Sintesis Basa Schiff Melalui Reaksi Kondensasi Etilendiamina Dengan Aldehida Hasil Ozonolisis Minyak Jarak (Ricinus communis Linn) Dan Pemanfaatannya Sebagai Inhibitor Korosi Terhadap Logam Seng
SINTESIS BASA SCHIFF MELALUI REAKSI KONDENSASI ETILENDIAMINA DENGAN ALDEHIDA HASIL
OZONOLISIS MINYAK JARAK (Ricinus communis Linn) DAN PEMANFAATANNYA SEBAGAI
INHIBITOR KOROSI TERHADAP LOGAM SENG
SKRIPSI
Diajukan untuk melengkapi tugas dan memenuhi syarat mencapai gelar Sarjana Sains
RIMENDA SINULINGGA 090802052
DEPARTEMEN KIMIA
FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN 2013
(2)
SINTESIS BASA SCHIFF MELALUI REAKSI KONDENSASI ETILENDIAMINA DENGAN ALDEHIDA HASIL
OZONOLISIS MINYAK JARAK (Ricinus communis Linn) DAN PEMANFAATANNYA SEBAGAI
INHIBITOR KOROSI TERHADAP LOGAM SENG
SKRIPSI
Diajukan untuk melengkapi tugas dan memenuhi syarat mencapai gelar Sarjana Sains
RIMENDA SINULINGGA 090802052
DEPARTEMEN KIMIA
FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN 2013
(3)
PERSETUJUAN
Judul : SINTESIS BASA SCHIFF MELALUI REAKSI
KONDENSASI ETILENDIAMINA DENGAN ALDEHIDA HASIL OZONOLISIS MINYAK JARAK (Ricinus communis Linn) DAN
PEMANFAATANNYA SEBAGAI INHIBITOR KOROSI TERHADAP LOGAM SENG
Kategori : SKRIPSI
Nama : RIMENDA SINULINGGA
Nomor Induk Mahasiswa : 090802052
Program : SARJANA (S1) KIMIA
Departemen : KIMIA
Fakultas : MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN
ALAM (FMIPA) UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
Disetujui di
Medan, September 2013 Komisi Pembimbing
Pembimbing II Pembimbing I
Dr. Mimpin Ginting, MS Drs. Darwis Surbakti, MS NIP: 195510131986011001 NIP:195307071983031001
Diketahui/ Disetujui oleh
Departemen Kimia FMIPA USU Ketua,
Dr. Rumondang Bulan Nst, MS NIP: 19540830198503200
(4)
PERNYATAAN
SINTESIS BASA SCHIFF MELALUI REAKSI KONDENSASI ETILENDIAMINA DENGAN ALDEHIDA HASIL
OZONOLISIS MINYAK JARAK (Ricinus communis Linn) DAN PEMANFAATANNYA SEBAGAI
INHIBITOR KOROSI TERHADAP LOGAM SENG
SKRIPSI
Saya mengakui bahwa skripsi ini adalah hasil karya sendiri, kecuali beberapa kutipan dan ringkasan yang masing-masing disebutkan sumbernya.
Medan, September 2013
RIMENDA SINULINGGA 090802052
(5)
PENGHARGAAN
Puji syukur penulis naikkan kepada sang Juruselamat Tuhan Yesus Kristus, yang selalu memberikan jawaban tepat pada waktunya atas setiap doa dan impian yang penulis panjatkan dan penulis menyadari sepenuhnya bahwa oleh kasih dan anugerahNya penulis dapat menyelesaikan skripsi ini sebagai salah satu syarat untuk menyelesaikan pendidikan sarjana sains di Fakultas MIPA USU
Penulis mengucapkan banyak terima kasih kepada :
1. Bapak Drs. Darwis Surbakti, MS selaku pembimbing I dan Bapak Dr. Mimpin Ginting, MS selaku pembimbing II yang telah banyak meluangkan waktu dan setia membimbing penulis selama melakukan penelitian dan penyusunan skripsi ini hingga selesai
2. Ibu Dr. Rumondang Bulan, MS dan Bapak Drs. Albert Pasaribu, M,Sc selaku Ketua dan Sekretaris Departemen Kimia, Bapak Prof. Dr. Zul Alfian, M.Sc selaku dosen wali
3. Bapak Prof. Dr. Jamaran Kaban M.Sc selaku kepala bidang Kimia Organik, Bapak Dr. Mimpin Ginting, MS selaku kepala laboratorium Kimia Organik serta seluruh dosen FMIPA USU yang telah membimbing penulis selama mengikuti perkuliahan hingga selesai
4. Rekan-rekan asisten di Laboratorium Kimia Organik : k’sion, b’deny, k’muti, b’sem, b’bayu, egy, despita, omi, yabes, sophia, dian, friska, lianta, indah dan yulia serta teman-teman seperjuangan Kimia S-1 stambuk 2009, keluarga besar IMK, KMK dan IMKA FMIPA USU
5. KTBku Tabitha Gavrila (k’ony, k’ina, naomi, ningsih, despita dan melda) dan adik-adik kelompokku 7ShemaIruel (Julfi, Lina, Fahmy, Rohma, Suryati, dan Rohani) serta Pengurus Permata GBKP klasis Pancur Batu dan Permata Ekkhlesia Rg. KLB yang setia mendoakan setiap kondisiku
6. Keluarga keduaku bulang G. Sinulingga, tigan, bik tua, kila dan mak uda serta adik-adikku tersayang Julieta Br Ginting, Momo Sinulingga dan Richard Sinulingga yang memberikan banyak bantuan dan semangat yang luar biasa
7. Yang terkasih Adenansius Nainggolan yang setia memberi waktu dan dukungan serta keponakanku Gabriel Pratama Ginting dan Grace Claressa Br Ginting yang selalu menyemangatiku lewat senyuman termanisnya
Akhirnya penulis mengucapkan berjuta terimakasih untuk Bapakku N. Sinulingga, Kakakku Wani Br Sinulingga dan Abangku tersayang Sulaiman Sinulingga serta abang iparku Karya Ginting yang dengan tulus memberi
dukungan moral dan moril hingga penulis dapat menyelesaikan studi. Teristimewa kebahagiaan ini kupersembahkan untuk Ibu tercinta J. Br Ginting (alm) yang telah berjuang memberikan kasih sayang serta dukungan yang tak ternilai selama hidup beliau. Tuhan Yesus Memberkati
(6)
ABSTRAK
Telah dilakukan sintesis basa Schiff melalui reaksi kondensasi etilendiamina dengan campuran aldehida hasil ozonolisis dari minyak jarak, dilanjutkan uji aktivitasnya sebagai inhibitor korosi yang dilakukan terhadap logam seng dalam media asam larutan HCl 0,1 N. Ozonolisis terhadap minyak jarak dilakukan pada suhu sekitar -5 sampai 5oC dalam pelarut metanol dan KI 5% selama 20 jam dengan menggunakan alat ozonisator yang kemudian ozonida yang terbentuk direduksi dengan Zn dalam suasana asam asetat. Kondensasi campuran aldehida turunan minyak jarak dengan etilendiamina dilakukan dengan cara refluks pada suhu 115-120oC dalam pelarut toluena selama 4 jam. Dari sebanyak 300 ml minyak jarak yang diozononolis diperoleh sebanyak 220 ml campuran aldehida, dimana hasil analisa dengan spektroskopi FT-IR memperlihatkan puncak vibrasi C-H aldehida pada daerah bilangan gelombang 2669 cm-1. Selanjutnya dari sebanyak 10 g campuran aldehida yang dikondensaikan dengan etilendiamina dihasilkan basa Schiff sebanyak 9,4 g yang dibuktikan melalui analisa spektroskopi FT-IR menunjukkan adanya uluran C=N pada puncak spektrum daerah bilangan gelombang 1635 cm-1. Uji aktivitas basa Schiff sebagai inhibitor korosi pada konsentrasi 1000 ppm hingga 7000 ppm memberikan nilai efisiensi yang lebih besar dimana nilai efisiensi yang paling besar adalah pada konsentrasi 7000 ppm yaitu sebesar 77,37 % sedangkan minyak jarak, campuran aldehida turunan minyak jarak dan etilendiamina masing-masing hanya 30,26 % , 20,58 % dan 50,23 %.
(7)
SYNTHESIS OF SCHIFF BASES THROUGH CONDENSATION REACTION OF ETHYLENEDIAMINE WITH ALDEHYDE WHICH RESULTS BY
OZONOLYSIS OF CASTOR OIL (Ricinus communis Linn) AND THE ACTIVITY TEST AS AN INHIBITOR
OF CORROSION ON METAL ZINC
ABSTRACT
Schiff bases have been synthesized through the condensation reaction of ethylenediamine with mixture of aldehydes which results by ozonolysis of castor oil, continued its activity test as an inhibitor of corrosion on zinc metal in the acidic medium of 0.1 N HCl solution. Ozonolysis of castor oil has done at a temperature of about -5 to 5°C in methanol and 5% KI for 20 hours by using the ozonisator and ozonida which formed then reduced with Zn in acetic acid solution. Condensation reaction of mixture aldehydes with ethylenediamine has done by reflux at a temperature of 115-120oC in the toluene solvent for 4 hours. From 300 ml of castor oil which have been ozonolysis can be obtained 220 ml mixture of aldehydes and the analysis by FT-IR spectroscopy showed aldehyde C-H vibration peaks at wave number region 2669 cm-1. Furthermore, from 10 g mixture of aldehydes which have been condensation with ethylenediamine can be obtained 9.4 g of Schiff bases and the analysis by FT-IR spectroscopy showed the presence of C=N stretch at peak spectral wave number region 1635 cm-1. Activity test Schiff bases as corrosion inhibitor at a concentration of 1000 ppm to 7000 ppm gave values greater efficiency where the greatest efficiency at a concentration of 7000 ppm is equal to 77.37%, while castor oil, mixture of aldehydes and ethylenediamine respective each only 30.26%, 20.58% and 50.23%.
(8)
DAFTAR ISI
Halaman
Persetujuan ii
Pernyataan iii
Penghargaan iv
Abstrak v
Abstract vi
Daftar Isi vii
Daftar Tabel ix
Daftar Gambar x
Daftar Lampiran xi
BAB 1. Pendahuluan
1.1. Latar Belakang 1
1.2. Permasalahan 3
1.3. Pembatasan Masalah 4
1.4. Tujuan Penelitian 4
1.5. Manfaat Penelitian 4
1.6. Metodologi Penelitian 4
1.7. Lokasi Penelitian 5
(9)
2.1. Minyak Jarak 6
2.2. Aldehida 9
2.3 Ozonolisis 13
2.4. Etilendiamina 17
2.5. Basa Schiff 18
2.6. Korosi 22
2.6.1. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Proses Korosi 23
2.6.2. Pencegahan Korosi 24
2.6.3. Inhibitor Korosi 25
2.6.4. Teknik Penentuan Efisiensi Inhibitor 27
BAB 3. Metode Penelitian
3.1. Alat-alat 29
3.2. Bahan-bahan 30
3.3. Prosedur Penelitian 30
3.3.1. Pembuatan Reagen 30
3.3.1.1. Pembuatan KI 5% 30
3.3.1.2. Pembuatan CH3COOH 20 % 31
3.3.2. Ozonolisis Minyak Jarak 31 3.3.3. Sintesis Basa Schiff melalui Reaksi Kondensasi Campuran
Aldehida Turunan Minyak Jarak dengan Etilendiamina 31 3.3.4. Analisa Bilangan Iodin 32 3.3.5. Uji Efisiensi Inhibitor 32 3.3.5.1. Persiapan Spesimen 32 3.3.5.2. Pembuatan Larutan Induk Korosif 33 3.3.5.3. Pembuatan Campuran Larutan Induk Inhibitor dan
(10)
Larutan Induk Korosif sebagai Media Perendaman 33 3.3.5.4. Penentuan Efisiensi Inhibitor 33 3.3.6. Analisa dengan Spektroskopi FT-IR 34
3.4. Bagan Penelitian 35
3.4.1. Ozonolisis Minyak Jarak 35
3.4.2. Sintesis Basa Schiff melalui Reaksi Kondensasi Campuran
Aldehida Turunan Minyak Jarak dengan Etilendiamina 36 3.4.3. Uji Efisiensi Inhibitor Korosi 37 3.4.3.1. Pembuatan Variasi Konsentrasi Campuran Larutan
Induk Inhibitor dan Larutan Induk Korosif sebagai
Media Perendaman 37 3.4.3.2. Penentuan Efisiensi Inhibitor Korosi 37
BAB 4. Hasil dan Pembahasan
4.1. Hasil Penelitian 39
4.1.1. Ozonolisis Minyak Jarak 39
4.1.2. Sintesis Basa Schiff melalui Reaksi Kondensasi Campuran
Aldehida Turunan Minyak Jarak dengan Etilendiamina 39
4.1.3. Penentuan Bilangan Iodin 41
4.1.4. Uji Efisiensi Inhibitor Korosi 41
4.2. Pembahasan 41
4.2.1. Hasil Ozonolisis Minyak Jarak 44 4.2.2. Hasil Sintesis Basa Schiff melalui Reaksi Kondensasi
Campuran Aldehida Turunan Minyak dengan Etilendiamina 46 4.2.3. Hasil Penentuan Efisiensi Inhibitor Korosi 47
(11)
BAB 5. Kesimpulan dan Saran
5.1. Kesimpulan 51
5.2. Saran 51
Daftar Pustaka
(12)
DAFTAR TABEL
Halaman
Tabel 2.1. Sifat Fisik dan Kimia Minyak Jarak 7
Tabel 2.2. Komposisi Asam Lemak Minyak Jarak 8
Tabel 4.1. Hasil Uji Bilangan Iodin pada Minyak Jarak, Aldehida dan Basa Schiff 41 Tabel 4.2. Hasil Perendaman Lempeng Seng dalam Larutan Korosif (HCl 0,1 N)
tanpa Penambahan Inhibitor Korosi 41 Tabel 4.3. Hasil Perendaman Lempeng Seng dalam Larutan Korosif (HCl 0,1 N)
dengan Penambahan Inhibitor Minyak Jarak 42 Tabel 4.4. Hasil Perendaman Lempeng Seng dalam Larutan Korosif (HCl 0,1 N) dengan Penambahan Inhibitor Campuran Aldehida Turunan
Minyak Jarak 42
Tabel 4.5. Hasil Perendaman Lempeng Seng dalam Larutan Korosif (HCl 0,1 N)
dengan Penambahan Inhibitor Etilendiamina 43 Tabel 4.6. Hasil Perendaman Lempeng Seng dalam Larutan Korosif (HCl 0,1 N)
(13)
DAFTAR GAMBAR
Halaman
Gambar 2.1. Struktur Kimia Asam Risinoleat 8
Gambar 2.2. Reaksi Pembentkkan Endapan Merah Bata pada Uji Fehling
terhadap Aldehida 10
Gambar 2.3. Reaksi Pembentukkan Cermin Perak pada Uji Tollens terhadap Aldehida
11
Gambar 2.4. Struktur Resonansi Ozon 13
Gambar 2.5. Reaksi Oksidasi Alkena oleh Ozon 15
Gambar 2.6. Reaksi Reduksi Ozonida menjadi Aldehida 15
Gambar 2.7. Reaksi Ozonolisis Minyak Kedelai 16
Gambar 2.8. Reaksi Ozonolisis Alkena 16
Gambar 2.9. Struktur Kimia Etilendiamina 17
Gambar 2.10. Reaksi Pembentukan Basa Schiff 18
Gambar 2.11. Reaksi Analina dengan Benzaldehida 19
Gambar 2.12. Reaksi Cefixime dengan Aldehida 19
Gambar 2.13. Beberapa Reaksi Kondensasi Pembentukan Basa Schiff 20 Gambar 2.14. Reaksi diamina alifatik dengan 3-[2-(1,3-benzothiazol-2-yl)
hydrazinylidene]pentane-2,4-dione 20
Gambar 2.12. Reaksi Campuran Aldehida Turunan Minyak Kedelai dengan
Benzilamina 21
(14)
Gambar 4.2. Spektrum FT-IR Basa Schiff 40 Gambar 4.3. Reaksi Ozonolisis Minyak Jarak 45 Gambar 4.4. Reaksi Campuran Aldehida Turunan Minyak Jarak dengan
Etilendiamina 46
Gambar 4.5. Grafik Pengaruh Waktu Perendaman dan Konsentrasi Inhibitor
Korosi terhadap Berat Kehilangan Lempeng Seng 47
Gambar 4.6. Mekanisme Basa Schiff dalam Menghambat Korosi 48 Gambar 4.7. Grafik Pengaruh Waktu Perendaman dan Konsentrasi Inhibitor
Korosi terhadap Efisiensi Inhibitor Korosi 49
Gambar 4.8. Grafik Pengaruh Konsentrasi terhadap Rata-rata Efisiensi Inhibitor
(15)
DAFTAR LAMPIRAN
Halaman
Lampiran 1. Data dan Hasil Perhitungan nilai Efisiensi Inhibitor Korosi 57 Lampiran 2. Data dan Hasil Perhitungan Nilai Bilangan Iodin Minyak
Kemiri, Aldehida Turunan Minyak Jarak dan Basa Schiff 63
Lampiran 3. Minyak Jarak 65
Lampiran 4. Alat Ozonolisis AOSN 65
Lampiran 5. Campuran Minyak Jarak dengan KI 5% dalam Pelarut Metanol
setelah Diozonolisis (Ozonida) 66 Lampiran 6. Hasil Ozonolisis Direduksi dengan Serbuk Zn dalam Asam
Asetat Encer 66
Lampiran 7. Penyaringan Campuran Aldehida Turunan Minyak Jarak
Menggunakan Corong Buchner 67
Lampiran 8. Campuran Aldehida Turunan Minyak Jarak dalam Larutan
Asam Asetat 67
Lampiran 9. Hasil Uji Kualitatif Aldehida dengan Pereaksi Fehling (a) dan
Pereaksi Tollens (b) 68
Lampiran 10. Rangkaian Alat Refluks dalam Sintesis Basa Schiff 68 Lampiran 11. Destilasi Vakum Kelebihan Pelarut dan Etilendiamina 69 Lampiran 12. (a) Basa Schiff Hasil Sintesis dan (b) Larutan Inhibitor
Basa Schiff dalam HCl 0,1 69
(16)
ABSTRAK
Telah dilakukan sintesis basa Schiff melalui reaksi kondensasi etilendiamina dengan campuran aldehida hasil ozonolisis dari minyak jarak, dilanjutkan uji aktivitasnya sebagai inhibitor korosi yang dilakukan terhadap logam seng dalam media asam larutan HCl 0,1 N. Ozonolisis terhadap minyak jarak dilakukan pada suhu sekitar -5 sampai 5oC dalam pelarut metanol dan KI 5% selama 20 jam dengan menggunakan alat ozonisator yang kemudian ozonida yang terbentuk direduksi dengan Zn dalam suasana asam asetat. Kondensasi campuran aldehida turunan minyak jarak dengan etilendiamina dilakukan dengan cara refluks pada suhu 115-120oC dalam pelarut toluena selama 4 jam. Dari sebanyak 300 ml minyak jarak yang diozononolis diperoleh sebanyak 220 ml campuran aldehida, dimana hasil analisa dengan spektroskopi FT-IR memperlihatkan puncak vibrasi C-H aldehida pada daerah bilangan gelombang 2669 cm-1. Selanjutnya dari sebanyak 10 g campuran aldehida yang dikondensaikan dengan etilendiamina dihasilkan basa Schiff sebanyak 9,4 g yang dibuktikan melalui analisa spektroskopi FT-IR menunjukkan adanya uluran C=N pada puncak spektrum daerah bilangan gelombang 1635 cm-1. Uji aktivitas basa Schiff sebagai inhibitor korosi pada konsentrasi 1000 ppm hingga 7000 ppm memberikan nilai efisiensi yang lebih besar dimana nilai efisiensi yang paling besar adalah pada konsentrasi 7000 ppm yaitu sebesar 77,37 % sedangkan minyak jarak, campuran aldehida turunan minyak jarak dan etilendiamina masing-masing hanya 30,26 % , 20,58 % dan 50,23 %.
(17)
SYNTHESIS OF SCHIFF BASES THROUGH CONDENSATION REACTION OF ETHYLENEDIAMINE WITH ALDEHYDE WHICH RESULTS BY
OZONOLYSIS OF CASTOR OIL (Ricinus communis Linn) AND THE ACTIVITY TEST AS AN INHIBITOR
OF CORROSION ON METAL ZINC
ABSTRACT
Schiff bases have been synthesized through the condensation reaction of ethylenediamine with mixture of aldehydes which results by ozonolysis of castor oil, continued its activity test as an inhibitor of corrosion on zinc metal in the acidic medium of 0.1 N HCl solution. Ozonolysis of castor oil has done at a temperature of about -5 to 5°C in methanol and 5% KI for 20 hours by using the ozonisator and ozonida which formed then reduced with Zn in acetic acid solution. Condensation reaction of mixture aldehydes with ethylenediamine has done by reflux at a temperature of 115-120oC in the toluene solvent for 4 hours. From 300 ml of castor oil which have been ozonolysis can be obtained 220 ml mixture of aldehydes and the analysis by FT-IR spectroscopy showed aldehyde C-H vibration peaks at wave number region 2669 cm-1. Furthermore, from 10 g mixture of aldehydes which have been condensation with ethylenediamine can be obtained 9.4 g of Schiff bases and the analysis by FT-IR spectroscopy showed the presence of C=N stretch at peak spectral wave number region 1635 cm-1. Activity test Schiff bases as corrosion inhibitor at a concentration of 1000 ppm to 7000 ppm gave values greater efficiency where the greatest efficiency at a concentration of 7000 ppm is equal to 77.37%, while castor oil, mixture of aldehydes and ethylenediamine respective each only 30.26%, 20.58% and 50.23%.
(18)
BAB 1
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Korosi adalah suatu degredasi atau penurunan mutu logam akibat reaksi kimia suatu logam dengan lingkungannya (Priest, 1992). Dampak korosi yang ditimbulkan sangat besar pengaruhnya terhadap kehidupan manusia. Misalnya dari segi ekonomi tingginya biaya perawatan, dari segi keamanan misalnya robohnya bangunan atau jembatan, dan dari segi lingkungan misalnya adanya proses pengkaratan besi yang berasal dari berbagai konstruksi yang dapat mencemarkan lingkungan (Trethewey dan Chamberlain, 1991).
Di Indonesia permasalahan korosi perlu mendapat perhatian serius, mengingat dua pertiga wilayah nusantara terdiri dari lautan dan terletak pada daerah tropis dengan curah hujan yang tinggi, kandungan senyawa klorida yang tinggi dimana lingkungan seperti ini terkenal sangat korosif (Asdim, 2001).
Karena di Indonesia secara kuantitatif belum pernah dihitung jumlah kerugian akibat serangan karat, maka dapat diambil sebagai gambaran bahwa di Amerika kerugian akibat serangan karat mencapai 15 miliar dollar pertahun atau sekitar 15 triliun rupiah. Jika jumlah kerugian dari akibat serangan karat di Indonesia 10% dari Amerika maka jumlahnya mencapai 1,5 triliun. Jumlah ini mencakup kehilangan jam produksi, ganti rugi kerusakkan, klaim-klaim, biaya perbaikan dan lain-lain (Widharto, 2004).
Korosi tidak dapat dicegah tetapi lajunya dapat dikurangi (Hermawan, 2007). Pencegahan korosi antara lain dengan pelapisan (coating), proteksi katodik maupun
(19)
anodik, dan dapat pula dicegah dengan menggunakan inhibitor (Widharto, 2004). Sejauh ini penggunaan inhibitor merupakan salah satu cara yang paling efektif untuk mencegah korosi, karena biayanya yang relatif murah dan prosesnya yang sederhana (Hermawan, 2007). Penambahan inhibitor dalam jumlah kecil pada suatu sistem korosi dapat meminimalkan laju korosi pada konsentrasi tertentu (Escalante, 1990; Uhlig, 1985).
Dalam perkembangannya, penelitian korosi diarahkan pada penggunaan senyawa organik sebagai inhibitor korosi karena murah, lebih ramah lingkungan dan daya inhibisi korosinya lebih efektif daripada senyawa anorganik (Srhiri et al, 1996;
Heeg et al, 1998; Rajendran et al, 2001; Stupnisek et al, 2002). Biasanya inhibitor
organik adalah senyawa-senyawa organik yang memiliki atom elektronegatif seperti S, N, O dan selebihnya banyak senyawa N-heterosiklik yang merupakan inhibitor yang efektif untuk korosi baja pada media asam, seperti asam klorida (Asan et al,
2008). Seperti metanamina yang merupakan satu senyawa organik yang memiliki struktur trisiklo dengan empat buah atom N tersier. Keempat atom N tersebut memiliki potensi untuk berinteraksi dengan permukaan logam sehingga dapat melindungi logam dari proses korosi (Wahyuningsih dkk, 2010).
Basa Schiff merupakan contoh senyawa inhibitor korosi yang telah menarik perhatian karena kemampuannya yang efisien sebagai inhibitor korosi untuk beberapa jenis logam (Shokry et al, 2002). Basa Schiff dihasilkan melalui reaksi
kondensasi antara aldehida ataupun keton dengan amina primer.
Banyak peneliti telah melakukan uji efisiensi basa Schiff sebagai inhibitor korosi terhadap logam dalam media asam HCl, diantaranya Mohammed (2011) mensintesis basa Schiff melalui kondensasi Sinamaldehida dengan 2-aminofenol dan mengujikannya terhadap logam karbon dalam HCl 0,5 N dan diperoleh nilai efisiensi
R C
O
H + aldehida
R' NH2 R C
H N R' + H2O basa Schiff
(20)
inhibitor sebesar 92%. Singh and Quraishi (2012) menguji efisiensi inhibitor korosi
basa Schiff Etilendiamina bis-isatin 125 ppm terhadap logam lunak dalam HCl 1 N dan diperoleh nilai efisiensi inhibitor sebesar 93 %.
Gravier et al (2012), telah mensintesis basa Schiff yang memiliki kemampuan
sebagai inhibitor korosi terhadap carbon steel dalam media asam HCl 2 N dengan
memanfaatkan minyak kedelai yang mengandung asam lemak tidak jenuh yang kemudian diozonolisis diikuti dengan reaksi kondensasi dengan benzilamina sebagai penyumbang gugus amina primer.
Minyak jarak mengandung asam lemak tidak jenuh yang sangat tinggi terutama asam risinoleat (86 %). Minyak jarak dapat diperoleh dari tanaman jarak (Ricinus communis Linn) yang merupakan tanaman yang banyak hidup di daerah
tropis. Tanaman jarak telah lama dikenal di Indonesia dan merupakan tanaman yang cukup mudah dibudidayakan (Ketaren, 2008).
Dari uraian yang dikemukakan di atas peneliti tertarik untuk mensintesis basa Schiff dengan memanfaatkan kandungan asam lemak tidak jenuh minyak jarak melalui ozonolisis dan diikuti dengan reaksi kondensasi dengan etilendiamina dan uji efisiensi basa Schiff yang diperoleh sebagai inhibitor korosi terhadap logam seng dalam media HCl 0,1 N.
1.2. Permasalahan
1. Apakah kondisi reaksi yang dilakukan dalam proses ozonolisis terhadap minyak jarak dapat menghasilkan aldehida
2. Apakah basa Schiff dapat disintesis melalui reaksi kondensasi etilendiamina dengan aldehida hasil ozonolisis terhadap minyak jarak
3. Apakah efisiensi basa Schiff yang dihasilkan sebagai inhibitor korosi lebih besar dibandingkan dengan minyak jarak, campuran aldehida turunan minyak jarak dan etilendiamina terhadap logam seng
(21)
1.3. Pembatasan Masalah
Penelitian ini dibatasi pada cara mensintesis basa Schiff melalui reaksi kondensasi etilendiamina sebagai penyumbang gugus amina primer dengan campuran aldehida dari hasil ozonolisis minyak jarak dan uji efisiensi inhibitor korosinya dalam media asam yaitu HCl 0,1 N terhadap logam seng menggunakan metode kehilangan berat.
1.4. Tujuan Penelitian
1. Untuk menghasilkan aldehida melalui ozonolisis terhadap minyak jarak
2. Untuk menghasilkan basa Schiff yang disintesis melalui reaksi kondensasi etilendiamina dengan aldehida hasil ozonolisis
3. Untuk mengetahui efisiensi basa Schiff yang dihasilkan sebagai inhibitor korosi dibandingkan dengan minyak jarak, campuran aldehida minyak jarak dan etilendiamina terhadap logam seng
1.5. Manfaat Penelitian
Diharapkan dari hasil penelitian ini dapat memberikan informasi khusus dalam bidang kimia organik mengenai bagaimana cara mensintesis basa Schiff melalui reaksi kondensasi etilendiamina dengan aldehida hasil ozonolisis minyak jarak dan diharapkan basa Schiff yang diperoleh dapat dimanfaatkan dalam kehidupan sehari-hari maupun industri sebagai inhibitor korosi terhadap logam seng.
1.6. Metodologi Percobaan
Penelitian dilakukan melalui eksperimen di Laboratorium. Minyak jarak diozonolisis dengan menggunakan ozonisator selama 20 jam dimana hasilnya direduksi dengan serbuk Zn dan asam asetat encer dan diaduk hingga merata. Campuran disaring untuk memisahkan serbuk Zn, selanjutnya ditambahkan akuades dan didestilasi vakum
(22)
untuk memisahkan asam asetat. Campuran aldehida turunan minyak jarak yang diperoleh kemudian dikondensasi dengan etilendiamina dengan cara direfluks selama empat jam pada suhu 115-120oC dalam pelarut toluena. Hasilnya kemudian didestilasi vakum untuk menguapkan sisa etilendiamin dan pelarut toluena sehingga diperoleh basa Schiff, kemudian diuji efisiensi inhibitor korosinya terhadap logam seng dalam media HCl 0,1 N.
1.7. Lokasi Penelitian
Ozonolisis minyak jarak, sintesis basa Schiff dan uji efisiensi inhibitor korosi dilakukan di Laboratorium Kimia Organik FMIPA USU Medan, penimbangan berat spesimen seng dilakukan di Laboratorium Analitik FMIPA USU, uji bilangan Iodin dilakukan di salah satu Laboratorium Perusahaan Swasta di Medan dan analisa Spektroskopi FT-IR dilakukan di laboratorium Kimia Organik FMIPA UGM Yogyakarta.
(23)
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Minyak Jarak
Minyak jarak yang sering disebut sebagai minyak ricinus adalah cairan kental berwarna kuning pucat yang diperoleh dari biji tanaman jarak. Tanaman jarak (Ricinus communis Linn) termasuk dalam famili Euphorbiaceae, merupakan tanaman
yang hidup di daerah tropik, dan dapat tumbuh pada ketinggian 0-800 m di atas permukaan laut. Tanaman jarak telah lama dikenal di Indonesia.
Minyak jarak yang sering disebut castor oil merupakan suatu senyawa
trigliserida yang dapat dibedakan dengan gliserida lainya dari komposisi asam lemaknya, viskositas, bilangan asetil dan kelarutanya dalam alkohol yang sangat tinggi. Biji mengandung 54% minyak yang disusun oleh beberapa jenis asam lemak sebagai trigliserida diantaranya asam risinoleat, oleat, linoleat, asam palmitat, asam stearat, dan asam linolenat.
Sebelum digunakan untuk berbagai macam keperluan, minyak jarak perlu diolah terlebih dahulu. Pengolahan ini meliputi dehidarasi, oksidasi hidrogenasi, sulfitasi, penyabuanan dan sebagainya. Pengolahan itu menyebabkan perubahan sifat fisika kimia minyak jarak (Ketaren, 2008). Sifat fisika dan kimia minyak jarak dapat dilihat pada Tabel 2.1.
Minyak jarak dan turunannya digunakan dalam industri cat, varnish, lacquer, pelumas, tinta, linoleum, oil cloth, dan sebagai bahan baku dalam industri-industri
(24)
plastik dan nilon. Dalam jumlah kecil minyak jarak dan turunannya juga digunakan sebagai kosmetik, semir dan lilin.
Beberapa sifat fisika dan kimia minyak jarak adalah sebagai berikut : Tabel 2.1. Sifat Fisik dan Kimia Minyak Jarak ( Bailey, 1950 )
Karakteristik Nilai
Viskositas u-v (6,3-8,8 st)
Bobot jenis 20/20oC 0,957-0,963
Bilangan asam 0,4-4,0
Bilangan tak tersabun 0,7
Bilangan penyabunan 176-181
Bilangan Iod (Wijs) 82-88
Warna (appearance) Bening
Warna Gardner (max) Tidak lebih gelap dari 3'
Indebias n2D5 1,477-1,478
Kelarutan dalam alcohol Jernih (tidak keruh)
Bilangan asetil 145-154
Titik nyala (take close cup) 230oC Titik nyala (cleveland oven cup 285oC Antoignition temperature 449oC
Titik api 322oC
Koefisien muai per oC 0,00066
Pour point -33 oC
Tegangan permukaanpda 20 oC 39,9 dyne/cm
Minyak jarak berwarna kuning pucat, tetapi setelah dilakukan proses refining
dan bleaching warna tersebut hilang sehingga menjadi hampir tidak berwarna.
Minyak jarak ini dapat disimpan dan tidak mudah menjadi tengik. Kelarutanya dalam alkohol relatif tinggi, begitu juga di dalam eter, kloroform, dan asam asetat glasial. Minyak jarak tidak larut dalam minyak mineral kecuali kalau dicampur dengan minyak tumbuhan lain. Minyak jarak hampir keseluruhan berada dalam bentuk
(25)
trigliserida, terutama resinolein dengan asam risinoleat sebagai komponen asam lemaknya. Kandungan tokoferol yang relatif kecil (0,05%) serta kandungan asam lemak esensial yang sangat rendah menyebabkan minyak jarak ini berbeda dengan minyak nabati lainya (Weiss, 1983).
Minyak jarak mengandung asam lemak dengan komposisi dapat dilihat pada Tabel 2.2 dibawah ini:
Tabel 2.2 Komposisi Asam Lemak Minyak Jarak (Bailey, 1950)
Asam risinoleat merupakan komposisi utama dari trigliserida minyak jarak yaitu asam lemak yang memiliki struktur yang unik dibandingkan dengan asam lemak lemak lainnya yaitu turunan asam oleat (C18:1) yang pada posisi ω-7 memiliki gugus
hidroksil serta mengandung ikatan π pada posisi ω-9 (Miller, 1984).
Asam risinoleat (Asam 12-hidroksi-9-oktadekanoat) memiliki 18 atom karbon dengan 1 gugus hidroksi pada atom karbon ke 12 dan ikatan rangkap Cis antara atom karbon 9 dan 10. Berat molekul asam risinoleat 298,46. Adanya asam lemak risinoleat pada castor oil memiliki sifat yang khusus. Castor oil memiliki bilangan hidroksi dan asetil yang tinggi dan bilangan iodin yang sebanding dengan minyak lain serta viskositas dan berat jenis yang tinggi (Naughton, 1973 ).
H3C (CH2)5 HC OH
H2
C C
H CH (CH2)7 C O OH
Gambar 2.1. Struktur kimia asam risinoleat
Asam Lemak Jumlah (%)
Asam Risinoleat 86
Asam Oleat 8,5
Asam Linoleat 3,5
Asam Stearat 0,5 – 2,0
(26)
Adanya gugus hidroksil ini menyebabkan asam risinoleat bersifat lebih polar dibandingkan dengan asam lemak lainnya. Minyak yang mengandung asam lemak hidroksil merupakan bahan yang sangat penting. Pada penggunaannya gugus hidroksil tidak jenuh ini sering diubah menjadi gugus fungsi reaktif lainnya.
Minyak jarak bersifat sedikit toksik yang ditunjukkan oleh aktivitas pencahar yang ditimbulkannya bila dikonsumsi. Selain itu mengandung asam lemak esensialnya sangat rendah. Hal ini menyebabkan minyak jarak tidak dapat digunakan sebagai minyak makan dan bahan pangan ( Ketaren, 2008 ).
2.2.Aldehida
Aldehida mempunyai paling sedikit satu atom hidrogen pada gugus karbonilnya. Sedangkan gugus lainnya boleh berupa atom hidrogen, gugus alkil ataupun gugus aril.
R C
O
H
Aldehida
Senyawa aldehida secara umum diberi nama dengan mengganti akhiran -na pada alkana dengan –al. Rantai utamanya harus mengandung gugus –CHO dan atom karbon pada CHO diberi prioritas dengan nomor terendah (Riswiyanto, 2010).
Aldehida yang paling sederhana adalah formaldehida yang dikenal dengan nama formalin. Formaldehida biasanya diperdagangkan dalam bentuk larutan 37 % yang digunakan sebagai disinfektan dan bahan pengawet serta sebagai bahan utama pembuatan plastik (Siregar, 1988).
Karena oksigen lebih bersifat elektronegatif daripada karbon pada struktur aldehida, elektron dari ikatan karbonil ditarik ke arah atom oksigen, dan gugus karbonil bersifat polar. Kepolaran dari gugus karbonil ditunjukkan melalui arah tanda
(27)
panah yang menuju muatan negatif dari dipol. Aldehida tidak bisa mengalami reaksi substitusi karena tidak memiliki gugus pergi.
Aldehida bereaksi dengan beberapa zat pengoksidasi yaitu pereaksi Tollens (Ag+ dalam larutan NH3), pereaksi Benedict (Cu2+ dalam larutan natrium sitrat) dan
pereaksi Fehling (Cu2+ dalam larutan natrium tartat). Pereaksi ini mengoksidasi aldehida menjadi asam karboksilat dan ditandai dengan perubahan warna. Aldehida akan mereduksi pereaksi Fehling dan Benedict sedangkan ia sendiri akan teroksidasi dan ditandai dengan terbentuknya endapan merah bata Cu2O (Gambar 2.2) (Sarker and Lutfun, 2007).
CuSO4(aq) + NaOH(aq) Cu(OH)2(s) + Na2SO4(aq)
C OK O H H C OH OH O ONa
+ Cu(OH)2(s)
C OK O H H C O O O ONa
Cu + 2H2O(l)
Na-K-tartat Cu-Na-K-tartat C OK O H H C O O O ONa Cu Cu-Na-K-tartat R C O H
+ + H2O(l) R C
O OH + C OK O H H C OH OH O ONa Na-K-tartat
+ Cu2O(s)
merah bata
2 2 2
Gambar 2.2. Reaksi Pembentukkan Endapan Merah Bata pada Uji Fehling terhadap Aldehida
Pereaksi Tollens adalah amonia perak yang kompleks. Ketika pereaksi Tollens ditambahkan ke dalam tabung reaksi yang berisi aldehida, maka aldehida tersebut akan teroksidasi dan logam perak akan membentuk seperti cermin perak pada dinding tabung reaksi (Gambar 2.3). Pereaksi Tollens tidak mengoksidasi keton karena tidak
(28)
memiliki atom H pada karbonilnya. Oleh karena itu pereaksi-pereaksi ini adalah uji kualitatif yang sederhana yang istimewa untuk membedakan aldehida dari keton (Ouellette, 1994 ).
AgNO3(aq)+ AgOH(s) + NaNO3(aq)
2 AgOH(s) Ag2O(s) + H2O(l) Ag2O(s) + 4NH3(aq)
NaOH(aq)
2Ag(NH3)2OH(aq) cokelat
bening putih
+ H2O(l)
R C O
H + 2Ag(NH3)2OH(aq) R C O
OH + 2Ag(s) + 4NH3 + H2O cermin perak
Gambar 2.3. Reaksi Pembentukkan Cermin Perak pada Uji Tollens terhadap Aldehida
Beberapa reaksi aldehida : 1. Reaksi dengan air
Air dapat mengadisi suatu karbonil, untuk membentuk suatu 1, 1- iol, yang disebut gem-diol atau hidrat. Reaksi itu reversibel dan biasanya kesetimbangan terletak pada sisi karbonil.
R C
O
H + H2O H
+
R C
OH OH
H suatu hidrat (dua OH pada C) senyawa aldehida
2. Reaksi dengan alkohol
(29)
R C O
H
R'-OH H+
R C
OR'
OH H senyawa aldehida suatu hemiasetal
(OH dan OR pada C) R'-OH
H+
R C
OR'
OR'
H + H2O
suatu asetal ( dua OR pada C)
3. Reaksi dengan hidrogen sianida
Hidrogen sianida dapat mengadisi ke gugus karbonil suatu aldehida menghasilkan sianohidrin.
R C
O
H + R C
H CN H sianohidrin aldehida HCN CN
-4. Reaksi dengan amonia dan amina primer
Amina adalah suatu nukleofilik yang dapat menyerang gugus karbonil dari suatu aldehida dalam reaksi (Fessenden, 1999).
R C
O
H + aldehida
H NH2 H
+ R C OH NH2 H imina H2O
RCH NH
(30)
Dalam analisa spektroskopi infra merah kebanyakan aldehida menampakkan
serapan C-H aldehida pada daerah bilangan gelombang 2830-2695 cm-1 (3,53-3,71 µm). Dua buah pita yang sedang kuatnya seringkali teramati di daerah itu.
Adanya kedua buah pita itu merupakan hasil talunan Fermi antara getaran ulur dasar C-H aldehida dan nada lipat pertama getaran tekuk C-H-nya tergeser cukup jauh dari 1390 cm-1 (7,20 µm). Bagi aldehida-aldehida yang pita tekukkan C-H-nya tergeser cukup jauh dari 1390 cm-1 (7,20 µm), hanya akan teramati pita uluran C-H sebuah saja. Serapan yang menengah kuatnya di dekat 2720 cm-1 (3,68 µm) yang disertai
sebuah pita serapan karbonil merupakan bukti kuat perihal adanya gugus aldehida ( Silverstain et al, 1981).
Salah satu jalan untuk membuat aldehida adalah dengan jalan ozonolisis alkena. Atom karbon yang terlibat dengan ikatan rangkap yang mempunyai atom hidrogen akan membentuk aldehida (Siregar, 1988).
2.3. Ozonolisis
Di dalam lapisan atmosfir yang rendah (troposfer), ozon dibentuk dengan adanya intraksi antara asap fotokimia (disusun dengan hidrokarbon, nitrogen, sulfur, dan karbondioksida) dan radiasi sinar UV (Kley et al, 1999).
Suatu molekul ozon terdiri dari tiga atom oksigen yang terikat dalam suatu rantai. Kedua ikatan O-O sama panjang (1,29Å) dengan sudut ikatan 116°. Struktur paling tepat digambarkan sebagai suatu hibrida resonansi (Fieser and Mary, 1961)
O O
O
O O
O
O O
O +
(31)
Ozon sangat luas penggunaannya untuk memutus ikatan rangkap karbon-karbon untuk menghasilkan senyawa karbon-karbonil atau alkohol dengan kondisi tertentu. Reaksi ini biasanya dengan melewatkan aliran ozon dalam udara atau oksigen dalam larutan substrat dengan pelarut yang bersifat inert pada temperatur yang rendah. Pelarut yang dapat digunakan adalah pentana, heksana, etil eter, karbon tetraklorida, kloroform, diklorometana, etil asetat, DMF (Dimetilfomamida), metanol, etanol, H2O,
atau asam asetat. Pelarut yang paling sering digunakan adalah dikloromeana dan metanol atau campuran keduanya (Burke and Danheiser, 1999).
Ozonolisis (pemaksapisahan oleh ozon) telah digunakan untuk menetapkan struktur senyawa tak jenuh karena reaksi ini menyebabkan degredasi molekul besar menjadi molekul yang lebih kecil, yang dapat diidentifikasi.
Alkena memberi reaksi yang sangat cepat dengan ozon (O3). Ozonolisis terdiri
dari dua reaksi yang terpisah: (1) oksidasi alkena oleh ozon menjadi suatu ozonida, dan (2) oksidasi atau reduksi ozonida itu menjadi produk-produk final.Oksidasi awal biasanya dilakukan dengan mengalirkan ozon kedalam larutan alkena dalam suatu pelarut lamban (inert) seperti karbon tetraklorida. Ozon menyerang ikatan pi untuk menghasilkan suatu zat antara tak stabil yang disebut 1,2,3-triosolana. Zat antara ini kemudian mengalami sederetan transformasi (Fessenden, 1999). Produknya adalah suatu ozonida (1,2,4-trioksolana) (Gambar 2.5) yang jarang diisolasi karena mudah meledak sehingga diteruskan ke tahap kedua ( Siregar, 1988).
Reaksi kedua dalam ozonolisis adalah oksidasi atau reduksi dari ozonida itu (Gambar 2.6). Jika ozonida itu diselesaikan secara reduktif, maka karbon monosubstitusi dari alkena asli akan menghasilkan suatu aldehida. Jika diikuti penyelesaian oksidatif, maka karbon monosubstitusi akan menghasilkan asam karboksilat. Dalam kedua kasus itu, karbon disubstitusi alkena akan menghasilkan keton (Fessenden, 1999).
Reduksi dari ozonida dilakukan dengan hidrogenasi dengan menggunakan katalis palladium atau nikel, atau dengan menambahkan seng dengan asam asetat, trimetil posfit atau dengan dimetil sulfida ( Hudlicky, 1990).
(32)
C C H3C
H
CH3 CH3
O3 C C
H
CH3 H3C
O O
O
CH3 2-metil-2-butena ozon suatu 1,2,3-trioksolana
banyak tahap C
C H
CH3
H3C O O
CH3 O
suatu ozonida
(suatu 1,2,4-trioksolana) Gambar 2.5. Reaksi Oksidasi Alkena oleh Ozon
Zn H+, H2O
H3C C O
H asetaldehida
C C
H
CH3
H3C O O
CH3 O
suatu ozonida
Gambar 2.6. Reaksi Reduksi Ozonida menjadi Aldehida
Reaksi ozonolis minyak kedelai menghasilkan aldehida minyak kedelai yang dilakukan Gravier et al (2012) dapat dilihat pada Gambar 2.7.
Meskipun kurang umum digunakan, ozonolisis juga dapat memecah ikatan alkuna. Asam karboksilat dihasilkan dari alkuna internal. Alkuna membentuk satu molar ekivalen CO2 (Gambar 2.8) (Ouellette, 1994).
(33)
O O
O C
C
C O
O
O
O O
O C
C
C O
O
O
O
O
O
O
O O
+
+ +
Minyak kedelai
Pelargonaldehida
Malonaldehida Kaproaldehida
Aldehida turunan minyak kedelai
Zn, CH3COOH O3
Gambar 2.7. Reaksi Ozonolisis Minyak Kedelai
R C C R' 1. O3
2. Zn / H3O+
RCO2H + R'CO2H
R C C H
1. O3 2. Zn / H3O+
RCO2H + CO2
(34)
2.4.Etilendiamina
Etilendiamina (1,2- diamino etana) dibuat dari etilen diklorida dan amonia, sifatnya adalah tidak berwarna, jernih, mempunyai bau amonia, densitasnya 0,898 g/cm-3, titik didihnya 116-117°C, titik lebur 8,5, sedikit larut dalam eter, tidak larut dalam benzena, bersifat sangat basa sehingga mudah mengadsorbsi CO2 dari udara
membentuk karbonat yang tak mudah menguap. Etilendiamina digunakan sebagai pelarut untuk kasein, albumin dan sulfur, juga digunakan sebagai emulsifier, penstabil
lateks serta sebagai penghambat atau inhibitor dalam larutan anti beku (Anonimous, 1976).
H2N C C NH2
H H
H H
Gambar 2.9. Struktur Kimia Etilendiamina
Etilendiamina merupakan poliamina primer yang larut dalam air dan sangat higroskopis. Etilendiamina harus dilindungi dari kelembaban atmosfer dan CO2
selama pemurnian dan pemakaianya karena akan menyebabkan banyak kesalahan dalam hasil yang diperoleh.
Etilendiamina anhidrat dapat dimurnikan untuk menghilangkan air dan CO2
dengan pengadukan amin tersebut dengan NaOH ataupun KOH pelet selama beberapa jam, kemudian airnya didestilasi. Jumlah air dapat dikurangi dengan menambahkan suatu bahan pengering berupa molekular sieves maupun alumina.
Air yang diperoleh dapat dipindahkan dengan destilasi azeotrop. Etilendiamina dan air membentuk azeotrop yang negatif yang mempunyai titik didih 2°C diatas amina. Etilendiamina sebagai salah satu golongan kimia, merupakan antihistamin tertua yang bermanfaat dengan efek samping depresan sistem saraf pusat dan gastrointestinal yang kejadiannya relatif tinggi (Roberts, 1982).
(35)
2.5. Basa Schiff
Imina atau basa Schiff adalah senyawa yang dapat diperoleh dengan mereaksikan amina dengan keton atau aldehida. Senyawa ini menunjukkan gugus fungsi dari C=N (Streitwieser et al, 1992). Basa Schiff telah dikenal sejak tahun 1964 oleh Hugo
Schiff yang mengenalkan reaksi kondensasi antara amina primer dengan senyawa karbonil (Cimerman, 2000).
RCHO + R'NH2 RCH NR' + H2O
Basa Schiff Aldehida Amina primer
Gambar 2.10. Reaksi Pembentukkan Basa Schiff
Ammonia adalah nukleofil yang dapat menyerang gugus karbonil dari suatu aldehida atau keton dalam suatu reaksi adisi-eliminasi. Reaksi ini reversible dan
biasanya dikatalis oleh runutan asam. Produknya adalah imina tak tersubstitusi yang relatif tidak stabil dan berpolimerisasi bila didiamkan (Fessenden, 1999). Dalam larutan asam, imina dapat terhidrolisis menjadi aldehida kembali (Sarker and Lutfun,
2005).
Turunan amonia sederhana seperti amonia (NH3) dan amina primer (R-NH2)
bila ditambahkan aldehida akan menghasilkan basa Schiff atau imina (Wingrove et al,
1981).
Sebagai contoh:
H3C C O
H + H3C NH2 H3C C
N CH3 H etanal aminometana
asetaldehin H+
eter
(asetaldehida) (metilamina)
CaCl2
Benzaldeanilina adalah salah satu contoh basa Schiff yang diperoleh dengan reaksi kondensasi anilin dengan bezaldehida (Gambar 2.11) (Bahl, 2004).
(36)
NH2 + C O
anilina benzildehida
H
N C
H
+ H2O N-benzylidenebenzenamine
Gambar 2.11. Reaksi Anilina dengan Benzaldehida
Beberapa peneliti yang telah mensintesis basa Schiff adalah sebagai berikut :
1) Ummathur et al (2009) mereaksikan senyawa diamina alifatik (1,2-diaminoetana,
1,3-diaminopropana and 1,6-diaminoheksana) dengan 3-[2-(1,3-benzothiazol-2-yl) hydrazinylidene] pentane-2,4-dione dalam kondisi yang spesifik (Gambar 2.12).
N R1
H H
H
R2 R2 H
O N
R1 MeOH , KOH
CH3COOH +
Gambar 2.12. Reaksi cefixime dengan aldehida
2) Essa et al (2012) telah mensintesis beberapa basa Schiff melalui kondensasi
antara aminobenzyl) benzanamine dengan 2-hydroxybenzaldehide, 4-(4-aminophenylthio) benzanamine dengan 2-hydroxybenzaldehide serta kondensasi antara terephtalohydrazide dengan 2-hydoxy-3-methoxybenzaldehyde (Gambar 2.13).
3) Aslam et al (2012) mereaksikan cefixime dengan aldehydes menghasilkan basa
(37)
H2 C
H2N NH2
H2 C N N CHO OH + CH OH HO HC 4-(4-aminobenzyl)benzenamine 2-hydroxybenzaldehyde
2 + 2H2O
basa Schiff I
H2N NH2
S + 2 CHO OH N N S CH OH HO HC 4-(4-aminophenylthio)benzenamine 2-hydroxybenzaldehyde
+ 2H2O
basa Schiff II
C C
O O
HN NH
NH2 NH2
+ 2
H3CO
HO CH 2-hydroxy-3-methoxybenzaldehyde terephthalohydrazide C C O O HN NH N N OH OCH3 HC H3CO
HO OHC
+ 2H2O
basa Schiff III
Gambar 2.13. Beberapa Reaksi Kondensasi Pembentukan Basa Schiff
N S
N H
H3C O
CH3 + H2N (CH2)n NH2
-2 H2O
N S
N N H
H3C O CH3 N N S N N CH3 2
(CH2)n
H3C
O N H N
O
3-[2-(1,3-benzothiazol-2-yl) hydrazinylidene] pentane-2,4-dione
Gambar 2.14. Reaksi diamina alifatik dengan 3-[2-(1,3-benzothiazol-2-yl) hydrazinylidene]pentane-2,4-dione
(38)
4) Gravier et al (2012) melakukan reaksi kondensasi antara aldehida turunan minyak
kedelai dengan benzilamina membentuk basa Schiff, dimana reaksinya dapat dilihat pada Gambar 2.15.
H2N HC2
N C O O O C C O O
N HC2 N HC2
N HC2 + + + benzilamina H2 C Basa Schiff O O O C C C O O O O O O O O O + + + Pelargonaldehida Malonaldehida Kaproaldehida
campuran aldehida turunan minyak kedelai
Gambar.2.15. Reaksi Campuran Aldehida Turunan Minyak Kedelai dengan Benzilamina
Dalam analisa spektroskopi infra merah senyawa basa Schiff (RCH=NR) memperlihatkan serapan C=N basa Schiff pada daerah bilangan gelombang 1689-1471 cm-1 (5,92-6,80µm). Walaupun intensitas dari uluran C=N bervariasi, biasanya
(39)
2.6.Korosi
Korosi atau yang sering disebut karat adalah suatu proses pembusukkan suatu bahan atau perubahan sifat suatu bahan akibat pengaruh atau reaksinya dengan lingkungan sekitarnya. Hampir tidak ada benda padat yang tidak dapat berkarat atau kebal terhadap serangan karat, masing-masing bahan memiliki kelebihan dan kelemahan terhadap jenis-jenis karat tertentu (Widharto, 2004).
Fontana (1986) mendefenisikan korosi sebagai fenomena kerusakan material yang diakibatkan oleh adanya reaksi kimia antara material tersebut dengan lingkungan yang tidak mendukung. Reaksi elektrokimia korosi dapat dilihat pada kerusakan zinc
(seng) akibat asam klorida (HCl). Ketika zinc ditaruh dalam larutan HCl, maka akan
terjadi reaksi dimana gas hidrogen akan terbentuk dan zinc akan terlarut, membentuk zinc klorida.
Persamaannya adalah :
Zn(s) + 2HCl(aq) ZnCl2(aq) + H2(g)
Ion klorida bukan merupakan unsur yang ikut bereaksi maka persamaannya dapat dituliskan :
Zn(s) + 2H+(aq) Zn2+(aq) + H2(g)
Dengan melihat persamaan reaksi kimia di atas maka dapat disimpulkan bahwa zinc
dioksidasi menjadi menjadi ion zinc dan ion hidrogen. Oleh sebab itu maka reaksi
kimia di atas dapat dibagi menjadi 2 kelompok :
Zn(s) Zn2+(aq)+ 2e (Reaksi Anoda) 2H+
(40)
Reaksi anoda diindikasikan dengan naiknya bilangan valensi dan terjadinya produksi elektron. Reaksi katoda diindikasikan dengan terjadinya konsumsi elektron sehingga menyebabkan penurunan jumlah elektron. Hal ini merupakan prinsip utama korosi yang dapat dituliskan “ Ketika dalam suatu logam terjadi korosi maka laju oksidasi akan sama dengan laju reduksi” (Fontana, 1986).
2.6.1 Faktor-faktor yang Mempengaruhi Proses Korosi
Beberapa faktor lingkungan yang dapat mempengaruhi proses korosi, yaitu : 1. Suhu
Kenaikan suhu akan menyebabkan bertambahnya laju korosi. Hal ini terjadi karena makin tinggi suhu maka energi kinetik dari partikel-partikel yang bereaksi akan meningkat sehingga melampaui besarnya harga energi aktivasi dan akibatnya laju korosi juga akan makin cepat, begitu juga sebaliknya (Fogler, 1992).
2. Kecepatan alir fluida
Laju korosi cenderung bertambah jika laju atau kecepatan aliran fluida bertambah besar. Hal ini karena kontak antara zat pereaksi dan logam akan semakin besar sehingga ion-ion logam akan makin banyak yang lepas sehingga logam akan mengalami kerapuhan.
3. pH Larutan
pH rendah (kondisi asam) merupakan penyebab utama terjadinya korosi. Hal ini berhubungan dengan keasaman atau kebasaan suatu larutan.
4. Gas dan Padatan terlarut
Adanya gas yang terdapat di dalam media korosif dapat bereaksi dengan permukaan logam sehingga meyebabkan terjadinya korosi. Demikian juga pada padatan terlarut yang berpotensi untuk menyerang lapisan logam dan membentuk kerak.
(41)
5. Waktu kontak
Besarnya laju korosi tergantung pada lamanya waktu kontak antara logam dengan media korosif. Semakin lama waktu kontak antara logam dengan media korosif, maka laju korosi pun semakin kecil, begitu juga sebaliknya (Setiadi, 2007).
2.6.2. Pencegahan Korosi
Korosi tidak dapat dicegah tetapi lajunya dapat dikurangi (Hermawan, 2007). Cara terbaik untuk mencegah terjadinya serangan karat adalah dengan menciptakan suatu situasi atau suasana lingkungan yang menetralisir terjadinya proses pengkaratan, mempergunakan bahan pelapis permukaan yang anti terhadap suatu jenis karat tertentu, atau menggunakan bahan yang tahan terhadap jenis karat tertentu (Widharto, 2004). Pencegahan korosi dapat dijelaskan sebagai berikut.
1. Pelapisan / Coating
Proses pelapisandilakukan dengan memberikan suatu lapisan yang dapat mengurangi kontak antara logam dengan lingkungannya. Lapisan pelindung yang sering dipakai adalah bahan metalik, anoganik ataupun organik yang relatif tipis.
2. Aliasi logam
Aliasi logam dibuat dengan cara mencampurkan suatu logam dengan logam yang lain. Unsur yang biasa ditambahkan dalam pencampuran logam adalah krom (Cr). Aliasi logam ini bertujuan agar mutu suatu logam akan meningkat (Djaprie, 1995).
3. Proteksi katodik
Proteksi katodik dilakukan dengan membuat suatu sel elektrokimia yang bersifat katodik dengan cara menghubungkan logam yang mempunyai potensial tinggi sebagai katoda (logam yang ingin diproteksi) ke struktur logam yang berpotensial rendah sebagai anoda (terkorosi) (Fahrurrozie, 2009).
(42)
4. Penambahan inhibitor
Inhibitor adalah senyawa tertentu yang ditambahkan pada larutan elektrolit untuk mengurangi korosi logam. Inhibitor terdiri dari anion atom-ganda yang dapat masuk ke permukaan logam, dengan demikian dapat menghasilkan selaput lapisan tunggal yang kaya oksigen (Djaprie, 1995).
2.6.3. Inhibitor Korosi
Inhibitor korosi adalah zat kimia, baik senyawa anorganik maupun organik, yang bereaksi dengan permukaan logam, atau dengan lingkungan tempat permukaan logam berinteraksi, dan kemudian memberikan perlindungan yang cukup pada permukaan logam terhadap proses korosi (Bentiss et al, 2004; Lopez et al, 2004). Apabila
inhibitor ditambahkan kedalam lingkungan korosif, maka laju serangan zat agresif akan berlangsung sampai tingkat tertentu (Trethewey, 1991). Prinsip intraksi antara inhibitor dengan permukaan logam adalah adsorpsi kimia (Ashraf et al, 2011).
Inhibitor akan membentuk lapisan pelindung yang terbentuk akibat reaksi dari larutan dengan permukaan yang mengalami korosi (Jones, 1996).
Secara kualitatif inhibitor terdiri dari : 1. Inhibitor Anodik
Inhibitor anodik adalah inhibitor yang menurunkan laju reaksi di anodik dengan cara meningkatkan polarisasi anoda melalui reaksi dengan ion-ion logam untuk menghasilkan selaput-selaput pasif tipis berupa lapisan-lapisan garam yang kemudian menyelimuti permukaan logam
2. Inhibitor katodik
Inhibitor katodik adalah inhibitor yang berpengaruh terhadap reaksi di katoda. Pembentukan hidrogen di katoda akan dikendalikan melalui peningkatan polarisasi sistem. Garam-garam logam seperti arsen, bismut, dan antimon ditambahkan dalam kebutuhan ini, untuk membentuk selaput tipis hidrogen yang teradsorpsi pada permukaan katoda.
(43)
3. Inhibitor Adsorpsi
Inhibitor adsorbsi adalah molekul-molekul organik rantai panjang dengan rantai samping teradsorpsi dan terdesorpsi dari permukaan logam. Molekul-molekul berukuran besar ini dapat membatasi difusi O2 kepermukaan logam atau
memerangkap ion-ion logam dipermukaan, memantapakan lapisan ganda dan mereduksi laju pelarutan.
4. Inhibitor Amina
Inhibitor amina adalah suatu senyawa organik yang mengandung nitrogen trivalen, yang terikat pada satuatom karbon atau lebih, seperti : RNH2, R2NH,
dan R3N. Amina dapat dikelompokan dalam tiga jenis yaitu amina primer,
sekunder, dan tersier. Pengelompokan ini berdasarkan banyaknya substituen alkil atau aril yang terikat pada nitrogen. Produksi senyawa amino alipatik di dunia adalah 100.000 ton per tahun yang merupakan senyawa organik perantara yang terpenting dalam industri kimia. Penggunaan senyawa ini cukup luas, seperti : obat-obatan, bahan celup, surfaktan, danplastik. Selain itu senyawa amino alipatik ini juga dikenal sebagai zat anti korosi (Ulmann, 1985).
Adapun mekanisme kerja inhibitor dapat dibedakan sebagai berikut:
1. Inhibitor teradsorpsi pada permukaan logam, dan membentuk suatu lapisan tipis dengan ketebalan beberapa molekul inhibitor. Lapisan ini tidak dapat dilihat oleh mata biasa, namun dapat menghambat penyerangan lingkungan terhadap logamnya.
2. Melalui pengaruh lingkungan (misalnya pH) menyebabkan inhibitor dapat mengendap dan selanjutnya teradsorpsi pada permukaan logam serta melindunginya terhadap korosi. Endapan yang terjadi cukup banyak, sehingga lapisan yang terjadi dapat terlihat oleh mata.
3. Inhibitor terlebih dahulu mengkorosi logamnya, dan menghasilkan suatu zat kimia yang kemudian melalui peristiwa adsorpsi dari produk korosi tersebut membentuk suatu lapisan pasif pada permukaan logam.
4. Inhibitor menghilangkan konstituen yang agresif dari lingkungannya ( Dalimunthe, 2004).
(44)
2.6.4. Teknik Penentuan Efisiensi Inhibitor
Ada beberapa cara untuk menguji atau mengevaluasi efisiensi suatu inhibitor dapat dilakukan dengan beberapa teknik, yaitu teknik kehilangan berat, teknik gasometrik, teknik elektrokimia, spektroskopi impedansi elektrokimia, dan pengukuran polarisasi. 1. Teknik Kehilangan Berat
Penentuan dengan teknik kehilangan berat, persentasi efisiensi inhibitor dapat dihitung dengan variasi konsentrasi inhibitor menggunakan rumus berikut ini:
EI (%) = W0 - W1
W0 x 100 %
dimana:
EI : Efisiensi Inhibitor
W0 : Berat kehilangan tanpa inhibitor
W1 : Berat kehilangan dengan inhibitor
2. Teknik Gasometri
Penentuan efisiensi inhibitor dengan teknik gasometri didasarkan pada volume gas hidrogen yang dibebaskan dengan variasi konsentrasi larutan inhibitor dalam kondisi yang sama. Rumus efisiensi inhibitor dengan teknik ini adalah sebagai berikut :
EI (%) = VB - VI
VB x 100
Dimana,
VB : Volume gas hidrogen yang bertambah tanpa inhibitor
VI : Volume gas hidrogen yang bertambah dengan inhibitor
(45)
Pengukuran efisiensi inhibitor dengan teknik ini menggunakan suatu anoda dan katoda pada permukaan suatu logam, dimana pengaruh inhibitor akan mereduksi arus.
4. Spektroskopi impedansi elektrokimia
Pada teknik ini dilakukan dengan bantuan komputer dengan mengukur perpindahan muatan resistansi pada logam.
EI (%) = Rt(inh) - Rt(blank) Rt(inh) x 100
Dimana,
Rt(inh) : Perpindahan muatan resistansi dengan adanya inhibitor
Rt(blank) : Perpindahan muatan resistansi tanpa adanya inhibitor (Chitra et al,
2010).
Dalam penelitian ini peneliti memlilih menggunakan teknik kehilangan berat untuk menentukan efisiensi inhibitor korosi, dimana lempengan seng ditimbang sebelum dan sesudah dilakukan perendaman dalam larutan inhibitor untuk menentukan kehilangan beratnya sehingga dapat ditentukan efisiensi inhibitor korosinya.
(46)
BAB 3
METODE PENELITIAN
3.1.Alat-alat
Alat-alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah :
Ozonisator AOSN
Gelas Erlenmeyer 1000 ml Pyrex
Labu leher tiga 500 ml Pyrex
Gelas ukur 250 ml Pyrex
Gelas ukur 10 ml Pyrex
Labu takar 1000 ml Pyrex
Labu takar 250 ml Pyrex
Labu takar 100 ml Pyrex
Kondensor bola Pyrex
Alat vakum Fison
Botol Akuades Statif dan Klem
Neraca analitis Shimadzu
Hotplate stirrer Fisons
Spektrofotometer FT-IR Shimadzu
Rotarievaporator Heidolph
Tabung reaksi Pyrex
Termometer 210oC Fisons
Corong Pyrex
Corong Penetes Pyrex
Stopper Pyrex
(47)
Spatula Pipet tetes Desikator Kertas saring Teflon
3.2. Bahan-bahan
Bahan-bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah : Minyak Jarak
Kalium Iodida p.a E’merck
Metanol p.a E’merck
Etilendiamina p.a E’merck
Serbuk Zn
Asam Asetat p.a E’merck
Asam Klorida p.a E’merck
CaCl2 Anhidrous p.a E’merck
Akuades
Asam Klorida p.a E’merck
Es Batu
3.3. Prosedur Penelitian
3.3.1. Pembuatan Reagen
3.3.1.1. Pembuatan KI 5 %
Ditimbang KI sebanyak 5 gram dan dilarutkan dengan akuades dalam labu takar 100 ml sampai tanda batas.
(48)
3.3.1.2. Pembuatan CH3COOH 20%
Sebanyak 20 ml CH3COOH glasial dilarutkan dengan akuades dalam labu takar
100 ml sampai tanda batas.
3.3.2. Ozonolisis minyak Jarak
Ke dalam gelas Erlenmeyer 1000 ml dimasukkan minyak jarak sebanyak 300 ml, 100 ml pelarut metanol dan 150 ml KI 5% kemudian diaduk. Diozonolisis campuran selama 20 jam pada suhu sekitar -5 sampai 5oC dengan alat ozonisator. Hasil ozonolisis selanjutnya direduksi dengan menambahkan 5 g serbuk Zn dan 200 ml asam asetat encer, diaduk selama ±15 menit dan disaring dengan corong vakum. Filtrat yang diperoleh kemudian ditambahkan dengan akuades dan diuapkan dengan destilasi vakum. Campuran aldehida turunan minyak jarak yang diperoleh kemudian diuji dengan pereaksi Fehling, pereaksi Tollens dan diuji bilangan Iodin serta dianalisa dengan spektroskopi FT-IR.
3.3.3. Sintesis Basa Schiff melalui Reaksi Kondensasi Campuran Aldehida Turunan Minyak Jarak dengan Etilendiamina
Sebanyak 10 g campuran aldehida turunan minyak jarak (0,0045 mol) dilarutkan dalam 20 ml toluena dan dimasukkan ke dalam labu leher tiga 500 ml. Dirangkai alat refluks, dilengkapi dengan perangkap air dan termometer. Dimasukkan stirer dan ditetesi 0,82 g etilendiamina (0,0136 mol) melalui corong penetes secara perlahan-lahan kemudian direfluks selama 4 jam pada suhu 115-120°C. Campuran kemudian didinginkan dan diuapkan pelarutnya dengan rotarievaporator. Hasil yang diperoleh kemudian diuji bilangan Iodinnya dan dianalisa dengan spektroskopi FT-IR.
(49)
3.3.4. Analisa Bilangan Iodin
Analisa ini dilakukan terhadap minyak jarak, campuran aldehida dari minyak jarak, dan basa Schiff minyak jarak.
Ditimbang sampel sebanyak ± 0,3 gram kedalam gelas Erlenmeyer 250 ml yang bertutup lalu ditambahkan 20 ml sikloheksana kemudian dikocok/diguncang untuk memastikan sampel telah benar-benar larut. Ditambahkan larutan Wijs kedalamnya kemudian ditutup dan dikocok agar campuran telah benar-benar bercampur dan disimpan bahan tersebut dalam ruang gelap selama ± 30 menit. Diambil bahan tersebut dari tempat penyimpanan dan ditambahkan 25 ml larutan KI 10% dan 150 ml air suling. Dititrasi dengan larutan Na2S2O3 0,1008 N sampai warna kuning hampir
hilang (kuning pucat). Ditambahkan 1-2 ml indikator amilum kedalamnya dan dititrasi kembali sampai warna biru hilang.
Dilakukan hal yang sama terhadap larutan blanko dan dihitung dengan rumus :
Bilangan iodin = (B-S) x N x 12,69 Massa sampel (gram)
Dimana : B = volume titrasi blanko (ml) S = volume titrasi sampel (ml) N = normalitas Na2S2O3
3.3.5. Uji Efisiensi Inhibitor
3.3.5.1. Persiapan Spesimen
Spesimen yang digunakan berupa seng diperoleh dari salah satu toko bangunan di Padang Bulan Medan. Digunting spesimen dengan panjang 5 cm dan lebar 1,5 cm dan tinggi 0,05 cm. Dihaluskan permukaannya dengan ampelas besi, dicuci dengan
(50)
akuades dan dikeringkan pada suhu kamar kemudian ditimbang spesimen sebagai berat awal.
3.3.5.2. Pembuatan Larutan Induk Korosif
Larutan korosi HCl 0,1 N dibuat dengan cara mengencerkan 8,29 ml HCl 37 % dalam labu takar ukuran 1000 ml sampai tanda batas dengan akuades.
3.3.5.3. Pembuatan Campuran Larutan Induk Inhibitor dan Larutan Induk Korosif sebagai Media Perendaman
Larutan induk inhibitor korosi basa Schiff 10.000 ppm dibuat dengan melarutkan 1 g inhibitor basa Schiff dengan labu takar 100 ml dengan HCl 0,1 N hingga tanda batas. Diencerkan kembali larutan induk inhibitor korosi basa Schiff dengan larutan media korosi HCl 0,1 N untuk memperoleh variasi konsentrasi basa Schiff 1000, 3000, 5000 dan 7000 ppm dalam labu takar 50 ml dan masing-masing dimasukkan ke dalam gelas sebagai media perendaman.
Dilakukan prosedur yang sama untuk pembuatan campuran larutan korosif dan larutan inhibitor minyak jarak, campuran aldehida turunan minyak jarak dan etilendiamina.
3.3.5.4. Penentuan Efisiensi Inhibitor
Dimasukkan spesimen seng ke dalam masing-masing gelas yang berisi 50 ml larutan perendaman dan dibiarkan selama 24 jam. Diangkat lempeng seng dari media korosi, dicuci dengan akuades dan disikat secara hati-hati dengan menggunakan sikat halus lembut, dikeringkan pada suhu kamar dan ditimbang serta dihitung effisiensi inhibisi korosinya.
(51)
Effisiensi inhibisi (% EI) ditentukan dengan teknik kehilangan berat dengan rumus :
% EI = W0 W1 W0
Χ 100 %
dimana W0 dan W1 adalah berat kehilangan spesimen (berat awal-berat akhir) dari
spesimen tanpa penambahan inhibitor dan dengan penambahan inhibitor (Aiad and
Negm, 2009)
Dilakukan prosedur yang sama untuk variasi waktu perendaman 72 jam dan 120 jam. Sebagai pembanding (kontrol) dilakukan perendaman yang sama dalam media perendaman tanpa penambahan inhibitor (hanya larutan korosif) dengan variasi waktu perendaman yang sama.
3.3.6. Analisa dengan Spektroskopi FT-IR
Untuk masing-masing sampel yaitu campuran aldehida turunan minyak jarak yang berwujud cair dioleskan pada plat NaCl hingga terbentuk lapisan tipis dan untuk sampel basa Schiff yang berwujud padat dicampurkan dengan KBr anhidrous dan dicetak hingga bentuk pellet yang transparan yang kemudian diukur adsorbansinya dengan alat spektrofotometer FT-IR
(52)
3.4 Bagan Penelitian
3.4.1 Ozonolisis Minyak Jarak
300 ml Minyak jarak
dimasukkan kedalam gelas Erlenmeyer ditambahkan 150 ml KI 5%
diaduk hingga merata
diozonolisis campuran pada suhu -5 sampai 5oC selama 20 jam dengan alat ozonisator
ditambahkan 5 g serbuk Zn
ditambahkan 200 ml asam asetat encer diaduk selama ±15 menit
disaring
Filtrat Residu
diuapkan asam asetat dengan destilasi vakum Hasil
dianalisa (diuji)
Pereaksi Fehling Pereaksi Tollens FT-IR ditambahkan dengan akuades
Hasil reaksi (ozonida)
Bilangan Iodin 1000 ml
(53)
3.4.2. Sintesis Basa Schiff melalui Reaksi Kondensasi Campuran Aldehida Turunan Minyak Jarak dengan Etilendiamina
10 g (0,0045 mol) campuran aldehida minyak jarak
dilarutkan dalam 20 ml toulena
dimasukkan ke dalam labu leher tiga
dirangkai alat refluks yang dilengkapi dengan
ditambahakan 0,82 g (0,0136 mol) etilendiamina
direfluks selama 4 jam pada suhu 115-120
oC
Campuran (hasil reaksi)
diuapkan pelarut dan kelebihan etilendiamina
Residu
(basa Schiff)
Destilat
dianalisa (uji)
FT-IR
Bilangan Iodin
Efisiensi inhibitor korosi
magnetik bar, termometer, tabung CaCl
2, dan
perangkap air
melalui corong penetes setetes demi setetes
sambil diaduk
(54)
3.4.3. Uji Efisiensi Inhibitor Korosi
3.4.3.1. Pembuatan Variasi Konsentrasi Campuran Larutan Induk Inhibitor dan Larutan Induk Korosif sebagai Media Perendaman
1 g Basa Schiff
dimasukkan ke dalam labu takar 100 ml
ditambahkan HCl 0,1 N sampai tanda batas
dihomogenkan
diencerkan kembali dengan HCl 0,1 N dalam labu takar 50 ml
basa Schiff 10.000 ppm
1000 ppm
3000 ppm
5000 ppm
7000 ppm
( Gelas I )
( Gelas II )
( Gelas III )
( Gelas IV )
untuk membuat variasi konsentrasi
3.4.3.2. Penentuan Efisiensi Inhibitor Korosi
Lempeng Seng ukuran 5 cm x 1,5 cm x 0,05 cm
dihaluskan permukaannya dengan ampelas besi
dicuci dengan akuades dan dikeringkan pada suhu kamar ditimbang sebagai berat awal
dimasukkan ke dalam gelas yang berisi media perendaman dibiarkan selama 24 jam
diangkat dari dalam gelas dikeringkan pada suhu kamar ditimbang sebagai berat akhir
dihitung efisiensi inhibitor korosinya Hasil
dicuci dan dibersihkan dengan sikat halus basa Schiff 1000 ppm
(55)
Dilakukan prosedur yang sama untuk variasi konsentrasi 3000, 5000 dan 7000 ppm dan variasi waktu perendaman 72 dan 120 jam demikian juga untuk penentuan efisiensi inhibitor korosi untuk minyak jarak, campuran aldehida minyak jarak dan etilendiamina.
Sebagai kontrol (pembanding) dilakukan juga perendaman lempengan seng dalam larutan korosif tanpa penambahan larutan inhibitor dengan variasi waktu yang sama yaitu 24, 72 dan 120 jam.
(56)
BAB 4
HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1.Hasil Penelitian
4.1.1. Ozonolisis Minyak Jarak
Ozonolisis terhadap minyak jarak pada suhu sekitar -5 sampai 5oC selama 20 jam dapat menghasilkan senyawa aldehida berupa campuran aldehida turunan minyak jarak. Dari 300 ml minyak jarak yang diozonolisis diperoleh 220 ml (73%) campuran aldehida. Uji terhadap pereaksi Fehling yang menghasilkan endapan merah bata dan dengan pereaksi Tollens yang menghasilkan endapan cermin perak pada dinding tabung reaksi. Analisa spektroskopi FT-IR menunjukkan spektrum dengan puncak-puncak serapan pada daerah bilangan gelombang 3857,63 cm-1, 3749,62 cm-1, 3433,29 cm-1, 2924,09 cm-1, 2854,65 cm-1, 2669,48 cm-1, 2337,72 cm-1, 2160,27cm-1, 2036,82 cm-1, 1928,82 cm-1, 1743,65 cm-1, 1658,78 cm-1, 1458,18 cm-1, 1373,32 cm-1, 1242,16 cm-1, 1165 cm-1, 1095,57 cm-1, 972,12 cm-1, 864,11 cm-1, 725,23 cm-1, 609,51 cm-1, 455,2 cm-1, 354,9 cm-1, 324,04cm-1 (Gambar 4.1).
4.1.1. Sintesis Basa Schiff melalui reaksi Kondensasi Campuran Aldehida Turunan Minyak Jarak dengan Etilendiamina
Reaksi kondensasi antara campuran aldehida minyak jarak dengan etilendiamina menggunakan pelarut toluena dapat menghasilkan basa Schiff. Dari 10 g campuran aldehida minyak jarak yang dikondensasikan dengan etilendiamina berlebih diperoleh basa Schiff sebanyak 9,4 g. Analisa spektroskopi FT-IR dihasilkan spektrum dengan puncak-puncak serapan daerah bilangan gelombang 3857,63 cm-1, 3749,62 cm-1,
(57)
3356,14 cm-1, 3294,42 cm-1, 2924,09 cm-1, 2854,65 cm-1, 2345,44 cm-1, 2252,86 cm-1, 2059,98 cm-1, 1728,22 cm-1, 1635,64 cm-1, 1550,77 cm-1, 1442,75 cm-1, 1381,03 cm-1, 1319,31 cm-1, 1280,73 cm-1, 1195,87 cm-1, 1033,85 cm-1, 879,54 cm-1, 432,05 cm-1, 385,76 cm-1, 362,62 cm-1, 308,61 cm-1 (Gambar 4.2).
Gambar 4.1. Spektrum FT-IR Campuran Aldehida Turunan Minyak Jarak
(58)
4.1.2. Penentuan Bilangan Iodin
Dari penentuan bilangan iodin terhadap minyak jarak, campuran aldehida turunan minyak jarak dan basa Schiff diperoleh:
Tabel 4.1. Hasil Uji Bilangan Iodin pada Minyak Jarak, Aldehida dan Basa Schiff
Sampel Bilangan Iodin
Minyak Jarak 87,84
Aldehida turunan minyak jarak 63,20
Basa Schiff 81,08
4.1.3. Uji Efisiensi Inhibitor Korosi
Penentuan efisiensi inhibitor korosi dilakukan dengan merendam lempeng seng dalam
gelas yang berisi media perendaman yaitu campuran larutan korosif (HCl 0,1 N) dan larutan inhibitor (minyak jarak, campuran aldehida minyak jarak,
basa Schiff dan etilendiamina) dengan variasi konsentrasi inhibitor 1000 ppm, 3000 ppm, 5000 ppm dan 7000 ppm dan tanpa penambahan larutan inhibitor dan variasi waktu perendaman 24 jam, 72 jam dan 120 jam. Hasil yang diperoleh dapat dilihat pada Tabel 4.2 sampai Tabel 4.6 di bawah ini:
Tabel 4.2. Hasil Perendaman Lempeng Seng dalam Larutan Korosif (HCl 0,1 N) tanpa Penambahan Inhibitor Korosi
Konsentrasi Inhibitor
(ppm)
Waktu Perendaman
(jam)
Berat Awal Lempeng
Seng (g)
Berat Akhir Lempeng
Seng (g)
Berat Kehilangan
Lempeng Seng (g)
Efisiensi Inhibitor
(%) 0
24
1,1447
1,0601 0,0846 -
72 1,0557 0,0890 -
(59)
Tabel 4.3. Hasil Perendaman Lempeng Seng dalam Larutan Korosif (HCl 0,1 N) dengan Penambahan Inhibitor Minyak Jarak
Konsentrasi Inhibitor (ppm) Waktu Perendaman (jam) Berat Awal Lempeng Seng (g) Berat Akhir Lempeng Seng (g) Berat Kehilangan Lempeng Seng (g) Efisiensi Inhibitor (%) Rata-rata Efisiensi Inhibitor (%) 1000 24 1,0651
0,9928 0,0723 14,5390
15,01
72 0,9883 0,0768 13,7078
120 0,9863 0,0788 16,7898
3000
24
1,1509
1,0847 0,0662 21,7494
24,38
72 1,0834 0,0675 24,1573
120 1,0826 0,0689 27,2439
5000
24
1,1185
1,0582 0,0603 28,7234
29,97
72 1,0554 0,0631 29,1011
120 1,0542 0,0643 32,1013
7000
24
1,0898
1,0298 0,0600 29,0780
30,26
72 1,0279 0,0619 30,4494
120 1,0247 0,0651 31,2565
Tabel 4.4. Hasil Perendaman Lempeng Seng dalam Larutan Korosif (HCl 0,1 N) dengan Penambahan Inhibitor Campuran Aldehida Turunan Minyak Jarak Konsentrasi Inhibitor (ppm) Waktu Perendaman (jam) Berat Awal Lempeng Seng (g) Berat Akhir Lempeng Seng (g) Berat Kehilangan Lempeng Seng (g) Efisiensi Inhibitor (%) Rata-rata Efisiensi Inhibitor (%) 1000 24 1,0900
1,0161 0,0739 12,6477
12,90
72 1,0117 0,0783 12,0224
120 1,0086 0,0814 14,0443
3000
24
1,0676
0,9943 0,0733 13,3569
14,27
72 0,9914 0,0762 14,3820
120 0,9872 0,0804 15,1003
5000
24
1,0666
0,9960 0,0706 16,5484
17,66
72 0,9948 0,0718 19,3258
120 0,9881 0,0785 17,1066
7000
24
1,0965
1,0264 0,0701 17,1394
20,58
72 1,0256 0,0709 20,3370
(60)
Tabel 4.5. Hasil Perendaman Lempeng Seng dalam Larutan Korosif (HCl 0,1 N) dengan Penambahan Inhibitor Etilendiamina
Konsentrasi Inhibitor (ppm) Waktu Perendaman (jam) Berat Awal Lempeng Seng (g) Berat Akhir Lempeng Seng (g) Berat Kehilangan Lempeng Seng (g) Efisiensi Inhibitor (%) Rata-rata Efisiensi Inhibitor (%) 1000 24 1,1016
1,0463 0,0553 34,6335
33,57
72 1,0420 0,0596 33,0337
120 1,0382 0,0634 33,0517
3000
24
1,1255
1,0720 0,0535 36,7612
37,17
72 1,0691 0,0564 36,6292
120 1,0669 0,0586 38,1203
5000
24
1,0813
1,0322 0,0491 41,9621
40,06
72 1,0281 0,0532 40,2247
120 1,0226 0,0587 38,0147
7000
24
1,1625
1,1186 0,0439 48,1087
50,23
72 1,1182 0.0443 50,2247
120 1,1174 0,0451 52,3759
Tabel 4.6. Hasil Perendaman Lempeng Seng dalam Larutan Korosif (HCl 0,1 N) dengan Penambahan Inhibitor Basa Schiff
Konsentrasi Inhibitor (ppm) Waktu Perendaman (jam) Berat Awal Lempeng Seng (g) Berat Akhir Lempeng Seng (g) Berat Kehilangan Lempeng Seng (g) Efisiensi Inhibitor (%) Rata-rata Efisiensi Inhibitor (%) 1000 24 1,0341
0,9891 0,0450 46,8085
48,12
72 0,9874 0,0467 47,5280
120 0,9868 0,0473 50,0527
3000
24
1,0858
1,0559 0,0299 64,6572
65,58
72 1,0547 0,0311 65,0561
120 1,0546 0,0312 67,0538
5000
24
1,1257
1,0978 0,0279 67,0212
67,97
72 1,0968 0,0289 67,5280
120 1,0967 0,0290 69,3769
7000
24
1,1052
1,0851 0,0201 76,2411
77,37
72 1,0849 0,0203 77,1910
(61)
4.2. Pembahasan
4.2.1. Hasil Ozonolisis Minyak Jarak
Senyawa aldehida dapat dihasilkan dari hasil ozonolisis minyak jarak dengan adanya KI 5 % pada suhu -5 sampai 5o. Dalam hal ini struktur trigliserida minyak jarak adalah asam risinoleat yang merupakan kandungan asam lemak terbanyak dalam minyak jarak yaitu sekitar 86 % dan jika reaksi berjalan sempurna dalam proses ozonolisis maka akan terbentuk tiga senyawa molozonida yang akan membentuk ozonida. Penambahan zerbuk Zn dalam larutan asam (CH3COOH 20%) akan
mereduksi ozonida membentuk campuran aldehida turunan minyak jarak (Gambar 4.3).
Uji terhadap pereaksi Fehling yang menghasilkan endapan merah bata dan dengan pereaksi Tollens yang menghasilkan endapan cermin perak pada dinding tabung reaksi menunjukkan uji yang positif terhadap aldehida minyak jarak (Lampiran 9). Dari hasil uji bilangan iodin yaitu sebesar 63,20 sedangkan bilangan
iodin minyak jarak 87,84 menunjukkan bahwa telah terjadi pemutusan ikatan π dari
asam risinoleat pada minyak jarak (Tabel 4.1).
Dari analisa spektroskopi FT-IR memberikan dukungan spektrum pada daerah bilangan gelombang 2669 cm-1 menunjukkan uluran C-H yang khas pada aldehida, didukung oleh puncak serapan pada daerah bilangan gelombang 2924-2854 cm-1 yang menunjukkan vibrasi straching C-H sp3. Serapan daerah gelombang 3433 cm-1 menunjukkan gugus O-H dari struktur asam lemak risinoleat pada minyak jarak. Puncak serapan pada daerah bilangan gelombang 1743 cm-1 menunjukkan uluran C=O aldehida/ester didukung oleh vibrasi (CH2)n (dimana n≥4) dengan munculnya
puncak serapan pada daerah panjang gelombang 725 cm-1. Munculnya puncak serapan pada daerah bilangan gelombang 1658 menunjukkan bahwa masih ada ikatan C=C tidak jenuh yang belum habis terozonolisis (Gambar 4.1).
(62)
Secara hipotesa dapat digambarkan reaksi ozonolisis minyak jarak sebagai berikut : O O O C C C O O O C H OH C H OH C H OH Minyak Jarak O O O C C C O O O C H OH
O O O
C H OH
O O O
C H OH O O O Molozonida O3 KI Metanol O O O C C C O O O C H OH O O O C H OH O O O C H OH O O O Ozonida O O O C C C O O O O H O H O H + O OH H 3
campuran aldehida turunan minyak jarak Zn
CH3COOH
+ H2O2 + Zn(CH3COO)2
3 6
3 H2O
(63)
Gambar 4.3. Reaksi Ozonolisis Minyak Jarak
4.2.2. Hasil Sintesis Basa Schiff melalui Reaksi Kondensasi Campuran Aldehida Turunan Minyak Jarak dengan Etilendiamina
Kondensasi campuran aldehida turunan minyak jarak dengan etilendiamina dilakukan dengan cara direfluks pada suhu 115-120oC dalam pelarut toluena selama 4 jam dapat menghasilkan basa Schiff (Gambar 4.4). Terjadinya peningkatan bilangan iodin dari 63,20 terhadap campuran aldehida turunan minyak jarak menjadi 81,08 terhadap basa Schiff menunjukkan bahwa telah terbentuknya ikatan rangkap pada C=N. Analisa dengan spektroskopi FT-IR munculnya uluran C=N pada puncak serapan daerah bilangan gelombang 1635 cm-1 yang tajam menunjukkan serapan khas basa Schiff, didukung gugus C=O ester pada bilangan gelombang 1728 cm-1, serapan khas vibrasi streching C-H sp3 pada bilangan geolmbang 2924 cm-1 dan serapan khas vibrasi bending C-H sp3 pada bilangan gelombang 1442 cm-1 serta serapan daerah
gelombang 3356 cm-1 menunjukkan gugus O-H (Gambar 4.2).
Dari hasil yang diperoleh dapat dibuat hipotesa reaksi sebagai berikut :
O O O C C C O O O O H O H O H + O OH H 6
campuran aldehida turunan minyak jarak
H2N
NH2 + etilendiamina 2 6 O O O C C C O O O N
N C O
O
N
N C O
O
N
N C O
O
+
OH
3 N N
OH
(64)
Gambar 4.4. Reaksi Campuran Aldehida Turunan Minyak Jarak dengan Etilendiamina
4.2.3. Hasil Penentuan Efisiensi Inhibitor Korosi
Lamanya perendaman dan besarnya konsentrasi inhibitor akan mempengaruhi berat kehilangan lempeng seng dalam larutan media korosif HCl 0,1 N. Berat kehilangan lempeng seng berbanding lurus dengan lamanya perendaman dan berbanding terbalik dengan konsentrasi inhibitor korosi (Gambar 4.5).
Gambar 4.5. Grafik Pengaruh Waktu Perendaman dan Konsentrasi Inhibitor Korosi terhadap Berat Kehilangan Lempeng Seng
Semakin lama perendaman atau waktu kontak antara logam dalam media korosif akan memperbesar kemungkinan terjadinya korosi. Hal inilah yang menyebabkan semakin lama waktu perendaman maka total berat kehilangan lempeng seng juga semakin besar. Namun demikian penambahan inhibitor pada larutan elektrolit akan mengurangi korosi logam (Setiadi, 2007).
Inhibitor terdiri dari anion atom ganda yang dapat masuk ke permukaan logam, dengan demikian dapat menghasilkan selaput lapisan tunggal yang kaya
0 0,01 0,02 0,03 0,04 0,05 0,06 0,07 0,08 0,09 0,1
24 72 120 24 72 120 24 72 120 24 72 120 24 72 120 tanpa
inhibitor
1000 3000 5000 7000
B e ra t k e hi la nga n l e m pe ng s e ng (g)
Waktu perndaman (jam) dan Konsentrasi inhibitor korosi (ppm)
minyak jarak
aldehida minyak jarak etilendiamina basa Schiff
(65)
oksigen sehingga menghambat proses korosi (Djaprie, 1995). Prinsip intraksi antara inhibitor dengan permukaan logam adalah adsorpsi kimia (Ashraf et al, 2011).
Apabila inhibitor ditambahkan kedalam lingkungan korosif, maka laju serangan zat agresif akan berlangsung sampai tingkat tertentu (Trethewey, 1991).
Basa Schiff yang diperoleh dari kondensasi etilendiamina dengan aldehida turunan minyak jarak sebagai inhibitor kimia dapat menghambat korosi dengan mendonorkan pasangan elektron bebas dari gugus-gugusnya pada permukaan logam seng. Rantai hidrokarbon bersifat hidrofobik juga dapat mendukung proteksi terhadap logam seng. Jaringan hidrofobik ini menyebabkan molekul air dan ion agresif Cl -akan menjauhi permukaan logam seng tersebut (Gambar 4.6).
OH N
N
OH
ekor hidrokarbon pasangan elekton bebas
OH HN
H N
HO OH
N N
HO
Zn Zn
OH N
N HO
Zn Zn
(a) (b) (c)
ikatan pi
Gambar 4.6. Mekanisme Basa Schiff dalam Menghambat Korosi Keterangan gambar :
a) Adanya protonasi atom nitrogen dari gugus -HC=N- akan menyebabkan molekul inhibitor bermuatan positif. Permukaan logam bermuatan negatif dalam larutan asam klorida. Perbedaan muatan tersebut menyebabkan intraksi antara molekul inhibitor yang bermuatan positif dengan permukaan logam seng yang bermuatan negatif.
(66)
b) Elektron bebas pada atom nitrogen akan berinteraksi dengan permukaan logam seng
c) Elektron pi dari gugus -CH=N- berinteraksi dengan permukaan logam seng (Chitra et al, 2010).
Prinsip penentuan nilai efisiensi inhibitor korosi dengan metode Kehilangan Berat adalah semakin kecil selisih berat kehilangan lempeng seng tanpa penambahan inhibitor dan berat kehilangan lempeng seng dengan adanya penambahan inhibitor (W0 – W1) akan meningkatkan nilai efisiensi inhibitor (% EI) (Chitra et al, 2010).
Konsentrasi larutan inhibitor yang semakin kecil dalam larutan asam HCl 0,1 N menyebabkan pH semakin rendah sehingga akan menyebabkan nilai efisiensi inhibitor korosi menurun (Gambar 4.7). Hal ini sesuai dengan teori bahwa pH rendah (kondisi asam) merupakan penyebab utama terjadinya korosi (Setiadi, 2007).
Gambar 4.7. Grafik Pengaruh Waktu Perendaman dan Variasi Konsentrasi Inhibitor Korosi terhadap Efisiensi Inhibitor
Dari kedua grafik diatas dapat ditentukan nilai rata-rata efisiensi inhibitor korosinya. Seperti pembahasan diatas dimana konsentrasi inhibitor berbanding lurus dengan nilai efisiensi inhibitor. Peningkatan konsentrasi inhibitor dapat meningkatkan
0 10 20 30 40 50 60 70 80 90
24 72 120 27 72 120 24 72 120 24 72 120
1000 3000 5000 7000
E
fisie
n
si I
n
h
ib
isi
(
%)
Waktu Perndaman (jam) dan Konsentrasi Inhibitor Korosi (ppm)
minyak jarak
aldehida minyak jarak etilendiamina basa Schiff
(67)
nilai efisiensi inhibitor dan dapat dilihat dari grafik diatas bahwa nilai rata-rata efisiensi terbesar ditunjukkan oleh basa Schiff pada konsentrasi 7000 ppm yaitu 77,37 % (Gambar 4.8).
Gambar 4.8. Grafik Pengaruh Konsentrasi Inhibitor terhadap Rata-rata Efisiensi Inhibitor
0 10 20 30 40 50 60 70 80 90
1000 3000 5000 7000
R
at
a
-r
a
ta
E
fi
si
en
si
I
n
h
ib
ito
r (
%
)
Konsentrasi Inhibitor Korosi (ppm)
minyak jarak
aldehida minyak jarak etilendiamina basa Schiff
(68)
BAB 5
KESIMPULAN DAN SARAN
5.1. Kesimpulan
Dari hasil analisa dan pengamatan dalam penelitian, dapat diperoleh kesimpulan sebagai berikut :
1. Dari 300 ml minyak jarak yang diozonolisis pada suhu sekitar -5oC sampai 5oC selama 20 jam dengan pelarut metanol menggunakan alat ozonisator diperoleh campuran aldehida turunan minyak jarak sebanyak 220 ml
2. Reaksi kondensasi antara 10 g campuran aldehida turunan minyak jarak dengan 0,82 g etilendiamina menghasilkan basa Schiff sebanyak 9,4 g
3. Uji efisiensi inhibitor korosi basa Schiff yang dihasilkan terhadap logam seng dalam larutan korosif HCl 0,1 N pada konsentrasi 1000 sampai 7000 ppm memberikan nilai efisiensi yang lebih besar, dimana pada konsentrasi 7000 ppm basa Schiff memberikan nilai efisiensi 77,37 % sedangkan minyak jarak, campuran aldehida turunan minyak jarak dan etilendiamina masing-masing hanya sebesar 30,26 %; 20,58 % dan 50,23 %.
5.2. Saran
Diharapkan dari hasil penelitian yang telah dilakukan, untuk peneliti selanjutnya meneliti kondisi reaksi yang optimal dalam mengozonolisis minyak jarak sehingga diperoleh senyawa aldehida yang lebih maksimal.
(69)
DAFTAR PUSTAKA
Aiad, I. A and Negm, N. A. 2009. Some Schiff Base Surfactants as Steel Corrosion Inhibitors. J Surfactants Detergent 12: 313-319
Anonimous, I. 1976. The Merck Index. New Jersey: Merck and Co
Asan, A. M., Kabasakaloglu, M. , Isiklan, Z dan Kilic. 2008. Corrosion Inhibition of Brass in Presence of Terdentate Ligands in ChlorideSolution. Corrosion
Science, vol.47, p.1534-1544
Asdim. 2001. Pengaruh Senyawa n-Alkilamina terhadap Korosi Baja dalam Larutan Asam Sulfat. Padang: Pasca Sarjana Universitas Andalas
Ashraf, M. A., K. Mahmood and A. Wajid. 2011. Synthesis, Characterization and Biological Activity of Schiff Bases. Singapore: IACSIT Press. Vol.10
Aslam, M., Itrat, A. , Nighat, A., Ajaz, H. , Muhammad, S., Asif, H. C., Mehroze, A.K and Muhammad, N. 2012. Synthesis And Characterization of Schiff Bases Derived from 7-{[2-(2-amino-1,3-thiazol-4-yl)-2 (carboxymethoxymino)acetyl] amino}-3-ethenyl-8-oxo-5-thia-1-azabicyclo[4.2.0]oct-2-ene-2-carboxilic acid.
International Journal, Vol 4, issue 4
Bahl, A. 2004. Organic Chemistry for Competitive Examinations. New Delhi: S.
Chand & Company Ltd
Bailey, A. E. 1950. Industrial Oil and Fat Product. New York: Interscholastic
Publishing Inc
Bentiss, F. M., Traisnel, H. Vezin, H. F. Hildebrand and M. Lagrenée. 2004. 2,5 Bis (4-dimethylamin 2,5Bis4-dimethylaminophenyl)-1,3,4-oxadiazole and 2,5-bis (4-dimethylaminophenyl) 1,3,4- thiadiazole as Corrosion Inhibitors for Mild Steel in Acidic MediaCorrosion. Sci. 46: 2781-2792
Burke, S.D and R. L. Danheiser. 1999. Oxidizing and Reducing Agent. New York:
John Wiley & Sons
Cimerman, Z., S. Miljanic and N. Galic. 2000. Croatica Chemica Acta. 73 (1),
81-95
Chitra, S., Parameswari, K and Selvaraj, A. 2010. Dianiline Schiff Bases as Inhibitor of Mild Steel Corrosion in Acid Media. Int. J. Electrochemistry. Vol. 5.
(1)
Lampiran 3. Minyak Jarak
(2)
Lampiran 5. Campuran Minyak Jarak dengan KI 5% dalam Pelarut Metanol Setelah Diozonolisis (Ozonida)
Lampiran 6. Hasil Ozonolisis Direduksi dengan Serbuk Zn dalam Asam Asetat Encer
(3)
Lampiran 7. Penyaringan Campuran Aldehida Turunan Minyak Jarak Menggunakan Corong Buchner
Lampiran 8. Campuran Aldehida Turunan Minyak Jarak dalam Larutan Asam Asetat
(4)
Lampiran 9. Hasil Uji Kualitatif Aldehida dengan Pereaksi Fehling (a) dan Pereaksi Tollens (b)
(a) (b)
(5)
Lampiran 11. Destilasi Vakum Kelebihan Pelarut dan Etilendiamina
Lampiran 12. (a) Basa Schiff Hasil Sintesis dan (b) Larutan Inhibitor Basa Schiff dalam HCl 0,1 N
(6)