rp. 30 juta. Setelah kredit program KKPE yang diusulkan cair, alokasi kredit itu sebagian besar untuk anggota tertentu dan yang lainnya hanya sebagian kecil atau bahkan ada yang hanya pinjam nama. Biasanya anggota penerima KKPE terbesar adalah yang memiliki nilai agunan paling besar. Diduga penyimpangan ini merupakan salah satu faktor yang menyebabkan kemacetan. Penyimpangan seperti ini lebih disebabkan oleh kelompoknya sendiri. Ketika akan mengajukan kredit, biasanya kelompok melakukan musyawarah untuk mengetahui siapa saja yang berminat dan meminta persetujuan semua anggota. Dari seluruh anggota kelompok, ada saja yang tidak bersedia ikut meminjam, baik karena tidak punya agunan maupun alasan lainnya. Apabila jumlah peserta relatif sedikit, maka pemilik agunan yang besar akan meminta dimasukkan anggota lain untuk pinjam nama atau meminta kesediaan anggota untuk menaikkan jumlah pinjamannya dan setelah cair akan diberikan kepada yang berkepentingan tersebut Tabel 26 Nilai kredit KKPE yang diterima peternak sapi sampel Nilai kredit KKPE Rp Jumlah peternak sapi penerima kredit Persentase 1. 100 juta 1 1.11 1. 100 juta 3 3.33 2. 50 juta - 100 juta 1 1.11 3. 50 juta 22 24.44 4. 25 juta - 50 juta 27 30.00 5. 25 juta 25 27.78 6. 25 juta 11 12.22 Total 90 100.00 Sumber: Data primer olahan Dalam hal pemanfaatan kredit, sebagian besar 86 peternak sampel penerima kredit memanfaatkan atau mengalokasikan kreditnya sesuai dengan yang seharusnya dalam arti semua KKPE digunakan untuk membiayai usaha ternak sapi. Sebagian kecil 5.6 peternak sampel penerima kredit, memanfaatkan kreditnya tidak hanya untuk usaha ternak tetapi juga digunakan untuk membiayai usaha lainya sperti dagang; sebagian kecil peternak sampel lainnya 8.9 menggunakan kreditnya, selain untuk usaha sapi juga digunakan untuk kegiatan konsumtif seperti membeli motor, perbaikan rumah dan sekolah anak. Dalam realisasinya, proporsi alokasi antara penggunaan untuk bibit, pakan dan obat atau mungkin kandang tidak sama persis dengan apa yang diajukan dalam RDKK, akan tetapi secara umum pemanfaatan kredit terbesar adalah untuk pembelian bibit ternak sapi dan sisanya untuk membeli pakan dan obat. Jenis ternak yang dibeli bervariasi, mulai dari Simental, Limousin atau sapi PO untuk sapi potong dan jenis peranakan FH untuk sapi perah. Bila dibandingkan, pemanfaatan kredit KKPE oleh peternak sapi potong tidak jauh beda dengan peternak sapi perah. Hanya saja kredit yang diterima peternak sapi potong sedikit lebih besar dibanding peternak sapi perah. Secara umum, dalam pemanfaatan kredit untuk usaha ternak sapi ini, lebih kepada menambah input baik dari sisi input utama bibit sapi, pakan dan obat dan belum sampai kepada merubah teknologi. Jenis sapi yang dibeli dengan menggunakan KKPE masih jenis yang sama dengan sapi yang sebelumnya biasa dibeli. Begitu pula dalam hal pakan dan obat. Dari paket kredit yang diperoleh peternak, umumnya mereka dapat membeli 2 –3 ekor sapi dewasa per orang. Dengan demikian jumlah ternak yang dipelihara peternak meningkat. Namun karena jumlah ternak yang mereka pelihara tetap masih tergolong sedikit dan belum dapat mencapai skala ekonomi, walaupun populasinya sudah bertambah dari bantuan kredit, maka penggunaan tenaga kerja tidak mengalami peningkatan. Hanya saja karena curahan waktu untuk mengurus ternak meningkat, maka jumlah jam kerja meningkat. Umumnya jumlah ternak yang dipelihara per peternak adalah 5 ekor, sehingga semua kegiatan memelihara ternak dilakukan oleh tenaga kerja dalam keluarga umumnya suami isteri dan anak, kecuali peternak besar yang sudah menggunakan tenaga kerja luar keluarga. Oleh karena itu, peternak sapi skala kecil merasakan bahwa KKPE sangat bermanfaat bagi mereka yaitu: 1 populasi ternak meningkat dari adanya pembelian anakan pedet dengan menggunakan KKPE, 2 pendapatan meningkat karena produksi susu dan penjualan ternak meningkat sehingga dapat menghidupi keluarga dan peningkatan pendidikan anak dan 3 mendapat pupuk kandang untuk keperluan pertanaman sendiri. Tabel 27 Pemanfaatan KKPE oleh Peternak Sapi untuk berbagai kegiatan Penggunaan Boyolali Semarang Total Jumlah org Persen- tase Jumlah org Persen- tase Jumlah 1. Produktif: - Khusus usaha sapi beli sapi, pakan dan kandang 45 90.0 32 80.0 77 85.5 - Usaha sapi dan usaha non sapi 2 4.0 3 7.5 5 5.6 2. Usaha sapi dan Non produktif: - Beli motor, perbaikan rumah, biaya sekolah, dll 3 6.0 5 12.5 8 8.9 Total 50 100 40 100 90 100 Sumber: Data primer olahan Dampak Ekonomi Kredit KKPE Sebelumnya disebutkan bahwa pemanfaatan kredit oleh peternak akan menentukan dampaknya terhadap kinerja usaha sapi penerima kredit. Apabila KKPE digunakan untuk meningkatkan modal usaha ternak sapi, diperkirakan akan memberi dampak positif dan penggunaan kredit program KKPE yang kurang sesuai dengan peruntukan dikhawatirkan akan berdampak negatif pada keragaan usaha ternak sapi. Kajian dampak kredit terhadap kinerja usaha ternak sapi dilakukan dengan menggunakan model regresi linier berganda dan parameternya diestimasi dengan menggunakan metode OLS dan hasilnya menunjukkan bahwa masing-masing merupakan model yang baik. Masing-masing model tersebut memiliki nilai Adjusted R-squared R 2 secara berturut-turut adalah 97 persen, 56 persen dan 37 persen. Terlihat bahwa kecuali untuk model dampak KKPE terhadap populasi sapi, model lainnya memiliki nilai R 2 yang relatif kecil, namun nilai tersebut sudah cukup memadai mengingat data yang digunakan merupakan data cross section. Disamping itu, masing-masing model tersebut memiliki nilai F hitung yang signifikan yang artinya semua peubah bebas secara bersama-sama berpengaruh nyata. Sementara hasil uji ekonometrik menunjukkan bahwa semua model yang dibangun terbebas dari pelanggaran asumsi baik masalah normalitas, heterekedastisitas maupun multikolinier. Dampak Kredit KKPE terhadap Jumlah Ternak Sapi Pendugaan parameter menunjukkan hasil yang cukup representative menjelaskan kinerja ekonomi kredit program KKPE pada ternak sapi. Hasil ini menunjukkan bahwa persamaan jumlah ternak sapi yang dibangun mampu dijelaskan oleh variabel penjelas dengan proporsi mencapai 97.2 persen. Dalam penelitian yang menggunakan data cross section, kondisi tersebut sudah termasuk ideal. Penelitian-penelitian lain yang menggunakan data cross section biasanya menghasilkan R 2 yang kecil Kusnadi 2005. Pengaruh masing-masing variabel independen terhadap variabel dependen yaitu jumlah ternak sapi secara rinci ditampilkan pada Tabel 31 berikut. Tabel 28 Hasil estimasi model linear berganda dampak KPPE terhadap jumlah ternak Model Unstandardized Coefficients t-Statistik Sig. B Std. Error Constant -0.317 0.123 -2.572 0.011 Luas Lahan 0.085 0.035 2.463 0.015 Luas Kandang 0.000 0.000 -1.710 0.090 Jumlah Kredit 0.060 0.001 58.719 0.000 TKdewasa 0.025 0.020 1.240 0.217 Keaktifan Keltan 0.170 0.072 2.370 0.019 Pendidikan 0.011 0.007 1.550 0.124 Pengalaman beternak 0.009 0.002 4.270 0.000 R 2 R 2 adjusted Prob F-Statistik F-Statististik 0.972 0.971 0.000 577.702 Sumber: Hasil olahan data primer Berdasarkan Tabel 31 yang diperoleh jumlah ternak sapi dipengaruhi oleh jumlah kredit, pengalaman, luas lahan, keikutsertaan dalam kelompok tani, dan luas kandang secara signifikan dan positif. Jumlah kredit yang diterima peternak berhubungan positif dengan jumlah ternak pada taraf nyata 1 persen. Koefisien jumlah kredit sebesar 0.060, artinya apabila jumlah kredit mengalami peningkatan satu juta rupiah, maka akan menyebabkan peningkatan populasi ternak sebesar 0.060 ekor dengan asumsi variabel independen lainnya konstan. Penelitian Mahendri 2009 juga menunjukkan hasil yang sama, dimana jumlah kredit mempengaruhi populasi ternak domba. Demikian juga dengan pengalaman beternak sapi berpengaruh positif dan nyata pada taraf 1 persen. Hal ini sejalan dengan teori fungsi produksi, dimana jika input produksi ditambah jumlah ternak ditambah yang dibeli dari kredit KKPE maka populasi atau jumlah ternak akan meningkat pula Debertin 1986. Faktor karakteristik usaha, yaitu luas lahan berhubungan positif dengan jumlah ternak dan nyata pada taraf 5 persen. Demikian juga keikutsertaan dalam kelompok tani berhubungan positif dengan jumlah ternak dan nyata pada taraf 5 persen. Selanjutnya luas kandang berhubungan positif dengan jumlah ternak dan nyata pada taraf 10 persen. Hasil analisis ini menunjukkan bahwa peternak yang meminjam kredit KKPE, maka besaran kredit tersebut berpengaruh positif dan signifikan terhadap populasi ternak. Yang menjadi permasalahan adalah walaupun kredit berpengaruh, namun peningkatan populasi ternak secara riil atau aspek perkembangan produksi ternaknya belum optimal. Faktor penyebabnya adalah rendahnya kemampuan peternak baik dari aspek produksi maupun perbankan. S esuai harapan, KKPE memberikan pengaruh yang positif dan signifikan terhadap populasi sapi dengan nilai koefisien 0.06 dan pada taraf nyata 1 persen. Artinya setiap nilai KKPE meningkat sebesar Rp 1 juta maka populasi akan meningkat sebesar 0.06 ekor sapi. Hal ini dimungkinkan karena sebagian besar 86 penerima KKPE menggunakan seluruh kreditnya untuk usaha ternak dan sebagian besar kredit tersebut lebih dari 80 digunakan untuk membeli sapi bakalan dengan rata-rata pembelian sebesar 2-3 ekor. Penelitian Mahendri 2009, Setyari 2012 dan Ammani 2012 menunjukkan hasil yang sama, dimana jumlah kredit berpengaruh positif dan signifikan terhadap jumlah ternak atau output peternakan. Pemilikan lahan berpengaruh positif dan signifikan terhadap populasi sapi dengan nilai koefisien sebesar 0.085 dan pada taraf nyata 5 persen. Artinya setiap peningkatan lahan sebesar satu hektar akan meningkatkan populasi sapi sebesar 0.085 ekor. Lahan bagi peternak mempunyai peranan penting dalam pengembangan usaha ternak. Sebagian besar peternak mengandalkan pakan ternak dari rumput yang ditanam di lahan miliknya mengingat konsentrat harganya relatif mahal dan dari waktu ke waktu cenderung meningkat. Oleh karena itu semakin luas lahan yang dimiliki peternak semakin besar kemampuan untuk menyediakan pakan dan berarti semakin besar kemampuan untuk memelihara ternak yang relatif banyak karena dapat menghemat pengeluaran cash atau tunai. Luas kandang berpengaruh positif dan signifikan terhadap populasi sapi dengan koefisien yang sangat kecil dan pada taraf nyata 10 persen. Walaupun kecil, dalam hal ini perluasan usaha sapi juga ditentukan oleh kemampuan dalam menyediakan kandang mengingat sistem b udidaya sapi di lokasi studi dilakukan dengan sistem “kereman” dan bukan dengan sistem gembala di lahan usahatani mengingat ketersediaan lahan semakin terbatas. Dampak Kredit KKPE terhadap Serapan Tenaga Kerja Secara teori penambahan modal usaha akan menambah penggunaan tenaga kerja. Dalam kaitannya dengan usaha peternakan sapi, maka penambahan modal peternak yang bersumber dari kredit KKPE digunakan untuk menambah jumlah ternak yang dipelihara. Rata-rata penambahan tenaga kerja terutama yang upahan kecil sekali, yaitu hanya 2 persen. Hal ini masuk akal karena jumlah ternak yang dipelihara tidak meningkat signifikan, yaitu dari rata-rata 4 ekor menjadi 5 ekor. Sementara secara teoritis jumlah ternak yang bisa dipelihara 1 satu tenaga kerja sekitar 10 ekor sapi perah atau 20 ekor sapi potong diluar mencari rumput. Disamping itu, sistem pemeliharaan ternak biasanya ditangani oleh semua anggota keluarga, sehingga walaupun jumlah sapi meningkat, namun tenaga kerja dalam keluarga masih dapat menanganinya. Dampak yang tampak hanyalah jumlah jam kerja anggota rumah tangga saja yang bertambah. Pada Tabel 32 ditampilkan hasil regresi Model Linear Berganda tentang faktor- faktor yang mempengaruhi penggunaan tenaga kerja. Hasil analisis menguatkan kondisi riil dimana peternak yang mendapat kredit KKPE tidak berpengaruh nyata dalam mempengaruhi penggunaan tenaga kerja, walaupun tandanya positif. Dari semua variabel yang diduga berpengaruh terhadap penggunaan tenaga kerja, hanya variabel jumlah ternak yang dipelihara yang sesuai. Variabel ini menunjukkan tanda yang positif dan berpengaruh nyata terhadap penggunaan tenaga kerja. Apabila dibandingkan dampak KKPE terhadap penggunaan TK pada peternak sapi potong dengan sapi perah, maka hasilnya juga tidak berbeda nyata. Umumnya peternak sapi potong masih belum menggunakan teknologi yang lebih maju dibanding peternak biasa. Hampir semua peternak membeli pakan konsentrat, baik ke KUD atau ke toko pakan ternak dengan mendatangi sendiri atau tinggal ditelepon. Jadi TK hanya membersihkan kandang dan memberi makan konsentrat dan rumput. Tabel 29 Hasil estimasi model linear berganda dampak KPPE terhadap TK Model Unstandardized Coefficients t-Statistik Sig. B Std. Error Constant 0.147 0.074 1.978 0.050 Jumlah kredit 0.003 0.001 2.220 0.028 Pendapatan dari ternak 7.758E-009 0.000 6.627 0.000 Jumlah ternak 0.036 0.006 5.738 0.000 Pendapatan non ternak -1.782E-009 0.000 -0.838 0.404 Luas lahan -0.059 0.054 -1.108 0.270 R 2 R 2 adjusted Prob F-Statistik F-Statististik 0.555 0.536 0.000 29.228 Sumber: Hasil olahan data primer Dalam analisis dampak KKPE terhadap penggunaan tenaga kerja, penggunaan tenaga kerja diukur dengan curahan jam kerja mengingat ditinjau dari jumlah tenaga kerja dengan penambahan populasi sapi yang didanai KKPE, secara umum tidak menyebabkan jumlah tenaga kerja meningkat mengingat skala usaha usaha ternak sapi masih tetap dalam skala yang tidak ekonomis dilihat dari penggunaan tenaga kerja. Dalam hal ini, curahan jam kerja sebagai variabel dependen diukur dengan hari orang kerja HOK dimana satu HOK setara dengan 8 jam. Hasil analisis menunjukkan bahwa KKPE memberikan pengaruh yang positif dan signifikan terhadap jumlah jam kerja. Selain itu, jumlah ternak sapi dan pendapatan dari usaha sapi juga berpengaruh positif dan signifikan terhadap jumlah jam kerja. Sementara luas lahan dan pendapatan non usaha sapi tidak berpengaruh nyata. Nilai KKPE memberikan pengaruh yang positif dan signifikan terhadap curahan jam kerja dengan nilai koefisien 0.003. Artinya setiap peningkatan kredit sebesar Rp 1 juta akan meningkatkan jam kerja sebanyak 0.003 HOK. Sebagaimana sudah diungkapkan bahwa pada umumnya KKPE yang diterima digunakan sesuai dengan seharusnya yaitu untuk membiayai usaha ternak sapi dan sebagian besar KKPE tersebut lebih dari 80 digunakan untuk membeli sapi sehingga jumlah sapi peternak meningkat 2-3 ekor. Penambahan populasi ternak tersebut tidak sampai memerlukan penambahan tenaga kerja, melainkan hanya menambah jam kerja khususnya untuk mencari tambahan pakan rumput, membersihkan sapinya, membersihkan kandang dan pemberian pakan. Jumlah ternak berpengaruh positif dan signifikan terhadap curahan jam kerja dengan nilai koefisien 0.036 dan pada taraf nyata 1 persen. Artinya setiap jumlah ternak sapi meningkat satu ekor akan menyebabkan jam kerja meningkat sebesar 0.036 HOK. Peningkatan jumlah ternak memerlukan tambahan jam kerja seperti yang sudah dikemukakan sebelumnya. Pendapatan usaha ternak sapi ju ga berpengaruh positif dan signifikan dengan nilai koefisien sebesar 7.758E-009 dan pada taraf nyata 1 persen. Nilai koefisien kecil sekali karena, pendapatan dihitung dalam satuan rupiah dimana penambahan 1 ekor ternak saja dengan harga ternak jutaan rup iah hanya meningkatkan jam kerja 0.036 HOK atau sekitar 0.3 jam. Namun demikian, dalam hal ini menunjukkan bahwa peningkatan pendapatan di usaha ternak selalu diikuti dengan peningkatan penggunaan tenaga kerja karena umumnya hasil usaha ternak dibelikan kembali sapi bakalan baik untuk sapi potongpenggemukan maupun sapi perah. Dampak Kredit KKPE terhadap Pendapatan dari Ternak Sapi Adanya penambahan modal usaha telah menambah jumlah ternak yang dipelihara para peternak. Bagi peternak sapi perah maka jumlah susu yang diperoleh meningkat dari rata-rata 40 liter per hari menjadi 50 liter. Dengan harga jual sebesar Rp.4,000liter, maka penerimaan peternak sapi akan meningkat dari Rp.160,000 per hari menjadi Rp.200,000. Bagi peternak sapi potong, dengan tambahan modal tersebut, maka peternak dapat menggemukkan sapi lebih banyak dan selanjutnya menjual lebih banyak atau lebih sering. Dengan demikian asumsinya keuntungan pun meningkat. Kredit KKPE dapat menambah sapi 2-4 ekor, maka pendapatan pun meningkat Rp.2 jutabulan. Beberapa peternak yang mendapat harga pembelian yang relatif murah dan bisa menjual dengan harga tinggi, misalnya menjualnya saat Hari Raya Idul Adha akan mendapat keuntungan yang lebih memadai. Namun tidak jarang peternak di Semarang mengalami kerugian, karena saat membeli harga sapi tinggi dan saat menjual harga sapi turun. Hasil pendugaan dampak KKPE terhadap pendapatan peternak ditampilkan pada Tabel 33. Pendapatan usaha sapi yang dimaksud dalam studi ini adalah penerimaan revenue dkurangi dengan biaya dan biaya dihitung baik atas biaya tunai maupun biaya non tunai yang diperhitungkan. Hasil analisis menunjukkan bahwa meskipun tidak berpengaruh nyata, KKPE berpengaruh positif terhadap pendapatan peternak penerima kredit. Khan et al 2007 di Pakistan menunjukkan bahwa kredit mikro memberi dampak positif, yaitu meningkatkan pendapatan peternak. Variabel lain yang berpengaruh nyata terhadap pendapatan usaha ternak sapi adalah produksi susu, jumlah ternak, luas lahan dan pendapatan non ternak sapi. Semua variabel tersebut berpengaruh positif kecuali pendapatan non ternak. Seperti sudah dikemukakan bahwa KKPE berpengaruh positif, tetapi tidak berpengaruh nyata pada pendapatan usaha ternak. Hal ini dimungkinkan karena selain beberapa peternak mengalami kegagalan usaha yang disebabkan penyakit dan ada yang hingga mengalami kematian sehingga usaha ternak yang dibiayai kredit mengalami kerugian, umumnya terjadi pada peternak yang tidakkurang memiliki pengalaman beternak; di pihak lain juga pendapatan dari usaha ternak yang dibiayai kredit tidak terlalu memberikan keuntungan mengingat beberapa permasalahan yang dihadapi. Permasalahan tersebut adalah 1 Peternak penerima kredit mengahadapi harga beli ternak yang relatif mahal ketika dana KKPE cair dan sebaliknya menghadapi harga yang relatif murah ketika harus menjual ternak untuk membayarkan cicilan kredit dan penjualan tersebut tidak dapat dihindari; 2 Suku bunga dan harga pakan konsentrat yang cenderung meningkat mengurangi potens i keuntungan; 3 Pakan ternak yang lebih mengutamakan rumput menyebabkan pertambahan berat badan ternak tidak terlalu besar atau tidak optimal. Tabel 30 Hasil estimasi model linear berganda dampak KPPE terhadap pendapatan Model Unstandardized Coefficients t-Statistik Sig. B Std. Error Constant 4290889.266 5534186.977 0.775 0.440 Jumlah kredit 95908.373 102137.132 0.939 0.350 Produksi susu 2234035.583 411952.335 5.423 0.000 Jumlah ternak 2206472.612 411619.283 5.360 0.000 Pendapatan non ternak -0.320 0.151 -2.121 0.036 Luas lahan 9740647.143 3684272.686 2.644 0.009 R 2 R 2 adjusted Prob F-Statistik F-Statististik 0373 0.346 0.000 13.918 Sumber: Hasil olahan data primer Jumlah ternak sapi memberikan pengaruh yang positif dan signifikan dengan nilai koefisien 2206472.6 dan pada taraf nyata 5 persen. Artinya setiap ternak sapi meningkat satu ekor akan menambah pendapatan sebesar Rp 2.21 juta. Hal ini dimungkinkan karena jika sapinya merupakan sapi potong atau penggemukan, maka dalam setahun dapat dilakukan maksimal hingga tiga kali penggemukan. Penelitian Napitupulu 1987 di Jawa Tengah juga menunjukkan hasil yang sejalan, yaitu jumlah sapi yang dipelihara mempengaruhi pendapatan peternak sapi. Demikian juga penelitian Ekowati 2012 terhadap ternak sapi potong di beberapa kabupaten di Jawa Tengah menunjukkan hasil yang sama. Produksi susu memberikan pengaruh yang positif dan signifikan dengan nilai koefisien 2234035.6 dan pada taraf nyata 5 persen. Artinya setiap produksi susu meningkat 1 liter per hari maka akan meningkatkan pendapatan sebesar Rp 2 .23 juta per tahun. Bagi peternak sapi perah, sumber pendapatan utama dari usaha sapinya adalah hasil penjualan susu sapinya, meskipun kadang juga mendapatkan hasi l penjualan dari penjualan sapi afkir atau sapi yang sudah tidak laktasi lagi dan sapi pedet. Luas lahan memberikan pengaruh yang positif dan signifikan dengan nilai koefisien 9740647.143 dan pada taraf nyata 5 persen. Artinya setiap peningkatan lahan sebesar 1 hektar akan meningkatkan pendapatan usaha sapi sebesar Rp 9 .7 juta. Sebagaimana sudah disampaikan bahwa Lahan bagi peternak mempunyai peranan penting dalam pengembangan usaha ternak karena setiap peternak mengandalkan pakan ternak dari rumput yang ditanam di lahan miliknya mengingat konsentrat harganya relatif mahal dan dari waktu ke waktu cenderung meningkat. Dengan demikian, semakin luas pemilikan lahan peternak maka pemilikan ternak juga akan semakin besar karena mempunyai kemampuan yang lebih besar dalam penyediaan pakan ternak khususnya rumput. Dengan pemilikan ternak yang relatif besar memungkinkan petani untuk memperoleh pendapatan yang lebih besar. Di sisi lain, pendapatan non usaha ternak sapi berpengaruh signifikan, tetapi pengaruhnya negatif. Hal ini dimungkinkan karena antara usaha ternak sapi dan usaha non ternak sapi lebih bersifat substitusi khususnya dalam hal penggunaan tenaga kerja. Pada umumnya peternak memiliki pola nafkah ganda dalam arti sumber pendapatannya tidak hanya dari usaha ternak sapi, tetapi juga dari usaha pertanian lainnya atau non pertanian. Ketika usaha non ternak sapi mengalami perkembangan dan memerlukan peningkatan jam kerja, maka alokasi waktu untuk usaha ternak sapi akan berkurang sedemikian rupa sehingga memungkinkan mengurangi jumlah ternak yang dipelihara atau ternak menjadi kurang perawatan sehingga produksi susu atau peningkatan berat badan sapi penggemukan tidak optimal dan pada gilirannya menyebabkan pendapatan usaha ternak menurun. Dampak Hambatan Kredit terhadap Pengembangan Usaha Perbedaan nyata dari peternak yang berpartisipasi dalam KKPE dengan peternak non KKPE adalah adanya tambahan modal yang berkisar 25 juta sampai 50 juta per peternak. Tambahan modal ini telah memberi manfaat bagi petern ak dalam peningkatan populasi dan peningkatan pendapatan. Pendapatan usaha ternak sapi tampaknya relatif kecil, namun karena merupakan usaha sampingan, maka tetap memberi peran bagi pendapatan keluarga. Disamping itu apabila peternak membutuhkan uang yang mendadak, maka peternak dapat menjual sapinya dengan segera dan dengan mudah untuk menutupi kebutuhan tersebut. Beberapa peternak lain tidak memanfaatkan KKPE disebabkan oleh beberapa faktor yang disebutkan sebelumnya, seperti adanya hambatan asimetri kredit atau ketiadaan agunan. Walaupun pendapatan dari usaha ternak relatif kecil, namun mengacu dari kondisi tata laksana yang dilakukan peternak dapat disampaikan bahwa usaha ternak rakyat sapi potong perlu dikelola dengan lebih baik melalui peningkatan ketrampilan. Jika hal tersebut dikelola secara baik dengan berorientasi usaha bisnis maka sangat dimungkinkan dapat memberikan peluang pengembangan bagi subsektor peternakan dan juga dapat merupakan kesempatan kerja bagi masyarakat pedesaan. Faktor Penentu Tingkat Pengembalian KKPE oleh Peternak Sapi Salah satu indikator dari keberhasilan pengembagan kredit termasuk kredit KKPE adalah tingkat pengembalian kredit karena tingkat pengembalian kredit tersebut akan menentukan keberlanjutan pengembangan kredit tersebut. Keberlanjutan kredit program KKPE sangat penting dalam pembangunan ekonomi di Indonesia, selain dalam rangka mengatasi keterbatasan modal peternak juga untuk mendukung pencapaian ketahanan pangan dimana menjaga ketahanan pangan selalu menjadi prioritas dalam pembangunan nasional. Pada bagian ini, akan dikaji tentang pengembalian kredit KKPE dari mulai pembahasan tingkat pengembalian kredit KKPE di tingkat wilayah berdasarkan data sekunder, kemudian dilanjutkan dengan pembahasan tingkat pengembalian kredit KKPE di tingkat petani dan kelompok berdasarkan data primer serta diakhiri dengan mengkaji hasil analisis faktor penentu pengembalian kredit yang mencakup faktor sosial ekonomi peternak sapi dan faktor kelembagaan dalam penyaluran kredit KKPE. Keragaan Tingkat Pengembalian KKPE di Jawa Tengah Tingkat pengembalian kredit pada bagian ini akan diproksi dengan non performing loan atau biasa disingkat dengan NPL. Baik tingkat pegembalian kredit maupun NPL pada prinsipnya sama-sama menggambarkan keragaan pengembalian kredit hanya pendekatannya saja yang berbeda. Tingkat pengembalian kredit melihat keragaan pengembalian kredit dari sisi jumlah kredit yang telah dikembalikan dibandingkan dengan yang seharusnya dikembalikan dan sebaliknya dengan NPL. Dengan NPL, keragaan pengembalian kredit ditinjau dari sisi sisa kredit yang belum dibayarkan peminjam dibandingkan dengan total kredit yang seharusnya dibayarkan. Artinya, semakin besar tingkat NPL maka tingkat pengembalian semakin kecil serta sebaliknya. Tingkat NPL yang relatif besar atau tingkat pengembalian kredit yang relatif kecil menunjukkan keragaan pengembalian kredit yang buruk serta sebaliknya. Keragaan pengembalian kredit dengan menggunakan NPL ini biasanya dikeluarkan oleh pihak perbankan atau lembaga kuangan formal lainnya. Menurut Surat Edaran Bank Indonesia No. 330DPNP Tanggal 14 Desember 2001, NPL dihitung dari rasio antara jumlah kredit kurang lancar, kredit diragukan dan kredit macet terhadap total kredit yang diberikan yang biasanya dihitung dalam persentase. Nilai NPL yang relatif besar dapat menimbulkan masalah bagi kesehatan bank atau lembaga keuangan, oleh karena itu bank dituntut untuk selalu menjaga kredit tidak dalam posisi NPL yang tinggi. Dalam hal ini Bank Indonesia menetapkan bahwa tingkat NPL yang wajar adalah  5 dari total portofolio kreditnya. Di Jawa Tengah terdapat beberapa bank yang ditetapkan pemerintah untuk dapat menyalurkan kredit KPPE, namun yang dominan penyalurannya adalah Bank BRI dan Bank Jateng. Berdasarkan data dari Bank Janteng Provinsi Jateng, tingkat NPL kredit ternak sapi di di Provinsi Jawa Tengah adalah sekitar 12.6 persen per Desember 2014 dari outstanding kredit KKPE ternak sapi Bank Jateng; sementara berdasarkan data Kanwil BRI Jateng, nilai NPL tersebut hanya sekitar 5.5 persen. Secara umum nilai NPL kredit KKPE sapi tersebut baik di BRI maupun Bank Jateng tergolong relatif besar karena lebih dari 5 persen. Tingkat NPL kredit KKPE sapi di Bank Jateng jauh lebih besar dari pada di BRI. Hal ini dimungkinkan karena Bank Jateng masih baru menangani penyaluran kredit ke sektor riil, biasanya Bank Jateng lebih banyak melayani kredit konsumsi dari para pegawai negeri atau pegawai pemerintah. Di Kabupaten Semarang, lokasi survey studi ini, nilai NPL untuk kredit KKPE sapi baik di BRI maupun di Bank Jateng relatif besar, jauh lebih besar dari 5 persen, namun untuk tingkat NPL Bank BRI lebih besar daripada tingkat NPL di provinsi dan lebih besar daripada tingkat NPL Bank Jateng Gambar 22. Nilai NPL yang relatif besar menunjukkan tingkat kemacetan kredit yang relatif besar dan berarti tingkat pengembalian kredit yang relatif kecil. Tingkat NPL BRI yang relatif besar ini disebabkan selain penyaluran kredit KKPE oleh BRI sudah lebih dahulu, juga nilai kredit yang disalurkan oleh BRI jauh lebih besar. Dalam kurun waktu 2010-2014, total kredit KKPE yang disalurkan BRI Kabupaten Semarang adalah Rp 138.4 milyar, sementara yang disalurkan oleh Bank Jateng Kabupaten Semarang hanya Rp 35 milyar. Sumber: data primer olahan Gambar 22 Perkembangan NPL Kredit KKPE Sapi yang Disalurkan Bank Jateng dan BRI di Kabupaten Semarang Dalam kurun waktu 2013-2014, tingkat NPL kredit program KKPE untuk komoditas sapi di Kabupaten Semarang baik yang disalurkan oleh BRI maupun Bank Jateng cenderung meningkat dari tahun ke tahun kecuali di tahun 2014 untuk NPL BRI. Hal ini menunjukkan bahwa tingkat kemacetan kredit semakin besar hingga tahun 2013 dan 2014 mengalami penurunan. Penurunan nilai NPL BRI di tahun 2014 terjadi karena pihak bank melakukan pengendalian penyaluran kredit tersebut sedemikan sehingga mampu menurunkan tingkat kemacetan kredit atau NPL. Dengan membedakan sapi potong dan sapi perah, terlihat bahwa tingkat kemacetan kredit atau NPL kredit program KKPE untuk sapi perah lebih besar daripada tingkat kemacetan kredit program KKPE untuk sapi potong Gambar 22. Hal ini disebabkan beberapa faktor 1 beberapa sapi perah mengalami gangguna penyakit hingga ada yang mengalami kematian dan kelumpuhan milk fever, terutama terjadi setelah sapi melahirkan dan ini terkait dengan masalah pemelihraan yang kurang baik; 2 harga sapi yang fluktuatif, terutama harga sapi cenderung meningkat tajam pada saat pencairan kredit program KKPE dan sebaliknya ketika pada saat cicilan kredit program KKPE harus dilakukan, 3 pemanfaatan kredit program KKPE yang tidak kurang sesuai dan 4 adanya rent-seeker atau perilaku moral hazard dalam penyaluran kredit program KKPE di tingkat kelompok tani yang dilakukan oleh pengurus dan ada indikasi pihak bank terutama pegawai lapang dalam upaya mencapai target pemasaran. Berbeda halnya dengan keragaan pengembalian kredit di Kabupaten Semarang, di Kabupaten Boyolali yang juga lokasi survey, baik di Bank Jateng maupun di BRI menunjukkan bahwa tingkat pengembalian kredit sangat baik, nilai NPL adalah nol. Beberapa hal yang menyebabkan keragaan pengembalian kredit sangat baik adalah: 1. Seleksi yang ketat terhadap peternak sebagai calon debitur oleh pihak perbankan dalam menilai kelayakan usaha peternak 2. Seleksi yang ketat dilakukan di dalam kelompok dalam memilih anggota peternak yang bisa mengajukan kredit 2. Kelompok umumnya aktif, tidak hanya mengadakan pertemuan rutin per 40 hari yang biasa disebut dengan “Selapanan”, juga aktif dalam aktivitas ekonomi bersama baik dalam hal pengadaan input produksi ataupun pemasaran output bahkan banyak yang melakukan pengelolaan cicilan tanpa menunggu saat cicilan ke bank tiba. Umumnya dilakukan pada kelompok peternak sapi perah yang melakukan kegiatan pemasaran bersama hasil produksi susu yang dilakukan setiap hari. Hasil penjualan susu tersebut akan dipotong langsung oleh pengurus kelompok untuk dapat menyicil kredit sedikit demi sedikit. 3. Peran yang baik dari penyuluh dalam merekomendasikan kelompok yang dapat mengajukan KKPE 4. Terdapat Asosiasi Peternak Sapi Indonesia ASPIN yang berperan aktif dalam merekomendasikan kelompok yang mengajukan kredit dan melakukan pembinaan terhadap petani dan kelompk tani 5. Monitoring berkala dari perbankan dan penyuluh. Tingkat Pengambalian Kredit Program KKPE di Tingkat Peternak Sapi Keragaan pengembalian kredit di tingkat petani yang diukur dengan rasio nilai cicilan kredit yang telah dibayarkan terhadap nilai kredit yang seharusnya dapat dilihat pada Tabel 34. Sebagian besar petani 86.7 keragaan pengembalian kreditnya baik, artinya tingkat pengembalian kreditnya mencapai 100 persen atau tidak terjadi kemacetan kredit sama sekali dan ada 13.3 persen petani yang keragaan pengembalian kreditnya tidak baik atau mengalami kemacetan. Hanya 3.3 persen diantara petani yang memiliki keragaan pengembalian kredinya tidak baik, tingkat kemacetan kreditnya relatif kecil ≤5 atau tingkat pengembalian kreditnya lebih besar sama dengan 95 persen; sedangkan petani dengan tingkat pengembalian kredit yang relatif kecil atau mengalami tingkat kemacetan kredit di atas 5 persen ada 10 persen. Jika dirinci, sebetulnya terdapat petani yang tingkat pengembalian kreditnya kurang dari 70 persen yang terjadi pada 3.3 persen petani dan tingkat pengembalian kredit terendah adalah sebesar 48 persen yang dialami oleh 1.1 persen petani. Sebagaimana sudah diungkapkan, bahwa penyaluran kredit KKPE sebagian besar melalui kelompok peternak dimana pengajuan maupun transaksi penerimaan dan pengembalian kredit adalah dilakukan dan atas nama kelompok. Pendistribusian kredit kepada dan pengembalian kredit oleh anggota dikelola oleh kelompok. Oleh karena itu, dalam hal ini sangat memungkinkan adanya rent seeker atau terjadinya perilaku moral hazard oleh pengurus kelompok baik dalam pengajuan, penditribusi maupun pengembalian kredit. Pengembalian kredit yang tidak lancar kepada pihak bank atau lembaga keuangan penyalur kredit KKPE bisa terjadi karena adanya pengembalian kredit yang tidak lancar dari pihak anggotanya itu sendiri dan atau disebabkan karena adanya perilaku moral hazard oleh pengurus kelompok seperti yang terjadi di lokasi studi. Pengembaian kredit dari pihak anggota sudah dilaksanakan dengan baik, namun adanya penyalahgunaan wewenang oleh pengurus kelompok perilaku moral hazard menyebabkan pengembalian kredit kepada pihak bank atau lembaga penyalur kredit tidak lancar. Kondisi ini menyebabkan pihak anggota sangat khawatir khususnya anggota yang sertifikatnya digunakan sebagai agunan. Namun demikian hal sebaliknya dapat terjadi, seorang ketua kelompok yang bertanggungjawab dan mempunyai kemampuan keuangan yang memadai dan percaya terhadap anggota, akan menaggung angggota kelompok yang tidak lancar dengan sumber uang pribadinya untuk dapat mengembalikan kredit kepada pihak bank penyalur secara tepat waktu. Tabel 31 Keragaan tingkat pengembalian kredit di tingkat peternak sapi dan kelompok peternak sapi di Lokasi Penelitian Tingkat Pengembalian tp Kredit Persentase 1. Di tingkat peternak sapi: a. 100 86.7 b. 100 tp ≥ 95 3.3 c. 95 tp ≥ 90 4.4 d. 90 tp ≥ 80 2.2 e. 80 tp ≥ 70 0.0 f. 70 tp ≥ 60 2.2 g. 60 tp 1.1 Total jumlah peternak sapi n= 90 100.0 2. Di tingkat kelompok peternak sapi: a. Lancar 76.0 b. Tidak lancar 24.0 Total jumlah kelompok peternak sapi n= 25 100.0 Sumber: Data primer olahan Namun demikian, secara umum di lokasi survey tidak ditemukan kelompok yang mempunyai kesepakatan secara formal bersama anggota membuat mekanisme “tanggung r enteng” joint liability jika terjadi kemacetan dan faktanya memang tanggung renteng itu tidak terjadi ketika salah satu anggota kelompok mengalami wanprestasi dalam pengembalian kredit KKPE. Adanya anggota kelompok yang wanprestasi dalam kredit KKPE menjadi hal yang kurang baik dalam keutuhan kelompok . Dalam proposal pengajuan kelompok sebetulnya terdapat deklarasi formal dan tertulis bahwa kelompok akan melakukan “tanggung renteng”, namun hal ini hanya sebatas formalitas saja sebagai upaya untuk mendapatkan kredit. Kenyataannya kebanyakan anggota enggan bahkan menolak untuk ikut menalangi. Apalagi kalau kegagalan bayar karena ketidakseriusan anggota tersebut. Pada akhirnya, tanggung renteng ini akan melemah dan tidak disukai anggota untuk dilaksanakan. Hal ini dimungkinkan karena, kredit yang diterima kelompok dan anggota masing-masing relatif besar. Pagu kredit per anggota dapat mencapai Rp 50 juta dan pada kenyataannya ada anggoat yang mengambil kredit lebih dari Rp 50 juta dan ada juga yang kurang dari Rp 50 juta. Salah satunya karena terkadang terdapat anggota yang tidak ingin mengambil kredit hingga 50 juta, sementara pihak bank khususnya petugas lapang mendorong untuk mengambil kredit sebanyak jumlah anggota yang mengajukan dikalikan maksimum pagu kredit yang dapat diambil. Yang dilakukan oleh kelompok hanya sebatas membuat mekanisme atau upaya untuk mencegah terjadinya kemacetan atau pengembalian kredit yang tidak lancar oleh petani. Upaya yang dilakukan umumnya adalah tidak hanya mengadakan pertemuan rutin per 40 hari yang biasa disebut dengan “Selapanan”, juga aktif dalam aktivitas ekonomi bersama baik dalam hal pengadaan input produksi ataupun pemasaran output bahkan banyak yang melakukan pengelolaan cicilan tanpa menunggu saat cicilan ke bank tiba. Namun tidak semua kelompok melakukan upaya demikian. Dengan demikian, sebagaimana yang terlihat pada Tabel 9, tidak semua kelompok pengembalian kreditnya berjalan lancar, terlihat terdapat 24 persen kelompok yang pengembalian kreditnya tidak lancar dan 76 persen kelompok yang pengembalian kreditnya lancar. Adapun masalah yang dihadap di tingkat petani yang menyebabkan petani tidak dapat mengembalikan kreditnya secara lancar adalah 1 ternak terserang penyakit atau mengalami kelumpuhan milk fever dan terkadang hingga kematian; 2 perubahan harga ternak sapi yang cukup tajam terutama ketika terjadi pencairan kredit yang berarti saat pembelian ternak, harga ternak sapi meningkat tajam dan sebalikanya ketika saat penjualan ternak khususnya untuk membayar cicilan kredit, harga ternak mengalami penurunan yang juga tajam, 3 penggunaan kredit yang kurang sesuai, tidak semua kredit digunakan untuk usaha produktif, usahatani sapi khususnya, sebagian kredit digunakan untuk keperluan konsumtif, 4 kurang selektif dalam menentukan peternak penerima kredit dan terlalu mengandalkan kelompok dimana ditemui beberapa anggota kelompok penerima kredit yang sebelumnya tidak punya pengalaman dalam usaha ternak sapi dan 4 willingnes to pay, terutama terkait persepsinya terhadap kredit program. Secara umum, strategi yang dilakukan peternak untuk membayar cicilan kredit pada setiap semester atau setiap tahun adalah dengan menjual sapi hasil penggemukan atau anak sapi pedet baik itu bagi peternak sapi potong maupun peternak sapi perah. Sebagian peternak sapi perah mengandalkan hasil penjualan susunya terutama jika kelompok mengelola penjualan susu, namun pada umumnya peternak sapi perah juga lebih mengandalkan hasil penjualan anak sapi karena hasil penjualan susu biasanya untuk menutupi kebutuhan sehari-hari, seperti pembelian pakan ternak dan kebutuhan rumahtangga. Disamping itu, ada juga petani yang mengandalkan hasil penjulan usahatani lainnya yang relatif bernilai dalam membayar cicilan kredit seperti menjual hasil panen tembakau dan lainnya. Kematian anak pedet yang biasanya diandalakan untuk pembayaran cicilan kredit terkadang harus dihadapi oleh peternak sapi. Hal ini terjadi karena anak sapi yang mau lahir adalah dari semen simental atau limosin, sementara induknya PO dimana dengan kondisi induk dan semen yang demikian biasanya calon pedetnya terlalu besar sehingga proses melahirkan mengalami kesulitan dan akhirnya calon pedet tersebut mengalami kematian. Untuk menanggulangi kerugian peternak, pemerintah sudah mulai menerapkan asuransi pertanian, namun hingga saat ini belum berjalan sesuai dengan yang diharapkan. Faktor fluktuasi harga sapi termasuk yang merugikan peternak. Peternak umumnya tidak dapat memanfaatkan fluktuasi harga, sehingga lebih menyukai harga yang stabil. Naik-turunnya harga pasar sapi lebih banyak menguntungkan pedagang blantik. Tahun 2010 dan 2011 harga sapi mengalami penurunan, sementara banyak peternak di Semarang akan mencicil kreditnya pada saat itu. Dengan kondisi demikian, maka untuk mencicil kreditnya petani tidak dapat cukup menjual hanya satu ekor sapi seperti yang direncakan, melainkan harus menjual dua ekor. Pada gilirannya, peternak mulai mengalami masalah dan kerugian, karena saat membeli harganya relatif tinggi dan saat menjual harganya relatif rendah. Salah satu faktor penyebab penurunan harga secara nasional adalah masuknya impor sapi bakalan dengan jumlah besar dari Australia. Data Statistik Pertanian 2013 menunjukkan jumlah impor sapi bakalan hidup masih relatif besar dari tahun 2009 – 2011, yaitu 198,460 ton tahun 2008, kemudian 208,584 ton tahun 2010 lalu menurun 118,921 ton di tahun 2011. Tim Peternakan 2012 juga menyebutkan bahwa harga sapi bakalan di Semarang cenderung berfluktuasi, terutama tahun 2009, yang juga mencerminkan kondisi peternak relatif rentan terhadap fluktuasi harga dan posisi tawar yang lemah dibanding pedagang 3 . Faktor-faktor yang Mempengaruhi Pengembalian KKPE Usaha Ternak Sapi Pada bagian ini akan dikaji hasil analisis faktor atau variabel penentu tingkat pengembalian kredit KKPE peternak sapi di Jawa Tengah. Untuk menganalisis hal tersebut digunakan model regresi linier berganda dimana parameter dalam model tersebut diestimasi dengan menggunakan metode OLS. Hasil estimasi menunjukkan bahwa model pengembalian kredit program KKPE merupakan model yang baik yang dapat dilihat dari Adjusted R-squared R 2 yang mencapai 72.7 persen dengan nilai F hitung yang signifikan. Artinya, semua peubah bebas secara bersama-sama berpengaruh nyata dan mampu menjelaskan variasi peubah tak bebas sebesar 72.7 persen dan selebihnya dijelaskan oleh variabel di luar model. Disamping itu, hasil uji ekonometrik menunjukkan bahwa model yang dibangun terbebas dari pelanggaran asumsi baik masalah normalitas, heterekedastisitas maupun multikolinier. Tabel 35 menunjukkan hasil analisis faktor penentu pengembalian kredit program KKPE dimana terdapat sepuluh variabel bebas yang diduga mempengaruhi pengembalian kredit yang dibedakan antara karakteristik sosial ekonomi rumahtangga peternak resiko usaha, pendapatan dari usaha sapi, luas kandang, jumlah ternak, dan pengalaman beternak dengan karakteristik kelembagaan penyaluran kredit program KKPE keaktifan kelompok peternak, keberadaan agunan, tingkat suku bunga, dan biaya administrasi, perbedaan wilayah. Variabel tak bebas pengembalian kredit, indikatornya adalah rasio antara nilai angsuran yang telah disetorkan dengan nilai setoran yang seharusnya yang dihitung dalam persen. Dari lima variabel sosial ekonomi rumahtangga peternak, terdapat empat variabel yang mempengaruhi pengembalian kredit secara signifikan, yaitu pendapatan dari usaha sapi, luas kandang, jumlah ternak, dan pengalaman beternak. Sementara semua peubah karakteristik kelembagaan dalam penyaluran kredit program KKPE berpengaruh signifikan terhadap pengembalian kredit program. Untuk peubah yang berpengaruh signifikan tersebut, hanya jumlah ternak yang berpengaruh negatif dan lainnya berpengaruh positif. 3 Tim Peternakan 2012: Kinerja Produksi dan Harga Daging Sapi dan Implikasinya terhadap Kebijakan Percepatan Pencapaian Target Sukses Kementerian Pertanian hal 13: pse.litbang.pertanian.go.idind...anjak_2012_11.pdf Tabel 32 Hasil estimasi model regresi pengembalian kredit program KPPE Model Unstandardized Coefficients t-statistik Sig. B Std. Error Constant -39.600 8.639 -4.584 0.000 Resiko usaha -10.981 9.455 -1.161 0.248 Perbedaan wilayah 19.920 5.753 3.463 0.001 Agunan 14.150 7.890 1.793 0.076 Keikutsertaan di keltan 18.456 7.964 2.318 0.022 Suku bunga 8.437 1.790 4.714 0.000 Biaya administrasi 6.349E-005 0.000 2.576 0.011 Pendapatan ternak 1.991E-007 0.000 2.612 0.010 Luas kandang 0.485 0.081 5.971 0.000 Jumlah ternak -5.658 0.891 -6.350 0.000 Pengalaman beternak 0.895 0.244 3.661 0.000 R-squared 0.750 Adjusted R-squared 0.727 ProbF-statistic 0.000 F-statistic 33.820 Sumber: Hasil olahan data primer Secara detail, pengaruh dari peubah karakteristik sosial dan ekonomi rumahtangga peternak sapi dan peubah karakteristik kelembagaan penyaluran kredit program KKPE terhadap pengembalian kredit program tersebut akan dijelaskan sebagai berikut. Dummy resiko usaha lumpuh, kematian dan lainnya mempunyai pengaruh yang negatif dan tidak signifikan terhadap pengembalian kredit. Artinya, peternak sapi yang mengalami resiko usaha, tingkat pengembalian kreditnya lebih kecil daripada peternak sapi yang terhindar dari resiko usaha. Hal ini dimun gkinkan karena adanya serangan penyakit dan atau kematian dapat menurunkan harga jual sapi dan atau tingkat produktivitas sapi perah yang pada gilirannya menurunkan kemampuan peternak mengembalikan kredit program KKPE dimana pengembalian kredit program KKPE sangat ditentukan oleh hasil usaha sapi. Perbedaan wilayah merupakan variabel dummy untuk melihat perbedaan antara wilayah Semarang D=1 dengan wilayah Boyolali D=0. Dari hasil analisis menunjukkan tanda yang positif dan signifikan, artinya peternak sapi di wilayah Semarang memiliki pengembalian yang lebih baik dibanding peternak di Boyolali. Kepemilikan agunan memberikan pengaruh yang signifikan dan positif pada tingkat kepercayaan 10 persen. Hubungan yang positif antara peubah dummy kepemilikan agunan dengan pengembalian kredit menunjukkan bahwa tingkat pengembalian kredit peternak sapi yang memiliki agunan lebih baik daripada tingkat pengembalian kredit peternak sapi yang tidak memiliki agunan. Variabel agunan collateral ini sangat penting bagi perbankan dalam memutuskan pemberian kredit. Agunan yang dijadikan sebagai jaminan oleh peternak akan mendorong mereka untuk patuh dan rajin dalam mengembalikan pinjaman pokok maupun bunganya. Hal ini sejalan hasil studi Anigbogu et al. 2014 yang menunjukkan bahwa dengan semakin besar nilai agunan, semangat peminjam untuk mengembalikan cicilannya sampai lunas semakin besar, karena mereka khawatir agunannya akan tergadai atau bahkan hilang yang disebabkan kredit macet. Koefisien kepemilikan agunan adalah 14.150, artinya apabila ada agunan, maka akan menyebabkan pengembalian kredit lebih baik, dengan perbedaan sebesar 14.150 dengan asumsi peubah bebas lainnya konstan. Sesuai dengan dugaan sebelumnya, variabel dummy tingkat aktivitas kelompok ini berpengaruh positif dan nyata terhadap pengembalian kredit. Signifikansinya pada tingkat kepercayaan 5 persen, artinya peternak sapi dari kelompok yang aktif, tingkat pengembalian kreditnya lebih besar daripada peternak dari kelompok yang tidak aktif. Kelompok yang aktif sangat membantu terhadap lancarnya proses pengembalian kredit karena kelompok aktif ini adalah kelompok yang mempunyai kegiatan pertemuan rutin sekitar 40 hari sekali yang biasanya disebut “Selapanan” yang dapat saling mengingatkan cicilan kredit, mempunyai kegiatan ekonomi bersama seperti pengadaan input produksi dan atau pemasaran hasil produksi, serta mengelola cicilan secara lebih rutin sebelum jatuh tempo. Suku bunga kredit program KKPE, setiap 6 bulan sekali dievaluasi pemerintah dan terkadang mengalami perubahan sehingga pengajuan kredit yang berbeda waktu memungkinkan untuk membayar kredit dengan suku bunga yang berbeda. Suku bunga kredit program KKPE lebih kecil daripada suku bunga pasar karena mendapatkan subsidi, dan peubah ini berpengaruh nyata dan positif terhadap pengembalian kredit. Hal ini dimungkinkan karena bagi peternak sapi nilai kredit ini walaupun menjadi beban, namun relatif masih terjangkau dan secara umum terbayarkan, sehingga belum sampai mengganggu pendapatan dan kapasitas pengembalian kredit. Para peternak dapat membayar cicilan bunga setiap bulan atau setiap semester ke kelompok dan oleh pengurus kelompok menyetorkan ke bank. Sama halnya dengan suku bunga, biaya administrasi memberikan pengaruh yang signifikan dan positif terhadap pengembalian kredit pada tingkat kepercayaan 5 persen. Semakin tinggi biaya administrasi semakin tinggi tingkat pengembalian kredit. Biaya administrasi adalah biaya pengajuan kredit dimana pengajuan kredit adalah atas nama kelompok kemudian biaya tersebut dibebankan kepada anggota. Menurut peternak, biaya administrasi tersebut relatif kecil dan kontribusi terbesar terhadap biaya administrasi tersebut adalah biaya akta notaris. Sementara ini biaya administrasi belum berpengaruh negatif terhadap pengembalian kredit karena hanya dikenakan sekali di awal mendapat kredit, peternak masih merasa dalam jangkauan mereka, sehingga tidak menyebabkan pengurangan tingkat pengembalian kredit. Hal yang mirip dengan penelitian Bhatt and Shui 2002 menyebutkan biaya peminjaman yang besar akan menyebabkan kegagalan dalam pembayaran kembali kredit. Sesuai dengan dugaan, pendapatan dari usaha ternak sapi berpengaruh positif terhadap pengembalian kredit program KKPE dan nyata pada taraf 10 persen. Usaha ternak sapi adalah kegiatan usaha yang dibiayai oleh kredit program KKPE, harapannya dengan adanya pembiayaan tersebut akan meningkatkan kinerja usaha sapinya, sehingga kemudian akan meningkatkan kemampuan dalam mengembalikan kreditnya. Untuk variabel luas pemilikan kandang, hasil analisis memberikan pengaruh yang positif dan nyata terhadap pengembalian kredit program KKPE. Luas pemilikan lahan kandang berpengaruh positif terhadap pengembalian kredit karena bagi petani lahan kadang ternak juga merupakan aset dan sangat diperlukan dalam melakukan kegiatan usaha sapi, bahkan merupakan salah satu aspek yang menjadi penilaian perbankan dalam memberikan kredit. Pengalaman beternak merupakan variabel bebas yang berpengaruh positif dan nyata terhadap pengembalian kredit. Artinya, peternak yang makin berpengalaman akan mendorong mereka untuk membayar kredit dengan lebih baik. Peran Kelompok tani dalam Tanggung Renteng Joint liability Dari data empiris tentang tunggakan kredit KKPE menunjukkan bahwa hanya sebagian kecil kredit yang macet tersebut dapat diselesaikan dengan baik. Terlepas dari bahwa semua peternak peminjam punya niat yang baik untuk membayar tunggakannya, pada kenyataannya persoalan kredit macet tersebut tetap berlarut-larut penyelesaiannya. Ikrar bersama ketika akan meminjam kredit KKPE ke bank adalah akan bertanggungjawab secara bersama tanggung renteng bila ada anggota kelompok yang bermasalah dalam pengembalian kredit. Namun kenyataannya menunjukkan hal sebaliknya. Sebagian besar anggota melepaskan tanggungjawab kelompoknya dan berusaha untuk melunasi kredit masing-masing saja sebagai tanggungjawab utama. Akhirnya menjadi pertanyaan, mengapa anggota kelompok tidak mentaati tanggung renteng? Bila ditinjau kredit yang dipinjam, maka besarnya umumnya dari Rp.25 juta sampai Rp.100 juta per anggota kelompok dan bisa mencapai Rp.1 milyar per kelompok. Tampaknya bila ada yang macet, maka para anggota kesulitan untuk ikut menanggung kemacetan cicilan tersebut, karena 1 masing-masing masih punya tanggungjawab cicilan yang jumlahnya jutaan, bahkan puluhan juta rupiah dan 2 umumnya para peternak adalah peternak skala kecil, sehingga akan merasa berat untuk ikut menanggung beban jutaan rupiah. Apabila dibandingkan dengan praktek tanggung renteng joint liability di skim kredit lain, misalnya oleh Grameen Bank yang berjalan baik, maka kredit KKPE ini sedikit berbeda, sehingga tidak dapat dibandingkan. Tanggung renteng di Grameen bank berjalan baik karena besarnya kredit pinjaman relative kecil, sehingga masih sangat terjangkau secara bersama. Kalau kredit KKPE plafonnya relatif besar, sementara kondisi ekonominya sangat terbatas, sehingga kalau macet akan sangat menyulitkan anggota untuk turut menanggung. Walaupun sebenarnya mereka masih punya agunan yang ditahan oleh pihak bank, tetapi umumnya mereka pasrah dan mengharap turun tangan pihak pemerintah dalam menyelesaikannya. Selama ini berbagai permasalahan dari kredit program diselesaikan pemerintah dengan pemutihan, misalnya tunggakan KUT. Demikian juga untuk kredit KKPE belum pernah kejadian ada pihak bank yang melelang agunan untuk menutupi kredit macetnya. Halaman ini sengaja dikosongkan

8. MEMBANGUN SKEMA KKPE MANDIRI BERKELANJUTAN

Kajian utama pada bagian ini adalah merumuskan skema kredit yang mandiri dan berkelanjutan dengan maksud untuk memperbaiki kelemahan model pengembangan yang selama ini telah dan sedang berjalan ditinjau dari efektifitas dan efisiensi pelaksanaan program dalam mencapai tujuannya. Diharapkan dengan penyempurnaan ini, KKPE lebih mudah diakses dan lebih mampu mendorong peningkatan produksi dan pendapatan usaha sapi di tingkat peternak sehingga peternak lebih mandiri artinya pembiayaan usaha tidak harus tergantung selamanya pada bantuan pemerintah dan sekaligus baik KKPE maupun usaha sapi tersebut berkembang secara berkelanjutan yang pada gilirannya dapat mendukung ketahanan pangan. Evaluasi dan penyempurnaan program perlu dilakukan mengingat kredit program memiliki posisi strategis dalam pembangunan ekonomi baik di tingkat makro maupun di tingkat usahatani atau rumahtangga. Disamping itu, pengadaan kredit program memiliki opportunity cost atas penggunaan dana pembangunan pemerintah. Oleh karena itu untuk merumuskan pengembangan kredit tersebut akan didahului dengan evaluasi terhadap model KKPE yang sedang berjalan yang terdiri dari sintesa terhadap hasil analisis aksesibilitas, penggunaan, dampak dan tingkat pengembalian kredit serta evaluasi terhadap sistem dan pelaksanaan KKPE tersebut. Evaluasi tersebut pada prinsipnya menggambarkan efektifitas dan efisiensi dari model atau sistem kredit program KKPE yang dimplementasikan selama ini di tingkat usahatani dan telah dianalisi pada bagian sebelumnya. Rumusan model pengembangan skema kredit juga mengacu pada model pengembangan kredit untuk usaha UMK yang dikembangkan di negara lain dan menunjukkan adanya keberhasilan. Evaluasi model kredit KKPE Sintesa analisis kredit program KKPE Sebagaimana sudah disampaikan bahwa mensintesa hasil analisis terhadap aksesibilitas, pemanfaatan, dampak dan tingkat pengembalian kredit program secara komprehensif adalah dalam upaya mengkaji efektifitas dan efisiensi program pengembangan kredit program KKPE dalam mencapai tujuannya, khususnya di tingkat usahatani. Diantara variabel-variabel tersebut mempunyai keterkaitan yang erat dalam mencapai efektifitas dan efisiensi pengembangan kredit program KKPE. Dengan demikian melalui kajian tersebut dapat diketahui indikasi keberlanjutan program dan sekaligus sebagai dasar untuk penyempurnaan pengembangan kredit program KKPE ke depan. Sintesa terhadap aksesibilitas, pemanfaatan, dampak dan tingkat pengembalian kredit secara garis besar ditampilkan pada Gambar 23. Permasalahan studi ini dimulai dengan fakta dari data sekunder bahwa ketersediaan kredit KKPE relatif besar, dalam periode 2009-2013, secara nasional ketersedian KKPE adalah sekitar Rp 41.98 triliun, namun realisasi kredit tersebut hanya mencapai Rp 12.68 triliun atau hanya sekitar 30 persen. Padahal banyak hasil studi menunjukkan bahwa petani dan pengusaha kecil umumnya membutuhkan kredit. Hasil penelitian ini, menunjukkan bahwa berdasarkan data sekunder di tingkat provinsi, untuk tahun 2013 jumlah peternak yang menggunakan KKPE relatif sedikit hanya sekitar 1.3 persen dari total jumlah peternak 941,415 peternak yang ada di Provinsi Jawa Tengah. Nilai tersebut dihitung berdasarkan nilai kredit KKPE yang terealiasi di Jawa Tengah pada tahun tersebut dengan asumsi per peternak mengambil kredit Rp 50 juta. Gambar 23 Sintesa analisis aksesibilitas, pemanfaatan, dampak dan tingkat pengembalian kredit program KKPE Ketersediaan kredit program KKPE Realisasi kredit program KKPE relatif kecil 30 Akses rendah : Dominan disebabkan tidak memiliki agunan dan informasi Tingkat penggunaan kredit KKPE relatif kecil, sekitar 1.3 Pemanfaat kredit KKPE oleh Peternak sampel: - Digunakan hanya untuk usaha ternak sapi: 86 peternak KKPE - Digunakan untuk usaha ternak sapi dan usaha lainnya : 6 peternak KKPE - Digunakan untuk usaha ternak sapi dan kegiatan non produkstif: 8 peternak KKPE Dampak kredit program KKPE: Curahan jam kerja: Positif dan signifikan Jumlah ternak: Positif dan siginifikan Pendapatan usaha ternak sapi: positif Faktor penentu akses terhadap KKPE: Kepemilikan agunan, keanggotaan dalam kelompok, pengalaman beternak dan pendapatan usaha ternak Faktor penentu pengembalian kredit: - Biaya administrasi: - - Suku bunga: - - Gangguan usaha: - - Kondisi kelompok peternak: + Tingkat pengembalian kredit relatif rendah : - NPL data sekunder: cenderung meningkat dan 2013-2014: 10 - Di Tingkat usahatani: jumlah peternak KKPE yang pengembaliannya 95 ada 10 Lainnya: pendapatan ternak + dan jumlah ternak + Lainnya: produksi susu +, jumlah ternak +, pendapatan non ternak -, luas lahan milik + Lainnya: luas lahan +, luas kandang +, keanggotaan di kelom- pok +, pengalaman + Hasil studi di lokasi survey, Kabupaten Semarang dan Kabupaten Boyolali menunjukkan bahwa petani tidak mengambil KKPE terutama karena tidak memiliki agunan dan informasi 63.4 yang terdiri dari alasan agunan 46.7 dan alasan tidak ada informasi 16.7. Alasan lain karena masih mempunyai kredit lain di bank 3.3, takut tidak dapat mengembalikan kredit 20 dan tidak membutuhkan 13.3. Berdasarkan alasan tersebut, mengindikasikan adanya potensi permintaan kredit sebesar 66.7 persen dan potensi terbesar adalah dari peternak yang tidak memiliki agunan. Berbagai hasil penelitian sudah menunjukkan bahwa salah satu cara untuk mengentaskan kemiskinan adalah dengan memberi kemudahan kepada masyarakat untuk akses kepada kredit Quach 2005. Keterbatasan asset yang dapat diagunkan selama ini menjadi faktor utama tidak aksesnya masyarakat miskin kepada kredit. Apabila hal seperti ini tidak diatasi, maka pengembangan permodalam petani relatif tetap jalan di tempat. Untuk itu harus ada terobosan yang berarti oleh pemerintah maupun pihak perbankan untuk mempermudah masyarakat mengakses dana. Meskipun peternak sampel penerima kredit menilai bahwa persyaratan dan prosedur KKPE belum sepenuhnya sesuai harapan peternak, namun secara umum peternak tersebut menilai bahwa model kredit KKPE merupakan model yang terbaik dari kredit program pemerintah selama ini. Kebaikannya antara lain suku bunga yang dikenakan bank dianggap ringan, masa pinjam kredit yang fleksibel 2 - 5 tahun, demikian juga dengan cicilan pokok dan bunga tidak harus per bulan, namun bisa sekali enam bu lan per semester bahkan cicilan pokok bisa dilakukan per tahun. Sementara untuk persyaratan agunan, sebagian besar peternak sampel penerima KKPE juga menilai bahwa persyaratan agunan tersebut sebenarnya memberatkan karena sebagian besar petani tidak memiliki agunan dan waktu pencairan KKPE dipandang lama dan cukup lama, bisa mencapai bulanan dan bahkan ada yang lebih dari satu tahun hingga peternak tersebut merasa putus asa. Sebagian peternak sampel penerima KKPE menganggap prosedur KKPE tidak rumit dan sebaliknya dengan sebagian peternak sampel. Khusus untuk plafon kredit yang dapat diajukan, hanya sebagian kecil peternak sampel penerima KKPE yang menilai relatif kecil. Oleh karena itu, sebagian besar petani sampel penerima KKPE mengambil nilai KKPE kurang dari nilai plafon KKPE Rp 50 juta. Hal ini terjadi karena terbatasnya sumberdaya manusia untuk memelihara ternak dalam skala yang lebih besar, keterbatasan lahan penghasil pakan hijauan dan umumnya mereka memiliki pola nafkah ganda atau usaha selain usaha ternak Sejauhmana penggunaan KKPE memberikan manfaat bagi pengembangan usaha ternak peternak sampel, salah satunya sangat ditentukan oleh penggunaan KKPE itu sendiri. Apakah KKPE tersebut digunakan untuk usaha ternak yang direncanakan dibiayai atau tidak. Hasil survey menunjukkan bahwa sebagian besar peternak sampel menggunakan KKPE sepenuhnya untuk pengembangan usaha ternak dan hanya sebagian kecil 14 peternak yang menggunakan KKPE tidak hanya untuk usaha ternak, tetapi juga digunakan untuk usaha lain atau kegiatan non produktif. Secara umum, sebagian besar KKPE oleh masing-masing peternak sampel digunakan untuk membeli sapi dan sisanya untuk membeli pakan. sementara penggunaan KKPE untuk membangun kandang sapi, walaupun diperbolehkan, hanya terjadi pada sebagian kecil peternak sampel khususnya peternak pemula mengingat umumnya peternak sampel sudah memiliki kandang sapi yang masih memadai dengan penambahan sapi dari KKPE. Namun demikian, meskipun sebagian besar peternak menggunakan KKPE sepenuhnya untuk kegiatan usaha ternak sapi, namun alkasi pemanfaatannya tidak sampai pada adopsi teknologi baru karena hampir semua teknologi yang ada untuk usaha kecil sudah diamanfaatkan oleh petani sperti teknologi inseminasi buatan IB, varietas sapi dan lainnya Gambar 21. Karena itu hasil survey juga menunjukkan bahwa KKPE memberikan dampak yang positif terhadap jumlah ternak yang dipelihara, pendapatan usaha ternak dan curahan jam kerja peternak. Pengaruh KKPE tersebut signifikan terhadap seluruh variabel dependen tersebut kecuali pengaruhnya terhadap pendapatan usaha ternak. Pengaruh terhadap jumlah ternak dan curahan jam kerja peternak signifikan karena semua peternak sampel menggunakan KKPE untuk membeli sapi, jadi jumlah sapinya pasti mengalami peningkatan dengan kisaran 1 hingga 7 ekor, tapi sebagian besar kurang dari 4 ekor sehingga sebagian besar peternak total pemilikan sapinya kurang dari 5 ekor. Jadi sebagian besar peternak sampel dengan adanya KKPE masih termasuk dalam skala usaha kecil. Dengan skala usaha tersebut, penambahan sapi KKPE tidak sampai menyebabkan penambahan jumlah tenaga kerja dimana satu tenaga kerja dapat mengelola 15-20 sapi potong atau sekitar 10 ekor sapi perah, melainkan hanya meningkatkan curahan jam kerja peternak. Terhadap pendapatan usaha ternah, kredit tidak berpengaruh signifikan disebabkan beberapa faktor diantaranya adalah sebagian petani sampel menggunakan KKPE tidak sepenuhnya untuk kegiatan usaha ternak, beberapa petani sampel belum mempunyai pengalaman dalam beternak sapi, flutuasi harga yang sangat tajam saat membeli sapi KKPE dan saat menjual sapi KKPE sehingga usaha ternak kurang menguntungkan serta beberapa peternak sampel KKPE nya sudah lunas. Peternak sampel yang kreditnya sudah lunas, umumnya pemilikan sapinya kembali ke semula, di satu pihak karena sapinya dijual untuk membayar cicilan kredit dan di pihak lain karena sifat usaha ternak dalam rumahtangga merupakan substitusi usaha non ternak dalam hal penggunaan tenaga kerja. Berdasarkan data sekunder, secara umum tingkat pengembalian kredit di Jawa Tengah dan lokasi studi relatif rendah diukur dengan nilai NPL. Per Desember 2014, nilai NPL bank penyalur kredit terbesar di Jawa Tengah lebih dari 5 persen. Sementara di Kabupaten Semaranglokasi studi untuk dua bank penyalur tersebut, nilai NPL dalam kurun waktu 2011-2014 cenderung meningkat dan 3 tahun terakhir nlai NPL tersebut jauh lebih besar dari 5 persen, bahkan di atas 10 persen. Di tingkat usahatani peternak sampel, terdapat 10 persen peternak yang tingkat pengembalian kreditnya kurang dari 95 persen. Meskipun pendapatan usaha ternak sapi tidak berpengaruh nyata terhadap tingkat pengembalian kredit, namun pengaruhnya positif, artinya pendapatan yang lebih kecil dapat menurunkan tingkat pengembalian kredit dan sebaliknya. Adapun faktor-faktor yang mempengaruhi tingkat pengembalian kredit secara nyata adalah keberadaan agunan, kondisi kelompok peternak, gangguan usaha, suku bunga dan biaya administrasi. Keberadaan agunan dan kondisi kelompok tani berhubungan positif dengan tingkat pengembalian kredit dan sebaliknya dengan ketiga variabel lainnya. Hal ini mengindikasikan bahwa, tingkat keamanan pengembalian kredit yang baik tidak cukup hanya mengandalkan keberaaan pemilikan agunan, tet api juga peternak penerima KKPE harus tergabung dalam kelompok peternak yang aktif,