BAB 1 DIBUTUHKAN: METODE KRITIK SASTRA

(1)

BAB 1 DIBUTUHKAN: METODE KRITIK SASTRA

A. Probelmatika Pendekatan terhadap Sastra

Lambatnya perkembangan pemikiran metode penelitian sastra itu agkanya bersumber pada besarnya problematka yang dihadapi para ahli ketika merka harus merumuskan pengertian sastra sebagai objek ilmunya. Upaya untuk merumuskan pengertian sastra tidaklah mudah, pengertian yang diajukan terlalu sempit atau terlalu longgar sehingga dapat dikenakan pada hal-hal yang bukan sastra.

M. Abrams (Teeuw, 1988) mengajukan sebuah model untuk memahami situasi yang melingkupi karya ssastra secara menyeluruh yang tidak dapat meluputkan gejala adanya sastra.

Berdasarkan model tersebut pendekatan terhadap sastra pun dapat dikategorikan ke dalam empat golongan berikut:

a. Pendekatan mimetic, pendekatan yang menitikberatkan pada semesta yang dianggap sebagai hal yang dijadikan acuan dalam karya sastra.

b. Pendekatan ekspresif, pendekatan yang menitikberatkan pada penulis sebagai pencipta kaya sastra.

c. Pendekatan pragmatic, pendekatan yang menitikberatkan pada pembaca sebagai sasaran atau pemnerima karya sastra.

d. Pendekatan objektif, pendekatan yang menitikberatkan pada karya itu sebagai dirinya sendiri. Usaha untuk membagnun sebah teori dan metode yang brpretensi utuh dan umum, yang mampu mencakup segala aspek yang menjadi bagian dari gejala kesastraan, harus memenuhi syarat-syarat berkut:

a. Mempunyai suatu cara pemahaman dan pengetahuan yang memadai tentang apakah yang disebut semesta dan juga keterhubungannya secara logis dengan karya sastra.

b. Mempunyai suatu pengertian yang jelas mengenai pencipta seni, khususnya pengarang dan kepengarangan, mengenai siapakah pengarang, mengapa seseorang menjadi pengarang, apakah proses mengarang itu, dan bagaiman hubunngan pengrang dengan hasil ciptaannya.


(2)

c. Mempunyai metode dan perangkat koseptual yang mampu mengidentifikasikan efek-efek karya sastra terhadap pembaca, dan juga penerimaan serta tanggapan balik mereka sebagai sasaran komunikasi sastra.

d. Mamapu mengidentifikasikan dan memerikan secara jelas pengertian karya sastra sebagai entitas tersendiri.

Ada lima factor yang luput dari model Abrams:

a. Factor system bahasa sebagai media karya sastra. Bahasa sesungguhya merupakan entitas yang cukup rumit dan canggih dalam bentuk strukturnya. Struktur bahasa seharusnya juga ditampilkan meskipun, tentu saja, tidak sampaik merasuk pada hal-hal yang renik.

b. Factor konvesi sastra. Bangunan maknawi sastra adalah hasil dari pemanfaatan system bahasa menurut konvesi-konvesi tertentu yang mamou menghasilkan persepsi dan makna-makna yang segar, baru, unik yang tidak mungkin dicapai melalu system bahasa saja.

c. Factor pembaca sebagai variabel social dan historis. Aspek dinamika komunikasi dalam pembacaan dan penanggapan atas karia sastra itu harus ditampilkan dalam model situasi yang melingkupi karya sastra secara menyeluruh .

d. Factor bentuk karya sastra sebagia variabel. Karena berbagai factor , bentuk karya sastra dimungkinkan mengalamai transpormasi .

e. Factor kriteria penilaian sastra. Meskipun masalah penilaian sastra merupakan bidang tersendiri, hal itu tidak dapat dipisahkan dari penelitian sastra, khususnua keritik sastra.

Dalam model pemahanaman situasi sastra Abram , masalah penialain ini sebenarnya terletak pada ketegangan , dalam tarik menarik diantara berb agai pendekatan yang ada dengan orientasi atau titik beratnya masing-masing. Pendekatan mimetic pastilah mengemukakan bahwa kemiripan karya dengan semesta sebagai kriteria pentingnya . adapun para penganjur pendekatan pragmatic akan memperlihatkan bahwa sastra yang baik adalah yang mampu mempengaruhi dan menggerakan pembaca. Sedangkan yang menitik beratkan pada karya sastra secara otonom akan melihat susunan internal, koherensi struktur, harmoni antarunsur, cirri khas teks sastra dibanding yang lain, dan kriteria lain yang hanya ada didalam karya itu sendiri sebagai nilai keutamaan.

Seorang peneliti sastra dituntut untuk mampu memilih dan menetukan salah satu aspek dalam sastra sebagai pijakan awal untuk membangun pemahamannya secara pasti, meyakinkan, jelas dan dapat diuji kebenaran atau kesalahannya.


(3)

A. Bahasa sebagai Awal Mula .

Satu hal yang pasti dan disepakati bersama bahwa sastra adalah sebuah gejala kebahasaan. Cara-cara memperoleh pengetahuan sastra hanya dimungkinkan melalui cara-cara perolehan pengetahuan tentang bahasa. Untuk belajar tentang bahasa, orang niscaya akan merujuk pada linguistic yang dasar-dasarnya telah ditelakan oleh Ferdimand de Saussure.

Sumbangan besar Saussure bagi linguistic dapat dirumuskan secara umum sebagai berikut: a. Kemampuannya untuk memberikan batasan mengenai objek linguistic secara jelas dan

meyakinkan.

b. Rumusnya yang tepat atas prinsip-prinsip mengenai bahasa.

c. Cara pendekatannya yang efektif untuk memperoleh pengetahuan tentang bahasa.

Inspirasi dan pengarus Saussure juga meluas hingga menembus batas-batas disiplin ilmu social dan budaya lainnya, seperti sosiologi, antropologi, spikologi, dan secara umum menjadi penyokong utama satu paham pemikiran yang kuat pada abad ke- 20, yaitu strukturalisme. Tidaklah mengherankan jika prinsip-prinsip linguistic Saussure bergulir menjadi sebuah paham tersebut. Seperti setiap paham pemikiran, selalu tidak pernah lepas dari kritik yang menunjukan cacat-cacatnya, lebih-lebih dari para penganjur paska modernism dan paska strukturalisme. BAB 2

LINGUISTIK WARISAN SAUSSURE

Ferdinand de Saussure (1857-1913) adalah sebuah nama yang tidak akan terhapuskan dalam disiplin linguistic. Secara garis besar prinsip-prinsip linguistic Saussure dapat disederhanakan kedalam butir-butir pemahman sebagai berikut:

a. Bahasa adalah sebuah fakta social.

b. Sebagai fakta social bahasa bersifat laten, bukanlah gejala-gejala permukaan, melainakan sebagai kaidah-kaidah yang menentukan gejala-gejala permukaan yang disebut sebagai langue.

c. Bahasa adalah suatu system atau struktur tanda-tanda. Mempunyai satuan-satuan yang bertingkat-tingkat mulai dari fonem, morfem, kalimat hingga wacana.

d. Unsure-unsur dalam setiap tingkatan tersebut saling menjalin melalui cara tertentu yang disebut dengan hubungan paradikmatik dan sintagmatik.


(4)

e. Relasi atau hubungan antar unsure dan tingkatan itulah yang sesungguhnya membangun suatu bahasa.

f. Untuk memperoleh pengetahuan tentang bahasa, hanya dapat dikaji melalui suatu pendekantan sinkronik, yakni pengkajian bahasa yang hanya membatasi fenomena bahasa pada satu waktu tertentu.

A. Bahasa sebagai fakta social

Perspektif Saussure yang menempatkan bahasa sebagai sebuah gejala social banyak dipengaruhi oleh ahli sosiologi emile durkhaeim (1858-1917), khususnya konspesi tentang fakta social. Fakta social itu bukanlah fenomena psikologis karena ia berada diluar kekuasaan sadar seorang individu. Bahasa hadir sebagai suatu kaidah social yang bersifat memaksa terhadap individu ketika ia harus berfikir, bertutur, atau berbicara.

B. Bahasa sebagai langue dan parole

Bahasa sebagai fakta social merupakan hasil karya akal budi kolektif manusia yang berisi seperangkat konfensi dan kaidah-kaidah yang perlu, yang diterima oleh setiap individu dan menentukan tindakan sang individu dalam berbahasa merupakan yang disebut sebagai langue. Akan tetapi, langue yang berada dalam kesadaran kolektif itu hanya akan tampak secara kongkrit dalam tindakan berbahasa seorang individu. Dalam tindakan berbahasa secara individual itu dimungkinkan terjadinya pilihan-pilihn, variasi-variasi yang bersifat sesaat tanpa pola yang jelas. Variasi-variasi itu seolah tanpa batas namun tidak pernah melampaui kaidah-kaidah pokok dalam langue. Untuk perwujudan bahasa sebagai tindakan individual semacam itu Saussure menyebutnya sebagai parole yang biasa diterjemahkan sebagai tuturan. Parole tidak memenuhi matra keumuman sehingga tidak dapat dijadikan sebagai objek ilmu. Sehingga ditetapkan bahwa bahasa sebagai langu-elah yang layak dijadikan sebagai objek linguistic.

C. Bahasa sebagai sebuah tanda

Sepintas kilas bahasa tampak sebagai himpunan kata-kata, yakni pelbagai nama-nama yang dihubungkan dengan benda, akhirnya keadaan dan sebagainya, yang digunakan orang untuk berkomunikasi. Akan tetapi, menurut Saussure, bahasa tidaklah sesederhana itu. Lebih dari sekedar perbendaharaan kata-kata, bahasa merupakan suatu system tanda, yakni suatu keterjalinan tanda-tanda menurut suatu aturan tertentu yang memungkinkan bahasa menjalankan


(5)

fungsi hakikatnya sebagai sarana representasi dan komunikasi. Pengertian system di sini mengandung arti adanya aturan yang menghubungkan, menguasai, dan menentukan nilai, makna, dan keberadaan seluruh tanda yang menjadi bagian dari system tersebut. Lantas apakah yang dimaksud dengan tanda?

1. Hakekat Tanda Bahasa

Pengertian dari awam memahami tanda bahasa, kata misalnya, sebagai asosiasi antara suatu ucapan atau bunyi lahiriah-indrawi tertentu dengan suatu konsep. Namun Saussure menekankanbahwa tanda bahasa adalah suatu entitas yang sepenuhnya bersifat mental, meskipun suka atau tidak suka ia harus melalui gerbang indra agar bisa menjadi tanda.

2. Dua Aspek Tanda : Penanda dan Petanda

Ketika mendengan kata kucing, seorang penutur bahasa Indonesia dengan serta merta dapat mempunyai ide dan gambaran dalam benaknya tentang ‘seekor binatang berkaki empat, berbulu lembut, berkumis seperti jarum, biasa diperlihara, dan sebagainya.’ Pendek kata, ia akan mempunyai gambaran idea tau konsep kekucingan. Dalam terminology linguistic Saussure, konsep itu bukan binatangnya, dinamakan signifie’ yang diterjemahakan sebagai petanda (hal yang ditandai). Jika penutur bahasa itu berdiam diri kemudian masih berpikir tentang kucing dengan kata-kata yang tidak terdengar oleh telinga dan juga tidak diucapkan dengan bibir, namun tetap terucap dan terdengar dalam kesadarannya maka “bunyi” yang terdengan dan terucapkan dalam benak itulah yang disebut significant yang diterjemahkan sebagai penanda yakni hal yang menandai.

= =

Hubungan antara penanda-petanda itu bersifat arbitrer atau semena-mena. Tidak ada motivasi alas an logis atau alamiah mengapa suatu citra atau bunyi kucing dihubungkan dengan konsep kucing.

D. Hubungan Antartanda: Paradigmatik dan Sintagmatik

Bahasa mempunyai aturan yang mengorganisasikan, menguasai, dan menentukan seluruh jalinan antartanda yang menjadi bagiannya. Tata bahasa ada satu perwujudan dari aturan bahasa tersebut. Jalinan antartanda bahasa itu mempunyai dua poros utama, yakni poros sintagmatik dan paradigmatic. Kata kucing, melalui suatu nalar tertentu yang tidak disadari sesungguhnya secara

Tanda bahasa Significant

(penanda)


(6)

asosiatif selalu terkait dengan kata-kata dalam pikiran kita. Asosiasi itu terjadi dengan banyak cara, baik menyangkut aspek citra bunyinya maupun aspek konseptualnya. Sebuah tanda, kata atau istilah, yang digunakan dalam suatu tundakan bahasa seolah-olah muncul sebagai pusat konstelasi, yakni sebuah titik tempat tanda-tanda lain berkonvergensi dan berkoordinasi melalui penalaran tertentu (Saussure, 1988: 233). Hubungan seperti itulah yang disebut sebagai hubungan paradigmatic. Hubungan sintagmatik, yakni hubungan antartanda yang hadur secara berurutan dalam satu linearitas tindakan berbahasa.

E. Relasi Antartanda sebagai Pembangun Kebernilaian Tanda

Menurut Saussure, nilai dan makna dari tanda-tanda bahasa terutama dimungkinkan oleh system relasi, “Menjelaskan sebuah kata adalah menghubungkannya dengan kata-kata yang lain” (1993: 313); dan dalam penglihatan bahasa sebagai relasi inilah terletak inti dari pandanga Saussure. Secara sederhana, pandangan Saussure tentang hal ini dapat diuraikan demikian. Ia membedakan antara isi, valensi, dan pengertian (makna). Istilah-istilah itu menunjuk pada aspek konseptual tanda bahasa yang satu sama lain bertumpang tindih. Pengertian, makna atau yang dalam bahasa Prancis disebut signification dipahami sebagai pengasosiasian antara suatu citra bunyi dengan konsep tertentu. Ada satu definisi negative yang menentukan nilai suatu tanda. Definisi negative ini diistilahkan sebagai valensi. Saussure menyatakan bahwa pendefinisian tanda secara negative ini merupakan hal yang dominan dalam bahasa.

F. Pendekatan Sinkronis dan Diakronis

Pendekatan sinkronis dapat digambarkan sebagai potongan melintang terhadap batang pohon, sehingga diperoleh jaringan antarserat kay dalam penampang batang yang berbentuk melingkar. Sedangkan pendekatan diakronis adalah serupa potongan membujur dari bagian akar hingga keujung yang hanya akan memperlihatkan serat kayu lain. Sayatan diakronis seperti itu tidak mampu memperoleh objek secara pasti. Dengan cara seperti itu orang hanya akan memperoleh serat-serat” bahasa sebagai fenomena particular yang harus berkembang dan bertambah tanpa pola. Dengan demikian, tidak dapat ditarik suatu rampatan atau generalisasi tentang fenomena bahasa.

BAB 3

STRUKTURALISME DAN SEJUMLAH KERANCUAN

Linguistik Saussure dengan prinsip-prinsip seperti terurai dalam Bab 2 pada kenyataannya, telah mengilhamkan sebuah paham pemikiran besar, yakni strukturalisme.


(7)

Mengenak strukturalisme ini bahkan ada yang menyebutnya sampai kepada taraf gerakan dan mode (bdk. Piaget, 1995: 1; Mautzner, 2000: 544; Sampson, 1984: 354). Di Perancis, pengaruh strukturalisme mencapai puncaknya pada tahun 1960-an. Sejumlah pemikir dalam pelbagai bidang yang banyak mengambil ilham dari linguistic Saussure , dan karenanya dimasukkan ke dalam strukturalisme, antara lain adalah Levi-Strauss (antropologi), Lacan (psikoanalisis), Barthes, dan Todorov (kritik sastra).

Dalam perdebatan di Perancis saat itu, strukturalisme beraarti penolakan terhadap konsepsi otonomi individual yang dimunculkann oleh para pemikir eksistensialis, Marxis-humanis, pemikiran religious dan liberal. Sebagai gantinya, individu dipandang semata-mata sebagai pengisi suatu posisi dalam jaringan atau struktur social. Pada bab ini tidaklah dimaksudkan untuk membahas lebih jauh strukturalisme sebagai gerakan, yakni tetang implikasi social-politiknya.

A. Strukturalisme dalam Kritik Sastra Indonesia

Dalam kaitannya dengan perkembangan kritik sastra Indonesia, strukturalisme inipun menampakkan kekaburan, keragaman, dan kesalahpahaman seperti tersebut di awal. Kerancuan permasalahan itu antara lain tampak dalam hal-hal berikut:

1. Kritik-kritik sastra yang mengklaim sebagai structural kebanyakan sekadar menangkap ide-ide yang paling umum dari paham ini kemudian menerapkannya tanpa penalaran yabg secara jelas menunjukkan cirri khas pemikiran structural

2. Masalah ketidakjelasan kaitan antara kritik-kritik sastra yang mengklaim sebagai kritik structural dengan prinsip-prinsip linguistic Saussurean.

3. Berkmbangnya satu pemahaman bahwa analisis semiotic dalam kritik sastra, merupakan satu tahap yang terpisah dan dapat dilakukan setelah analisis structural, sehingga lahirlah suatu kritik sastra yang disebut sebagai structural-semiotik yang mengandalkan urutan ssecara metodis. 4. Adanya penyebutan secara umum terhadap setiap kritik sastra yang memusatkan perhatiannya

pada unsure-unsur instrinsik karya sastra sebagai kritik structural.

5. Dengan sendirinya kerancuan dan kekaburan pemahaman teoritik atas strukturalisme dalam kritik sastra itu mengakibatkan kerancuan dalam hal metodenya.

Dengan demikian, agaknya diperlukan suatu perintisan secara lebih jelas dan tentu saja bertanggung jawab untuk menawarkan pendekatan terhadap sastra dalam perspektif strukturalisme. Namun, sebelum sampai pada tawaran perumusan gagasan yang lebih metodis dan aplikatif, diperlukan satu peninjauan terhadap asumsi-asumsi dan pokok-pokok gagasan strukturalisme yang terilhami oleh linguistic Saussure.


(8)

B. Beberapa Asumsi dan Pokok Gagasan Strukturalisme

Perumusan ini lebih ditekankan kepada perumusan yang menunjuk pada strukturalisme yang berkembang atas dasar linguistic Saussure. Adapun sejumlah asumsi dan pokok gagasan terpenting dalam strukturalisme Saussurean itu dapat dirumuskan sebagai berikut:

1. Strukturalisme pada hakikatnya mengasumsikan bahwa dunia natural maupun cultural selalu hadir di hadapan manusia sebagai satu bangunan makna-makna.

2. Di dalam strukturalisme ada asumsi bahwa pelbagai aktivitas (social) berikut hasil-hasilnya, misalnya olah seni, system kekerabatan dan perkawinan, pola tempat tinggal dan aktivitas lain dapat dipahami sebagaimana kita memahami bahasa (Ahimsa-Putra, 2001:67)

3. Mengacu pada konsep langue dan parole dalam linguistic Saussure, maka bentuk aktivitas social-budaya yang lain pun menunjukkan adanya dua tataran seperti itu. Dengan demikian, di sini para strukturalis memahami akan adanya sebuah struktur dalam (deep structure) yang sejajar dengan laingue, dan struktur permukaan (surface structure) yang sejajar dengan parole dalam setiap aktivitas social budaya manusia dan hasil-hasilnya.

4. Mengikuti saran Saussure tentang pendekatan sinkronis bentuk bahasa, maka fenomena social-budaya yang lain pun dapat dipahami dan dijelaskan baik melalui pendekatan sinkronis.

5. Relasi-relasi antarunsur yang berada dalam sebuah struktur merupakan penghadir dan penentu makna.

BAB 4

BAGAIMANA MEMULAI KRITIK SASTRA? A. Garis besar Menafsir Karya Sastra

Masih dengan linguistik Saussure, sebuah kritik sastra struktural akan menemukan fonasi teoritik yang kuat untuk menisbahkan diri pada aliran struktualisme. Ada beberapa langkah dalam melakukan kritik sastra struktualisme.

1) Memebaca karya sastra secara cermat.


(9)

3) Mengidentifikasikan dan menggolonhkan kesan-kesan itu menurut kecenderungan kesesuaian dengan unsur-unsur narasi tertentu.

4) Mencari dan menemukan sekuruh isyarat-isyarat, tanda-tanda tektual yang menunjukan relasi perbedaan dan pertentangan dalam teks yang biasa disebut sebagai pasangan oposisi biner. 5) Mencari kemiripan nalar (homologi) di anatra pasangan-pasangan oposisi biner tersebut.

6) Mencari arah, hierarki, dan mengorganisasian yang ada dalam pasangan-pasangan oposis biner untuk kemudian disarikan ke dalam sebuah pasangan oposisi biner.

7) Menarik dan merumuskan makna oposisi biner.

8) Menyoroti dan menjelaskan kasus-kasus yang ada dalam unsur-unsur narasi dengan berdasarkan nalar yang terdpat dalam oposisi biner.

Dengan demikian, kritik sastra ini tidak boleh bersifat deduktif.

Bab 5

LANGKAH-LANGKAH PENDAHULUAN A. Membaca dengan Cermat

Membaca dengan cermat adalah langkah yg cukup mudah . sebagai seorang yang menerapkan teori struktural, peka dan cermatlah untuk hal-hal yang bersangkut paut dengan asumsi struktural yang terdapat dalam karya sastra.

B. Mencatat Kesan-kesan Pembacaan

Seorang peneliti seharusnya mempunyai energi besar untuk mengeksplorasi masalah. Harus peka terhadap masalah-masalah diluar karya sastra itu sendiri terutama dari pembaca. Agar memudahan langkah kerja berikutnya sebaiknya dicatat dan dipisahkan secara sub-sub. Lalu


(10)

sebgai pengkaji sastra berarti harus menyajikan karyanya sessuai dengan kaidah-kaidah yang ada.

C. Mengklasifikasikan kesan-kesan pembacaan

Setelah menginventarisasikan seian banyak kesan dalam pembacaan sebuah karya sastra, selanjutnya harus mengidentifikasikan dan mengklasifikasikan setiap kesan menurut kedekatannya pada unsur-unsr narasi tersebut. Dengan pengelomokan seperti itu maka bisa membandingkan unsur-unsur manakah yang menampilkan kesan yang paling menonjol, kuat, dan menantang atau menimbulkan rasa keingintahuan dalam penelitian. Dari sinilah peneliti dapat enentukan mana yg menjadi fokus penelitian.

Bab 6

LANGKAH-LANGKAH PENAFSIRAN

Proses penafsiran merupakan sebuah proses yang cukup rumit dan sukar untuk dijelaskan, tetapi bukan berarti penjelas demikian musahil. Sejauh menyngkut struktualisme, penulis memandang bahwa proses penafsiran dapat dimulai dengan langkah menemukan pertentangan relasional antarunsur yang sejenis dan sebanding dalam strukturnya. Misal dalam struktur narasi, maka proses penafsirn dimulai dengan upya menemukan perbedaan-perbedaan antar pelaku, tindakan, seting, dan sebagainya.

Jika struktualisme mengansumsikan bahwa makna ditemukan dalam prinsip-prinsip perbedaan antartanda, maka sangatlah masuk akal bahwa menafsirkan sebuah karya sastra dimulai dengan mecari relasi perbedaan antartanda.

Prinsip perbedaan yang memunculkan makna itu bukan hanya dikenal dalam struktualisme saja. Sebagai common sense, prinsip itu merupakan sesuatu yang eksis dalam masyarakat.

A. Identifikasi Pasangan-pasangan Oposisi Biner dalam Narasi

Dari linguistik Saussure kita tahu bahwa sebuah tanda memiliki makna, arti, atau nilai karena ia dibedakan dari tanda lainnya didalam sebuah sistem baca. Upaya untuk enemukan makna tidak lain dari upaya mencari relasi-relasi perbedaan seperti itu dan menginferensikan


(11)

suatu nalaar atau ogika yang bekerja di dalam relasi-relasi tersebut. Sebagaimana bahasa, narasi sastra pun mengandung makna tertentu karena strukturnya di asumsikan memiliki “aturan-aturan” atau sebuah formasi yang menempatkan berbagaai konstituen narasina dalam relasi-relasi pertentangan atau yang biasa disebut pasangan oposisi biner. Dalam linguistik Saussure, kita pun dapat melhat tanda-tanda atau konstituen narasi itu sebagai tanda-tanda yang terhubung dalam proses sintagmatik dan paradigmati. Dengan demikian, perburuan makna narasi sastra harus dilakukan dengan menelusuri kedua poros tersebut.

1. Penelusuran Sintagmatik

Cara mengidentifikasi pasangan oposisi biner ini cukup jelas dan mudah, yaitu dengan membaca karya sastra secara urut dari awal hingga akhir sambil menginventarisasi pertentangan gagasan yang dimunculkan oleh teks sastra selama proses membaca. Namun ada masalah yang timbul jika kita membagi-bagi seluruh rentangan atau linearitas narasi sastra menjadi satuan-satuan analisis. Ini karena satuan-satuan-satuan-satuan narasi tidak mempunyai batasan yang jelas. Bisa jadi sebuah satuan narasi secara kuantitatif berupa satu kata, kalimat, atau paragraf. Pembagian tersebut bisa dibagi berdasarkan fungsi dan kedudukan tiap satuan-satuan atau ruas-ruas yang membangun poros sintagmatik tersebut. Sehingga menghasilkan varian teori tentang alur yang sangat kompleks dan teknis, seperti sujet, fabula, motif, kernel, dan lain sebagainya.

Ada juga usaha untuk memformulasikan struktur narasi suatu model yang kurang lebih mencakup semua unsur struktur narasi. Model ini diperkenalkan oleh Vladimir Propp yang kemudian mempengaruhi A. J. Greimas untuk membuat model yang lebih abstrak, yang disebut struktur aktan.

Untuk pembagian rentangan sintagmatik narasi menjadi satuan-satuan yang bisa dianalisis, ada cara yang lebih mudah yang mengambil ilham dari metode hermeneutika. Pertama-tama, perlakukan sebuah fragmen narasi sebagai satu unit analisis ketika setidaknya fragmen tersebut mengandung sebuah pasangan tanda yang berelasi secara oposisional atau yang disebut oposisi biner – sepasang tanda yang mengandung gagasan yang berlawanan dalam fragmen narasi tersebut. Analisis ini sifatnya sementara. Artinya, kita masih bisa menemukan oposisi biner yang lain. Sehingga unit analisis akan bertambah besar dan luas, sampai menemukan oposisi biner yang terakhir. Setelah fragmen tersebut ditemukan, perlakukan fragmen tersebut sebagai unit narasi yang memadai sebagai satu unit analisis. Selanjutnya, kita


(12)

bisa berlanjut untuk menemukan satuan analisis berikutnya hingga sampai pada analisis dan penafsiran makna yang mencakup seluruh narasi.

2. Penelusuran Paradigmatik

Hubungan paradigmatik tidak dapat dilihat secara jelas karena hubungan ini bersifat tidak hadir secara fisik dalam narasi. Hubungan ini adalah serial yang terangkai, misal, seorang tokoh dengan tokoh yang lainnya melalui serangkaian kemungkinan asosiasi dalam benak pembaca. Kualitas ini juga ditentukan dari seberapa besar pemahaman pembaca. Semakin banyak buku yang sering ia baca, semakin baik juga rangkaian asosiasi yang ditimbulkan.

Sulit dipahami jika ada yang mengatakan bahwa analisis struktural telah mengasingkan karya sastra dari konteks sosialnya. Karena dengan penelusuran ini, orang dapat melihat hubungan antara tanda-tanda di dalam dunia yang dibentuk oleh narasi sastra dengan tanda yang tersebar dalam sistem pemahaman sosial. Yang harus menjadi catatan, hubungan asosiatif tersebut harus memperlihatkan runutan asosiasinya secara jelas dan mampu menunjukkan mengapa sebuah tindakan yang ada dalam suatu narasi dapat diasosiasikandengan tindakan lain. B. Menemukan Pandangan Dunia di Balik Relasi Oposisi Biner

Setelah pasangan-pasangan tersebut ditemukan, langkah selanjutnya yaitu mencari suatu pandangan dunia dibalik relasi-relasi oposisi biner tersebut. Konsep ini berasal dari Goldman yang mendefinisikannya sebagai suatu kompleks menyeluruh dari gagasan-gagasan, aspirasi-aspirasi, dan perasaan-perasaan yang terhubung bersama-sama antara anggota kelompok sosial tertentu dan yang bertentangan dengan kelompok sosial lain. Konsep pandangan dunia ini sama dengan ideologi.

Dalam kaitannya dengan teori linguistik Saussure, pengertian pandangan dunia menempati tataran yang sama dengan aspek langue, dimana keduanya merupakan struktur atau aturan yang hanya ada dalam tataran kesadaran kolektif manusia. Perbedaannya adalah jika langue merupakan struktur tentang bentuk-bentuk (kebahasaan), maka pandangan dunia adalah struktur tentang gagasan, konsep-konsep yang ada di balik bentuk itu.

Untuk menemukan pandangan dunia tersebut, langkah yang harus dilakukan adalah: a. Kita harus mencari dan menempatkan bermacam-macam pasangan oposisi biner itu sesuai

dengan kesejajaran dan polarisasi yang ada. Tanda atau unsur itu kita bagi ke dalam kutub tertentu menurut kesesuaian maknanya.

b. Setelah semua homologi dari semua pasangan oposisi biner tersebut ditemukan, langkah kedua adalah menemukan berbagai macam formasi gagasan dalam tingkatan yang lebih abstrak.


(13)

c. Jika formasi gagasan itu juga sudah bisa ditemukan, langkah ketiga adalah kita harus menyimpulkan atau menginferensikan nalar atau logika yang mengatur hubungan antar formasi gagasan tersebut.

Setelah proses ini ditemukan, berarti kita telah menafsirkan sesuatu yang menjadi prinsip penyusun dan penggerak narasi. Dengan kata lain kita telah dapat menemukan pandangan dunia secara utuh. Nalar ini disebut sbagai nalar narasi.

Pengertian nalar narasi mirip dengan pengertian tema, yaitu sesuatu yang menjiwai keseluruhan karya. Tetapi, tema memiliki jangkauan pengertian yang lebih umum dan luas, sedangkan nalar narasi bersifat spesifik, operatif, dan mudah untuk dilihat.

C. Meninjau Keseluruhan Unsur-unsur Struktur Narasi dengan Nalar Narasi

Setelah menemukan pandangan dunia dan nalar yang menyusun dan menggerakkan narasi ini, maka kita baru melakukan tinjauan dan menafsirkan signifikansi unsur-unsur pembangun narasi secara keseluruhan. Ini berbeda dengan metode yang selama ini sering digunakan. Biasanya seorang peneliti lebih dulu mengidentifikasi dan mendaftar berbagai kasus yang ditemukan dalam anasir-anasir bangunan narasi, baru selanjutnya mencari hubungan kasus tersebut dengan makna secara keseluruhan. Cara ini kurang memperlihatkan secara khas bagaimana penalaran struktural bekerja. Sehingga cara yang lebih mudah yaitu dengan menemukan formasi gagasan dan nalar narasi. Dengan tahap ini, kita akan mempunyai kerangka bernalar untuk bisa menemukan signifikansi mengapa, misalnya, tokoh digambarkan memiliki watak tertentu. Selain itu, kita dapat menganalisis secara bertanggung jawab tentang cara-cara dan sarana yang digunakan untuk membangun narasi.

Apapun variasi tinjauan tentang struktur narasi itu seharusnya tetap memperlihatkan ciri dan konsistensi penalaran struktural apabila ia diklaim sebagai pendekatan struktural.

D. Melihat Kemungkinan Rujukan pada Sumber-sumber Makna Sosio-Kultural

Begitu nalar narasi dan pandangan dunia itu kita simpulkan, kita dapat mencari rujukan nalar narasi tersebut melalui argumentasi semiologis ke dalam sistem kemaknaan tertentu yang ada dalam lingkungan sosio kultural tempat karya tersebut hidup. Argumentasi semiologis disini adalah cara bernalar yang bisa dipertanggungjawabkan untuk melihat kaitan antara nalar narasi dengan sumber makna. Argumentasi semiologis yang paling kuat adalah jika tanda tekstual yang mengacu pada sumber makna dapat ditemukan. Namun jika tanda tersebut tidak dapat


(14)

ditemukan, argumentasi dapat dibentuk secara paradigmatik (mencari asosiasi, kesejajaran, homologi-homologi formasi gagasan serta nalar narasi dengan sistem kemaknaan di lingkungan semiologis karya tersebut hidup. Hal ini diperlukan untuk menempatkan karya sastra dalam konteks sistem-sistem kemaknaan yang melingkupinya.

BAB 7

KARYA SASTRA SEBAGAI SISTEM TANDA KEDUA DAN MASALAH PENAFSIRAN

Pendapat tentang bahasa sastra yang bersifat khas telah disepakati oleh banyak pihak. Kekhasan bahasa sastra tersebut muncul dalam bentuk gayanya yang tidak lazim, entah itu menyimpang, berlebihan, mempermainkan, atau berusaha menghancurkan cara berbahasa yang biasa. Tujuannya adalah untuk menghasilkan efek makna tertentu yang tidak mungkin dicapai oleh penggunaan bahasa biasa. Bahasa sastra membangun maknanya dengan bertumpu pada sistem tanda bahasa biasa. Karena itu, bahasa sastra sering disebut sebagai sistem bahasa tingkat kedua (sekunder), sedangkan bahasa biasa disebut sebagai sistem tanda pertama (primer). Penafsiran terhadap karya sastra tidak bisa dilakukan sebagaimana penafsiran terhadap penggunaan bahasa biasa. Metode penafsiran struktural tidak begitu saja bisa diterapkan. Hal ini karena dalam proses inferensi atas pasangan oposisi biner, orang telah melakukan inferensi terhadap bahasa sastra. Dengan kata lain, ia telah melakukan lompatan inferensi secara tidak sadar dari bahasa biasa ke bahasa sastra. Jika itu tidak terjadi, maka seorang penafsir akan mencapai level bahasa biasa.

Metode struktural yang diajukan harus dilengkapi dengan metode penafsiran yang terimplikasi yang menggambarkan hubungan antara sistem tanda bahasa biasa dengan sistem tanda sastra. Metode ini bukan harus dilakukan setelah metode penafsiran struktural. Metode ini bisa diintegrasikan sekaligus pada tahap sebelumnya. Langkah ini diintegrasikan ketika sampai pada tahap untuk menginferensikan nalar narasi dari sebuah formasi gagasan yang terbentuk dalam narasi. Jika peralihan tersebut ingin diperlihatkan secara jelas, maka pemisahan kedua tahap metode tersebut harus dilakukan.

A. Bahasa Sastra dalam Teori Mitos Roland Barthes

Dalam teori mitologi Barthes, mitos adalah sebuah bentuk tuturan ynag menggunakan sistem tanda tingkat kedua. Sehingga, karya sastra pun termasuk ke dalam mitos. Mitos membentuk


(15)

maknanya dengan mengeksploitasi, merekayasa, dan mempermainkansistem tanda bahasa (sistem tanda primer). Dengan kata lain, mitos tidak lagi sekedar memiliki makna di tingkat primer, tetapi menyembunyikan makna lain (makna kiasan). Menafsirkan mitos adalah upaya untuk menemukan makna yang tersembunyi melalui analisis terhadap sistem tanda primer. Barthes membuat model yang menggambarkan penindasan sistem tanda mitos pada sistem tanda bahasa.

Penanda (bhs)

Petanda (bhs) Tanda (bhs)

PENANDA (mitos)

PETANDA (mitos) TANDA (mitos)

Model hubungan sistem tanda bahasa (primer) dan sistem tanda mitos (sekunder)

Dari model tersebut, tanda bahasa (sistem tanda tingkat pertama) yang berupa kesatuan penanda dan petanda berubah menjadi sekedar PENANDA dalam mitos (sistem tanda tingkat kedua). Petanda kini “tidak berlaku”dalam pemaknaan mitos. Mitos selanjutnya mengisi aspek konseptual yang kosong dalam bahasa itu dengan aspek konseptual (PETANDA) mitos. Contohnya adalah dalam kalimat “aku ini binatang jalang” dari puisi Chairil Anwar. Pemaknaan secara denotatif untuk kalimat tersebut tidak dapat dilakukan. Pemaknaan secara harfiah bahwa “ada binatang yang mengaku sebagai jalang” adalah hal yang tidak wajar karena kalimat tersebut tidak dapat diterima. Dengan alasan mana ada binatang bisa menyatakan dirinya dengan kata-kata.

Penafsiran yang tidak memadai itu terjadi akibat kalimat tersebut sudah menjadi sebuah mitos. Aspek konseptual atau petanda dari kalimat itu harus ditemukan. Kalimat tersebut sudah sarat dengan makna kiasan yang dibangun oleh struktur bahasa puisi. Penanda inilah yang harus ditemukan dalam penafsiran mitos.

B. Menafsirkan Mitos

Proses menemukan makna yang tersembunyi sebenarnya cukup rumit, karena menyangkut tentang bagaimana berbagai asosiasi semantik dapat terbentuk dari tuturan mistis. Tafsir mitos tidak hanya mengandalkan logika, tetapi juga kekuatan dan kelincahan imajinasi dalam menemukan hubungan asosiatif serta implikasi logis yang terkandung dalam tuturan mistis.


(16)

Pembendaharaan pengetahuan (simbolik) sang penafsir juga sangat berperan. Dalam penafsiran mitos berlangsung tiga hal berikut:

1) Meninjau Paparan Sintagmatik Mitos dan Menemukan Prosedur Pemitosan.

Paparan sintagmatik mitos berarti apa dan bagaimana berbagai hal ditampilkan dalam mitos. Untuk mitos yang berbentuk narasi, paparan sintagmatik menyangkut masalah tentang bagaimana jalan ceritanya, tokoh-tokohnya, setingnya, dan waktu kejadian. Prosedur pemitosan ini mempunyai banyak kemungkinan. Prosedur tersebut antara lain:

a. Penumpangtindihan tanda-tanda dalam sistem tanda primer.

Prosedur ini berjalan dengan memanfaatkan berbagai tanda yang mempunyai homologi-homologi makna atau bentuk. Dengan saling menumpangtindihkan atau memutarbalikkan tanda itu, mitos akan menghasilkan makna tertentu. Dalam gaya bahasa, prosedur ini terwujud dalam alegori, metafora, dan simile. Dalam narasi, prosedur ini memperlihatkan paparan sintagmatik yang memiliki makna kiasan yang kaya dan mendalam.

b. Pembelokan dan pembalikan sistem tanda primer

Pada prosedur ini, aturan paparan sintagmatik dan juga makna dalam sistem tanda primer disimpangkan dan dibalikkan. Tetapi makna mistisnya bukanlah sekedar pembalikan seperti itu. ada efek makna yang muncul ketika mitos melakukan pembalikan. Sebuah cerita parodi, sinisme, ironi tidak semat-mata membelokkan pakem demi kebelokan itu sendiri, tapi ada makna yang bisa dicapai dengan pilihan genre atau gaya bercerita seperti itu.

c. Pengacauan atau “penghancuran” sistem tanda

Sebuah mitos memperlakukan sistem tanda primer dengan menjungkirbalikkan, mengacaukan, atau sama sekali tidak mematuhi aturan. Sistem tanda primer “dihancurkan”. Penghancuran tersebut mustahil jika mitos masih mengandaikan suatu makna.

2) Meninjau Implikasi-implikasi Kemaknaan

Setelah proses tersebut kita harus menemukan implikasi kemaknaannya. Setelah semua kemungkinan efek kemaknaan itu dieksplorasi, perlahan-lahan kita menginferensikan sesuatu dari sana, yaitu petanda mitos. Tahap ini sangat rumit, karena terjadi penjelajahan imajinatif dan logis di atas sengkarut dunia makna yang ditampilkan oleh sebuah mitos. Pembendaharaan sistem pengetahuan dan kemaknaan seorang penafsir sangat berperan.


(17)

Disebutkan di atas menarik inferensi di atas sengkarut makna itu merupakan proses yang rumit.Langkah ini bukanlah rangka yang terpisahkan dari langkah sebelumnya, tetapi keduanya bisa dibedakan. Langkah ini terkait dengan kemampuan kita untuk menemukan dan menstrukturasikan asosiasi makna. Langkah inferensi ini berhubungan dengan struktur paradigmatik karya sastra.

Kita harus lebih banyak memanfaatkan poros paradigmatik untuk membantu menarik inferensi atau menemukan petanda mitos ini. Implikasi makna sebuah paparan sintagmatik yang berupa sengkarut itu harus dilihat dari jurusan paradigmatiknya. Lihat juga kemungkinan hubungan asosiatif antara serpihan makna itu dengan berbagai sistem kemaknaan yang tidak muncul secara eksprisit dalam teks sastra. Untuk menggunaka suatu sistem pemaknaan seperti itu untuk mempertajam pemaknaan kita harus benar-benar dapat mempertanggungjawabkannya.

Misalnya sebuah judul novel JAZZ, PARFUM, Insiden.Secara sintagmatis novel ini berupa uraian tentang suatu jenis musik, parfum, dan pembantaian manusia disebuah provinsi. Secara denotatif kita akan menemukan cerita tentang peristiwa pembantaian, uraian tentang dunia parfum,dan juga sejarah musik jazz. Jika novel tersebut hanya bercerita tentang tiga hal tersebut secara berganti-ganti, maka tumbuh miskinnya novel itu. Tetapi, kita berhadapan dengan sebuah karya sastra, sebuah mitos. Makna novel itu tidak sekedar uraian informatif atas ke-tiga hal tersebut. Penyejajaran ke-tiga masalah tersebut adalah bentuk pengacauan cara kategoria bahasa biasa. Jazz adalah musik. Parfum adalah sarana penampilan. Insiden adalah sebuah peristiwa. Ada makna kesejajaran diantara ke-tiga nya. Ketiga hal tersebut dibahas dengan nada keseriusan yang sama. Artinya secara denotatif, parfum, jazz, dan insiden pembantaian manusia sama-sama merupakan masalah serius. Menurut akal sehat, ini kurang diterima. Nyawa ribuan orang yang terbantai tidak sama dengan masalah tentang improvisasi yang dilakukan oleh seorang pemusik, atau pesan tertentu yang dibayangkan ketika seorang perempuan menggunakan parfum.

Dalam dunia yang dialaminya, sang narator bisa berhadapan dengan ke-tiga masalah tersebut. Di dunia mode, pembahasan tentang parfum bukan masalah sepele. Di dunia musik, pembahasan tentang jazz juga tidak kalah serius. Dalam dinamika sosial politik dan kemanusiaan, masalah pembantaian manusia tentu merupakan masalah besar. Fenomena itulah yang dihadapi narator. Secara asosiatif kita bisa menghubungkan fenomena tersebut dengan


(18)

fenomena mutakhir, yaitu apa yang disebut sebagai fenomena post modernitas, yang salah satu serpih pemikirannya yakni berakhirnya narasi besar.

BAB 8

DON JUAN, DON QUIXOTE ADALAH AKU: ANALISIS STRUKTURAL ROMAN NEGERI SENJA

A. Sinopsis sebagai abtraksi paparan sintagmatis.

Selain sebagai ringkasan isi cerita sinopsis juga bisa menjadi abtraksi paparan sintagmatis, maksudnya adalah sinopsis bisa sebagai sarana untuk mempermudah pembaca melakukan perujukan-perujukan pelbagai hal yang secara garis besar hadir dalam struktur sintagmatis roman Negeri Senja.

B. Sinopsis Roman Negeri Senja

Dalam pengembaraannya yang tak pernah henti dan di dorong oleh kehendak untuk meninggalkan kesedihan cintanya, seorang pengembara (aku, penutur cerita ini) sampai di sebuah negeri di mana matahari tak pernah tenggalam. Di sana matahari selalu dalam posisi tersangkut di cakrawala, sehingga negeri itu selalu dalam suasana senja. Pemandangan senja yang abadi di negeri itu sebenarnya merupakan sebuah tempat yang mewujudkan cita-cita keindahan sang Pengembara karena selama ini ia berpendapat bahwa senja adalah pemandangan terindah. Dan karena itu pula, dalam pengembaraannya itu ia juga selalu memburu senja.

Akan tetapi, dalam kenyataannya Negeri Senja tidaklah memmbuatnya bahagia. Disana, di negeri terindah itum, sang Pengembara mendapati kehidupan yang penuh tekanan. Rakyat Negeri Senja hidup dalam kemiskinan dan ketakutan akibat penindasan, teror, dan kekejaman luar biasa yang dilakukan oleh sang penguasa negeri, Puan Tirana yang Buta. Konon, kekejaman Tirana disebabkan oleh kekecewaan cintanya. Ia dikhianati oleh kekesihnya, yakni seorang leleki yang kini menjadi Guru Besar di Kuil Matahari, sebuah kuil yang sesungguhnya menjadi simbol otoritas keagamaan di Negeri Senja. Ketika remaja, tirana dan pemuda kekesihnya itu sama-sama belajar di Kuil Matahari. Mereka juga kawan seperjuangan dalam gerakan bawah tanah yang bertujuan untuk melawan penindasan penguasa Negeri Senja saat itu. Mereka juga pernah sama-sama di penjara. Namun, ketika tirana telah dibebaskan


(19)

karena penguasa yang lalim telah berhasil digulingkan, tirana sebagai mendapati kekesihnya telah mengkhianati cintanya. Pemuda itu kini telah berpaling pada perempuan yang berhasil menggulingkan dan merebut tahta Negeri Senja. Dan perempuan penguasa ini kemudian mengangkat kekesih Tirana itu sebagai Guru Besar di Kuil Matahari. Maka sepasang kekasih itu pun berduet menjadi penguasa. Seperi lazimnya penguasa-penguasa sebelumnya, penguasa baru itu pun kemudian menjadi penindas yang kejam. Sayangnya sang Guru Besar yang biasanya menjadi kekuatan spiritual yang mengontrol penguasa ppolitik itu tidak dapat berbuat apa-apa. Maka atas nama penderitaan dan kekecewaan rakyat, juga kekecewaan cintanya, Tirana merebut kekuasaan dan menjadi penguasa baru.

Dan ketika menjadi penguasa, Tirana pun tak kalah kejamnya. Bahkan karena penderitaan cintanya itu, Tirana dengan kesaktian dan kekuasaannya yang luar biasa berusaha untuk menghapuskan perasaan dan pikiran tentang cinta dari Negeri Senja. Seperti layaknya negeri yang tertindas, di sana pun timbul perlawanan. Semula perlawanan itu merupakan gerakan tanah, namun lambat laun pecah menjadi perlawanan terang-terangan yang ditandai dengan berdirinya Partai Hitam dan puncaknya menjelma pemberontakan. Akan tetapi, pemberontakan itu gagal. Kekuatan Tirana yang di dukung oleh pengawal pengawal dan segenap bawahannya benar-benar tidak tertandingi oleh gabungan seluruh kekuatan pemberontak. Seusai pemberontakan yang gagal itum, sang Pengembara meninggalkan Negeri Senja dengan perasaan kehilangan akan sesuatu. Segala pengalaman Sang Pengembara itu ditulis dan dikirimkannya kepada Alina dan Maneka. Dua orang yang selalu dicintainya sekaligus dengan cara yang mustahil.

C. Pandangan Dunia dalam Narasi Negeri Senja.

Dari narasi roman Negeri Senja kitab dapat mengidentifikasikan segenap komponen penyusun naratifnya, seperti tokoh-tokoh, tindakan, peristiwa, emosi-emosi. Ada lima pasangan gagasan oposisional yang merupakan hasil abstraksi dari pelbagai pasangan oposisi biner antartanda yang dapat kita temukan dalam pembacaan Negeri Senja, kelima pasangan itu adalah sebagai berikut :

1. Keburukan dan keindahan. 2. Penderitaan dan kebahagiaan. 3. Kefanaan dan keabadian.


(20)

4. Keterikatan dan kebebasan.

5. Keterpecahan (kontradiksi) dan keutuhan.

D. Meninggalkan Kenyataan, Menuju Dunia Sempurna

Kelima pasangan gagasan oposisional diatas dapat kita abstraksikan menjadi satu pasangan gagasan oposisional, yakni ketidaksempurnaan dan kesempurnaan.kutub-kutub gagasan yang meliputi keindahan, keabadian, kebahagiaan, kebebasan dan keutuhan secara bersama-sama dan saling menguatkan dapat kita katakan sebagai varian yang mewujudkan gagasan tentang dunia yang sempurna. Ke arah dunia yang sempurna ini, tokoh-tokoh dalam negeri senja mengarahkan segenap tindakannya.

E. Pandangan Dunia dalam Negeri Senja dan Romantisisme

Pandangan dunia dalam Negeri Senja yang selalu melihat dunia kenyataan sebagai sesuatu yang tidak sempurna, oleh karenanya mereka ingin meninggalkannya serta meraih dunia ideal, mempunyai persamaan dengan pandangan dunia romatik.

Romantisisme menurut Wellek (via Faruk, 1995:144) mempunyai ciri utama berupa gagasan tentang penyatuan. Menurutnya romantisme bersikeras mengatasi keterpisahan antara subjek dengan objek, diri dengan dunia, kesadaran dengan ketidaksadaran, dengan menggunakan peralatan.

Faruk (1995:144) memahamkan bahwa romantisisme adalah kesatuan dan ketegangan antara dunia ideal yang penuh persatuan dan selalu menuntut untuk menyatu dengan dunia nyata yang penuh dengan perpisahan, kekacauan dan keanekaragaman unsurnya.

F. Negeri Senja sebagai Mitos Romantik

Karya sastra membangun maknanya di atas sebuah sistem tanda lain, yakni bahasa. Bentuk-bentuk bermakna atau tanda-tanda dalam bahasa, sedemikian rupa telah “dikosongkan” dari maknanya semula kemudian direkayasa oleh sistem sastra untuk menghasilkan makna baru. Barthes (1983:114-115) menyebut sistem tanda tingkat kedua semacam itu sebagai mitos, terlepas dari media apakah yang digunakan untuk “menuturkan” mitos tersebut.


(21)

G. Negeri Senja sebagai Metabahasa di Atas Mitos Romantik a. Mitos yang Sadar Diri

Mitos Romantik “dengan tulusnya” akan menyuarakan semua itu. Mitos Romantik secara terselubung, penuh keyakinan dan tak sadar akan mengolah sistem tanda tingkat pertamanya, yakni bahasaserta segenap sistem pengetahuan dan pemaknaanyang digunakan untuk menstrukturasikan suatu pengalaman sosio-historis sehingga terbangunlah makna-makna yang lazim terkandung dalam suatu mitos Romantik.

Negeri Senja dengan demikian dapat dikatakan sebagai mitos artifisial. Mitos semacam ini lazimnya digunakan sebagai sarana untuk melawan mitos yang telah ada (Barthes:1983:135). Karena bersifat artifisial akan mudah dijumpai penjelasan-penjelasan dan tafsir-tafsir tentang apa yang di ceritakan didalamnya.

b. Bahan yang Kosong dari Sejarah dan Munculnya Metabahasa

Kode sastra Romantik memiliki kode yang kosong dari muatan makna dan indeks sosio-historis yang konkret tersebut mengakibatkan bangunan mistis Negeri Senja menjadi sulit terbentuk, karena mitos hanya akan bertumbuh dengan subur dan mengesankan jika mitos mengolah tanda-tanda dari sistem semiotik primer yang penuh dengan muatan historis. Tanda-tanda-tanda muatan historis adalah mangsa empuk bagi mitos untk dikosongkan muatannya (petandanya) lalu “diisi” dengan petanda atau makna-makna mitis.

c. Membangun Dunia Romantik dengan Metabahasa

Negeri Senja mempunyai kecenderungan untuk menjadi mitos yang secara sadar diri hendak menyampaikan persepsi “membangun dunia Romantik melalui pemanfaatan kode-kode sastra romantik”. Dengan demikian yang terjadi adalah sebuah metabahasa. Ini merupakan sebuah konsekuensi logis “kemiskinan” aspek penanda dalam sistem emiotik tingkat pertamanya sementara di sisi lain aspek penanda dalam sistem semiotik tingkat pertamanya sementara di sisi lain aspek petandanya telah relatif penuh.


(22)

Memproduksi dan mengintensifkan penampilan penanda-penanda mitos Romantik secara berlebihan akan memunculkan efek kemaknaan yang paradoksal. Pada satu sisi penciptaan penandaan-penandaan Romantik itu memang memperbesar dan mempertajam makna atau serpihan-serpihan pandangan dunia Romantik, namun pada sisi lain muncullah ironi terhadap romantisisme itu sendiri.

Pada satu sisi narasi negeri senja menampilkan betapa susah dan tak akan habis-habisnya keindahan senja itu diceritakan, akan tetapi di sisi lain keindahan senja itu dikemas dalam kotak senja dan diperjualbelikan sebagai komoditi hiburan yang bersifat massal.

Negeri senja, pada satu sisi menegaskan kembali secara kuat dan berlebihan pandangan dunia Romantik, akan tetapi pada sisi lain tendensi yang teramat kuat itru justru menghancurkan dirinya sendiri. Dunia Romantik yang dimitoskannya tampil secara ironis, dan mengandung nuansa olok-olok meskipun sangat tersamar. Negeri Senja telah menampilkan sosok-sosok pengelana dan pemburu cinta, seperti sang Pengembara dan Tirana, yang begitu tandas mereguk passion cinta yang mengingatkan kita pada sosok Romantik ala Don Juan.

Kita juga bisa menemukan sikap romantik terhadap cinta yang ditampilkan secara berlebihan, naif dan tolol meski dengan jejak yang sangat samar dari prototipe tokoh parodis atas ksatria pengembara dalam kisah-kisah romantik, yakni Don Quixote yang menjadi tidak waras setelah membaca terlalu banyak kisah romantik dan roman-roman ksatria Abad Pertengahan.

Akan tetapi, berbeda dari tendensi parodis Don Quixote yang teramat jelas, Negeri Senja rupanya tidaklah berniat membuat suatu parodi. Olok-olok itu muncul dengan sendirinya karena kesadaran Romantiknya yang terlampau kuat dan ingin ditonjolkan. Demi cinta orang bisa menjadi naif, tidak terpelajar, berlarat-larat terus-menerus seperti Sang Pengembara, atau menjadi Tuhan kekejaman seperti Tirana.

BAB 9:


(23)

Kritik sastra struktural tidak boleh tidak mereduksi karya sastra yang kaya makna dan mlti tafsir ke dalam pemaknaan tunggal. Dengan obsesinya akan penemuan suatu “pusat makna” atau “nalar narasi” atau “matriks”, “pandangan dunia” dalam teminologi sejumlah kritik struktural yang lain, kritik struktural telah menutup atau menindas kemungkina pemaknaan lain.

Dalam konteks kritik sastra, post-strukturalisme mempermasalahkan “kebenaran” dan stabilitas kesatuan tanda yang diasumsikan oleh strukturalisme dari sebuah teks. Jika strukturalisme melihat sebuah “kebenaran akhir” tersembunyi “di balik” atau “di dalam” teks, post-strukturalisme boleh dikatakan tidak “ambil pusing” dengan kebenaran serupa hal itu. Ini disebabkan karena post-strukturalisme sangat kritis terhadap kesatuan tanda.

Dalam pembacaan sebuah teks kaum post strukturalis mengemukakan bahwa setiap pembacaan teks sebenarnya merupakan suatu proses produksi makna yang unik yang terjadi karena interaksi antara pembaca dan teks. Maka kana sebuah teks akan selalu lahir dalam setiap pembacaan dan membaca dipahami bukan lagi sebagai tindakan konsumsi yang pasif, melainkan produksi makna yang aktif.

Selanjutnya, kutub-kutub gagasan yang meliputi kejelekan, kefanaan, penderitaan, kesedihan, keterikatan dan kontradiksi-kontradiksi secara bersama-bersama membentuk kutub gagasan tentang dunia yang tidak sempurna. Di dunia yang tidak sempurna inilah manusia-manusia dalam narasi negeri senja merasakan kenyataan hidup. Oleh karena itu, tokoh-tokoh dalam negeri senja berusaha untuk meninggalkan kenyataan ini dan memburu dunia yang sempurna.


(24)

Ferdinand de Saussure

“Saussure untuk Sastra”

Composed by Group 1: Meddia Adimurti


(25)

Adam Firmansyah Fajwa Zanzabila

Lisda Pangestu Nurul Haifa Sultan Hasibuan

LITERATTURE CLASS

ENGLISH LETTERS DEPARTMENT


(1)

4. Keterikatan dan kebebasan.

5. Keterpecahan (kontradiksi) dan keutuhan.

D. Meninggalkan Kenyataan, Menuju Dunia Sempurna

Kelima pasangan gagasan oposisional diatas dapat kita abstraksikan menjadi satu pasangan gagasan oposisional, yakni ketidaksempurnaan dan kesempurnaan.kutub-kutub gagasan yang meliputi keindahan, keabadian, kebahagiaan, kebebasan dan keutuhan secara bersama-sama dan saling menguatkan dapat kita katakan sebagai varian yang mewujudkan gagasan tentang dunia yang sempurna. Ke arah dunia yang sempurna ini, tokoh-tokoh dalam negeri senja mengarahkan segenap tindakannya.

E. Pandangan Dunia dalam Negeri Senja dan Romantisisme

Pandangan dunia dalam Negeri Senja yang selalu melihat dunia kenyataan sebagai sesuatu yang tidak sempurna, oleh karenanya mereka ingin meninggalkannya serta meraih dunia ideal, mempunyai persamaan dengan pandangan dunia romatik.

Romantisisme menurut Wellek (via Faruk, 1995:144) mempunyai ciri utama berupa gagasan tentang penyatuan. Menurutnya romantisme bersikeras mengatasi keterpisahan antara subjek dengan objek, diri dengan dunia, kesadaran dengan ketidaksadaran, dengan menggunakan peralatan.

Faruk (1995:144) memahamkan bahwa romantisisme adalah kesatuan dan ketegangan antara dunia ideal yang penuh persatuan dan selalu menuntut untuk menyatu dengan dunia nyata yang penuh dengan perpisahan, kekacauan dan keanekaragaman unsurnya.

F. Negeri Senja sebagai Mitos Romantik

Karya sastra membangun maknanya di atas sebuah sistem tanda lain, yakni bahasa. Bentuk-bentuk bermakna atau tanda-tanda dalam bahasa, sedemikian rupa telah “dikosongkan” dari maknanya semula kemudian direkayasa oleh sistem sastra untuk menghasilkan makna baru. Barthes (1983:114-115) menyebut sistem tanda tingkat kedua semacam itu sebagai mitos, terlepas dari media apakah yang digunakan untuk “menuturkan” mitos tersebut.


(2)

G. Negeri Senja sebagai Metabahasa di Atas Mitos Romantik a. Mitos yang Sadar Diri

Mitos Romantik “dengan tulusnya” akan menyuarakan semua itu. Mitos Romantik secara terselubung, penuh keyakinan dan tak sadar akan mengolah sistem tanda tingkat pertamanya, yakni bahasaserta segenap sistem pengetahuan dan pemaknaanyang digunakan untuk menstrukturasikan suatu pengalaman sosio-historis sehingga terbangunlah makna-makna yang lazim terkandung dalam suatu mitos Romantik.

Negeri Senja dengan demikian dapat dikatakan sebagai mitos artifisial. Mitos semacam ini lazimnya digunakan sebagai sarana untuk melawan mitos yang telah ada (Barthes:1983:135). Karena bersifat artifisial akan mudah dijumpai penjelasan-penjelasan dan tafsir-tafsir tentang apa yang di ceritakan didalamnya.

b. Bahan yang Kosong dari Sejarah dan Munculnya Metabahasa

Kode sastra Romantik memiliki kode yang kosong dari muatan makna dan indeks sosio-historis yang konkret tersebut mengakibatkan bangunan mistis Negeri Senja menjadi sulit terbentuk, karena mitos hanya akan bertumbuh dengan subur dan mengesankan jika mitos mengolah tanda-tanda dari sistem semiotik primer yang penuh dengan muatan historis. Tanda-tanda-tanda muatan historis adalah mangsa empuk bagi mitos untk dikosongkan muatannya (petandanya) lalu “diisi” dengan petanda atau makna-makna mitis.

c. Membangun Dunia Romantik dengan Metabahasa

Negeri Senja mempunyai kecenderungan untuk menjadi mitos yang secara sadar diri hendak menyampaikan persepsi “membangun dunia Romantik melalui pemanfaatan kode-kode sastra romantik”. Dengan demikian yang terjadi adalah sebuah metabahasa. Ini merupakan sebuah konsekuensi logis “kemiskinan” aspek penanda dalam sistem emiotik tingkat pertamanya sementara di sisi lain aspek penanda dalam sistem semiotik tingkat pertamanya sementara di sisi lain aspek petandanya telah relatif penuh.


(3)

Memproduksi dan mengintensifkan penampilan penanda-penanda mitos Romantik secara berlebihan akan memunculkan efek kemaknaan yang paradoksal. Pada satu sisi penciptaan penandaan-penandaan Romantik itu memang memperbesar dan mempertajam makna atau serpihan-serpihan pandangan dunia Romantik, namun pada sisi lain muncullah ironi terhadap romantisisme itu sendiri.

Pada satu sisi narasi negeri senja menampilkan betapa susah dan tak akan habis-habisnya keindahan senja itu diceritakan, akan tetapi di sisi lain keindahan senja itu dikemas dalam kotak senja dan diperjualbelikan sebagai komoditi hiburan yang bersifat massal.

Negeri senja, pada satu sisi menegaskan kembali secara kuat dan berlebihan pandangan dunia Romantik, akan tetapi pada sisi lain tendensi yang teramat kuat itru justru menghancurkan dirinya sendiri. Dunia Romantik yang dimitoskannya tampil secara ironis, dan mengandung nuansa olok-olok meskipun sangat tersamar. Negeri Senja telah menampilkan sosok-sosok pengelana dan pemburu cinta, seperti sang Pengembara dan Tirana, yang begitu tandas mereguk passion cinta yang mengingatkan kita pada sosok Romantik ala Don Juan.

Kita juga bisa menemukan sikap romantik terhadap cinta yang ditampilkan secara berlebihan, naif dan tolol meski dengan jejak yang sangat samar dari prototipe tokoh parodis atas ksatria pengembara dalam kisah-kisah romantik, yakni Don Quixote yang menjadi tidak waras setelah membaca terlalu banyak kisah romantik dan roman-roman ksatria Abad Pertengahan.

Akan tetapi, berbeda dari tendensi parodis Don Quixote yang teramat jelas, Negeri Senja rupanya tidaklah berniat membuat suatu parodi. Olok-olok itu muncul dengan sendirinya karena kesadaran Romantiknya yang terlampau kuat dan ingin ditonjolkan. Demi cinta orang bisa menjadi naif, tidak terpelajar, berlarat-larat terus-menerus seperti Sang Pengembara, atau menjadi Tuhan kekejaman seperti Tirana.

BAB 9:


(4)

Kritik sastra struktural tidak boleh tidak mereduksi karya sastra yang kaya makna dan mlti tafsir ke dalam pemaknaan tunggal. Dengan obsesinya akan penemuan suatu “pusat makna” atau “nalar narasi” atau “matriks”, “pandangan dunia” dalam teminologi sejumlah kritik struktural yang lain, kritik struktural telah menutup atau menindas kemungkina pemaknaan lain.

Dalam konteks kritik sastra, post-strukturalisme mempermasalahkan “kebenaran” dan stabilitas kesatuan tanda yang diasumsikan oleh strukturalisme dari sebuah teks. Jika strukturalisme melihat sebuah “kebenaran akhir” tersembunyi “di balik” atau “di dalam” teks, post-strukturalisme boleh dikatakan tidak “ambil pusing” dengan kebenaran serupa hal itu. Ini disebabkan karena post-strukturalisme sangat kritis terhadap kesatuan tanda.

Dalam pembacaan sebuah teks kaum post strukturalis mengemukakan bahwa setiap pembacaan teks sebenarnya merupakan suatu proses produksi makna yang unik yang terjadi karena interaksi antara pembaca dan teks. Maka kana sebuah teks akan selalu lahir dalam setiap pembacaan dan membaca dipahami bukan lagi sebagai tindakan konsumsi yang pasif, melainkan produksi makna yang aktif.

Selanjutnya, kutub-kutub gagasan yang meliputi kejelekan, kefanaan, penderitaan, kesedihan, keterikatan dan kontradiksi-kontradiksi secara bersama-bersama membentuk kutub gagasan tentang dunia yang tidak sempurna. Di dunia yang tidak sempurna inilah manusia-manusia dalam narasi negeri senja merasakan kenyataan hidup. Oleh karena itu, tokoh-tokoh dalam negeri senja berusaha untuk meninggalkan kenyataan ini dan memburu dunia yang sempurna.


(5)

Ferdinand de Saussure

“Saussure untuk Sastra”

Composed by Group 1: Meddia Adimurti


(6)

Adam Firmansyah Fajwa Zanzabila

Lisda Pangestu Nurul Haifa Sultan Hasibuan

LITERATTURE CLASS

ENGLISH LETTERS DEPARTMENT