INTEGRASI ANTAR KELOMPOK ETNIS

(1)

LAPORAN PENELITIAN

INTEGRASI ANTAR KELOMPOK ETNIS

Penelitian Terhadap orang Jawa, Minang, dan

Batak

di Jogja, Tanah Karo dan Padang

Oleh

Drs. Mahli Zainuddin, M.Si.

FAKULTAS AGAMA ISLAM

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH YOGYAKARTA

Desember 2004

LEMBAR IDENTITAS DAN PENGESAHAN

LAPORAN AKHIR

KOMPETISI PENELITIAN

DOSEN


(2)

HASIL PENELITIAN KOMPETISI PENELITIAN DOSEN

(KPD)

---

---1. Judul Penelitian : INTEGRASI ANTAR KELOMPOK ETNIS Penelitian Terhadap orang Jawa, Minang, dan Batak di Jogja, Tanah Karo dan Padang

---

---2. Peneliti

a. Nama Lengkap : Drs. Mahli Zainuddin, M.Si. b. Jenis Kelamin : L

c. Pangkat/Golongan/NIP : III/d/113014 d. Jabatang Fungsional : Lektor

e. Fakultas/Jurusan : Fakultas Agama Islam/KPI f. Bidang Ilmu : Sosiologi Agama

---

---3. Jumlah Tim Peneliti : 1 orang

---

---4. Lokasi Penelitian : Jogja, Padang, Tanah Karo

---

---5. Jangka Waktu Penelitian : 6 (enam bulan)

---

---6. Biaya yang Diperlukan : Rp. (Sepuluh Juta Rupiah)

---

---Yogyakarta, 25 Desember 2004

Mengetahui,

Dekan Fakultas Agama Islam UMY, Ketua Peneliti,

DRS. ABD MADJID, M.AG. DRS. MAHLI ZAINUDDIN, M.Si.

NIK. 113020 NIK. 114014

Menyetujui, Ketua LP3 UMY


(3)

DRS. H. SAID TUHULELEY NIK. 113012

KATA PENGANTAR

Alhamdulillah, setelah mengalami beberapa kali

keterlambatan penelitian dengan judul INTEGRASI ANTAR KELOMPOK ETNIS (Penelitian Terhadap orang Jawa, Minang, dan Batak di Jogja, Tanah Karo dan Padang) ini akhirnya dapat diselesaikan.

Penelitian ini terselenggara atas bantuan dana hibah dari program Kompetisi Penelitian Dosen (KPD) yang diluncurkan oleh Lembaga Penelitian Universitas Muhammadiyah Yogyakarta. Oleh karena itu dengan ini peneliti mengucapkan terima kasih kepada sponsor tersebut. Dalam pelaksanaan penelitian ini, mulai

persiapan, pengumpulan dan analisa data, sampai pada penulisan laporan, peneliti banyak dibantu berbagai pihak secara langsung maupun tidak. Kepada mereka yang tidak bisa peneliti sebutkan satu persatu disini itu peneliti mengucapkan terima kasih. Peneliti berdoa agar bantuan mereka dicatat sebagai amal saleh oleh Allah SWT.

Akhirnya, betapapun kecilnya, semoga penelitian ini bisa berguna bagi peneliti sendiri dan bagi semua pihak yang selalu mendambakan dan tidak pernah jera mengusahakan terbentuknya masyarakat yang rukun karena terintegrasi dengan baik,


(4)

Yogyakarta, 25 Desember 2004 Peneliti,

Drs. Mahli Zainuddin, M.Si.

RINGKASAN DAN SUMMARY

Indonesia merupakan masyarakat majemuk yang sifatnya multidimensional. Dalam interaksi antar berbagai kelompok masyarakat, kemajemukan bisa melahirkan integrasi sebagaimana juga bisa melahirkan konflik. Konflik-konflik yang sudah terjadi memakan banyak korban, ada yang bisa ditemukan resolusinya dan ada yang sampai sekarang masih berlangsung. Secara umum konflik yang terjadi melibatkan etnis Dayak-Melayu-Madura (di Kalimantan Barat dan Kalimantan Tengah), Maluku-Makasar-Bugis-Buton (di Maluku dan Maluku Utara), belum terlihat konflik besar antar etnis di luar etnis tersebut. Antar etnis Jawa, Batak dan Minang, misalnya, yang merupakan tiga etnik besar di Indonesia, lebih terlihat nuansa integrasi, di banding nuansa konflik. Untuk memahami kenyataan interaksi sosial, di samping melihat konflik juga harus dilihat aspek-aspek integratif dalam hubungan antar kelompok.

Ruang lingkup penelitian ini adalah integrasi sosial antar etnis Jawa-Minang-Batak di Jogja, Padang, dan Tanah Karo. Penelitian dilakukan dengan pendekatan kuantitatif. Hasil penelitian memperlihatkan bahwa kualitas integrasi antar etnis Jawa, Minang dan Batak di Jogja, Padang, dan Tanah Karo adalah tinggi (73,3%). Perbedaan kepemelukan agama, status sosial ekonomi, tingkat pendidikan dan etnisitas tidak memiliki hubungan signifikan dengan kualitas integrasi. Variabel yang memiliki derajat hubungan yang signifikan dengan kualitas integrasi adalah posisi minoritas-mayoritas kelompok etnis dalam interaksi mereka dengan kelompok etnis lain.

Oleh karena itu dalam rangka menciptakan integrasi sosial yang lebih baik di berbagai wilayah lain, perlu dilakukan

penelitian lebih mendalam terhadap variabel mayoritas-minoritas ini. Penelitian yang dimaksud hendaknya dilakukan dengan

pendekatan kualitatif, dalam rangka memahami dinamika sosiologis yang lebih mendalam tentang integrasi sosial antara kelompok minoritas dengan kelompok mayoritas itu.


(5)

(6)

DAFTAR ISI

Halaman

HALAMAN JUDUL i

LEMBAR IDENTITAS DAN PENGESAHAN

ii

RINGKASAN DAN SUMMARY iii

KATA PENGANTAR iv

DAFTAR ISI

v-vi

BAB I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah 1

B. Permasalahan Penelitian 5

BAB II. TINJAUAN PUSTAKA

A. Integrasi Sosial 9

B. Etnisitas 19

C. Hubungan Antar Kelompok 26

D. Kelompok Mayoritas dan Kelompok Minoritas 33

E. Penelitian Terdahulu 35

F. Hipotesa Penelitian 39

BAB III. METODE PENELITIAN

A. Variabel Penelitian 41

B. Defenisi Operasional Variabel Penelitian 41

C. Subyek Penelitian 44

D. Metode Pengumpulan Data dan Alat Ukur 45

E. Metode Analisa Data 50

BAB IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

A. Deskripsi Data 51

B. Hasil Pengujian Hipotesis 56

BAB VI. KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan 62

B. Saran 63

DAFTAR PUSTAKA 65

LAMPIRAN-LAMPIRAN


(7)

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Adalah kenyataan bahwa Indonesia merupakan masyarakat majemuk yang sifatnya multidimensional. Hal itu antara lain ditimbulkan oleh perbedaan suku, tingkat sosial, pengelompokan organisasi politik, dan agama. Dari aspek kesukuan, pemerintah Indonesia membagi suku bangsa Indonesia menjadi tiga golongan yaitu: (1) suku bangsa yang memiliki daerah asal dalam wilayah Indonesia, (2) golongan keturunan asing yang tidak memiliki wilayah asal dalam wilayah Indonesia (Cina, Arab atau India) atau karena keturunan campuran (Indo Eropa) dan (3) masyarakat terasing yaitu kelompok masyarakat yang dianggap sebagai penduduk yang masih hidup dalam tahap kebudayaan sederhana dan biasanya masih tinggal di daerah dalam lingkungan yang terisolasi. Dari sisi agama, walaupun negara Indonesia mempunyai sekitar 90% penduduk yang beragama Islam, Indonesia bukanlah negara Islam. Lima agama dunia yang memuja satu Tuhan secara resmi diakui, walaupun masih banyak religi lainnya (terutama dalam masyarakat terasing, yang diterima dan disebut kepercayaan tradisional) (Koentjaraningrat, 1993: 12-9).

Dalam interaksi antar berbagai kelompok masyarakat, kemajemukan bisa melahirkan integrasi sebagaimana dia juga


(8)

bisa melahirkan konflik. Pada tahun 1995 Karel C. Steenbrink dengan optimis menulis bahwa Indonesia selama masa 45 tahun terakhir memberikan gambaran kerukunan agama yang hampir-hampir bebas dari berbagai konflik. Itu merupakan prestasi yang sangat hebat- merupakan perkembangan yang dianggap luar biasa di tempat lain (Steenbrink, 1995: 217). Dalam konteks ini dapat difahami pernyataan Geertz bahwa kesadaran akan kesatuan kebudayaan antara lain dalam bentuk nasionalisme cenderung melindungi masyarakat dari perpecahan (Robertson, 1995: 220).

Tetapi dewasa ini hanya ada sedikit masyarakat multikultural yang tidak memiliki sejarah permusuhan antar etnik yang membentuk mereka (Giddens, 1992: 162). Bangsa Indonesia, misalnya, pada paruh kedua dekade terakhir abad ke-20, menghadapi berbagai konflik: baik yang bernuansa kesukuan, kedaerahan, keagamaan, maupun antar kelompok lainnya. Di antara konflik itu adalah konflik di Timor-timor (1995), Situbondo (1996), Tasikmalaya (1997) Surabaya, Ambon, Ujung Pandang, Pekalongan, Pasuruan (Thayib, 1997: 207-8), Kupang (1998), Maluku dan Maluku Utara (1999- ) Kalimantan Barat dan Kalimantan Tengah (2000- ) .

Konflik-konflik yang memakan banyak korban harta maupun jiwa itu ada yang bisa ditemukan resolusinya dan ada yang sampai sekarang masih berlangsung. Konflik antar komunitas Islam dan Kristen di Situbondo, misalnya, bisa


(9)

diselesaikan. (Lihat Retnowati, 2000). Sebaliknya adalah konflik Ambon. Konflik Ambon telah berlangsung sejak 19 Januari 1999 dan mengakibatkan tewasnya ribuan jiwa serta ratusan ribu penduduk mengungsi (TEMPO, 23 Januari 2000). Walau telah diberlakukan keadaan darurat sipil, sampai saat ini konflik antar umat beragama di Ambon pada khususnya maupun kepulauan Maluku pada umumnya belum juga berakhir. Kerusuhan di Ambon dan sekitarnya adalah tragedi kemanusiaan sekaligus tragedi bangsa yang memilukan. Sebelumnya tidak terbayangkan bisa terjadi bentrokan massal antara dua kelompok pemeluk agama berbeda di Indonesia sampai berdarah-darah (Ecip, 1999: 5). Sampai Desember 2000, masyarakat Ambon belum juga masuk masa post-konflik menuju damai yang dalam situasi demikian konflik kekerasan masih sangat mudah terjadi (Trijono, 2001: 181-2).

Setelah beberapa saat konflik antar etnis Madura dengan Dayak dan Melayu reda di Sambas Kalimantan Barat dan sekitarnya, meledak pula konflik dengan skala yang lebih hebat di Sampit dan sekitarnya, Kalimantan Tengah. Kerusuhan yang sampai saat masih sulit menemukan resolusi konfliknya itu telah mengakibatkan 469 orang tewas dan puluhan ribu warga mengungsi (ADIL, 19 Maret 2001, hal. 17). Dengan demikian, kerusuhan Sampit antara etnis Dayak dan Madura ini lebih parah dari kerusuhan Sambas yang ‘hanya’ menewaskan 50 orang itu (REPUBLIKA, 23 Februari, 2001).


(10)

Kalau konflik-konflik yang terjadi di atas dilihat dalam interaksi antar etnis, maka secara umum terlihat bahwa konflik yang terjadi melibatkan etnis Dayak-Melayu-Madura (di Kalimantan Barat dan Kalimantan Tengah), Maluku-Makasar-Bugis-Buton (di Maluku dan Maluku Utara). Dengan kata lain, secara relatif, dalam dekade ini belum terlihat konflik yang cukup besar antar etnis di luar etnis tersebut. Antar etnis Jawa, Batak dan Minang, misalnya, yang merupakan tiga etnik yang cukup besar di Indonesia, lebih terlihat nuansa integrasi, di banding nuansa konflik.

Konflik dan integrasi dalam masyarakat merupakan suatu keniscayaan. Dalam kehidupan nyata konflik bisa saja hidup bersebelahan dengan integrasi, bahkan melalui konflik keseimbangan hubungan sebenarnya bisa ditata kembali (Usman, 1996: 80). Oleh karena itu Untuk memahami kenyataan interaksi sosial, di samping melihat konflik yang terjadi juga harus dilihat aspek-aspek integratif dalam hubungan antar kelompok masyarakat.

Dengan perspektif seperti itu, dalam rangka memahami interaksi antar kelompok masyarakat Indonesia yang majemuk itu, melihat bagaimana integrasi sosial terjalin antara etnis yang tidak bertikai adalah sesuatu yang menarik untuk dilakukan. Apalagi etnis-etnis itu adalah etnis Jawa, Batak dan Minang, yang secara historis merupakan etnis-etnis besar di Indonesia.


(11)

B. Permasalahan Penelitian

Fokus penelitian ini adalah hubungan antar kelompok etnis. Ras maupun etnik merupakan kenyataan sosial yang penting karena orang menilai penting akan keberadaan kelompok yang dianggap sebagai ras atau etniknya.

Semua kelompok ras kurang lebih sama dalam karakteristik fisik yang penting, perbedaan fisik yang ada hanyalah bersifat kosmetik dan tidak fungsional bila dibandingkan dengan makhluk hidup lainnya. Faktor kebudayaanlah yang paling banyak berpengaruh terhadap lahirnya perbedaan di kalangan kelompok etnik, bukannya faktor keturunan.

Dalam penelitian ini, dengan mengacu kepada Koentjaraningrat (1983) yang mengusulkan isitilah kelompok etnik diganti dengan golongan etnik atau suku bangsa, maka kelompok etnik yang dimaksudkan adalah suku bangsa. Jadi fokus penelitian ini adalah hubungan sosial berupa integrasi antar suku bangsa, yaitu suku Jawa, Batak dan Minang.

Ruang lingkup penelitian adalah integrasi sosial antar etnis Jawa-Batak-Minang di Yogyakarta (wilayah dimana etnis Jawa sebagai mayoritas, etnis Batak dan Minang sebagai minoritas), Tanah Karo (wilayah dimana etnis Batak sebagai mayoritas, etnis Jawa dan Minang sebagai minoritas), dan Padang (wilayah dimana etnis Minang sebagai mayoritas, etnis Jawa dan Batak sebagai minoritas). Dari segi agama, pemilahan subyek dalam tiga etnis juga berangkat dari asumsi bahwa orang Minang-Padang identik


(12)

dengan Islam, orang Batak-Tanah Karo mayoritas beragama Kristen dan orang Jawa-Yogyakarta tidak lebih mengidentikkan diri kepada agama tertentu, dibanding dua kelompok etnis lainnya.

Dengan latar belakang seperti itu, penelitian ini akan mencoba menggali data untuk menjawab pertanyaan bagaimana dan mengapa kelompok etnis Jawa-Batak-Minang saling berinteraksi di Yogyakarta, Tanah Karo dan Padang?

Secara lebih spesifik, dengan mengacu pada research questions tersebut maka penelitian ini akan berusaha memperoleh penjelasan tentang

1. bagaimanakah kualitas integrasi antar kelompok etnis Jawa-Batak-Minang di Yogyakarta, Tanah Karo dan Padang?

2. adakah perbedaan kualitas integrasi karena perbedaan kepemelukan agama?

3. adakah perbedaan kualitas integrasi antara wilayah suatu kelompok etnis sebagai mayoritas dengan wilayah mereka sebagai minoritas?

4. adakah perbedaan kualitas integrasi karena perbedaan tingkat pendidik- an?

5. adakah perbedaan kualitas integrasi karena perbedaan status sosial ekonomi?

6. adakah perbedaan kualitas integrasi karena perbedaan etnisitas?


(13)

D. Tujuan dan Kontribusi Penelitian

Penelitian mengenai integrasi antar kelompok etnis ini bertujuan 1. secara kuantitatif, memberikan informasi empiris tentang

kualitas integrasi yang telah terjalin antar kelompok etnis Jawa-Batak-Minang di Yogyakarta, Tanah Karo dan Padang, dalam kaitannya dengan faktor kepemelukan agama, mayoritas-minoritas, tingkat pendidikan, status sosial ekonomi dan etnisitas.

2. secara kualitatif, ingin mengkaji dinamika sosiologis dari integrasi antar kelompok etnis itu dengan melihat bagaimana proses integrasi terjalin , hal-hal yang menjadi saluran bagi jalinan integrasi itu dan hal-hal spesifik lainnya yang tidak bisa diungkapkan dengan instrumen-instrumen penelitian

kuantitatif.

Sedangkan kontribusi yang bisa diperoleh dari penelitian ini adalah sebagai berikut.

1. berdasarkan informasi empiris yang bisa diperoleh dalam

penelitian ini diharapkan berbagai pihak yang berkepentingan terhadap persoalan hubungan antar kelompok etnis dapat mengambil sikap yang tepat baik dalam mempertahankan integrasi yang sudah terjalin dengan baik di tengah masyarakat maupun dalam memahami berbagai konflik yang melibatkan kelompok-kelompok etnis serta usaha-saha mencari resolusi konflik itu sendiri.


(14)

2. Pemahaman mengenai dinamika sosiologis integrasi antar kelompk etnis sangat berguna karena penelitian-penelitian yang berkaitan dengan persoalan hubungan antar kelompok etnis selama ini lebih banyak melihat aspek konflik dan

resolusinya. Padahal konflik dan integrasi adalah dua hal yang merupakan sisi-sisi dari satu mata uang yang sama yang tidak bisa dilihat secara sepihak.

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Integrasi Sosial

1. Pengertian Integrasi Sosial

Dengan membaca berbagai literatur sosiologi terlihat bahwa tidak ada satu kesepakatan definitif tentang pengertian integrasi. Jadi terdapat beberapa pengertian tentang integrasi. Sebagai perbandingan, berikut ini diambil empat defenisi yang diperoleh dari beberapa sumber

Dalam Collins Dictionary of Sociology, misalnya, konsep integrasi dipakai dalam tiga makna: pertama, integrasi berarti suatu tingkat dimana seorang individu merasa memiliki suatu kelompok sosial atau kolektivitas dengan menerima norma, nilai, kepercayaan kelompok sosial itu.

Kedua, integrasi berarti suatu tingkat dimana aktivitas atau fungsi tertentu dari lembaga atau subsistem yang berbeda dalam suatu masyarakat berada dalam keadaan saling melengkapi, tidak saling kontradiktif. Ketiga, integrasi adalah


(15)

hadirnya suatu lembaga khusus yang mendorong dan mengkoordinir kegiatan-kegiatan masing-masing subsistem masyarakat (Jary, 1991: 315).

Charles H. Banton, dalam kaitannya dengan hubungan antar ras, mendefinsikan integrasi sebagai suatu pola hubungan yang mengakui adanya perbedaan ras dalam suatu masyarakat tetapi tidak memberikan makna penting pada perbedaan ras tersebut (Kamanto, 1993: 141).

Sunyoto Usman melihat integrasi sosial sebagai suatu proses ketika kelompok-kelompok sosial tertentu dalam masyarakat saling menjaga keseimbangan untuk mewujudkan kedekatan-kedekatan hubungan sosial, ekonomi dan politik (Usman, 1996: 79).

Dengan kalimat yang lain integrasi juga didefenisikan sebagai proses atau potensialitas yang mendorong ke arah proses dimana komponen-komponen dua kelompok sosial atau lebih menjadi terpadu sehingga memberikan kebersamaan dan kesatuan antara kelompok-kelompok yang ada. Dengan pegertian ini tercakup di dalamnya kasus integrasi dan potensialitas integrasi (Mudzhar, 1998: 129)

Integrasi sosial juga berarti solidaritas sosial yang sama-sama dibentuk oleh suatu masyarakat atau suatu kelompok. Solidaritas menunjuk pada satu keadaan hubungan antara individu dan atau antara kelompok yang didasarkan pada keadaan moral dan kepercayaan yang


(16)

dianut bersama yang diperkuat oleh pengalaman emosional mereka. Ikatan ini lebih mendasar daripada hubungan kontraktual yang dibuat atas persetujuan rasional (Johnson, 1986: 181).

Walau terdapat beberapa titik tekan dari berbagai pengertian yang dibuat oleh para ahli tersebut, nampak bahwa dalam suatu konsep integrasi sosial setidak-tidaknya tercakup hal-hal sebagai berikut. Pertama, bahwa integrasi merupakan suatu tingkatan dalam hubungan antar kelompok dalam masyarakat. Kedua, dalam hubungan itu hadir suatu kesadaran kolektif yang antara lain berbentuk rasa memiliki kelompok, saling menjaga keseimbangan dan kebersamaan. 2. Prasyarat Integrasi Sosial

Dengan mengacu pada definisi David Jary dan Julia Jary tersebut dapat disimpulkan bahwa masyarakat bisa terintegrasi bila: pertama, individu yang menjadi anggota masyarakat mengalami rasa memiliki sebagai suatu kelompok sosial atau kolektivitas berdasarkan antara lain atas norma-norma, nilai-nilai, kepercayaan-kepercayaan yang disepakati bersama. Kedua, aktivitas maupun fungsi dari institusi atau subsistem di dalam suatu masyarakat lebih saling melengkapi daripada saling berlawanan satu dengan lainnya. Ketiga, adanya lembaga tertentu yang menganjurkan untuk saling mengisi/mengimbangi dan


(17)

mengkoordinir aktivitas dari berbagai susbsistem dari masyarakat itu sendiri (Jary, 1991: 315).

Sedangkan menurut Sunyoto Usman, masyarakat terintegrasi karena: pertama, adanya kesepakatan sebagian besar anggotanya terhadap nilai-nilai sosial tertentu yang bersifat fundamental. Integrasi semacam ini lebih sering tercipta dalam kehidupan masyarakat yang majemuk (poly-communal) yaitu masyarakat yang ditandai oleh segmentasi berbagai macam kelompok sosial dengan sub kebudayaan sendiri yang unik. Masyarakat seperti ini juga ditandai oleh tingkat diferensiasi fungsional yang tinggi dengan struktur sosialk yang terbelah ke dalam institusi-institusi yang tidak bersifat komplementer. Kesepakatan terhadap nilai-nilai sosial tertentu yang bersifat fundamental sangat krusial karena mampu meredam kemungkinan berkembangnya konflik-konflik ideologi akibat dari kebencian atau antipati antar kelompok

Kedua, adanya kenyataan bahwa sebagian besar anggota masyarakat terhimpun dalam berbagai unit-unit sosial sekaligus (cross-cutting affiliations). Dengan mekanisme ini konflik yang terjadi (baik yang nampak/kasus konflik maupun yang laten/potensialitas konflik) teredam oleh loyalitas ganda (cross-cutting loyalities). Cross-cutting affiliation memungkinkan elemen-elemen sosial yang saling bertentangan tetap dipertahankan dalam suatu posisi yang


(18)

relatif seimbang. Kelompok-kelompok sosial yang ada menjadi saling mengawasi aspek-aspek sosial yang potensial menciptakan permusuhan.

Ketiga, adanya saling ketergantungan dalam pemenuhan kebutuhan ekonomi. Perbedaan pemilikan dan penguasaan sumber daya ekonomi memang mengelompokkan masyarakat ke dalam kelompok pendapatan (kaya, memengah, miskin). Model pembangunan saling ketergantungan ekonomi dapat mencegah tumbuhnya eksploitasi antar kelompok dan spesialisasi yang terjadi bersifat fungsional sehingga ciri-ciri diferensiasi tidak terlalu sukar diseimbangkan (Usman, 1996: 80-1).

Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa prasyarat bagi adanya suatu integrasi sosial itu adalah adanya : kesadaran kolektif, aktivitas yang saling melengkapi, lembaga tertentu yang berfungsi koordinatif,

cross cutting affiliations, dan saling ketergantungan ekonomi. 3. Bentuk Integrasi Sosial

Durkheim membagi integrasi sosial atas dua hal: pertama, integrasi normatif, yang ada dalam perspektif budaya dan menekankan solidaritas mekanik yang terbentuk melalui nilai-nilai dan kepercayaan. Kedua, integrasi fungsional yang menekankan pada solidaritas organik, suatu solidaritas yang terbentuk melalaui relasi


(19)

saling tergantung antara bagian atau usnur dalam masyarakat (Shills, 1972: 382).

Sosiolog lainnya, Cooley, membagi integrasi sosial ke dalam tiga bentuk: pertama, integrasi normatif yang merupakan tradisi baku masyarakat untuk membentuk kehidupan bersama bagi mereka yang mengikatkan diri dalam kebersamaan itu. Kedua, integrasi komunikatif. Komunikasi dalam hal ini hanya dapat dibangun bagi mereka yang memiliki sifat saling tergantung dan mau diajak bekerjasama menuju tujuan yang dikehendaki. Ketiga,

integrasi fungsional yang hanya akan terwujud bila anggota yang mau mengikatkan diri menyadari fungsi dan peran mereka dalam kebersamaan (Shills, 1972: 381).

4. Tahap-tahap Integrasi Sosial

Integrasi melalui tahapan-tahapan (Astrid S. Susanto, 1979): akomodasi, kerjasama, koordinasi dan asimilasi. Mengutip Ogburn dan Nimkoff, Astrid mendefenisikan akomodasi sebaga pribadi atau kelompok bekerja bersama dengan mengesampingkan perbedaan-perbedaan atau permusuhan-permusuhan. Jadi walaupun ada perbedaan dan permusuhan, itu dilupakan dalam rangka kerja bersama. Ini terjadi karena adanya kepentingan yang sama, adanya tujuan obyektif yang sama. Fase ini juga ditandai dengan tercapainya kompromi dan toleransi.


(20)

Fase berikutnya adalah fase kerjasama. Ini terjadi bila pekerjaan kelompok (kerja bersama) berlangsung cukup lama. Pada fase ini juga mulai muncul solidaritas ketika reaksi terhadap suatu kejadian adalah sama bahkan terjadi pembagian kerja. Bila kebiasaan bekerjasama lambat laun mencapai situasi dimana orang/kelompok mengharapkan dan mempunyai kesediaan untuk bekerjasama, maka ini berarti tercapai fase koordinasi.

Fase terakhir dari integrasi adalah asimilasi yaitu proses dimana individu/kelompok yang tidak sama menjadi sama dan itu terlihat dari kepentingan dan pandangan-pandangan mereka. Tiap pihak telah menyesuaikan diri sehingga tercapai situasi adanya pengalaman dan tradisi bersama (Susanto, 1979: 123-126).

Untuk mengintegrasikan orang yang mengelompok secara longgar ke dalam suatu kelompok solidaritas memerlukan waktu berinterkasi yang cukup panjang. Karena itu integrasi lebih besar kemungkinannya ditemukan dalam masyarakat yang perubahannya lambat ketimbang di dalam masyarakat yang berubah secara cepat. Dengan lambatnya perubahan sosial seseorang berkesempatan untuk menempati posisi yang sama atau serupa dalam jangka panjang. Jika perubahan sosial berlangsung cepat, orang yang berteman akrab kini, mungkin tak seakrab itu kemaren.


(21)

Syarat penting lainnya bagi terciptanya integrasi adalah tersedianya sarana komunikasi yang tepat. Orang yang menghadapi persoalan bersama belum tentu akan bersatu untuk memecahkannya kecuali jika mereka menyadari situasi bersama mereka. Dan yang terpenting adalah bahwa orang tidak akan bersatu kecuali jika ada suatu keuntungan yang dapat diduga sebelum mereka menyatukan diri (Svalastoga, 1989: 98-9).

5. Unsur-unsur Integrasi Sosial

Dari uraian di atas dapat diambil kesimpulan bahwa setidaknya ada 10 elemen yang harus ada dalam situasi sosial yang disebut integrasi. Ke sepuluh elemen itu bisa dilihat sebagai tahap-tahap atau dilihat sebagai unsur-unsur yang saling melengkapi. Dalam hal ini peneliti tidak melihat kesepuluh hal itu sebagai sebuah proses tetapi lebih sebagai unsur atau indikasi suatu integrasi karena masing-masing indikator itu kadang saling tumpang tindih dan yang satu tidak harus menjadi prasyarat bagi hadirnya elemen yang lain. Ke sepuluh indikator itu adalah: 1) tidak memasalahkan adanya perbedaan-perbedaan, 2) munculnya usaha-usaha adaptasi, 3) hadirnya kompromi dan toleransi, 4) adanya kerja bersama, 5) adanya reaksi yang sama terhadap suatu kejadian, 6) munculnya pembagian kerja, 7) berkembangnya solidaritas, 8) adanya kerjasama yang telah berlangsung lama, 9) adanya harapan-harapan dan kesediaan untuk


(22)

bekerjsama, 10) mengkahiri kebiasaan-kebiasaan lama atau adanya pengalaman-pengalaman bersama yang baru

6. Integrasi Sosial dan Konflik Sosial

Dalam interaksi antar berbagai kelompok masyarakat, kemajemukan bisa melahirkan integrasi sebagaimana dia juga bisa melahirkan konflik. Konflik memang bentuk kontradiktif dari integrasi. Tetapi tidak selamanya kedua hal tersebut harus dipertentangkan. Dalam kehidupan nyata integrasi bisa saja hidup bersebelahan dengan konflik, bahkan melalui konflik keseimbangan hubungan sebenarnya bisa ditata kembali (Usman, 1996: 80). Oleh karena itu untuk lebih memahami fenomena integrasi, seyogyanya difahami juga hal-hal yang terkait dengan konflik.

Konflik ialah pertentangan antar dua kelompok sosial atau lebih, atau potensialitas yang menyebabkan pertentangan. Dengan demikian pengertian ini mencakup pengertian kasus konflik dan potensialitas konflik (Mudzhar, 1998: 129).

Konflik muncul karena adanya perjuangan antar individu atau kelompok dalam suatu masyarakat atau bahkan antar negara. Seringkali karena persaingan dalam penguasaan akses atau pengontrolan terhadap sumber daya maupun kesempatan-kesempatan yang terbatas (Jary, 1991: 111). Dalam model Weberian, berbagai macam konflik bermula ketika setiap kelompok budaya (seperti


(23)

kelompok etnis, agama maupun intelektual) berjuang mencari keuntungan (Borgotta, 288).

Perebutan kepentingan akan tetap sebagai sesuatu yang laten bila tidak ada suatu kelompok yang bergerak untuk berjuang secara aktif. Hal ini terjadi bila anggota-anggota suatu kelompok tersebut berkumpul secara fisik, memiliki sumberdaya material untuk saling berhubungan, dan menyepakati suatu budaya yang sama.

Dari aspek strata sosial, kelas-kelas sosial tinggi pada umumnya lebih mobil dibanding kelas sosial rendah dan kebanyakan perebutan kekuasaan terjadi pada faksi-faksi yang berbeda di kalangan kelas tinggi tersebut. Kelas rendah cenderung terpecah dalam kelompok-kelompok lokal dan akan lebih mudah digerakkan kalau mereka secara etnis maupun keagamaan homogen dan terkonsentrasi dalam suatu tempat tertentu.

Konflik terbuka biasanya meningkatkan solidaritas kelompok pada kedua pihak yang bertikai. Coser, mengelaborasi teori Simmel, menulis bahwa konflik mengarah kepada pemusatan kekuasaan di dalam masing-masing kelompok dan memotivasi kelompok-kelompok untuk mencari sekutu-sekutu. Dengan demikian konflik cenderung memecah masyarakat, atau bahkan negara (yang sedang berperang), ke dalam dua kutub. Proses perpecahan itu bisa dibatasi ketika terdapat keanggotaan lintas antar


(24)

kelompok: jika pengelompokan kelas, etnis, agama, saling silang, misalnya. Dengan demikian adanya saling silang dalam suatu konflik (cross-cutting conflict) cenderung membuat masing-masing menjadi netral. Sebaliknya ketika yang ada adalah ‘saling himpit’ ( tidak ada saling silang) maka konflik menjadi lebih ekstrim (Borgotta, 288).

B. Etnisitas

1. Antara Ras dan Kelompok Etnis

Ras maupun etnik merupakan kenyataan sosial yang penting karena orang menilai penting akan keberadaan kelompok yang dianggap sebagai rasnya. Tetapi ras adalah konsep yang membingungkan karena tidak ada kesepakatan umum mengenai istilah tersebut (Horton &Hunt, 1992: 60). Oleh karena itu dapat difahami ketika Weber melihat etnisitas sebagai suatu identitas, kesadaran, afiliasi dan komitmen pada suatu aksi yang sangat beragam, sesuai dengan pengalaman historis dari kategori etnis yang spesifik dan batas-batas politik dimana hal itu dterjadi (Krishnan, 1995: 34). Dalam kaitan ini Koentjaraningrat (1983) mengusulkan istilah kelompok etnik diganti dengan istilah golongan etnik atau suku bangsa (Kamanto, 1993: 137)

Salah satu defenisi menyebut ras sebagai suatu kelompok manusia yang agak berbeda dengan kelompok lainnya dalam segi ciri-ciri fisik bawaan, di samping itu


(25)

banyak juga ditentukan oleh pengertian yang digunakan oleh masyarakat. Lazimnya umat manusia dibagi kedalam tiga kelompok ras utama: Mongoloid (kuning dan coklat), Negroid (hitam) dan Kaukasoid (putih). Tetapi klasifikasi beberapa kelompok tidaklah tegas karena ciri-ciri fisik mereka tumpang tindih sebagai akibat adanya kenyataan bahwa beberapa kelompok ras telah saling kawin mawin sejak ribuan tahun yang lalu, sehingga hampir semua kelompok ras telah saling bercampur baur.

Para ahli sosiologi lalu menggunakan istilah kelompok etnik untuk menyebutkan setiap bentuk kelompok -baik kelompok ras maupun yang bukan kelompok ras- yang secara sosial dianggap telah berada dan mengembangkan subkulturnya sendiri. Walaupun perbedaan kelompok dikaitkan dengan nenek moyang tertentu, namun ciri-ciri pengenalnya dapat berupa bahasa, agama, wilayah kediaman, kebangsaan, bentuk fisik, atau gabungan dari beberapa ciri tersebut (Horton & Hunt, 1992: 60-1).

Semua kelompok ras kurang lebih sama dalam karakteristik fisik yang penting, perbedaan fisik yang ada hanyalah bersifat kosmetik dan tidak fungsional bila dibandingkan dengan makhluk hidup lainnya. Faktor kebudayaanlah yang paling banyak berpengaruh terhadap lahirnya perbedaan di kalangan kelompk etnik, bukannya faktor keturunan.


(26)

2. Asimilasi dan Amalgamasi

Keberadaan kelompok etnik tidak selamanya permanen dan seringkali hilang karena adanya asimilasi atau amalgamasi. Asimilasi berarti perbauran budaya dimana dua kelompok melebur kebudayaan mereka sehinga melahirkan satu kebudayaan. Biasanya terjadi pertukaran unsur-unsur budaya dan umumnya terjadi jika suatu kelompok menyerap kebudayaan lainnya. Amerikanisasi berarti kelompok imigran memberikan beberapa unsur budaya mereka tetapi lebih banyak menyerap inti budaya yang bersumber dari Inggris. Amerikanisasi nama-nama yang bukan berciri Anglo-Saxon (Inggris) merupakan salah satu wujud asimilasi. Amalgamasi berarti perbauran biologis dua kelompok manusia yang masing-masing memiliki ciri fisik yang berbeda, sehingga keduanya menjadi satu rumpun. Asimilasi dan amalgamasi telah banyak terjadi sehingga sekarang sulit menemukan adanya suatu kelompok individu yang besar dan merupakan tipe kelompok ras yang asli.

Perkawinan antar ras pada umumnya belumlah dianggap sebagai hal yang biasa. Salah satu masalah yang dikaitkan dengan hal ini adalah lebih tingginya tingkat perceraian pada pasangan hasil perkawinan antar ras daripada tingkat perceraian pada pasangan yang keduanya orang kulit hitam dan pasangan yang keduanya aorang kulit putih. Adanya persamaan hukum dan peningkatan hubungan


(27)

antar ras yang berbeda barangkali akan meningkatkan perkawinan antar ras. Namun demikian tingkat perkawinan antar orang kulit hitam dengan orang kulit putih masih rendah dan pelaku-pelaku perkawinan semacam itu cenderung mengalami penolakan dari kedua kelompk ras (Horton & Hunt, 1992: 62-4).

3. Etnisitas: Aspek Obyektif dan Subyektif

Orang merasa berkepentingan dengan identitas etnis dan merasa tidak nyaman dengan identitas yang dipaksakan negara atau identitas kelompok lain karena perasaan bahwa mereka berasal dari masa lalu yang dibatasi oleh bahasa, kebiasaan, agama, ras dan daerah. Kesadaran etnis mencerminkan/menampakkan akar yang paling dalam dari perasaan manusia. Jadi etnisitas adalah primordial: orang akan mendukung anggota kelompoknya jika harus memilih menjadi orang luar (outsiders) atau menjadi anggota (members). Konflik tidak terelakkan bila suatu daerah dihuni oleh lebih dari satu etnis, dan nepotisme menjadi-jadi bila bila suatu kelompok menyadari identitas mereka dan merasa perlu melindunginya.

Identitas etnis memiliki aspek obyektif dan subyekyif. Aspek obyektif adalah bahasa, agama, ras, kedaerahan dan budaya. Aspek subyektif adalah bahwa kelima hal itu ditafsirkan secara subyektif oleh masing-masing pihak.


(28)

satu etnis (misal: antara Bosnia muslim, Krotia dan Serbia; antara suku Hutu dan Tutsi). Agama: tidak semua mereka yang satu agama merasa satu etnis (misal: antara muslim India, Pakistan dan Banglades; antara muslim Kurdi dengan muslim Iraq, Iran, Suriah dan Turki). Kedaerahan: tanpa berasal dari satu kawasanpun orang bisa merasa satu etnis (misal: Yahudi sebelum Israel-1948; orang-orang Gipsi di Eropa Tengah dan Timur). Ras: warna kulit sering merupakan konstruk sosial, tidak biologis (kulit berwarna di Afrika Selatan sama dengan kulit hitam di Amerika Serikat).

Budaya: walau sama berbahasa Inggris, budaya kelas atas dan budaya kelas bawah sangat berbeda di Inggris, khususnya dalam hal cara makan, musik, sport, percakapan, pakaian.

4. Etnisitas dan Konflik

Perbedaan etnis tidak selalu berarti konflik terbuka. Banyak etnis di suatu tempat yang tidak merasa terancam secara sosial politik, mereka bisa bekerja sama sesuai aturan. Tetapi di tempat lain perbedaan etnis bisa berarti susah di atur, mengarah kekerasan, menciptakan instabilitas yang luas dan bahkan menghancurkan kehidupan. Dalam hal konflik etnis, meski banyak yang muncul secara spontan, banyak juga yang butuh rekayasa politik, penggerak, jaringan organisasi, diskursus (perangkat prinsip-prinsip dan ide-ide) untuk mengaktifkannya (Yusuf Bangura, 1995).


(29)

Di Indonesia etnisitas biasanya dihubungkan dengan suku bangsa yang tersebar di seluruh nusantara dan berkaitan dengan pembagian hukum adat (Singarimbun, 1992: 56).

Pada sebagian negara yang mejemuk etnisitas menunjukkan gejala separatisme yang berakar pada perasaan primordial suku bangsa sehingga kurang menyumbang pada nasionalisme kebangsaan. Hal ini nampak dalam kurang efektifnya interaksi antar suku bangsa. Interaksi antar suku bangsa menjadi sulit karena perbedaan budaya dijadikan indikasi untuk membedakan efektivitas interaksi di dalam suku bangsa (in group) dengan kelompok luar (out group) yang ditandai dengan menguatnya solidaritas in group dan melemahnya solidaritas out group

(Eriksen, 1993: 12).

Kesetiaan pada etnis juga tumbuh di daerah/kota lain di luar daerah asal. Ini disebut urbanism ethnic. Di daerah perantauan, orang yang berasal dari daerah atau etnis yang sama memperlihatkan kecenderungan masih mempunyai kesetiaan kepada etnis atau daerah asalnya (Sudagung, 1987: 79).

Implikasi politik dari persamaan dan perbedaan etnik dari warga suatu negara tidak dapat diabaikan. Baik pada saat etnik ini diakui secara resmi maupun pada saat dianggap tidak ada, jaringan kerjasama etnik terpelihara dan


(30)

berfungsi secara informal. Jaringan kerjasama etnik ini akan timbul ke permukaan jika otoritas negara yang bersifat supra etnik menjadi melemah yang mengharuskan warga etnik itu berjuang sendiri memperjuangkan aspirasi serta kepentingan mereka (Amal dan Armawi, 1996: 140). Bahkan sejak 1970-an, di dorong oleh berbagai kekecewaan berlarut dalam negara nasionalnya masing-masing, telah muncul gerakan-gerakan etnik yang mengajukan beraneka ragam tuntutan politik, minimal untuk mendapatkan perhatian dan otonomi, maksimal mendirikan negara etnik tersendiri (Kontjaraningrat, 1993: 1-2). Bahkan Alfin Toffler meramalkan bahwa masalah etnik ini akan berlanjut terus sampai abad ke-21 (Toffler, 1990: 249-250).

5. Stratifikasi Etnis

Menurut Donald l. Noel (1968) stratifikasi etnik muncul bila terpenuhi tiga persyaratan: etnosentrimse, persaingan dan perbedaan kekuasaan. Etnosentrisme menurut Sumner (1940) adalah suatu sudut pandang yang menempatkan kelompok sendiri di atas segala-galanya dan menilai kelompok lain dengan memakai kelompok sendiri sebagai acuan. Stratifikasi etnik tidak terjadi bila hanya salah satu atau dua prasyarat yang terpenuhi. Etnosentrisme saja, misalnya, tidak menyebabkan stratifikasi etnik bila antara kedua kelompok yang berinteraksi terjalin kerjasama dan saling ketergantungan. Etnosentrisme dan persaingan


(31)

tanpa disertai perbedaan kekuasaan, menurut Noel, hanya akan melahirkan persaingan berkepanjangan tanpa penyelesaian. Kontak antara kelompok kulit hitam dengan kelompok kulit putih berkembang menjadi hubungan perbudakan dimungkinkan karena adanya etnosentrisme di pihak kelompok kulit putih, adanya persaingan di bidang ekonomi, dan adanya kekuasaan lebih besar di pihak kelompok kulit putih (Kamanto, 1993: 139).

C. Hubungan Antar Kelompok

1. Pengertian Kelompok

Kelompok (group) adalah kumpulan orang yang menyepakati suatu masalah dan bergerak bersama dalam menyikapi masalah tersebut, memiliki harapan bersama dan memiliki suatu rasa senasib sepenanggungan. Ada banyak macam kelompok: persahabatan informal, kelompok-kelompok etnis, masyarakat, kelompok-kelompok antar masyarakat. Hubungan antar kelompok adalah bentuk-bentuk hubungan yang dikembangkan di antara dua kelompok (Borgotta, 962). 2. Pola-pola Hubungan Antar Kelompok

Berdasar sejarah hubungan antar kelompok para ilmuan sosial telah mengidentifikasi berbagai kemungkinan pola hubungan. Banton (1968) menulis bahwa kontak antara dua kelompok ras dapat diikuti proses akulturasi, dominasi, paternalisme, integrasi dan pluralisme. Pola hubungan


(32)

seperti itu juga bisa berlaku dalam hubungan antar kelompok lain di luar kelompok ras.

Akulturasi terjadi manakala kebudayaan kedua kelompok ras yang bertemu mulai berbaur dan berpadu. Sering terjadi antara kebudayaan dua masyarakat yang posisinya relatif sama, walau juga bisa terjadi antar kebudayaan yang posisinya tidak sama.

Dalam sejumlah kasus akulturasi terjadi pula proses dekulturasi seperti terjadi pada kasus hilangnya kebudayaan asli dan hancurnya kehidupan keluarga orang-orang Afrika yang secara paksa diculik untuk dijadikan budak di Amerika Utara, dan dibunuhnya unsur pimpinan orang Aztec di Mexico.

Dominasi terjadi bilamana satu kelompok ras menguasai kelompok lain. Di samping dalam hubungan antar ras, dominasi juga terjadi dalam hubungan aktara kelompok pria terhadap wanita, orang kaya terhadap orang miskin, orang dewasa terhadapa orang yang cukup umur.

Menurut Banton, ada empat macam kemungkinan yang terjadi dalam hubungan dominatif ini: pembunuhan secara sengaja dan sistematis terhadap anggota suatu kelompok tertentu (genocide), pengusiran, perbudakan, segresi dan asimilasi. Pembunuhan yang melibatkan pengusiran, penahanan, penganiayaan dan perkosaan terhadap kaum wanita antara lain terjadi pada kasus ethnic


(33)

cleanshing yang menimpa warga muslim Bosnia. Kematian warga suatu kelompok ras dalam jumlah besar sering terjadi pula karena mereka menjadi korban berbagai penyakit baru yang dibawa oleh kelompok ras pendatang yang dominan.

Pengusiran antara lain dialami orang-orang keturunan India di Uganda, warga asing kleturunan Tionghoa dari pedesaan Indonesia, warga Palestina di tepi Barat Sungai Yordan.

Sementara itu Stanley Lieberson (1961) membedakan dua pola utama dominasi yaitu dominasi kelompopk pendatang atas kelompok pribumi (migrant superordination)

dan pola dominasi kelompok pribumi atas kelompok pendatang (indigenous superordination). Pengendalian politik dan ekonomi oleh migran menghasilkan perubahan besar pada institusi politik dan ekonomi serta demografi penduduk setempat dan suatu waktu cenderung memancing reaksi keras dari mereka. Dominasi pribumi di bidang ekonomi dan politik kurang memancing konflik di pihak migran yang didominasi.

Dalam rangka memantapkan kepentingan mereka kelompok migran dominan kadang kala merubah komposisi penduduk dengan mendatangkan migran dari masyarakat lain. Kelompok pribumi dominan berusaha mempertahankan dominasi mereka dengan jalan mengendalikan jumlah dan jenis migran yang masuk dalam masyarakat mereka.


(34)

Paternalisme adalah bentuk lain dominasi kelompok ras pendatang atas kelompok ras pribumi. Pola ini menurut Banton muncul manakala kelompok pendatang yang lebih kuat mendirikan koloni di daerah jajahan. Ini kemudian memunculkan tiga kelompok masyarakat: masyarakat metropolitan (di daerah asal pendatang), masyarakat kolonial yang terdiri dari para pendatang dan sebagian masyarakat pribumi, dan masyarakat pribumi yang dijajah.

Integrasi adalah pola hubungan yang mengakui adanya perbedaan ras dalam masyarakat tetapi tidak memberikan makna penting pada perbedaan ras tersebut. Hak dan kewajiban yang terkait dengan ras seseorang hanya terbatas pada bidang tertentu dan tidak ada sangkut pautnya dengan bidang pekerjaan atau status yang diraih dengan usaha.

Pluralisme merupakan suatu pola hubungan yang di dalamnya mengenal pengakuan persamaan hak politik dan hak perdata semua warga masyarakat namun memberikan arti penting lebih besar pada kemajemukan kelompok ras dari pada dalam pola integrasi. Dalam pola pluralisme ini solidaritas dalam masing-masing kelompok ras lebih besar (Kamanto, 1993: 140-3).

Perspektif lain yang dominan dalam hubungan antar kelompok berasal dari pemikiran-pemikiran Marxian yang dikenal dengan teori konflik. Dalam pandangan ini


(35)

hubungan-hubungan yang saling bersaing beserta konsekwensinya muncul dari sistem stratifikasi sosial dalam masyarakat. Masyarakat dilihat sebagai sesuatu yang secara konstan selalu berubah. Masyarakat membedakan anggota-anggotanya, memberikan kekuasaan, martabat, uang, lebih besar pada satu kelompok dibanding kelompok lain. Akibatnya muncul ketidakadilan sosial yang menjadi bagian esensial dari suatu sistem stratifikasi. Lebih lanjut, kelompok-kelompok yang berbeda dalam masyarakat (seperti kelas-kelas, kelompok etnis-ras) bersaing untuk menguasai sumberdaya tersedia yang terbatas (Borgotta, 964).

Ada tiga kondisi yang diperlukan dalam konflik antar kelompok dan dalam adanya berbagai ketidakadilan.

Pertama, adanya minimal dua kelompok. Orang harus menyadari kelompok mereka dan kelompok orang lain dengan dasar ciri khas masing-masing. Ciri itu bisa fisik, atau cukup ciri non fisik berupa kepercayaan-kepercayaan atau nilai-nilai.

Kedua, dua kelompok itu bersaing satu dengan lain atau merasa bahwa mereka bersaing dalam memperebutkan sumberdaya yang terbatas seperti uang, tanah atau pekerjaan. Anggota-anggota kelompok akan melindungi kepentingan mereka dengan berusaha mendapatkan sumber


(36)

daya itu untuk mereka, bila perlu dengan ongkos yang ditanggung oleh kelompok lain.

Ketiga, kekuatan kedua kelompok tidak seimbang sehingga salah satu bisa mengungguli kelompok yang lain dalam memperebutkan sumberdaya. Dalam kondisi demikian satu kelompok menjadi semakin dominan seiring dengan berkembangnya persaingan. Kelompok yang lebih kuat menganggap kelompok lain sebagai inferior. Ketika kelompok yang lemah berusaha melindungi dan menuntut hak mereka, kelompok yang kuat akan merasa terancam dan akan berusaha memperkuat diri pada tingkat yang lebih tinggi. Maka keteganganpun meningkat. Kebanyakan anggota kelompok dominan biasanya mudah dan segera melihat kelompok lain dengan istilah-istilah yang negatif.

Hubungan antar dua kelompok bisa berupa asimilasi. Asimilasi meliputi adaptasi terhadap budaya setempat dimana seseorang memasuki masyarakat dan budaya baru. Dalam banyak kelompok orang Asia di Amerika, misalnya, anak-anak mereka belajar Bahasa Inggris, berpakaian ala Amerika, memakan makanan Amerika dan nampak seperti serta menganggap diri mereka sebagai orang Amerika.

Bentuk hubungan antar kelompok yang lain adalah akomodasi. Akomodasi yang dimaksudkan berkaitan dengan keputusan dua atau lebih kelompok untuk mengesampingkan perbedaan-perbedaan yang signifikan


(37)

yang ada di antara mereka dalam rangka kepentingan bersama. Hal ini mengarah kepada pluralisme budaya dimana berbagai bentuk budaya yang berbeda hidup berdampingan secara damai dalam masyarakat yang sama. Amerika Serikat, misalnya adalah masyarakat yang plural dimana berbagai agama, etnis dan kelompok ras yang berbeda diizinkan hidup secara berdampingan (Borgotta, 964).

Dalam kaitan hubungan antar umat beragama, Kuntowijoyo menyarankan perlunya pola hubungan dalam bentuk kerukunan atau toleransi, yang hanya cocok untuk masyarakat agraris, diganti dengan pola hubungan kerjasama atau kooperasi antar umat beragama (Andito, 1998: 359).

D. Kelompok Mayoritas dan Kelompok Minoritas

Salah satu bentuk hubungan yang banyak disoroti dalam kajian terhadap hubungan antar kelompok ialah hubungan mayoritas-minoritas. Dalam konteks ini yang coba dijelaskan adalah konsep mayoritas karena bila di suatu tempat terdapat kelompok mayoritas maka tentu secara otomatis kelompok lain disebut minoritas.

Terdapat beberapa pendapat tentang pengertian mayoritas. Kinloch mendefenisikan mayoritas sebagai any power group that defines itself as normal and superior and


(38)

others as abnormal and inferior on the basis of certain perceived characteristics, and exploits or discriminates against them in consequence. Dari defenisi ini dijumpai beberapa unsur sebagai berikut: mayoritas merupakan kelompok kekuasaan, kelompok tersebut menganggap diri mereka normal dan superior sedangkan kelompok lain (minoritas) tidak normal dan rendah karena mempunyai beberapa ciri tertentu, atas dasar anggapan tersebut kelompok lain mengalami eksploitasi dan diskriminasi.

Dalam pengertian Kinloch kelompok mayoritas ditandai dengan adanya kelebihan kekuasaan dan tidak dikaitkan dengan jumlah anggota kelompok, jadi boleh saja kelompok mayoritas itu jumlahnya lebiih kecil dari minoritas tetapi mereka lebih berkuasa seperti kelompok Kulit Putih di Afrika Selatan pada masa sistem apartheid masih berlaku di sana.

Berbeda dengan Kinloch, Mely G. Tan, membedakan kelompok mayoritas dengan kelompok minoritas atas dasar kelompok kecil masyarakat kota dan kelompok besar masyarakat desa, kelompok kecil kaum terdidik dan massa tak terdidik, antara sejumnlah orang kaya dan sejumnlah besar orang miskin, serta klasifikasi yang terkait dengan sifat majemuk masyarakat Indonesia.

Edward M. Bruner melihat mayoritas dalam kaitannya dengan kebudayaan. Dalam penelitiannya di Medan ddan Bandung Bruner melihat bahwa ada tidaknya suatu


(39)

kebudayaan mayoritas dominan menentukan bentuk hubungan antar kelompok di suatu wilayah. Medan merupaka suatu kota yang terdiri dari sejumlah minoritas tanpa adanya suatu kebudayaan dominan sehingga antar kelompok-kelompok etnis yang ada berkembang persaingan ketat dan hubungan antar etnis tegang. Sementara di kota Bandung kebudayaan yang dominan ialah kebuidayaan Sunda selaku kelompok mayoritas sehingga di sana para pendatang harus menyesuaikan diri dengan kebudayaan tersebut dan hubungan antar etnis yang ada bersifat lebih terbuka dan santai (Kamanto, 1993: 135-6)

E. Penelitian Terdahulu

Penelitian tentang interaksi antar komunitas, baik berbentuk konflik maupun integrasi, telah banyak dilakukan. M. Atho Mudzhar, misalnya, setelah meneliti interaksi antar Kelompok Islam dengan Kelompok Towani Tolotang dan Tolotang Benteng (kelompok aliran kepercayaan di Amparita, Sulawesi Selatan) menemukan bahwa aspek-aspek yang mendorong integrasi sosial di Amparita adalah: adanya kepercayaan yang sama tentang Gunung Lowa, adanya pemilikan bersama atas kekayaan kebudayaan lama, adanya pendidikan dan kegiatan-kegiatan kepemudaan yang melibatkan semua kelompok, adanya ritus dan jaringan sewa menyewa yang melibatkan semua kelompok dalam aktivitas pertanian, adanya interaksi dalam


(40)

Golkar dan lembaga pemerintahan desa, adanya pemukiman yang membaur dan sumber air minum yang sama, dan adanya faktor kekerabatan (Mudzhar, 1998: 203-226)

Mujiyana dalam penelitiannya tentang potensi konflik antar umat beragama di Kabupaten Sleman menyimpulkan bahwa konflik antar umat beragama antara lain disebabkan oleh: dalam satu tempat tinggal atau pemukiman terdapat berbagai penganut agama dengan karakteristiknya masing-masing, orang berpindah dari satu agama ke agama lain, peringatan hari besar suatu agama tertentu yang kurang memperhatikan masyarakat sekitarnya (Mujiana, 1999: 117).

Kalau menurut Mujiyana peringatan hari besar agama menjadi sumber konflik, Retnowati justru melihat sebaliknya. Dalam penelitiannya tentang hubungan antar Islam dan Kristen pasca Kerusuhan Situbondo, Retnowati justru menemukan peringatan hari besar agama sebagai salah satu hal yang mengintegrasikan masyarakat antar agama. Lebih lanjut Retnowati melihat bahwa Islam dan Kristen di Situbondo terintegrasi karena: pemakaian bahasa yang sama yaitu bahasa Madura dalam kehidupan sehari-hari, adanya saling ketergantungan fungsional antar warga masyarakat dalam pekerjaan, adanya tradisi tolong menolong, gotong royong dan perkumpulan sosial, serta karena adanya perayaan hari besar agama (Islam) dimana warga Kristen juga ikut berpartisipasi (Retnowati, 2000: 89-95).


(41)

Kerusuhan Situbondo yang berlangsung pada 10 Oktober 1996 ini berakibat tewasnya 5 jiwa dan rusaknya 34 bangunan yang di antaranya berupa terbakarnya 20 gereja. Setelah melakukan penelitian mendalam tentang konflik Situbondo ini, Retnowati (2000) menulis sebagai berikut. Pertama, kerusuhan itu merupakan konflik sosial keagamaan yaitu konfliki horizontal meyangkut hubungan antar agama. Penyebabnya adalah akumulasi segala keresahan dan ketidakpuasan yang dialami masyarakat, jadi bukan merupakan sesuatu yang bersifat spontan. Masalah pokok sebagai penyebab konflik bukan pada perbedaan aspek doktrin ajaran tetapi pada masalah non teologis, terutama pada kecemburuan keagamaan yaitu karena adanya gaya hidup beragama kelompok Kristen yang demonstratif.

Kedua, telah terjadi kesenjangan komunikasi sosial antar agama karena tumbuhnya gaya hidup eksklusif dari kelompok sosial tertentu. Ketegangan yang lama terpendam meledak dalam bentuk amukan massa yang didukung oleh faktor non agama.

Ketiga, kesenjangan ekonomi bukan merupakan faktor utama konflik, penguasaan sumberdaya ekonomi yang tidak simetris antara pelaku ekonomi hanya merupakan faktor pendukung saja.

Keempat, pola pembinaan lembaga gereja dan pesantren cenderung eksklusif, berorientasi ke dalam yaitu berisi tentang pendidikan agama sendiri, kurang berorientasi ke luar. Dalam hal ini pemeluk agama kurang mendapatkan pengetahuan dan pemahaman tentang agama lain. Sikap beragama yang demikian


(42)

ini sangat rentan konflik karena mudah terjadi kesalahpahaman, streotype negatif, prasangka dan curiga terhadap agama lain.

Kelima, Resolusi konflik berhasil dilakukan melalui konsiliasi dan mediasi. Dialog dilakukan antara lembaga gereja, NU dan pesantren dan menghasilkan kesepakatan bersama menyangkut sumber-sumber konflik dan solusinya. Keenam, konflik menghasilkan nilai dan tatanan baru, menyadarkan pemeluk agama untuk menjalani kerjasama, perlunya keterbukaan dan saling pengertian (Retnowati, 2000: 102-4).

Dalam penelitian penulis tentang integrasi antar komunitas Islam dan Kristen di Yogyakarta, ditemukan kenyataan bahwa kalau dilihat dari sisi etnisitas, kelompok etnis Tionghoa memiliki kualitas integrasi lebih tinggi dari etnis Jawa dan kalau dilihat dari sisi mayoritas-seimbang di daerah yang ada mayoritas pemeluk agama tertentu memiliki kualitas integrasi lebih rendah dari daerah yang formasi kepemelukan agamanya seimbang.. Sedangkan faktor pendidikan terbukti tidak signifikan dalam mempengaruhi kualitas integrasi antar komunitas Islam dan komunitas Kristen di Kecamatan Ngampilan. Variabel etnisitas lebih dominan dalam mempengaruhi kualitas integrasi karena di dalam variabel etnisitas itu sendiri melekat juga variabel mayoritas/seimbang. Pada etnis Tionghoa melekat dua aspek: minoritas sebagai etnis Tionghoa di tengah mayoritas etnis Jawa dan minoritas sebagai pemeluk Kristen di tengah mayoritas pemeluk Islam.


(43)

Dalam perspektif teori hubungan antar kelompok, antar komunitas Islam dan Kristen di Kecamatan Ngampilan ini terjalin integrasi dalam arti perbedaan antar komunitas diakui

perbedaannya tetapi tidak diberi makna penting dalam interaksi antar mereka. Kenyataan integrasi ini juga didukung oleh adanya kesadaran kelompok, aktivitas-aktivitas yang lebi saling

melengkapi, dan adanya lembaga ketiga yang

mengkoordinasikan aktivitas aktivitas bersama itu (Mahli Zainuddin, 2001)

Setelah melakukan penelitian tentang konflik dan integrasi antar etnis Dayak-Madura, Majid, Mahli dan Khairuddin, menemukan data kuantitatif bahwa varaibel yang berpengaruh secara signifikan terhadap kualitas konflik dan integrasi antar etnis Dayak-Madura ini adalah kepemelukan agama. Manurut hasil penelitian itu kualitas integrasi orang Islam lebih tinggi daripada kualitas integrasi orang Kristen (Abd. Madjid, Khoiruddin Bashori dan Mahli Zainuddin, 2001)

F. Hipotesa Penelitian

Setelah membaca beberapa teori sebagaimana ditulis di atas, maka penulis menyusun hipotesis yang merupakan jawaban sementara terhadap permasalah penelitian, sebagai berikut.

1. Terdapat perbedaan kualitas integrasi antar kelompok etnis yang berbeda.


(44)

yang berbeda.

3. Terdapat perbedaan kualitas integrasi suatu kelompok etnis di wilayah mereka sebagai mayoritas dibanding dengan wilayah dimana mereka sebagai minoritas. Kualitas integrasi kelompok etnis sebagai mayoritas lebih tinggi dibanding sebagai

minoritas.

4. Ada hubungan positif antara tingkat pendidikan dengan kualitas integrasi. Semakin tinggi tingkat pendidikan maka semakin tinggi pula kualitas integrasi.

5. Ada hubungan positif antara status sosial ekonomi dengan kualitas integrasi. Semakin tinggi status sosial ekonomi maka semakin rendah kualitas integrasi.

6. Ada hubungan positif antara tingkat etnisitas ekonomi dengan kualitas integrasi. Semakin tinggi etnisitas maka semakin rendah kualitas integrasi.


(45)

BAB III

METODE PENELITIAN

A. Variabel Penelitian

Penelitian ini merupakan penelitian survey yang tidak sekedar bersifat deskriptif tetapi lebih jauh juga berusaha melakukan eksplanasi. Karena tujuannya eksplanatif maka survei ini di samping menggambarkan karakter tertentu dari populasi juga melakukan uji hubungan antar variable (Faisal, 1993: 23). Oleh karena itu ditetapkan variable penelitian sebagai berikut.

1. Variabel Bebas

a. Kelompok mayoritas/seimbang b. Kepemelukan agama

b. Tingkat pendidikan c. Status sosial ekonomi d. Etnisitas

2. Variabel Tergantung: kualitas integrasi

B. Defenisi Operasional Variabel Penelitian

1. Kelompok Mayoritas/seimbang

Kelompok mayoritas yang dimaksud disini adalah kelompok mayoritas yang disebabkan besarnya angggota kelompok. Jadi tidak dikaitkan dengan kekuatan politik atau ekonomi yang dimiliki oleh kelompok. Kelompok yang


(46)

dimaksud terbentuk berdasarkan kesukuan. Dengan demikian kelompok mayoritas adalah kelompok dimana disana komposisi kependudukan didominasi oleh suku tertentu. Sedangkan kelompok seimbang adalah kelompok dimana komposisi kesukiuan relatif seimbang.

Adapun kelompok mayoritas yang dijadikan sampel penelitian ini adalah masyarakat Yogyakarta (dimana mayoritas penduduknya adalah suku Jawa dan disana tinggal juga suku Minang dan Batak sebagai kelompok minoritas), masyarakat Padang (dimana mayoritas

penduduknya adalah suku Minang, dengan suku Jawa dan Batak sebagai penduduk minoritas), dan Tanah Karo

(berpenduduk mayoritas suku Batak dan suku Jawa dan Minang sebagai etnis minoritas).

2. Kepemelukan Agama

Kepemeluka agama adalah identifikasi diri responden terhadap agama tertentu. Dalam penelitian in,

kepemelukan agama dibatasi pada Agama Islam dan Agama Kristen (meliputi Kristen Protestan dan Katolik). 3. Status Sosial ekonomi

Status sosial ekonomi adalah status sosial yang ada dalam masyarakat yang terbentuk karena adanya

perbedaan dalam penguasaan sumber daya ekonomi. Dalam hal ini indikator yang dijadikan ukuran adalah


(47)

sejauhmana benda-benda tertentu dimiliki oleh responden penelitian. Masing-masing benda itu lalu diberi skor yang nantinya, setelah dilakukan tabulasi, menunjukkan variasi tertentu. Variasi itulah yang kemudian dikelompokkan ke dalam status sosial ekonomi tinggi, sedang dan rendah. 3. Tingkat pendidikan

Tingkat pendidikan yang dimaksudkan adalah lamanya proses pendidikan formal yang dilalui oleh seseorang. Untuk mengukur hal ini maka dilihat dari pendidikan terakhir yang berhasil diselesaikan yang meliputi: tidak tamat SD, tamat SD, tamat SMTP, tamat SMTA, dan tamat pendidikan tinggi.

4. Etnisitas

Mengacu pada Horton dan Hunt (1992) kelompok etnik atau etnisitas yang dimaksudkan disini adalah bentuk kelompok yang secara sosial dianggap telah berada dan mengembangkan sub kulturnya sendiri. Dalam penelitian ini masyarakat yang akan diteliti adalah masyarakat yang teridiri dari tiga etnik yaitu etnik Jawa, Minang, dan Batak. Tetapi dalam realitasnya tingkat etnisitas mereka tentu berbeda.

Mengacu pada teori tentang etnisitas sebagai mana terlihat pada landasan teori maka indikator dari etnisitas yang dipakai dalam penelitian ini adalah: lokasi tempat tinggal sekarang di tempat kelahiran atau di rantau, lama


(48)

merantau, bahasa yang digunakan dalam keluarga sehari-hari, intensitas pulang kampung, dan rencana menetap di hari tua.

5. Kualitas Integrasi

Kualitas Integrasi yang dimaksudkan dalam penelitian ini adalah derajat hubungan antar kelompok ketika masing-masing mereka saling menjaga

keseimbangan untuk mewujudkan kedekatan-kedekatan hubungan. Tinggi rendahnya kualitas integrasi itu diukur dengan sejauh mana unsur-unsur integrasi diketahui, disikapi dan dihayati oleh anggota kelompok.

C. Subyek Penelitian

Sebagaimana ditulis dalam Permasalahan Penelitian, ruang lingkup penelitian ini adalah integrasi sosial antar etnis Jawa-Batak-Minang di Yogyakarta (wilayah dimana etnis Jawa sebagai mayoritas, etnis Batak dan Minang sebagai minoritas), Tanah Karo (wilayah dimana etnis Batak sebagai mayoritas, etnis Jawa dan Minang sebagai minoritas), dan Padang (wilayah dimana etnis Minang sebagai mayoritas, etnis Jawa dan Batak sebagai minoritas). Dari segi agama, pemilahan subyek dalam tiga etnis juga berangkat dari asumsi bahwa orang Minang-Padang identik dengan Islam, orang Batak-Tanah Karo mayoritas beragama Kristen dan orang Jawa-Yogyakarta tidak lebih mengidentikkan


(49)

diri kepada agama tertentu, dibanding dua kelompok etnis lainnya.

Dari ketiga lokasi penelitian itu ditetapkan sample sejumlah 180 orang, dengan masing-masing lokasi berjumlah 60 orang responden. Dari 60 orang responden itu lalu dibagi ke dalam tiga kelompok berdasarkan suku.

Dengan demikian diperoleh subyek penelitian sebagaimana terlihat pada tabel berikut:

Tabel 1

Distribusi Subyek Penelitian

Yogyakarta Padang Tanah Karo

Jawa Minan

g Batak Jawa Minang Batak Jawa Minang Batak

20 20 20 20 20 20 20 20 20

60 60 60

180

D. Metode Pengumpulan Data dan Alat Ukur yang Dipergunakan

Data dikumpulkan dengan teknik yang bervariasi sesuai dengan jenis data.

1. Angket dipakai untuk mengumpulkan data tentang tingkat pendidikan, etnisitas dan status sosial ekonomi

2. Penelusuran data sekunder dipergunakan dalam rangka mengidentifikasi data tentang kontribusi kepemelukan agama: mayoritas atau seimbangnya komposisi


(50)

3. skala dimanfaatkan untuk mengumpulkan data tentang kualitas integrasi yang telah terjalin antar komunitas itu.

Pada tahap pertama data dikumpulkan melalui angket dan skala. Pada skala ini pertanyaan-pertanyaan yang telah dirumuskan dalam sebuah daftar diberi lajur-lajur jawaban yang tingkat kebenarnnya ditetapkan oleh skala (alternatif) yang menyertai pertanyaaan itu (Surakhmad, 1989: 185).

Sebagaimana disebutkan di atas, skala digunakan untuk mengetahui kualitas integrasi. Skala yang dipakai adalah skala Likert (Faisal, 1999: 143) yang penyusunannya melalaui

tahapan-tahapan sebagai berikut.

Pertama, pembuatan blue print yang diabstraksikan dari konstruk teoritis yang dipilih. Mengacu pada defenisi Ogburn dan Nimkoff (dalam Susanto, 1979: 124) bahwa integrasi melalui beberapa tahap yaitu: akomodasi,

kerjasama, koordinasi dan asimilasi. Masing-masing fase itu juga memiliki beberapa indikasi. Dengan menggabungkan indikasi-indikasi itu maka penulis mengambil sepuluh indikasi dari suatu pola hubungan sosial yang disebut integrasi itu.

Kesepuluh indikasi integrasi yang kemudian menjadi kisi-kisi dalam penyusunan skala integrasi adalah sebagai berikut

1. Tidak memasalahkan adanya perbedaan-perbedaan 2. Munculnya usaha-usaha adaptasi


(51)

4. Adanya kerjasama

5. Adanya reaksi yang sama terhadap suatu kejadian 6. Munculnya pembagian kerja

7. Berkembangnya solidaritas

8. Adanya kerjasama yang telah berlangsung lama 9. Adanya harapan-harapan dan kesediaan untuk

bekerjasama

10. Mengakhiri kebiasaan-kebiasaan lama atau adanya pengalaman-pengalaman bersama yang baru.

Kedua, berdasarkan cetak biru tersebut dikembangkan pernyataan-pernyataan (items) yang relevan untuk setiap indikasi. Untuk setiap indikasi penulis rumuskan sembilan (9) item yang masing-masing terdiri dari tiga (3) item tentang wawasan, tiga (3) item tentang sikap dan tiga (3) item tentang perilaku. Sehingga pada tahap ini keseluruhan pernyataan berjumlah 90 item.

Ketiga, peneliti kemudian menguji coba skala ini pada 30 subyek, pemeluk Islam dan Kristen dan dari 90 butir itu diperoleh 58 butir sahih. Selanjutnya dengan

mempertimbangkan proporsi butir tiap aspek maka ditetapkan masing-masing aspek dua butir. Sehingga keseluruhan skala integrasi memiliki 20 butir dengan reliabilitas alpha = 0,965.

Keempat, kedua puluh butir itu sebagian merupakan item yang favourable (bila dijawab setuju maka nilainya


(52)

dan sebagian merupakan item unfavourable (bila dijawab setuju maka nilainya minimal dan bila dijawab tidak setuju maka nilainya maksimal).

Dengan urutan kerja seperti itu maka diperoleh dua puluh item skala integrasi yang peneliti minta diisi oleh

responden dengan cara memilih salah satu dari lima alternatif jawaban yaitu: SS= Sangat Setuju, S=Setuju, R=Ragu-ragu, TS=Tidak Setuju, STS=Sangat Tidak Setuju. Rincian tentang butir-butir tersebut bisa dilihat pada table berikut:

Tabel 2

Butir-butir Skala Kualitas Integrasi (dengan Pernyataan dan Alternatif Jawaban)

Indikasi 1 (tidak memasalahkan adanya perbedaan-perbedaan) 01 saya sering merasa tidak nyaman kalau harus

kumpul-kumpul dengan orang yang beda suku

dengan saya SS-S--R--TS-STS

02 Kalau harus minta tolong pada tetangga, saya biasanya akan lihat dulu tetangga itu satu suku

atau tidak dengan saya SS-S—R--TS-STS

Indikasi 2 (munculnya usaha-usaha adaptasi) 03 Saya senang mengawali kenalan dengan

tetangga baru yang beda suku, walau saya

lebih dulu jadi warga kampung SS-S—R--TS-STS

04 Saya selalu berusaha tidak terlalu akrab dengan tetangga yang berbeda suku dengan

saya SS-S—R--TS-STS

Indikasi 3 (hadirnya kompromi dan toleransi) 05 Tidak masalah bagi saya apakah tetangga saya

satu suku atau tidak dengan saya SS-S--R---TS-STS

06 Saya bisa memahami bila ada teman saya yang

nikah dengan suku lain SS-S—R--TS-STS

Indikasi 4 (adanya kerjasama)


(53)

kegiatan harus bekerja bersama dengan orang

yang beda suku dengan saya SS-S--R--TS-STS

08 Teman-teman yang beda suku sepertinya merasa tidak senang bila bekerja bersama

dengan saya SS-S--R--TS-STS

Indikasi 5 (adanya reaksi yang sama terhadap suatu kejadian)

09 Saya selalu berusaha menjenguk tetangga saya yang sakit, walaupun dia tidak sesuku dengan

saya SS-S—R--TS-STS

10 Ketika ada peringatan 17 Agustus saya rasa

orang di luar suku saya tidak begitu peduli SS-S—R--TS-STS

Indikasi 6 ( munculnya pembagian kerja) 11 Saya merasa canggung bila dalam melayat

harus mengangkat jenazah tetangga yang

berbeda suku dengan saya SS-S—R--TS-STS

12 Menurut saya kalau ada warga kampung yang menikah perlu dibentuk panitia yang

melibatkan warga semua suku SS-S—R--TS-STS

Indikasi 7 (berkembangnya solidaritas)

13 Kalau ada rumah tetangga yang tidak sesuku dengan saya kemasukan pencuri, sedangkan yang punya rumah tidak berada di rumah, maka saya akan berpura-pura tidak tahu

SS-S—R--TS-STS

14 Saya kurang bisa merasakan suasana duka ketika melayat di rumah orang yang tidak

sesuku dengan saya SS-S—R--TS-STS

Indikasi 8 (adanya kerjasama yang telah berlangsung lama)

15 Saya pernah bekerjasama dengan orang yang beda suku dengan saya dalam waktu yang

cukup lama SS-S—R--TS-STS

16 Saya tidak suka harus bekerjasama dengan

orang yang beda suku dalam waktu yang lama SS-S—R--TS-STS

Indikasi 9 (adanya harapan-harapan dan kesediaan untuk bekerjasama)

17 Saya merasa senang bila tidak diundang dalam acara pernikahan yang dilakukan oleh tetangga

saya yang berbeda suku dengan saya SS-S—R--TS-STS

18 Walau tidak diminta saya selalu berusaha


(54)

SS-S—R--TS-dengan saya yang memerlukan bantuan STS

Indikasi 10 (mengakhairi kebiasaan-kebiasaan lama atau adanya

pengalaman-pengalaman bersama yang baru)

19 Saya biasa ikut gotong royong bersama tetangga yang berbeda suku dengan saya

membersihkan tempat ibaddah mereka SS-S—R--TS-STS

20 Saya sering bermain/nongkrong di rumah

tetanggga yang tidak sesuku dengan saya SS-S—R--TS-STS

E. Metode Analisa Data

Untuk menguji hipotesis, teknik analisis data yang digunakan adalah teknik analisis statistik Analisis Variansi. Semua tes dibantu oleh program komputer SPSS.


(55)

BAB V

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

A. Deskripsi Data

1. Kualitas Integrasi Antar Kelompok Etnis Tabel 3

Kualitas Integrasi Antar Kelompok Etnis Kualitas

Integrasi frekwensi Prosentase

Rendah 11 6,1

Sedang 37 20,6

Tinggi 132 73,3

Total 180 100

Tabel di atas menunjukkan bahwa secara umum kualitas integrasi antar etnis Jawa, Minang dan Batak di Jogja, Padang, dan di Tanah Karo adalah tinggi (73,3%). Mereka yang memiliki kualitas integrasi sedang sebanyak 20,6%. Sedangkan responden yang berkualitas integrasi rendah sangat sedikit (6,1%).

Data pada tabel ini dengan jelas menunjukkan bahwa mayoritas anggota kelompok etnis, baik orang Jawa, orang Minang, maupun orang Batak yang berdomisili di Jogja, Padang dan Tanah Karo betul-betul tidak lagi memasalahkan adanya perbedaan-perbedaan di antara mereka, selalu berusaha beradaptasi dengan teman yang berbeda suku, sudah ada kompromi di antara mereka, sering bekerjasama, memiliki reaksi yang sama terhadap suatu kejadian, telah ada pembagian kerja antar mereka, dan telah berkembang


(56)

dalam waktu yang lama, memiliki harapan-harapan dan kesediaan untuk bekerjasama, telah mengakhiri kebiasaan-kebiasaan lama atau memiliki pengalaman-pengalaman bersama yang baru.

2. Kualitas Integrasi dan Kelompok Etnis Tabel 4

Kualitas Integrasi Etnis Jawa, Batak, dan Minang Kualitas

Integrasi F Jawa % FMinang% F Batak%

Rendah 03 05 06 10 02 3,3

Sedang 12 20 10 16,7 15 25

Tinggi 45 75 44 73,3 43 71,7

Total 60 100 60 100 60 100

Tabel ini memperjelas deskripsi data tabel sebelumnya. Pada tabel sebelumnya dijelaskan bahwa kualitas

integrasi di wilayah penelitian berada pada kelompok tinggi 73,3%. Pada tabel ini terlihat bahwa mereka yang

berada pada kelompok kualitas intergasi tinggi itu ternyata terbanyak pada orang Jawa (75%), diikuti oleh orang

Minang (73,3%), dan kemudian orang Batak (71,7%). Orang Batak yang berada pada kualitas integrasi sedang

adalah paling banyak (25%), diikuti oleh orang Jawa (20%) dan orang Minang (16,7%). Sedangkan pada

kualitas integrasi rendah paling banyak ada pada orang Minang (10%), diikuti oleh orang Jawa (05%), dan

orang Batak (3,3%).

3. Kualitas Integrasi dan Kepemelukan Agama Tabel 5

Kualitas Integrasi Pemeluk Islam dan Pemeluk Kristen Kualitas

Integrasi Agama

Islam Kristen

frekwensi prosentas

e frekwensi prosentase

Rendah 11 11

-Sedang 31 19,4 06 30

Tinggi 118 73,8 14 70


(57)

Tabel ini juga memperjelas deskripsi data tabel sebelumnya. Pada tabel sebelumnya dijelaskan bahwa kualitas

integrasi di wilayah penelitian berada pada kelompok tinggi 73,3%. Pada tabel ini terlihat bahwa mereka yang

berada pada kelompok kualitas intergasi tinggi itu ternyata kebanyakan adalah pemeluk Agama Islam (73,8%)

sedangkan pemeluk Agama Kristen adalah 70%. Sementara pada kualitas integrasi sedang didominasi oleh

pemeluk Kristen (30 %), dengan proporsi pemeluk Islam pada tingkat ini hanya 19,4 %.

4. Kualitas Integrasi dan Mayoritas/minoritas Tabel 6

Kualitas Integrasi Penduduk Mayoritas dan Penduduk Minoritas

Kualitas Integrasi Mayoritasf % Minoritasf %

Rendah 07 11,7 04 3,3

Sedang 16 26,7 21 17,5

Tinggi 37 61,7 95 79,2

Total 60 100 120 100

Tabel ini menunjukkan bahwa kualitas integrasi tinggi lebih banyak dimiliki oleh penduduk yang berada pada

posisi minoritas (79,23 %) dibanding di wilayah mayoritas (61,7%). Sedangkan pada level kualitas integrasi

sedang, lebih banyak dimiliki oleh penduduk yang berada pada posisi sebagai mayoritas (26,7%) dibanding di

wilayah minoritas (17,5%). Sementara itu kualitas integrasi pada level rendah lebih banyak dimiliki penduduk di

wilayah mereak sebagai mayoritas (11,7%) dibanding di wilayah dimana mereka sebagai minoritas (3,3%).

5. Kualitas Integrasi dan Tingkat Pendidikan Tabel 7

Kualitas Integrasi dan Tingkat Kualitas

Integras i

Tingkat Pendidikan

SD SMTP SMTA PT

f % f % f % f %

Rendah 02 13,

3 01 4,2 05 7,2 03 4,2

Sedang 03 20 07 29,

2 13 18,8 14 19,4 Tinggi 10 66,

7 16 66,7 51 73,9 55 76,4 Total 15 100 24 100 69 100 72 100


(58)

Hal yang paling menonjol dari tabel ini adalah bahwa kelompok berpendidikan tinggi memiliki kualitas intergasi

kategori tinggi terbesar (76%), diikuti oleh mereka yang berpendidikan SMTA (73,9%). Sedangkan pada level

kualitas integrasi sedang, lebih banyak dimiliki oleh penduduk yang berada pada tingkat pendidikan SMTP

(29,2%), diikuti oleh tingkat pendidikan dasar (20%), pendidikan tinggi (19,4%), dan SMTA (18,8%). Sementara

itu pada level kualitas integrasi rendah lebih banyak dimiliki penduduk di wilayah yang berpendidikan SD

(13,3%), diikuti secara berurutan oleh tingkat pendidikan SMTA (7,2%), dan SMTP maupun pendidikan tinggi

(masing-masing 4,2%).

6. Kualitas Intergasi dan Status Sosial Ekonomi Tabel 8

Kualitas Integrasi dan Status Sosial Ekonomi

Kualitas Integrasi

Status Sosial Ekonomi

Rendah Menengah Tinggi

f % f % f %

Rendah 05 7,7 04 4,4 02 8,3

Sedang 14 21,5 18 19,8 05 20,8 Tinggi 46 70,8 69 75,8 17 70,8

Total 65 100 91 100 24 100

Tabel ini memperlihatkan bahwa kualitas integrasi pada level tinggi lebih banyak dimiliki oleh penduduk dengan

status sosial ekonomi menengah (75,8%), diikuti oleh tingkat sosial ekonomi tinggi dan rendah (masing-masing

70,8%). Sedangkan pada level kualitas integrasi sedang, lebih banyak dimiliki oleh penduduk yang berada pada

status sosial ekonomi rendah (21,5%), diikuti oleh tingkat sosial ekonomi tinggi (20,8%), dan tingkat sosial

ekonomi menengah (19,8%). Sementara itu pada level kualitas integrasi rendah lebih banyak dimiliki penduduk

dengan status sosial ekonomi tinggi(8,3%), diikuti secara berurutan oleh tingkat sosial ekonomi rendah (7,7%),

dan tingkat sosial ekonomi menengah (4,4%).

B. Hasil Pengujian Hipotesis

Research questions penelitian ini adalah penelitian ini adalah bagaimana dan mengapa kelompok etnis Jawa-Batak-Minang saling berinteraksi di Yogyakarta, Tanah Karo dan Padang? Selanjutnya, setelah membaca berbagai teori terkait peneliti menulis hipotesa yang merupakan jawaban sementara terhadap permasalahan penelitian. Setelah mengumpulkan data dan


(59)

menganalisa data itu dengan bantuan program komputer SPSS, maka hasil uji hipotesis penelitian ini adalah sebagai berikut. 3. Hipotesis pertama penelitian ini adalah bahwa terdapat

perbedaan kualitas integrasi antar kelompok etnis yang berbeda.

Untuk melihat perbedaan kualitas integrasi antar etnis ini maka dipakai analisa ANOVA. Ada dua cara pengambilan kesimpulan. Pertama, membandingkan antar F hitung dengan F tabel. Bila F hitung lebih besar dari F tabel maka hipotesis diterima (artinya ada perbedaan kualitas integrasi antar kelompok etnis yang berbeda). Dari analisa data terlihat bahwa F hitung (0,057) lebih kecil dari F tabel (3,05). Ini berarti bahwa hipotesis ditolak. Dengan demikian dapat

disimpulkan bahwa tidak ada perbedaan yang signifikan dalam kualitas integrasi antar kelompok etnis Jawa, Minang, dan Batak di lokasi penelitian.

Kedua, melihat tingkat signifikansi (P). Bila P lebih kecil dari 0,05 maka berarti hipotesis diterima. Hasil analisis data

memperlihatkan bahwa tingkat signifikansi (P=0,945) lebih besar dari 0,05. Ini berarti bahwa hipotesis ditolak. Dengan demikian, dengan meihat tingkat signifikansi juga dapat disimpulkan bahwa tidak ada perbedaan kualitas integrasi antar kelompok etnis Jawa, Minang, dan Batak di lokasi penelitian.


(60)

tingkat signifikansi dalam kualitas integrasi antar kelompk etnis semua lebih besar dari 0,05 (Jawa+Minang=0,804, Jawa+Batak=0,941, Minang-Batak=0,747)

4. Hipotesis kedua penelitian ini adalah bahwa terdapat perbedaan kualitas integrasi antar pemeluk agama yang berbeda.

Sebagaimana pada hipotesis pertama, untuk melihat perbedaan kualitas integrasi antar pemeluk agama yang berbeda ini juga dipakai analisa ANOVA dengan dua cara pengambilan kesimpulan: pertama, membandingkan antar F hitung dengan F tabel. Dari analisa terlihat bahwa F hitung (0,336) lebih kecil dari F tabel (3,05). Ini berarti bahwa

hipotesis ditolak. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa tidak ada perbedaan yang signifikan dalam kualitas integrasi antar pemeluk agama yang berbeda di lokasi penelitian.

Kedua, melihat tingkat signifikansi (P). Hasil analisis memperlihatkan bahwa tingkat signifikansi (P=0,715) lebih besar dari 0,05. Ini berarti bahwa hipotesis ditolak. Dengan demikian, dengan melihat tingkat signifikansi juga dapat disimpulkan bahwa tidak ada perbedaan kualitas integrasi antar pemeluk agama yang berbeda di lokasi penelitian.

Jika dilihat secara lebih detil, nampak bahwa tingkat signifikansi dalam kualitas integrasi antar pemeluk agama semua lebih besar dari 0,05 (Islam dengan Katolik = 0,804, Islam dengan Protestan = 0,737, Katolik dengan


(1)

2. Tidak ada perbedaan yang signifikan dalam kualitas

integrasi yang dimiliki masing-masing kelompok etnis Jawa, Minang, dan Batak di lokasi penelitian.

3. Tidak ada perbedaan yang signifikan dalam kualitas integrasi antar pemeluk agama yang berbeda di lokasi penelitian.

4. Terdapat perbedaan kualitas integrasi kelompok etnis di wilayah mereka sebagai mayoritas dibanding dengan sebagai minoritas. Kualitas integrasi kelompok minoritas lebih tinggi dibandingkan kelompok mayoritas.

5. Tidak ada perbedaan kualitas integrasi antara tingkat pendidikan yang berbeda.

6. Tidak ada hubungan antara status sosial ekonomi dengan kualitas integrasi.

7. Tidak ada hubungan antara etnisitas dengan kualitas integrasi.

B. Saran

1. Data empiris penelitian ini membuktikan bahwa kepemelukan agama, status sosial ekonomi, tingkat pendidikan dan etnisitas tidak memiliki hubungan

signifikan dengan kualitas integrasi. Satu-satunya variabel yang memiliki derajat hubungan yang signifikan dengan kualitas integrasi adalah posisi minoritas-mayoritas


(2)

etnis lain. Oleh karena itu, dalam rangka menciptakan integrasi sosial yang lebih baik di berbagai wilayah lain, perlu dilakukan penelitian lebih mendalam terhadap variabel mayoritas-minoritas ini.

2. Penelitian yang dimaksud hendaknya dilakukan dengan pendekatan kualitatif, dalam rangka memahami dinamika sosiologis yang lebih mendalam tentang integrasi sosial antara kelompok minoritas dengan kelompok mayoritas itu.


(3)

DAFTAR PUSTAKA

Abd. Madjid, Khoiruddin Bashori , Mahli Zainuddin, Dinamika Konflik dan Integrasi Antar Etnis Dayak dan Madura, Penelitian Hibah Bersaing Ditjen Binbaga Departemen Agama RI, 2001.

Amal, Ichlasul & Armaidy, Armawi (ed.), Sumbangan Ilmu Sosial Terhadap Konsepsi Ketahanan Nasional, Yogyakarta: Gadjahmada University Press, 1996.

Amirin, Tatang M., Menyusun Rencana Penelitian, Jakarta: Rajawali Pers, 1990.

Andito (ed.), Atas Nama Agama: Wacana Agama Dalam Dialog “Bebas” Konflik, Bandung: Pustaka Hidayah, 1998.

Bangura, Yusuf, The Search for Identity: Ethnicity, Religion and Political Violence, makalah ke-6 World Summit for Social Development, Kopenhagen, 1995.

Borgotta, Edgar F., Encyclopedia of Sociology.

Ecip, S. Sinansari, Menyulut Ambon: Kronologi Merambatnya Berbagai Kerusuhan Lintas Wilayah di Indonesia, Bandung: Mizan, 1999.

Eriksen, Thomas Hylland, Ethnicity and Naturalism. Anthropological Perspective, Colorado: Pluto Press London Boulder, 1993.

Faisal, Sanapiah, Format-format Penelitian Sosial, Jakarta: Rajawali Pers, 1999.

Giddens, Anthony, Human Societies A Reader, Cambridge: Polity Press, 1992.

Hadi, Sutrisno & Pamardiyanto, Seno, Seri Program Statistik, Yogyakarta: Universitas Gadjahmadda, 1997.

Horton, Paul B & Hunt, Chester L., Sosiologi, Jakarta: Airlangga, 1992.

Jary, David &Julia, Collins Dictionary of Sociology, Galsgow: HarperCollins, 1991.

Johnson, Doyle Paul, Teori Sosiologi Klasik dan Modern, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1990.


(4)

Koentjaraningrat, Masalah Kesukubangsaan dan Integrasi Nasional, Jakarta: UI-Press, 1993.

Krishnan, Parameswara, Critical Sociology: Essays in Honour of Arthur K. Davis, Delhi: B.R. Publishing Corporation, 1995. Lambang Trijono, Keluar Dari Kemelut Maluku, Yogyakarta:

Pustaka Pelajar, 2001.

Mahli Zainuddin, Integrasi Antar Komunitas Agama: Islam dan Kristen di Kecamatan Ngampilan Yogyakarta, tesis tidak diterbitkan pada Program Studi Sosiologi, Program Pasca Sarjana UGM, 2001

Mitchell, G. Duncan, A Dictionary of Sociology, London & Henley: Routledge& Keegan Paul, 1968.

Moleong, Lexy J., Metodologi Penelitian Kualitatif, Bandung: Remaja Rosdakarya, 1998.

Mudzhar, M. Atho, Pendekatan Studi Islam, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1998.

Mujiana, Potensi Konflik Antar Umat Beragama Dalam Masyarakat Majemuk, tesis tidak diterbitkan pada Program Studi Ketahanan Nasional, Program Pasca Sarjana UGM, 1999.

Nottingham, Elizabeth K., Agama dan Masyarakat: Suatu Pengantar Sosiologi Agama, Jakarta: Rajawali Pers, 1993.

O’Dea, Thomas F., Sosiologi Agama Suatu Pengenalan Awal, Jakarta: Rajawali Pers, 1987.

Retnowati, Agama, Konflik dan Integrasi Sosial (Rekonsiliasi Islam dan Kristen Pasca Kerusuhan Situbondo), tesis tidak diterbitkan pada Program Studi Sosiologi, Program Pasca Sarjana UGM, 2000.

Robertson, Roland, Agama: Dalam Analisa dan Interpretasi Sosiologis, Jakarta: Rajawali Pers, 1995.

Shills, David L. (ed.), International Encyclopedia of Social Sciences, New York: The MacMillan Company and The Free Press, 1972.


(5)

Singarimbun, Masri, “Hak Ulayat Masyarakat Daerah.” Makalah disampaikan pada Seminar Kebudayaan Dayak, Pontianak, 1992.

--- & Effendi, Sofian, Metode Penelitian Survai, Jakarta: LP3ES, 1982.

Soekanto, Soerjono, Sosiologi: Suatu Pengantar, Jakarta: Rajawali Pers, 2000.

Steenbrink, Karel, Kawan Dalam Pertikaian: Kaum Kolonial Belanda dan Islam di Indonesia (1596-1942), Bandung: Mizan, 1995.

Sudagung, Hendro Suroyo, “Pembinaan bangsa dan Karakter Bangsa Melalui Hubungan Antar Suku Bangsa” dalam

Proyeksi, Universitas Tanjung Pura, 1987.

Sumarjan, Selo, Steriotip Etnik, Asimilasi dan Integrasi Sosial, Jakarta: Pustaka Grafika Kita, 1988.

Sunarto, Kamanto, Pengantar Sosiologi, Jakarta: Lembaga Penerbit Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia, 1993. Surakhmad, Winarno, Pengantar Penelitian Ilmiah: Dasar,

Metoda, Teknik, Bandung: Tarsito, 1989.

Susanto, Astrid S., Pengantar Sosiologi dan Perubahan Sosial, Bandung: Binacipta, 1979.

Svalastoga, Kaare, Diferensiasi Sosial, Jakarta: Bina Aksara, 1989.

Tanja, Victor I., Pluralisme Agama dan Problema Sosial: Diskursus Teologi tentang Isu-isu Kontemporer, Jakarta: Pustaka Cidesindo, 1998.

Thayib, Anshari, dkk. (ed.), Hak Asasi Manusia dan Pluralisme Agama, Surabaya: Pusat Kajian Strategi dan Kebijakan (PKSK), 1997.

Wirosardjono, Soetjipto, Agama dan Pluralitas bangsa, Jakarta: Perhimpunan Pengembangan Pesantren dan Masyarakat (P3M), 1994.

Majalah dan Koran:


(6)

REPUBLIKA, 23 Februari 2001. TEMPO, 23 Januari 2000.