STRUKTURALISME DAN SEJUMLAH KERANCUAN

asosiatif selalu terkait dengan kata-kata dalam pikiran kita. Asosiasi itu terjadi dengan banyak cara, baik menyangkut aspek citra bunyinya maupun aspek konseptualnya. Sebuah tanda, kata atau istilah, yang digunakan dalam suatu tundakan bahasa seolah-olah muncul sebagai pusat konstelasi, yakni sebuah titik tempat tanda-tanda lain berkonvergensi dan berkoordinasi melalui penalaran tertentu Saussure, 1988: 233. Hubungan seperti itulah yang disebut sebagai hubungan paradigmatic. Hubungan sintagmatik, yakni hubungan antartanda yang hadur secara berurutan dalam satu linearitas tindakan berbahasa. E. Relasi Antartanda sebagai Pembangun Kebernilaian Tanda Menurut Saussure, nilai dan makna dari tanda-tanda bahasa terutama dimungkinkan oleh system relasi, “Menjelaskan sebuah kata adalah menghubungkannya dengan kata-kata yang lain” 1993: 313; dan dalam penglihatan bahasa sebagai relasi inilah terletak inti dari pandanga Saussure. Secara sederhana, pandangan Saussure tentang hal ini dapat diuraikan demikian. Ia membedakan antara isi, valensi, dan pengertian makna. Istilah-istilah itu menunjuk pada aspek konseptual tanda bahasa yang satu sama lain bertumpang tindih. Pengertian, makna atau yang dalam bahasa Prancis disebut signification dipahami sebagai pengasosiasian antara suatu citra bunyi dengan konsep tertentu. Ada satu definisi negative yang menentukan nilai suatu tanda. Definisi negative ini diistilahkan sebagai valensi. Saussure menyatakan bahwa pendefinisian tanda secara negative ini merupakan hal yang dominan dalam bahasa. F. Pendekatan Sinkronis dan Diakronis Pendekatan sinkronis dapat digambarkan sebagai potongan melintang terhadap batang pohon, sehingga diperoleh jaringan antarserat kay dalam penampang batang yang berbentuk melingkar. Sedangkan pendekatan diakronis adalah serupa potongan membujur dari bagian akar hingga keujung yang hanya akan memperlihatkan serat kayu lain. Sayatan diakronis seperti itu tidak mampu memperoleh objek secara pasti. Dengan cara seperti itu orang hanya akan memperoleh serat-serat” bahasa sebagai fenomena particular yang harus berkembang dan bertambah tanpa pola. Dengan demikian, tidak dapat ditarik suatu rampatan atau generalisasi tentang fenomena bahasa.

BAB 3 STRUKTURALISME DAN SEJUMLAH KERANCUAN

Linguistik Saussure dengan prinsip-prinsip seperti terurai dalam Bab 2 pada kenyataannya, telah mengilhamkan sebuah paham pemikiran besar, yakni strukturalisme. Mengenak strukturalisme ini bahkan ada yang menyebutnya sampai kepada taraf gerakan dan mode bdk. Piaget, 1995: 1; Mautzner, 2000: 544; Sampson, 1984: 354. Di Perancis, pengaruh strukturalisme mencapai puncaknya pada tahun 1960-an. Sejumlah pemikir dalam pelbagai bidang yang banyak mengambil ilham dari linguistic Saussure , dan karenanya dimasukkan ke dalam strukturalisme, antara lain adalah Levi-Strauss antropologi, Lacan psikoanalisis, Barthes, dan Todorov kritik sastra. Dalam perdebatan di Perancis saat itu, strukturalisme beraarti penolakan terhadap konsepsi otonomi individual yang dimunculkann oleh para pemikir eksistensialis, Marxis- humanis, pemikiran religious dan liberal. Sebagai gantinya, individu dipandang semata-mata sebagai pengisi suatu posisi dalam jaringan atau struktur social. Pada bab ini tidaklah dimaksudkan untuk membahas lebih jauh strukturalisme sebagai gerakan, yakni tetang implikasi social-politiknya. A. Strukturalisme dalam Kritik Sastra Indonesia Dalam kaitannya dengan perkembangan kritik sastra Indonesia, strukturalisme inipun menampakkan kekaburan, keragaman, dan kesalahpahaman seperti tersebut di awal. Kerancuan permasalahan itu antara lain tampak dalam hal-hal berikut: 1. Kritik-kritik sastra yang mengklaim sebagai structural kebanyakan sekadar menangkap ide-ide yang paling umum dari paham ini kemudian menerapkannya tanpa penalaran yabg secara jelas menunjukkan cirri khas pemikiran structural 2. Masalah ketidakjelasan kaitan antara kritik-kritik sastra yang mengklaim sebagai kritik structural dengan prinsip-prinsip linguistic Saussurean. 3. Berkmbangnya satu pemahaman bahwa analisis semiotic dalam kritik sastra, merupakan satu tahap yang terpisah dan dapat dilakukan setelah analisis structural, sehingga lahirlah suatu kritik sastra yang disebut sebagai structural-semiotik yang mengandalkan urutan ssecara metodis. 4. Adanya penyebutan secara umum terhadap setiap kritik sastra yang memusatkan perhatiannya pada unsure-unsur instrinsik karya sastra sebagai kritik structural. 5. Dengan sendirinya kerancuan dan kekaburan pemahaman teoritik atas strukturalisme dalam kritik sastra itu mengakibatkan kerancuan dalam hal metodenya. Dengan demikian, agaknya diperlukan suatu perintisan secara lebih jelas dan tentu saja bertanggung jawab untuk menawarkan pendekatan terhadap sastra dalam perspektif strukturalisme. Namun, sebelum sampai pada tawaran perumusan gagasan yang lebih metodis dan aplikatif, diperlukan satu peninjauan terhadap asumsi-asumsi dan pokok-pokok gagasan strukturalisme yang terilhami oleh linguistic Saussure. B. Beberapa Asumsi dan Pokok Gagasan Strukturalisme Perumusan ini lebih ditekankan kepada perumusan yang menunjuk pada strukturalisme yang berkembang atas dasar linguistic Saussure. Adapun sejumlah asumsi dan pokok gagasan terpenting dalam strukturalisme Saussurean itu dapat dirumuskan sebagai berikut: 1. Strukturalisme pada hakikatnya mengasumsikan bahwa dunia natural maupun cultural selalu hadir di hadapan manusia sebagai satu bangunan makna-makna. 2. Di dalam strukturalisme ada asumsi bahwa pelbagai aktivitas social berikut hasil-hasilnya, misalnya olah seni, system kekerabatan dan perkawinan, pola tempat tinggal dan aktivitas lain dapat dipahami sebagaimana kita memahami bahasa Ahimsa-Putra, 2001:67 3. Mengacu pada konsep langue dan parole dalam linguistic Saussure, maka bentuk aktivitas social-budaya yang lain pun menunjukkan adanya dua tataran seperti itu. Dengan demikian, di sini para strukturalis memahami akan adanya sebuah struktur dalam deep structure yang sejajar dengan laingue, dan struktur permukaan surface structure yang sejajar dengan parole dalam setiap aktivitas social budaya manusia dan hasil-hasilnya. 4. Mengikuti saran Saussure tentang pendekatan sinkronis bentuk bahasa, maka fenomena social- budaya yang lain pun dapat dipahami dan dijelaskan baik melalui pendekatan sinkronis. 5. Relasi-relasi antarunsur yang berada dalam sebuah struktur merupakan penghadir dan penentu makna. BAB 4 BAGAIMANA MEMULAI KRITIK SASTRA?