A. Bahasa sebagai Awal Mula . Satu hal yang pasti dan disepakati bersama bahwa sastra adalah sebuah gejala kebahasaan.
Cara-cara memperoleh pengetahuan sastra hanya dimungkinkan melalui cara-cara perolehan pengetahuan tentang bahasa. Untuk belajar tentang bahasa, orang niscaya akan merujuk pada
linguistic yang dasar-dasarnya telah ditelakan oleh Ferdimand de Saussure. Sumbangan besar Saussure bagi linguistic dapat dirumuskan secara umum sebagai berikut:
a. Kemampuannya untuk memberikan batasan mengenai objek linguistic secara jelas dan meyakinkan.
b. Rumusnya yang tepat atas prinsip-prinsip mengenai bahasa. c. Cara pendekatannya yang efektif untuk memperoleh pengetahuan tentang bahasa.
Inspirasi dan pengarus Saussure juga meluas hingga menembus batas-batas disiplin ilmu social dan budaya lainnya, seperti sosiologi, antropologi, spikologi, dan secara umum menjadi
penyokong utama satu paham pemikiran yang kuat pada abad ke- 20, yaitu strukturalisme. Tidaklah mengherankan jika prinsip-prinsip linguistic Saussure bergulir menjadi sebuah paham
tersebut. Seperti setiap paham pemikiran, selalu tidak pernah lepas dari kritik yang menunjukan cacat-cacatnya, lebih-lebih dari para penganjur paska modernism dan paska strukturalisme.
BAB 2 LINGUISTIK WARISAN SAUSSURE
Ferdinand de Saussure 1857-1913 adalah sebuah nama yang tidak akan terhapuskan dalam disiplin linguistic. Secara garis besar prinsip-prinsip linguistic Saussure dapat disederhanakan
kedalam butir-butir pemahman sebagai berikut: a. Bahasa adalah sebuah fakta social.
b. Sebagai fakta social bahasa bersifat laten, bukanlah gejala-gejala permukaan, melainakan sebagai kaidah-kaidah yang menentukan gejala-gejala permukaan yang disebut sebagai langue.
c. Bahasa adalah suatu system atau struktur tanda-tanda. Mempunyai satuan-satuan yang bertingkat-tingkat mulai dari fonem, morfem, kalimat hingga wacana.
d. Unsure-unsur dalam setiap tingkatan tersebut saling menjalin melalui cara tertentu yang disebut dengan hubungan paradikmatik dan sintagmatik.
e. Relasi atau hubungan antar unsure dan tingkatan itulah yang sesungguhnya membangun suatu bahasa.
f. Untuk memperoleh pengetahuan tentang bahasa, hanya dapat dikaji melalui suatu pendekantan sinkronik, yakni pengkajian bahasa yang hanya membatasi fenomena bahasa pada satu waktu
tertentu.
A. Bahasa sebagai fakta social Perspektif Saussure yang menempatkan bahasa sebagai sebuah gejala social banyak dipengaruhi
oleh ahli sosiologi emile durkhaeim 1858-1917, khususnya konspesi tentang fakta social. Fakta social itu bukanlah fenomena psikologis karena ia berada diluar kekuasaan sadar seorang
individu. Bahasa hadir sebagai suatu kaidah social yang bersifat memaksa terhadap individu ketika ia harus berfikir, bertutur, atau berbicara.
B. Bahasa sebagai langue dan parole Bahasa sebagai fakta social merupakan hasil karya akal budi kolektif manusia yang berisi
seperangkat konfensi dan kaidah-kaidah yang perlu, yang diterima oleh setiap individu dan menentukan tindakan sang individu dalam berbahasa merupakan yang disebut sebagai langue.
Akan tetapi, langue yang berada dalam kesadaran kolektif itu hanya akan tampak secara kongkrit dalam tindakan berbahasa seorang individu. Dalam tindakan berbahasa secara individual itu
dimungkinkan terjadinya pilihan-pilihn, variasi-variasi yang bersifat sesaat tanpa pola yang jelas. Variasi-variasi itu seolah tanpa batas namun tidak pernah melampaui kaidah-kaidah pokok dalam
langue. Untuk perwujudan bahasa sebagai tindakan individual semacam itu Saussure menyebutnya sebagai parole yang biasa diterjemahkan sebagai tuturan. Parole tidak memenuhi
matra keumuman sehingga tidak dapat dijadikan sebagai objek ilmu. Sehingga ditetapkan bahwa bahasa sebagai langu-elah yang layak dijadikan sebagai objek linguistic.
C. Bahasa sebagai sebuah tanda Sepintas kilas bahasa tampak sebagai himpunan kata-kata, yakni pelbagai nama-nama
yang dihubungkan dengan benda, akhirnya keadaan dan sebagainya, yang digunakan orang untuk berkomunikasi. Akan tetapi, menurut Saussure, bahasa tidaklah sesederhana itu. Lebih dari
sekedar perbendaharaan kata-kata, bahasa merupakan suatu system tanda, yakni suatu keterjalinan tanda-tanda menurut suatu aturan tertentu yang memungkinkan bahasa menjalankan
fungsi hakikatnya sebagai sarana representasi dan komunikasi. Pengertian system di sini mengandung arti adanya aturan yang menghubungkan, menguasai, dan menentukan nilai, makna,
dan keberadaan seluruh tanda yang menjadi bagian dari system tersebut. Lantas apakah yang dimaksud dengan tanda?
1. Hakekat Tanda Bahasa Pengertian dari awam memahami tanda bahasa, kata misalnya, sebagai asosiasi antara suatu
ucapan atau bunyi lahiriah-indrawi tertentu dengan suatu konsep. Namun Saussure menekankanbahwa tanda bahasa adalah suatu entitas yang sepenuhnya bersifat mental, meskipun
suka atau tidak suka ia harus melalui gerbang indra agar bisa menjadi tanda. 2. Dua Aspek Tanda : Penanda dan Petanda
Ketika mendengan kata kucing, seorang penutur bahasa Indonesia dengan serta merta dapat mempunyai ide dan gambaran dalam benaknya tentang ‘seekor binatang berkaki empat, berbulu
lembut, berkumis seperti jarum, biasa diperlihara, dan sebagainya.’ Pendek kata, ia akan mempunyai gambaran idea tau konsep kekucingan. Dalam terminology linguistic Saussure,
konsep itu bukan binatangnya, dinamakan signifie’ yang diterjemahakan sebagai petanda hal yang ditandai. Jika penutur bahasa itu berdiam diri kemudian masih berpikir tentang kucing
dengan kata-kata yang tidak terdengar oleh telinga dan juga tidak diucapkan dengan bibir, namun tetap terucap dan terdengar dalam kesadarannya maka “bunyi” yang terdengan dan terucapkan
dalam benak itulah yang disebut significant yang diterjemahkan sebagai penanda yakni hal yang menandai.
= =
Hubungan antara penanda-petanda itu bersifat arbitrer atau semena-mena. Tidak ada motivasi alas an logis atau alamiah mengapa suatu citra atau bunyi kucing dihubungkan dengan konsep
kucing. D. Hubungan Antartanda: Paradigmatik dan Sintagmatik
Bahasa mempunyai aturan yang mengorganisasikan, menguasai, dan menentukan seluruh jalinan antartanda yang menjadi bagiannya. Tata bahasa ada satu perwujudan dari aturan bahasa
tersebut. Jalinan antartanda bahasa itu mempunyai dua poros utama, yakni poros sintagmatik dan paradigmatic. Kata kucing, melalui suatu nalar tertentu yang tidak disadari sesungguhnya secara
Tanda bahasa Significant
penanda
Signifie petanda
asosiatif selalu terkait dengan kata-kata dalam pikiran kita. Asosiasi itu terjadi dengan banyak cara, baik menyangkut aspek citra bunyinya maupun aspek konseptualnya. Sebuah tanda, kata
atau istilah, yang digunakan dalam suatu tundakan bahasa seolah-olah muncul sebagai pusat konstelasi, yakni sebuah titik tempat tanda-tanda lain berkonvergensi dan berkoordinasi melalui
penalaran tertentu Saussure, 1988: 233. Hubungan seperti itulah yang disebut sebagai hubungan paradigmatic. Hubungan sintagmatik, yakni hubungan antartanda yang hadur secara
berurutan dalam satu linearitas tindakan berbahasa. E. Relasi Antartanda sebagai Pembangun Kebernilaian Tanda
Menurut Saussure, nilai dan makna dari tanda-tanda bahasa terutama dimungkinkan oleh system relasi, “Menjelaskan sebuah kata adalah menghubungkannya dengan kata-kata yang lain”
1993: 313; dan dalam penglihatan bahasa sebagai relasi inilah terletak inti dari pandanga Saussure. Secara sederhana, pandangan Saussure tentang hal ini dapat diuraikan demikian. Ia
membedakan antara isi, valensi, dan pengertian makna. Istilah-istilah itu menunjuk pada aspek konseptual tanda bahasa yang satu sama lain bertumpang tindih. Pengertian, makna atau yang
dalam bahasa Prancis disebut signification dipahami sebagai pengasosiasian antara suatu citra bunyi dengan konsep tertentu. Ada satu definisi negative yang menentukan nilai suatu tanda.
Definisi negative ini diistilahkan sebagai valensi. Saussure menyatakan bahwa pendefinisian tanda secara negative ini merupakan hal yang dominan dalam bahasa.
F. Pendekatan Sinkronis dan Diakronis Pendekatan sinkronis dapat digambarkan sebagai potongan melintang terhadap batang
pohon, sehingga diperoleh jaringan antarserat kay dalam penampang batang yang berbentuk melingkar. Sedangkan pendekatan diakronis adalah serupa potongan membujur dari bagian akar
hingga keujung yang hanya akan memperlihatkan serat kayu lain. Sayatan diakronis seperti itu tidak mampu memperoleh objek secara pasti. Dengan cara seperti itu orang hanya akan
memperoleh serat-serat” bahasa sebagai fenomena particular yang harus berkembang dan bertambah tanpa pola. Dengan demikian, tidak dapat ditarik suatu rampatan atau generalisasi
tentang fenomena bahasa.
BAB 3 STRUKTURALISME DAN SEJUMLAH KERANCUAN