43
b. Ditentukan oleh Undang-undang mengenai batas berlakunya suatu perjanjian, misalnya menurut Pasal 1066 ayat 3 Kitab Undang-Undang Hukum perdata
disebutkan bahwa para ahli waris dapat mengadakan perjanjian untuk selama waktu tertentu untuk tidak melakukan pemecahan harta warisan, tetapi waktu
persetujuan tersebut oleh ayat 4 dibatasi hanya dalam waktu lima tahun.
c. Ditentukan oleh para pihak atau Undang-undang bahwa perjanjian akan hapus dengan terjadinya peristiwa tertentu. Misalnya jika salah satu pihak meninggal
dunia, maka perjanjian tersebut akan berakhir. d. Pernyataan menghentikan persetujuan opzegging. Opzegging dapat dilakukan
oleh kedua belah pihak atau salah satu pihak. Opzegging hanya ada pada perjanjian-perjanjian yang bersifat sementara, misalnya:
1 Perjanjian kerja; 2 Perjanjian sewa-menyewa.
e. Perjanjian hapus karena putusan hakim. f. Tujuan perjanjian telah dicapai.
g. Berdasarkan kesepakatan para pihak herroeping.
2. Jenis-jenis dan Bentuk Perjanjian Kerjasama
Perjanjian secara umum dapat dibedakan menurut berbagai cara sehingga muncul bermacam-macam perjanjian, yaitu :
57
a. Perjanjian timbal balik adalah perjanjian yang dibuat dengan meletakkan hak dan kewajiban kepada kedua pihak yang membuat perjanjian.
b. Perjanjian sepihak adalah perjanjian yang dibuat dengan meletakkan kewajiban pada salah satu pihak saja, seperti hibah, penitipan dengan cuma-cuma, pinjam
pakai, dan lain-lain. Menurut pasal 1245 KUH Perdata risiko dalam perjanjian sepihak ditanggung
oleh kreditur atau dengan kata lain debitur tidak wajib memenuhi prestasinya. c. Perjanjian
dengan percuma
adalah perjanjian
menurut hukum
terjadi keuntungan pada salah satu pihak saja.
57
Sutarno, Aspek-aspek Hukum Perkreditan Pada Bank, Alfabeta, Jakarta, 2003, hal. 82-83.
Universitas Sumatera Utara
44
d. Perjanjian konsensuil, riil, dan formil Perjanjian konsensuil adalah perjanjian dianggap sah jika telah terjadi
konsensus atau sepakat antara para pihak yang membuat perjanjian. Perjanjian riil adalah perjanjian yang memerlukan kata sepakat tetapi barangnya pun harus
diserahkan. Perjanjian formil adalah perjanjian yang memerlukan kata sepakat tetapi
undang-undang mengharuskan perjanjian tersebut harus dibuat dengan bentuk tertentu secara tertulis dengan akta yang dibuat oleh pejabat umum Notaris atau
PPAT. e. Perjanjian bernama atau khusus dan perjanjian tak bernama.
Perjanjian bernama atau khusus adalah perjanjian yang telah diatur dengan ketentuan khusus dalam KUHPerdata Bab V sampai dengan Bab XVII.
Misalnya perjanjian jual beli, sewa menyewa, hibah dan lain-lain. Perjanjian tak bernama adalah perjanjian yang tidak diatur secara khusus dalam undang-
undang. Hukum Perjanjian bersifat terbuka dan dapat dikatakan mempunyai suatu asas
kebebasan berkontrak, artinya kebebasan yang diberikan seluas-luasnya kepada siapapun juga untuk mengadakan perjanjian yang berisi apa saja asalkan tidak
melanggar undang-undang, ketertiban umum,dan kesusilaan. Mereka boleh membuat ketentuan-ketentuan sendiri yang menyimpang dari pasal-pasal dalam hokum
perjanjian, sedangkan pasal-pasal dari hukum perjanjian merupakan hukum
Universitas Sumatera Utara
45
pelengkap, yang berarti pasal-pasal tersebut dapat dikesampingkan manakala dikehendaki oleh pihak-pihak yang membuat suatu perjanjian.
Berdasarkan jenis perjanjian tersebut, maka perjanjian kerjasama tentang penjualan Voucher hotel antara Sukma Tour dengan Hotel JW Marriot Medan
termasuk perjanjian konsensuil, karena perjanjian dianggap sah setelah terjadi konsensus atau sepakat antara para pihak yang membuat perjanjian, yaitu antara
pihak Sukma Tour dengan Hotel JW Marriot Medan. Menurut Pasal 1319 KUH Perdata, perjanjian dibedakan menjadi 2 dua
macam, yaitu:
58
1 Perjanjian Bernama nominaat Perjanjian bernama adalah perjanjian-perjanjian yang diatur dan diberi
nama oleh pembentuk undang-undang, berdasarkan tipe yang paling banyak terjadi sehari-hari. Perjanjian ini terdapat dalam Bab V-Bab XVIII
KUH Perdata.
59
2 Perjanjian Tidak Bernama innominaat Perjanjian tidak bernama yaitu perjanjian yang tidak diatur dalam KUH
Perdata, tetapi tumbuh di masyarakat. Lahirnya perjanjian ini disesuaikan dengan kebutuhan-kebutuhan pihak-pihak yang mengadakannya, seperti
perjanjian kerjasama, perjanjian pemasaran, perjanjian pengelolaan.
60
Berdasarkan uraian di atas, dapat kita ketahui bahwa perjanjian kerjasama tentang penjualan Voucher antara Sukma Tour dengan Hotel JW Marriot Medan
termasuk Perjanjian Tidak Bernama innominaat. Menurut Pasal 1319 KUH Perdata, baik perjanjian yang bernama maupun tidak bernama semua perjanjian baik yang
58
Salim H.S., Op.Cit, hlm 47.
59
Mariam Darus Badrulzaman, Kompilasi Hukum Perikatan, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 2001, hlm 67.
60
Ibid.
Universitas Sumatera Utara
46
diatur dalam KUH Perdata Buku III Bab V sampai dengan Bab XVIII dan yang terdapat di luar Buku III KUH Perdata tunduk pada ketentuan-ketentuan umum dari
KUH Perdata Buku III Bab I dan Bab II.
61
Subyek perjanjian adalah para pihak yang membuat perjanjian. Adapun subyek perjanjian dalam Perjanjian Kerjasama ini adalah:
1. Hotel JW Marriot Medan sebagai Pemberi Pelayanan Kamar Hotel room provider bertanggung jawab menyediakan kamar hotel yang dibutuhkan
konsumen. 2. PT. Eka Sukma Tour Medan sebagai penanggung atau yang bertanggung jawab
mengumpulkan dan mengelola voucher serta memboking kamar hotel yang dibutuhkan konsumen dan untuk itu mendapatkan imbalan jasa dari Hotel JW
Marriot Medan. Sedangkan yang dimaksud dalam obyek perjanjian adalah prestasi. Prestasi
dalam perjanjian kerjasama ini adalah pelayanan kamar bagi Konsumen. Berdasarkan Pasal 1601 KUH Perdata selain perjanjian-perjanjian untuk melakukan sementara
jasa-jasa, yang diatur oleh ketentuan-ketentuan yang khusus untuk itu dan oleh syarat-syarat yang diperjanjikan, dan jika itu tidak ada, oleh kebiasaan, maka adalah
dua macam perjanjian dengan mana pihak yang satu mengikatkan dirinya untuk melakukan pekerjaan bagi pihak yang lainnya dengan menerima upah. Dari uraian
tersebut dapat diketahui bahwa perjanjian kerjasama ini merupakan perjanjian untuk melakukan pekerjaan.
61
Salim H.S., Op.cit., hlm 47.
Universitas Sumatera Utara
47
Pada dasarnya suatu perjanjian tidak harus dibuat dalam suatu bentuk tetentu, artinya dapat dibuat dalam bentuk tertulis dan dapat juga juga dalam bentuk yang
tidak tertulis. Akan tetapi ada beberapa jenis perjanjian yang oleh undang-undang diharuskan dibuat dalam bentuk tertulis. Mengenai bentuk perjanjian yang dibuat
secara tertulis dapat berbentuk akta notaris dan akta dibawah tangan. Akta di bawah tangan dapat berupa perjanjian baku Perjanjian standar dan bentuk perjanjian bukan
standar. Khusus untuk perjanjian yang tidak termasuk dalam perjanjian yang diisyaratkan undang-undang untuk dibuat dalam bentuk tertulis, jika dibuat alam
bentuk tertulis akta hanya dimaksudkan untuk memudahkan dalam pembuktian apabila terjadi sengketa di kemudian hari.
Dalam prakteknya, perjanjian kerjasama penjualan Voucher Hotel dengan travel adalah dalam bentuk akta dibawah tangan. Perjanjian kerjasama dalam hal ini
dinyatakan sah dan dibuat secara tertulis dan ditandatangani oleh kedua belah pihak yang terkait di atas meterai.
Berdasarkan pasal 1867 KUHPerdata suatu akta dibagi menjadi 2 dua antara lain :
a Akta otentik adalah suatu akta yang didalam bentuk yang ditentukan oleh undang-undang, dibuat oleh atau dihadapan pegawai-pegawai umum yang
berkuasa untuk itu di tempat dimana akta dibuatnya. b Akta dibawah tangan adalah akta yang dibuat tidak dihadapan pejabat yang
berwenang atau notaris. Akta ini dibuat dan ditandatangani oleh para pihak yang membuatnya.
Universitas Sumatera Utara
48
Perjanjian di bawah tangan terdiri dari :
62
a Akta di bawah tangan biasa b Akta waarmerken, adalah suatu akta dibawah tangan yang dibuat dan
dilegalisasi oleh para pihak untuk kemudian didaftarkan pada Notaris, karena hanya didaftarkan, maka Notaris tidak bertanggung jawab terhadap materiisi
maupun tanda tangan para pihak dalam dokumen yang dibuat oleh para pihak. c Akta Legalisasi, adalah suatu akta di bawah tangan yang dibuat oleh para
pihak namun penandatangannya disaksikan oleh atau dihadapan Notaris, namun Notaris tidak bertanggung jawab terhadap materiisi dokumen
melainkan Notaris hanya bertanggung jawab terhadap tanda tangan para pihak yang bersangkutan dan tanggal ditandatanganinya dokumen tersebut.
Akta mempunyai fungsi formil formalitas causa dan fungsi sebagai alat bukti probationis causa. Akta sebagai fungsi formil artinya bahwa suatu perbuatan
hukum akan menjadi lebih lengkap apabila dibuat suatu akta. Fungsi akta lainnya adalah sebagai alat pembuktian. Dibuatnya akta oleh para pihak yang terikat dalam
suatu perjanjian ditujukan untuk pembuktian dikemudian hari. Akta otentik merupakan alat pembuktian yang sempurna bagi kedua belah pihak dan ahli warisnya
serta sekalian orang yang mendapat hak darinya tentang apa yang dimuat dalam akta tersebut vide Pasal 165 HIR, Pasal 285 Rbg, dan Pasal 1870 KUHPerdata. Akta
otentik merupakan bukti yang mengikat yang berarti kebenaran dari hal-hal
62
J. Satrio, 2001, Hukum Perikatan, Perikatan Yang Lahir Dari Perjanjian, Buku I, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, hal. 146.
Universitas Sumatera Utara
49
yangtertulis dalam akta tersebut harus diakui hakim, yaitu akta tersebut dianggap sebagai benar selama kebenarannya itu tidak ada pihak lain yang dapat membuktikan
sebaliknya. Sebaliknya, akta dibawah tangan dapat menjadi alat pembuktian yang sempurna terhadap orang yang menandatangani serta para ahli warisnya dan orang-
orang yang mendapat hak darinya hanya apabila tandatangan dalam akta dibawah tangan tersebut diakui oleh orang terhadap siapa tulisan itu hendak dipakai. vide
Pasal 1857 KUHPerdata. Apabila suatu akta dibawah tangan tidak disangkal oleh para pihak, berarti mereka mengakui dan tidak menyangkal kebenaran apa yang
tertulis pada akta dibawah tangan tersebut, sehingga sesuai pasal 1857 KUHPerdata akta dibawah tangan tersebut memperoleh kekuatan pembuktian yang sama dengan
akta otentik.
B. Implementasi Perjanjian Kerjasama Penjualan Voucher Hotel antara PT. Eka Sukma Tour dengan Hotel JW Marriot Medan
Dalam pembuatan perjanjian kerjasama untuk mewujudkan keadilan harus mewujudkan prinsip kebebasan yang sama, prinsip perbedaan, prinsip persamaan
kesempatan sehingga keseimbangan hak dan kewajiban para pihak bisa terakomodir. Beberapa tujuan pembuatan perjanjian kerjasama tersebut diantaranya adalah:
1. Sebagai acuan dalam proses kegiatan, dengan demikian semua aktivitas yang akan dilakukan oleh semua pihak yang terlibat dalam proses kerjasama, harus
mengacu pada ketentuan yang sudah diatur dalam surat perjanjian kerjasama. 2. Kepastian
transaksi, dengan
adanya surat
perjanjian tersebut
akan memberikan ketenangan semua pihak dalam transaksi tersebut. Hal ini
mengingat di dalam surat perjanjian kerjasama biasanya tercantum mengenai ketentuan bagi mereka yang tiak menepati ketentuan yang sudah disepakati
dalam proses kerjasama.
Universitas Sumatera Utara
50
3. Indikator tingkat transaksi. Semakin detail dan resmi sebuah surat perjanjian kerjsama dibuat, menunjukkan bahwa nilai transaksi yang menjadi objek
kerjasama semakin tinggi, sehingga hal ini bisa menjadi sebuah penilaian awal bagi pihak-pihak yang ingin menjalin kerjasama.
4. Panduan untuk menyelesaikan permasalahan yang mungkin timbul. Dalam surat perjanjian kerjasama pasti disebutkan mengenai proses yang akan
diambil apabila pihak-pihak yang terlibat kerjasama terdapat perbedaan sehingga menimbulkan perselisihan.
63
Perjanjian kerjasama penjualan Voucher Hotel antara PT. Eka Sukma Tour dengan Hotel JW Marriot Medan merupakan perjanjian kontraktual yang dilakukan
dibawah tangan bukan merupakan perjanjian notarial.
64
Dalam perjanjian kerjasama ini, secara sepihak Hotel JW Marriot Medan telah menetapkan sejumlah kewajiban
bagi mitranya demi mengamankan kepentingan usahanya, sekaligus membatasi sedemikian rupa hak-hak lainnya tersebut. Berbagai klausula eksonerasi exoneration
clause dirumuskan di dalamnya, sehingga tampak seolah-olah pihak Hotel JW Marriot Medan tidak mempunyai kewajiban yang cukup berarti. Dengan demikian,
asas keseimbangan dalam hukum perjanjian tidak terakomodasi dalam hal ini, yang selanjutnya juga kurang mencerminkan asas keadilan.
Dibuatnya perjanjian kerjasama penjualan Voucher Hotel tersebut dalam bentuk akta di bawah tangan didasarkan oleh efesiensi waktu dan biaya. Dalam
merancang perjanjian pihak Hotel JW Marriot menggunakan standar kontrak, dimana hal-hal yang menyangkut pelaksanaan perjanjian kerjasama penjualan Voucher Hotel
merupakan ketentuan standar yang telah ditetapkan oleh Hotel JW Marriot. Langkah
63
Anne Ahira, Membuat Perjanjian Kerjasama. AnneAhira.com, diakses tanggal 30 Oktober 2011.
64
Hasil Wawancara dengan Zulham Basry, Marketing Manager PT. Sukam Tour pada tanggal 2 Agustus 2011 di Medan.
Universitas Sumatera Utara
51
ini dilakukan dengan tujuan untuk menciptakan syarat dan kondisi yang sama dalam setiap perjanjian kerjasama penjualan Voucher Hotel kepada setiap mitra travel.
Sehingga tidak terdapat diskriminasi perlakuan syarat dan kondisi dalam perjanjian kerjasama penjualan Voucher Hotel yang harus dipatuhi oleh pihak mitra.
65
Setiap kontrak kerjasama penjualan Voucher Hotel dibuat terdiri dari 2 dua rangkap yang sama isi dan kekuatan hukumnya, masing-masing bermeterai cukup dan
ditanda tangani oleh para pihak terkait.
66
Dari perjanjian kerjasama penjualan Voucher Hotel tersebut di atas dapat disimpulkan pihak travel dalam hal ini PT. Eka
Sukma Tour tinggal menandatangani perjanjian tersebut tanpa negosiasi yang berarti. Sehingga prinsip “taked or lived” yang biasa terjadi dalam suatu perjanjian standar
berlaku juga terhadap perjanjian kerjasama penjualan Voucher Hotel, walaupun sebenarnya perjanjian pengadaan kerjasama penjualan Voucher Hotel bukanlah
perjanjian baku atau standar karena pihak travel mempunyai hak untuk ikut serta dalam merumuskan perjanjian.
Pihak travel cendrung mengabaikan mekanisme perancangan kontrak, isi kontrak dan akibat-akibat hukumnya. Hal ini dapat diketahui berdasarkan hasil
penelitian lapangan, pihak travel hanya berorientasi kepada penjualan voucher dalam arti travel hanya mempunyai target untuk dapat menjadi mitra hotel, sedangkan
permasalahan kontrak kerjasama penjualan Voucher Hotel yang akan ditandatangani
65
Hasil wawancara dengan Josephine L. Sutjipta, Sales Manager Hotel JW Marriot Medan pada tanggal 5 Agustus 2011 di Medan.
66
Hasil wawancara dengan Josephine L. Sutjipta, Loc.Cit.
Universitas Sumatera Utara
52
dilakukan tanpa negosiasi lebih lanjut.
67
Hal ini merupakan indikator lemahnya posisi tawar pihak travel dalam pembuatan perjanjian kerjasama penjualan Voucher Hotel.
Salah satu bagian yang terpenting dalam suatu perjanjian adalah isi perjanjian itu sendiri. Dari ketentuan-ketentuan yang termuat dalam suatu isi perjanjian dapat
menggambarkan kondisi dan informasi tentang apa yang disepakati oleh para pihak yang membuatnya baik secara tersurat maupun tersirat.
Berdasarkan isi perjanjian kerjasama penjualan Voucher Hotel antara PT. Eka Sukma Tour dan Hotel JW Marriot Medan, diketahui bahwa perjanjian tersebut hanya
mensyaratkan komitmen dari PT. Eka Sukma Tour, sebagai berikut: 1. Memeriksa identitas wisatawatan dan membuat reservasi
2. Menyediakan kominikasi yang konsisten dan tepat waktu kepada wisatawan. 3. Harus mencapai volume kamar room dalam jangka waktu yang telah
ditentukan. 4. Jika volume tidak terpenuhi, pihak Hotel JW Marriot berhak memutuskan
kerjasama. Menurut sudut pandang hukum, perjanjian standar tersebut adalah sah asalkan
sudah memenuhi ketentuan Pasal 1320 KUH Perdata sebagaimana disebutkan di atas. Dalam hal ini kebebasan diberikan kepada mitra kerjasama dalam hal ini PT. Eka
Sukma Tour untuk memilih atau menentukan sendiri keberadaan ikatan perjanjian tersebut. Apabila ia telah menandatangani perjanjian, secara hukum dianggap sudah
menyetujui atau menyepakati isinya, dan apabila ia tidak menyetujuinya tentunya
67
Hasil Wawancara dengan Benny Sukma, Loc.Cit.
Universitas Sumatera Utara
53
tidak akan menandatanganinya. Dengan demikian, dalam perjanjian standar, tanda tangan merupakan tanda kesepakatan.
Ketentuan-ketentuan dalam perjanjian kerjasama penjualan Voucher Hotel tersebut lebih menenkankan kewajiban mitra kerjasama daripada haknya, sebaliknya
menekankan hak Hotel JW Marriot daripada kewajibannya. Dengan demikian bahwa pelaksanaan perjanjian kerjasama penjualan Voucher Hotel antara PT. Eka Sukma
Tour dengan Hotel JW Marriot Medan merupakan perjanjian dibawah tangan bukan dalam bentuk otentik akta notariil.
Perjanjian kerjasama antara travel dengan hotel dibuat pada akta tertulis di bawah tangan. Perjanjian tersebut berfungsi sebagai alat bukti sah dan dapat
dipergunakan untuk melakukan tuntutan apabila salah satu pihak melakukan wanprestasi. Namun, apabila disangkal oleh para pihak, maka pihak yang tidak
menyangkal harus membuktikan kebenaran mengenai apa yang tertulis pada akta dibawah tangan tersebut. Hal ini tentu merupakan salah satu risiko dari suatu akta
dibawah tangan. Dalam perjanjian kerjasama antara travel dengan hotel dituntut sejelas mungkin tentang hak dan kewajiban, sanksi, waktu berlakunya perjanjian
kerjasama, dan hal-hal yang perlu dilakukan dan disepakati bersama. Tanpa adanya kejelasan dari isi dalam perjanjian kerjasama dapat merugikan salah satu pihak
merupakan kelemahan suatu perjanjian dan isi dalam perjanjian kerjasama tersebut
Universitas Sumatera Utara
54
harus dipenuhi atau dilaksanakan oleh kedua belah pihak, apabila tidak maka pihak yang tidak memenuhi perjanjian tersebut harus bertanggung jawab.
68
Adapun maksud dipersyaratkannya perjanjian tertulis dalam suatu kerjasama, karena hubungan kerjasama yang mempunyai prinsip saling memerlukan dan
menguntungkan itu diikat dalam suatu perjanjian dengan akta dibawah tangan untuk memberikan dasar atau landasan dalam hubungan kerjasama tersebut. Dengan
demikian menurut hemat penulis, bahwa dasar hubungan antara travel dengan hotel adalah suatu perjanjian kerjasama yang berisi hak dan kewajiban para pihak.
Perjanjian yang terjadi antara travel dengan hotel dalam penjualan voucher hotel dikategorikan sebagai perjanjian tidak bernama yaitu perjanjian yang muncul
seiring dengan perkembangan masyarakat. Perjanjian kerjasama ini tidak diatur di dalam KUHPerdata, tetapi terdapat di dalam masyarakat. Jumlah perjanjian ini tidak
terbatas dengan nama yang disesuaikan dengan kebutuhan pihak-pihak yang mengadakannya, seperti perjanjian kerjasama penjualan voucher.
Perjanjian tidak bernama menurut J. Satrio merupakan perjanjian-perjanjian yang belum mendapat pengaturannya secara khusus dalam undang-undang.
69
Demikian pula dengan perjanjian kerjasama ini, tidak mempunyai nama tertentu dan tidak diatur secara khusus. Dalam buku ke-III KUHPerdata kita dapat mencari dasar
hukumnya dari perbuatan perjanjian kerjasama yaitu dengan menafsirkan buku ke-III KUHPerdata tersebut sebagai penganut asas kebebasan berkontrak. Dalam hal
68
Djulmiaji, F.X. Perjanjian Kerja, Bumi Aksara, Jakarta, 2001, hal. 58.
69
J. Satrio, Op.Cit, hal. 149.
Universitas Sumatera Utara
55
memuat suatu perjanjian, tegasnya dapat dilihat dalam pasal 1338 ayat 1 KUHPerdata yang menyatakan : “Semua persetujuan yang dibuat secara sah berlaku sebagai
undang-undang bagi mereka yang membuatnya”. Berpedoman pada ketentuan tersebut, maka perjanjian apa saja yang dibuat
menurut persyaratan yang telah ditentukan oleh undang-undang adalah sah dan mempunyai kekuatan hukum untuk mengikat para pihak yang telah mengadakannya.
Sebenarnya yang dimaksud dengan pasal tersebut tidak lain adalah menyatakan bahwa orang bebas membuat segala bentuk perjanjian yang disukainya, asal tidak
melanggar ketentuan dari pasal 1320 KUHPedata.
Universitas Sumatera Utara
56
BAB III KEDUDUKAN PARA PIHAK DALAM PERJANJIAN KERJASAMA
PENJUALAN VOUCHER HOTEL ANTARA PT. EKA SUKMA TOUR DENGAN HOTEL JW MARRIOT MEDAN
A. Kekuatan Mengikat Perjanjian Terhadap Para Pihak
Pasal 1315 KUH Perdata memberikan penjelasan tentang terhadap siapa sajakah suatu perjanjian mempunyai pengaruh langsung. Bahwa perjanjian mengikat
para pihak sendiri adalah logis, dalam arti, bahwa hak dan kewajiban yang timbul dari adanya suatu perjanjian hanyalah untuk para pihak saja.
Pasal 1315 KUH Perdata, “Pada umumnya tak seorang dapat mengikatkan diri atas nama sendiri atau meminta
ditetapkannya suatu janji dari pada untuk diri sendiri.” Jadi orang bebas membuat perjanjian, bebas untuk menentukan isi, luas dan
bentuknya perjanjian sebagaimana yang dijelaskan dalam Pasal 1338 KUH Perdata: “Semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi
mereka yang membuatnya” “Suatu perjanjian tidak dapat ditarik kembali selain dengan sepakat kedua belah
pihak, atau karena alasan-alasan yang oleh undang-undang dinyatakan cukup untuk itu”
“Suatu perjanjian harus dilaksanakan dengan itikad baik”
56
Universitas Sumatera Utara
57
Menurut Rutten, azas-azas Hukum Perjanjian yang diatur dalam Pasal 1338 KUH Perdata ada 3 tiga, yaitu :
70
1. Azas Konsensualisme, bahwa perjanjian yang dibuat itu pada umumnya bukan secara formil tetapi konsensuil, artinya perjanjian itu selesai karena
persetujuan kehendak atau konsensus semata-mata. 2. Azas kekuatan mengikat dari perjanjian, bahwa pihak-pihak harus
memenuhi apa yang telah dijanjikan, sebagaimana disebutkan dalam Pasal 1338 KUH Perdata; bahwa perjanjian berlaku sebagai Undang-Undang
bagi para pihak. 3. Azas kebebasan berkontrak, dalam hal ini orang bebas membuat atau tidak
membuat perjanjian, bebas menentukan isi, berlakunya dan syarat-syarat perjanjian, dengan bentuk tertentu atau tidak dan bebas memilih Undang-
Undang mana yang akan dipakai untuk perjanjian itu.
Demikianlah seterusnya dapat ditarik kesimpulan di dalam perjanjian terkandung suatu asas kekuatan mengikat. Terikatnya para pihak pada perjanjian itu
tidak semata-mata terbatas pada apa yang diperjanjikan akan tetapi juga terhadap beberapa unsur lain sepanjang dikehendaki oleh kebiasaan dan kepatutan serta moral.
Demikianlah sehingga asas-asas moral, kepatutan dan kebiasaan yang mengikat para pihak.
71
Pasal 1339 KUH Perdata: “Suatu perjanjian tidak hanya mengikat untuk hal-hal yang dengan tegas dinyatakan
di dalamnya, tetapi juga untuk segala sesuatu yang menurut sifat perjanjian, diharuskan oleh kepatutan, kebiasaan atau undang-undang”.
70
Rutten dalam Purwahid Patrik, Asas Iktikad Baik dan Kepatutan dalam Perjanjian, Badan Penerbit UNDIP Semarang, 1986, hlm. 3.
71
Mariam Darus Badrulzaman, dkk, Kompilasi Hukum Perikatan Dalam Rangka Menyambut Masa Purna Bakti Usia 70 Tahun, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 2001, hlm 87-88
Universitas Sumatera Utara
58
Suatu perjanjian tidak diperkenankan merugikan pihak ketiga, hal ini sesuai dengan Pasal 1340 KUH Perdata: “Suatu perjanjian hanya berlaku antara pihak-pihak
yang membuatnya”. Suatu perjanjian tidak dapat membawa rugi kepada pihak-pihak ketiga; tak
dapat pihak-pihak ketiga mendapat manfaat karenanya, selain dalam hal yang diatur dalam Pasal 1317 KUH Perdata.
Pihak ketiga adalah mereka yang bukan merupakan pihak dalam suatu perjanjian dan juga bukan penerimapengoper hak rechtsverkrijgenden, baik
berdasarkan alas hak umum maupun alas hak khusus. Suatu perjanjian menimbulkan hak dan kewajiban antara para pihak. Isi hak
dan kewajiban tersebut selain ditentukan oleh hukum yang memaksa juga sudah tentu oleh sepakat para pihak. Namun disamping itu hukum yang menambah juga mengisi
kekosongan dalam perjanjian mereka, yaitu apabila mereka tidak secara tegas mengaturnya secara menyimpang. Adanya kesempatan kepada para pihak untuk
menyimpangi ketentuan yang bersifat menambah itu, ada kalanya memberikan kesempatan kepada si kuat untuk menyingkirkan tanggung jawab tertentu, bahkan ada
kalanya menggesernya ke pundak lawan janjinya, dengan memperjanjikan suatu klausula, yang biasa disebut exoneratie-clausul. Dengan adanya kesempatan seperti
itu kita sudah dapat menduga, bahwa kemungkinan terjadi, bahwa klausula exoneratie mempunyai kaitan dengan penyalahgunaan keadaan.
Universitas Sumatera Utara
59
B. Asas Kebebasan Berkontrak 1. Pengertian Asas Kebebasan Berkontrak
Latar belakang lahirnya asas kebebasan berkontrak adalah adanya paham individualisme yang secara embrional lahir pada zaman Yunani yang diteruskan
kaum Epicuristen dan berkembang pesat dalam zaman renaisans melalui antara lain ajaran-ajaran Hugo de Grecht, Thomas Hobbes, Jhon Locke, dan Rosseau. Menurut
paham individualisme,
setiap orang
bebas untuk
memperoleh apa
yang dikehendakinya.
72
Kebebasan berkontrak adalah refleksi dari perkembangan paham pasar bebas yang dipelopori oleh Adam Smith dengan teori ekonomi klasiknya mendasarkan
pemikirannya pada ajaran hukum alam. Hal yang sama menjadi dasar pemikiran Jeremy Bentham yang dikenal dengan utilitaanism. Utilitarianism dan teori ekonomi
klasik laissez faire dianggap saling melengkapi dan sama-sama menghidupkan pemikiran liberal modernsilistis.
73
Asas kebebasan berkontrak mengandung arti bahwa seseorang bebas membuat atau tidak membuat perjanjian, bebas menentukan isi berlakunya dan
syarat-syarat perjanjian dengan bentuk tertentu atau tidak dan bebas memilih Undang-undang mana yang akan dipakainya untuk perjanjian itu.
74
Asas kebebasan berkontrak freedom of contract dapat di simpulkan dari ketentuan Pasal 1338 ayat
72
Salim.,dkk., Perancangan Kontrak Memorandum of Understanding MoU. Sinar Grafika, Jakarta, 2007, hlm. 2.
73
P.S. Atiyah. Hukum Kontrak. Institut Bankir Indonesia, Jakarta, 1979, hlm. 324.
74
Purwahid Patrik, Op.Cit. hlm. 6.
Universitas Sumatera Utara
60
1 KUH Perdata, yang menyatakan bahwa semua perjanjian yang di buat secara sah akan mengikat sebagai Undang-undang bagi para pembuatnya.
Perkembangan kebebasan berkontrak dapat mendatangkan ketidakadilan karena
prinsip ini
hanya dapat
mencapai tujuannya,
yaitu mendatangkan
kesejahteraan seoptimal mungkin, bila para pihak memiliki bargaining power yang seimbang. Dalam kenyataan hal tersebut sering tidak terjadi demikian sehingga
negara menganggap perlu campur tangan untuk melindungi pihak yang lemah. Dalam perkembangannya, kebebasan berkontrak hanya bisa mencapai tujuan bila para pihak
mempunyai bargaining position yang seimbang. Jika salah satu pihak lemah maka pihak yang memiliki bargaining position lebih kuat dapat memaksakan kehendaknya
untuk menekan pihak lain demi keuntungan dirinya sendiri. Syarat-syarat atau ketentuan dalam kontrakperjanjian untuk waktu tertentu yang semacam itu akhirnya
akan melanggar aturan-aturan yang adil dan layak. Keadaan tersebut di atas bisa berlaku dalam hubungan perjanjian antara
majikan dengan buruh yang kemudian menimbulkan hal-hal yang negatif dalam arti pihak yang mempunyai bargaining position yang kuat dapat memaksakan
kehendaknya kepada pihak yang lemah, dan pihak yang kuat mendapat keuntungan dari tindakannya tersebut. Azas kebebasan berkontrak ini terkandung dalam Pasal
1338 ayat 1 KUH Perdata yang berbunyi: “Semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku
sebagai undang-undang
bagi mereka
yang membuatnya”.
Dengan menekankan pada perkataan semua, maka Pasal tersebut seolah-olah berisikan suatu
pernyataan kepada masyarakat diperbolehkan membuat perjanjian yang berupa dan
Universitas Sumatera Utara
61
berisi tentang apa saja dan diperolehkan pula membuat undang-undang sendiri, asalkan tidak bertentangan dengan undang-undang, ketertiban umum, dan kesusilaan.
Lebih tegasnya para pihak yang membuat perjanjian dapat menciptakan suatu ketentuan sendiri untuk kepentingan mereka sesuai dengan apa yang dikehendaki.
Berdasarkan uraian tersebut di atas maka dapat disimpulkan bahwa asas kebebasan berkontrak adalah suatu asas yang memberikan kebebasan kepada para
pihak untuk: 1 membuat atau tidak membuat perjanjian; 2 mengadakan perjanjian dengan siapa pun; 3 menentukan isi perjanjian, pelaksanaan, dan persyaratannya;
dan 4 menentukan bentuknya perjanjian yaitu tertulis atau lisan.
75
1. Kebebasan bagi para pihak untuk membuat atau tidak membuat perjanjian ; Kebebasan ini mengandung pengertian bahwa para pihak bebas untuk
membuat atau tidak membuat perjanjian, tidak ada paksaan bagi para pihak untuk membuat atau tidak membuat perjanjian. Dikatakan tidak ada paksaan,
apabila pihak yang membuat perjanjian tidak berada di bawah ancaman, baik dengan kekerasan jasmani maupun upaya yang bersifat menakut-nakuti,
misalnya akan membuka rahasia atau merusak hartanya, sehingga dengan demikian yang bersangkutan terpaksa menyetujui perjanjian tersebut Pasal
1324 KUH Perdata 2. Kebebasan untuk menentukan dengan siap para pihak akan mengadakan
perjanjian ;
75
Ibid. Hlm. 67.
Universitas Sumatera Utara
62
KUH Perdata maupun ketentuan perundang-undangan lainya tidak melarang bagi seseorang untuk membuat perjanjian dengan pihak manapun juga yang di
kehendakinya. Undang-undang KUH Perdata hanya menetukan bahwa orang- orang tertentu tidak cakap untuk membuat perjanjian sebagaimana di atur
dalam Pasal 1330 KUH Perdata. Oleh karena itu, kita bebas untuk menentukan dengan siapa kita akan mengadakan perjanjian.
3. Kebebasan bagi para pihak untuk menentukan perjanjian dengan bentuk tertentu atau tidak ;
Pada umumnya perjanjian terikat pada suatu bentuk tertentu. Dalam kehidupan sehari-hari, perjanjian di buat dengan dua 2 bentuk, yaitu ; Perjanjian secara
tertulis dan perjanjian secara lesan. Kedua bentuk tersebut sama kekuatanya dalam arti bahwa bentuk perjanjian tersebut sama kedudukanya untuk dapat di
laksanakan oleh para pihak. Namun, secara yuridis untuk perjanjian tertulis dapat dengan mudah di jadikan sebagai alat bukti apabila sampai terjadi
persengketaan.
76
Sedangkan perjanjian
secara lesan
akan lebih
sulit pembuktianya apabila terjadi persengketaan karena di samping harus dapat
menunjukan saksi-saksi, juga harus dibuktikan dengan adanya itikad baik dari pihak-pihak yang terlibat dalam perjanjian. Apabila salah satu pihak
mempunyai itikad tidak baik misalnya mengingkari kesepakatan, maka hal
76
Mariam Darus Badrulzaman, “Kompilasi Hukum Perikatan”, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung. 2001. hlm. -65.
Universitas Sumatera Utara
63
ini akan menyulitkan pihak lain dalam membuktikan keabsahan perjanjian yang di maksud.
Menurut Mariam Darus Badrulzaman, untuk beberapa perjanjian tertentu Undang-undang menentukan adanya suatu bentuk tertentu tertulis. Apabila
bentuk tertentu itu tidak di ikuti, maka perjanjian menjadi tidak sah. Dengan demikian, perjanjian secara tertulis tidaklah hanya semata-mata merupakan alat
pembuktian saja, tetapi merupakan syarat untuk adanya bestaanwaarde. Mengenai perjanjian tersebut Mariam Darus Badrulzaman mencontohkan pada
perjanjian untuk mendirikan Perseroan Terbatas yang harus dengan akta Notaris Pasal 38 Kitab Undang-undang Hukum Dagang.
77
4. Kebebasan bagi para pihak untuk menentukan isi, berlaku dan syarat-syarat perjanjian;
Secara yuridis, eksistensi perjanjian baku masih dipertanyakan karena masih ada yang setuju dengan adanya perjanjian tersebut, tetapi juga ada sarjana yang
menolak perjanjian jenis tersebut. Menurut Stein dalam Hasanudin Rahman, bahwa dasar berlakunya perjanjian baku standar ini adalah berdasarkan fiksi,
adanya kemauan dan kepercayaan fictie van will en vertrouwen yang membangkitkan kepercayaan bahwa para pihak mengikatkan diri pada
perjanjian itu. Jika dia menerima perjanjian itu, berarti dia secara sukarela setuju pada isi perjanjian itu.
78
77
Ibid. hlm. 57.
78
Hasanudin Rahan, Seri Ketrampilan Merancang Kontrak Bisnis, Contract Drafting, 2003.
Universitas Sumatera Utara
64
Selanjutnya, Asser – Rutten dalam Munir Fuady menyatakan bahwa seseorang mengikat pada perjanjian baku karena dia sudah menandatangani perjanjian
tersebut, sehingga dia harus di anggap mengetahui, serta menghendaki dan karenanya bertanggungjawab kepada isi perjanjian tersebut. Senada dengan itu,
Hondius juga menyatakan bahwa suatu perjanjian baku mempunyai kekuatan hukum berdasarkan kebiasaan gebruik yang berlaku dalam masyarakat.
79
2. Sumber-sumber Hukum Perancangan Kontrak