32
BAB II PERJANJIAN KERJASAMA PENJUALAN VOUCHER HOTEL ANTARA
PT. EKA SUKMA TOUR DENGAN HOTEL JW MARRIOT MEDAN A. Perjanjian Kerjasama dalam Praktek Travel
1. Perjanjian Kerjasama
Perjanjian merupakan kesepakatan antara dua orang atau dua pihak, mengenai hal-hal pokok yang menjadi objek dari perjanjian. Kesepakatan itu timbul karena
adanya kepentingan dari masing-masing pihak yang saling membutuhkan. Perjanjian juga dapat disebut sebagai persetujuan, karena dua pihak tersebut setuju untuk
melakukan sesuatu. Perjanjian kerjasama dalam suatu bisnis bisa dilakukan secara formal maupun informal, hal ini disesuaikan dengan jenis kerjasama yang hendak
dilakukan. Selain itu, pembuatan perjanjian kerjasama bisa disesuaikan dengan kesepakatan semua pihak yang terlibat didalamnya.
a. Syarat Sahnya Perjanjian
Perjanjian yang sah adalah perjanjian yang memenuhi syarat-syarat yang telah ditentukan oleh undang-undang, sehingga mempunyai kekuatan hukum yang
mengikat. Syarat sahnya perjanjian diatur dalam Pasal 1320 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, yang terdiri dari empat syarat yaitu:
1. Adanya kata sepakat mereka yang mengikat diri; 2. Kecakapan untuk membuat suatu perjanjian;
3. Suatu hal tertentu; 4. Suatu sebab yang halal.
32
Universitas Sumatera Utara
33
Ad. 1. Adanya kata sepakat mereka yang mengikat diri Kesepakatan dalam perjanjian merupakan perwujudan dari kehendak dua atau
lebih pihak dalam perjanjian mengenai apa yang mereka kehendaki untuk dilaksanakan, bagaimana cara melaksanakannya, kapan harus dilaksanakan, dan siapa
yang harus melaksanakan. Pada dasarnya sebelum para pihak sampai pada kesepakatan mengenai hal-hal tersebut, maka salah satu atau lebih pihak dalam
perjanjian tersebut akan menyampaikan terlebih dahulu suatu bentuk pernyataan mengenai apa yang dikehendaki oleh pihak tersebut dengan segala macam
persyaratan yang mungkin dan diperkenankan oleh hukum untuk disepakati oleh para pihak. Pernyataan yang disampaikan tersebut dikenal dengan nama penawaran. Jadi
penawaran itu berisikan kehendak dari salah satu pihak dalam perjanjian, yang disampaikan kepada lawan pihaknya, untuk memperoleh persetujuan dari lawan
pihaknya tersebut. Pihak lawan dari pihak yang melakukan penawaran selanjutnya harus
menentukan apakah ia menerima penawaran yang disampaikan, apabila ia menerima maka tercapailah kesepakatan tersebut. Sedangkan jika ia tidak menyetujui, maka
dapat saja ia mengajukan penawaran balik, yang memuat ketentuan-ketentuan yang dianggap dapat ia penuhi atau yang sesuai dengan kehendaknya yang dapat diterima
atau dilaksanakan olehnya. Dalam hal terjadi demikian maka kesepakatan dikatakan belum tercapai.
Keadaan tawar menawar ini akan terus berlanjut hingga pada akhirnya kedua belah pihak mencapai kesepakatan mengenai hal-hal yang harus dipenuhi dan dilaksanakan
Universitas Sumatera Utara
34
oleh para pihak dalam perjanjian tersebut. Saat penerimaan paling akhir dari serangkaian penawaran adalah saat tercapainya kesepakatan. Hal ini dipedomani
untuk perjanjian konsensuil dimana kesepakatan dianggap terjadi pada saat penerimaan dari penawaran yang disampaikan terakhir.
Dalam perjanjian konsensuil tersebut di atas, secara prinsip telah diterima bahwa saat tercapainya kesepakatan adalah saat penerimaan dari penawaran terakhir
disampaikan. Hal tersebut secara mudah dapat ditemui jika para pihak yang melakukan penawaran dan permintaan bertemu secara fisik, sehingga masing-masing
pihak mengetahui secara pasti kapan penawaran yang disampaikan olehnya diterima dan disetujui oleh lawan pihaknya.
Ad. 2. Kecakapan untuk membuat suatu perjanjian Kecakapan untuk membuat suatu perjanjian adalah kewenangan untuk
melakukan perbuatanperbuatan hukum sendiri. Perbedaan antara kewenangan hukum dengan kecakapan berbuat adalah bila kewenangan hukum maka subyek hukum
dalam hal pasif sedanga pada kecakapan berbuat subjek hukumnya aktif, dan yang termasuk cakap di sini adalah orang dewasa, sehat akal pikrnya, tidak dilarang oleh
Undang-undang. Pasal 1329 KUHPerdata menyebutkan bahwa setiap orang adalah cakap untuk
membuat perikatan-perikatan jika oleh undang-undang tidak dinyatakan tidak cakap. Pasal 1330 KUHPerdata lebih lanjut menyatakan bahwa semua orang berwenang
untuk membuat kontrak kecuali mereka yang masuk ke dalam golongan: 1. Orang yang belum dewasa
Universitas Sumatera Utara
35
2. Orang yang ditempatkan di bawah pengampuan 3. Wanita bersuami
4. Orang yang dilarang oleh undang-undang untuk melakukan perbuatan tertentu. Konsekuensi yuridis jika ada dari para pihak dalam perjanjian yang ternyata
tidak cakap berbuat adalah: a. Jika perjanjian tersebut dilakukan oleh anak yang belum dewasa, maka
perjanjian tersebut batal demi hukum atas permintaan dari anak yang belum dewasa, semata-mata karena alasan kebelumdewasaannya.
b. Jika perjanjian tersebut, dilakukan oleh orang yang berada di bawah pengampuan, maka perjanjian tersebut batal demi hukum atas permintaan dari
orang di bawah pengampuan, semata-mata karena keberadaannya di bawah pengampuan tersebut.
c. Terhadap perjanjian yang dibuat wanita yang bersuami hanyalah batal demi hukum sekedar perjanjian tersebut melampaui kekuasaan mereka.
d. Terhadap perjanjian yang dibuat oleh anak di bawah umur yang telah mendapatkan status disamakan dengan orang dewasa hanyalah batal demi
hukum sekedar kontrak tersebut melampaui kekuasaan mereka. e. Terhadap perjanjian yang dibuat oleh orang yang dilarang oleh undang-undang
untuk melakukan perbuatan hukum tertentu, maka mereka dapat menuntut pembatalan perjanjian tersebut, kecuali ditentukan lain oleh undang-undang.
Apabila perjanjian yang dibuat oleh pihak yang tidak cakap berbuat tersebut kemudian menjadi batal, maka para pihak haruslah menempatkan seolah-olah
Universitas Sumatera Utara
36
perjanjian tersebut tidak pernah ada. Jadi setiap prestasi yang telah diberikan harus dikembalikan atau dinilai secara wajar.
Ad. 3. Suatu hal tertentu Suatu hal tertentu di sini berbicara tentang objek perjanjian. Objek perjanjian
yang dapat dikategorikan dalam Pasal 1332 sd 1334 KUH Perdata, yaitu yang pertama objek yang aka nada kecuali warisan, asalkan dapat ditentukan jenis dan
dapat dihitung. Yang kedua adalah objek yang dapat diperdagangkan barang-barang yang dipergunakan untuk kepentingan umum tidak dapat menjadi objek perjanjian.
Ad. 4. Suatu sebab yang halal Suatu sebab yang halal yang memiliki maksud antara lain, sebab adalah isi
perjanjian itu sendiri atau tujuan dari para pihak mengadakan perjanjian dan halal adalah tidak bertentangan dengan Undang-undang, kesusilaan, dan ketertiban umum.
Syarat ini merupakan mekanisme netralisasi, yaitu sarana untuk menetralisir terhadap prinsip hukum perjanjian yang lain yaitu prinsip kebebasan berkontrak. Prinsip mana
dalam KUHPerdata ada dalam Pasal 1338 ayat 1 yang pada intinya menyatakan bahwa semua perjanjian yang dibuat secara sah memiliki kekuatan yang sama dengan
undang-undang. Adanya suatu kekhawatiran terhadap azas kebebasan berkontrak ini bahwa
akan menimbulkan perjanjian-perjanjian yang dibuat secara ceroboh, karenanya diperlukan suatu mekanisme agar kebebasan berkontrak ini tidak disalahgunakan.
Sehingga diperlukan penerapan prinsip moral dalam suatu perjanjian. Sehingga timbul syarat suatu sebab yang tidak terlarang sebagai salah satu syarat sahnya
Universitas Sumatera Utara
37
perjanjian. Itu sebabnya suatu perjanjian dikatakan tidak memiliki suatu sebab yang tidak terlarang jika perjanjian tersebut antara lain melanggar prinsip kesusilaan atau
ketertiban umum disamping melanggar perundang-undangan. Konsekuensi yuridis apabila syarat ini tidak dipenuhi adalah perjanjian yang
bersangkutan tidak memiliki kekuatan hukum atau dengan kata lain suatu perjanjian tentang suatu sebab yang tidak terlarang menjadi perjanjian yang batal demi hukum.
Selanjutnya dalam doktrin ilmu hukum yang berkembang digolongkan ke dalam:
1. Dua unsur pokok yang menyangkut subyek yang mengadakan perjanjian unsur Subyektif
2. Dua unsur pokok lainnya yang berhubungan langsung dengan obyek perjanjian unsur Obyektif.
49
Munir Fuady berpendapat agar suatu perjanjian oleh hukum dianggap sah sehingga mengikat kedua belah pihak, maka kontrak tersebut haruslah memenuhi
syarat-syarat tertentu yang digolongkan sebagai berikut: 1. Syarat sah yang umum, yaitu :
a. Syarat sah umum berdasarkan Pasal 1320 KUHPerdata terdiri dari 1 Kesepakatan kehendak
2 Wenang buat 3 Perihal tertentu
4 Kuasa yang legal
b. Syarat sah umum di luar Pasal 1338 dan 1339 KUHPerdata yang terdiri dari
1 Syarat itikad baik 2 Syarat sesuai dengan kebiasaan
49
Kartini Mulyadi Gunawan Widjaya, Perikatan yang Lahir dari Perjanjian, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2005, hlm. 93.
Universitas Sumatera Utara
38
3 Syarat sesuai dengan kepatutan 4 Syarat sesuai dengan kepentingan umum
2. Syarat sah yang khusus terdiri dari i. Syarat tertulis untuk perjanjian-perjanjian tertentu
ii. Syarat akta notaries untuk perjanjian-perjanjian tertentu iii.Syarat Akta pejabat tertentu yang bukan notaris untuk perjanjian-
perjanjian tertentu iv. Syarat izin dari yang berwenang.
50
Perjanjian yang tidak memenuhi syarat subyektif yaitu tidak adanya kesepakatan mereka yang membuat perjanjian dan kecakapan membawa konsekuensi
perjanjian yang dibuatnya itu dapat dibatalkan oleh pihak yang merasa dirugikan namun selama yang dirugikan tidak mengajukan gugatan pembatalan maka perjanjian
yang dibuat itu tetap berlaku terus. Apabila syarat subyektif tidak dipenuhi yaitu tidak adanya hal tertentu dan sebab yang halal, perjanjian yang dibuat para pihak sejak
dibuatnya perjanjian telah batal atau batal demi hukum.
b. Asas-asas Perjanjian
Dalam hukum perjanjian terdapat beberapa asas yaitu:
51
1 Asas Kebebasan Berkontrak Asas kebebasan berkontrak merupakan salah satu asas yang penting dalam
hukum perjanjian. Asas ini merupakan perwujudan manusia yang bebas, pancaran hak asasi manusia. Asas kebebasan berkontrak berhubungan erat
dengan isi perjanjian, yakni kebebasan untuk menentukan “apa” dan dengan “siapa” perjanjian diadakan.
50
Munir Fuady, Hukum Kontrak Dari Sudut Pandang Hukum Bisnis, Citra aditya Bakti, Bandung, 2001, hlm. 33.
51
Ibid, hlm 43-46.
Universitas Sumatera Utara
39
2 Asas konsensualisme Asas konsensualisme dapat ditemukan dalam Pasal 1320 Kitab Undang-undang
Hukum Perdata. Dalam Pasal 1320 Kitab Undang-undang Hukum Perdata disebutkan secara tegas bahwa untuk sahnya perjanjian harus ada kesepakatan
antara kedua belah pihak. Dalam Pasal 1338 Kitab Undang-undang Hukum Perdata ditemukan dalam perkataan “semua” menunjukan bahwa setiap orang
diberi kesempatan untuk menyatakan kehendak yang dirasakan baik untuk menciptakan perjanjian.
3 Asas keseimbangan Asas keseimbangan menghendaki para pihak memenuhi dan melaksanakan
perjanjian yang mereka buat. Kreditur mempunyai hak untuk menuntut pelaksanaan prestasi dengan melunasi utang melalui kekayaan debitur, namun
kreditur juga mempunyai beban untuk melaksanakan perjanjian dengan itikad baik, sehingga dapat dikatakan bahwa kedudukan kreditur yang kuat diimbangi
dengan kewajiban untuk memperhatikan itikad baik, sehingga kedudukan kreditur dan debitur seimbang.
4 Asas kepercayaan Seseorang yang mengadakan perjanjian dengan orang lain, menumbuhkan
kepercayaan di antara para pihak antara satu dengan yang lain akan memegang janjinya untuk memenuhi prestasi di kemudian hari. Tanpa adanya kepercayaan
itu, maka perjanjian tidak mungkin siadakan para pihak. 5 Asas kebiasaan
Universitas Sumatera Utara
40
Asas kebiasaan diatur dalam Pasal 1339 Kitab Undang-undang Hukum Perdata jo Pasal 1347 Kitab Undang-undang Hukum perdata. Menurut asas ini
perjanjian tidak hanya mengikat untuk apa yang secara tegas diatur, tetapi juga hal-hal yang dalam keadaan dan kebiasaan lazim diikuti.
c. Risiko
Dalam teori hukum dikenal suatu ajaran yang disebut dengan resicoleer ajaran tentang risiko, yang berarti seseorang berkewajiban untuk memikul kerugian
jika ada sesuatu kejadian di luar kesalahan salah satu pihak yang menimpa benda yang menjadi obyek perjanjian. Ajaran ini timbul apabila terdapat keadaan memaksa
overmacht.
52
Salah satu ketentuan dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata yang mengatur tentang risiko adalah Pasal 1553 yang berbunyi :
“Jika selama waktu sewa, pada barang yang disewakan sama sekali musnah karena suatu kejadian yang tak disengaja, maka perjanjian sewa gugur demi
hukum. Jika barangnya hanya sebagian musnah, si penyewa dapat memilih, menurut
keadaan, apakah ia akan meminta pengurangan harga sewa, ataukah ia akan meminta bahkan pembatalan perjanjian sewanya; tetapi tidak dalam satu dari
kedua hal itu pun ia berhak atas suatu ganti rugi”.
Pengertian risiko selalu berhubungan erat dengan adanya overmacht, sehingga seharusnya ada kejelasan tentang kedudukan para pihak, yaitu pihak yang harus
bertanggung-gugat dan pihak yang harus menanggung risiko atas kejadian-kejadian dalam keadaan memaksa. Tentang gugurnya perjanjian yang disebabkan di atas,
52
Salim HS, Hukum Kontrak:Teori dan Teknik Penyusunan Kontrak, Sinar Sinar Grafika, Jakarta, 2008, hal. 103.
Universitas Sumatera Utara
41
berarti kerugian akibat kemusnahan itu menjadi tanggung jawab dan dipikul seluruhnya oleh pemilik barang.
Menurut R. Subekti, yang dimaksud dengan risiko adalah kewajiban memikul kerugian yang disebabkan karena suatu kejadian di luar kesalahan salah satu pihak.
53
Risiko dapat dibedakan menjadi dua yaitu risiko pada perjanjian sepihak dan risiko pada perjanjian timbal balik.
Risiko pada perjanjian sepihak diatur dalam Pasal 1237 ayat 1 KUHPerdata yang menentukan Dalam hal adanya perikatan untuk memberikan suatu barang
tertentu, maka barang itu semenjak perikatan dilahirkan adalah atas tanggungan si berpiutang. Dari pasal tersebut dapat ditarik kesimpulan bahwa risiko pada
perjanjian sepihak ada pada kreditur. Sedangkan mengenai risiko pada perjanjian timbal balik terdapat dua ketentuan yang berbeda. Risiko pada perjanjian tukar
menukar dapat dilihat pada pasal 1545 KUHPerdata. Pasal tersebut menentukan bahwa: jika suatu barang tertentu yang telah dijanjikan untuk ditukar, musnah di luar
salah pemiliknya, maka persetujuan dianggap sebagai gugur, dan siapa yang dari pihaknya telah memenuhi persetujuan, dapat menuntut kembali barang yang telah ia
berikan dalam tukar menukar. Dari ketentuan pasal tersebut dapat disimpulkan bahwa risiko pada perjanjian
tukar menukar adalah ada pada kedua belah pihak. Suatu hal yang bertentangan dengan ketentuan tersebut adalah risiko pada perjanjian jual beli untuk barang
53
R. Subekti, Aspek-aspek Hukum Perikatan Nasional, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 1988, hlm 59.
Universitas Sumatera Utara
42
tertentu yang diatur dalam Pasal 1460 KUHPerdata. Pasal tersebut pada pokoknya menentukan
bahwa sejak
saat terjadinya
perjanjian, risiko
barang yang
diperjualbelikan adalah pada pihak pembeli debitur meskipun penyerahan belum dilakukan. Jadi, seandainya barang itu musnah sebelum terjadi penyerahan, pembeli
debitur tetap harus membayar harganya. Berdasarkan pada ketentuan-ketentuan tentang risiko yang saling bertentangan
tersebut. R. Subekti berpendapat bahwa yang harus dijadikan pedoman adalah ketentuan dalam Pasal 1545 KUHPerdata karena ketentuan tersebut memang tepat
dan memenuhi syarat keadilan.
54
Demikian juga halnya dengan Abdulkadir Muhammad. Beliau berpendapat bahwa Pasal 1545 KUHPerdata harus dianggap
sebagai pedoman dalam menentukan pihak mana yang harus menanggung risiko karena pasal tersebut dapat diperlakukan secara umum dan adil. Diperlakukan secara
umum mempunyai arti bahwa peraturan tersebut dapat diikuti oleh perbuatan hukum selain tukar menukar.
55
Dari kedua pendapat diatas dapat disimpulkan bahwa risiko pada perjanjian timbal balik adalah ada pada masing-masing pihak.
d. Berakhirnya Perjanjian
Dalam suatu perjanjian kita harus tahu kapan perjanjian itu berakhir. Menurut Handri Raharjo, perjanjian dapat berakhir karena:
56
a. Ditentukan dalam perjanjian oleh para pihak, misalnya persetujuan yang berlaku untuk waktu tertentu.
54
Ibid, hlm 61.
55
Abdul Kadir Muhammad, Hukum Perikatan, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 1990, hlm 82.
56
Handri Raharjo, Op.Cit, hlm 96.
Universitas Sumatera Utara
43
b. Ditentukan oleh Undang-undang mengenai batas berlakunya suatu perjanjian, misalnya menurut Pasal 1066 ayat 3 Kitab Undang-Undang Hukum perdata
disebutkan bahwa para ahli waris dapat mengadakan perjanjian untuk selama waktu tertentu untuk tidak melakukan pemecahan harta warisan, tetapi waktu
persetujuan tersebut oleh ayat 4 dibatasi hanya dalam waktu lima tahun.
c. Ditentukan oleh para pihak atau Undang-undang bahwa perjanjian akan hapus dengan terjadinya peristiwa tertentu. Misalnya jika salah satu pihak meninggal
dunia, maka perjanjian tersebut akan berakhir. d. Pernyataan menghentikan persetujuan opzegging. Opzegging dapat dilakukan
oleh kedua belah pihak atau salah satu pihak. Opzegging hanya ada pada perjanjian-perjanjian yang bersifat sementara, misalnya:
1 Perjanjian kerja; 2 Perjanjian sewa-menyewa.
e. Perjanjian hapus karena putusan hakim. f. Tujuan perjanjian telah dicapai.
g. Berdasarkan kesepakatan para pihak herroeping.
2. Jenis-jenis dan Bentuk Perjanjian Kerjasama