Integrasi Sosial TINJAUAN PUSTAKA

hadirnya suatu lembaga khusus yang mendorong dan mengkoordinir kegiatan-kegiatan masing-masing subsistem masyarakat Jary, 1991: 315. Charles H. Banton, dalam kaitannya dengan hubungan antar ras, mendefinsikan integrasi sebagai suatu pola hubungan yang mengakui adanya perbedaan ras dalam suatu masyarakat tetapi tidak memberikan makna penting pada perbedaan ras tersebut Kamanto, 1993: 141. Sunyoto Usman melihat integrasi sosial sebagai suatu proses ketika kelompok-kelompok sosial tertentu dalam masyarakat saling menjaga keseimbangan untuk mewujudkan kedekatan-kedekatan hubungan sosial, ekonomi dan politik Usman, 1996: 79. Dengan kalimat yang lain integrasi juga didefenisikan sebagai proses atau potensialitas yang mendorong ke arah proses dimana komponen-komponen dua kelompok sosial atau lebih menjadi terpadu sehingga memberikan kebersamaan dan kesatuan antara kelompok-kelompok yang ada. Dengan pegertian ini tercakup di dalamnya kasus integrasi dan potensialitas integrasi Mudzhar, 1998: 129 Integrasi sosial juga berarti solidaritas sosial yang sama-sama dibentuk oleh suatu masyarakat atau suatu kelompok. Solidaritas menunjuk pada satu keadaan hubungan antara individu dan atau antara kelompok yang didasarkan pada keadaan moral dan kepercayaan yang dianut bersama yang diperkuat oleh pengalaman emosional mereka. Ikatan ini lebih mendasar daripada hubungan kontraktual yang dibuat atas persetujuan rasional Johnson, 1986: 181. Walau terdapat beberapa titik tekan dari berbagai pengertian yang dibuat oleh para ahli tersebut, nampak bahwa dalam suatu konsep integrasi sosial setidak-tidaknya tercakup hal-hal sebagai berikut. Pertama, bahwa integrasi merupakan suatu tingkatan dalam hubungan antar kelompok dalam masyarakat. Kedua, dalam hubungan itu hadir suatu kesadaran kolektif yang antara lain berbentuk rasa memiliki kelompok, saling menjaga keseimbangan dan kebersamaan. 2. Prasyarat Integrasi Sosial Dengan mengacu pada definisi David Jary dan Julia Jary tersebut dapat disimpulkan bahwa masyarakat bisa terintegrasi bila: pertama, individu yang menjadi anggota masyarakat mengalami rasa memiliki sebagai suatu kelompok sosial atau kolektivitas berdasarkan antara lain atas norma-norma, nilai-nilai, kepercayaan-kepercayaan yang disepakati bersama. Kedua, aktivitas maupun fungsi dari institusi atau subsistem di dalam suatu masyarakat lebih saling melengkapi daripada saling berlawanan satu dengan lainnya. Ketiga, adanya lembaga tertentu yang menganjurkan untuk saling mengisimengimbangi dan mengkoordinir aktivitas dari berbagai susbsistem dari masyarakat itu sendiri Jary, 1991: 315. Sedangkan menurut Sunyoto Usman, masyarakat terintegrasi karena: pertama, adanya kesepakatan sebagian besar anggotanya terhadap nilai-nilai sosial tertentu yang bersifat fundamental. Integrasi semacam ini lebih sering tercipta dalam kehidupan masyarakat yang majemuk poly- communal yaitu masyarakat yang ditandai oleh segmentasi berbagai macam kelompok sosial dengan sub kebudayaan sendiri yang unik. Masyarakat seperti ini juga ditandai oleh tingkat diferensiasi fungsional yang tinggi dengan struktur sosialk yang terbelah ke dalam institusi-institusi yang tidak bersifat komplementer. Kesepakatan terhadap nilai-nilai sosial tertentu yang bersifat fundamental sangat krusial karena mampu meredam kemungkinan berkembangnya konflik-konflik ideologi akibat dari kebencian atau antipati antar kelompok Kedua, adanya kenyataan bahwa sebagian besar anggota masyarakat terhimpun dalam berbagai unit-unit sosial sekaligus cross-cutting affiliations. Dengan mekanisme ini konflik yang terjadi baik yang nampakkasus konflik maupun yang latenpotensialitas konflik teredam oleh loyalitas ganda cross-cutting loyalities. Cross-cutting affiliation memungkinkan elemen-elemen sosial yang saling bertentangan tetap dipertahankan dalam suatu posisi yang relatif seimbang. Kelompok-kelompok sosial yang ada menjadi saling mengawasi aspek-aspek sosial yang potensial menciptakan permusuhan. Ketiga, adanya saling ketergantungan dalam pemenuhan kebutuhan ekonomi. Perbedaan pemilikan dan penguasaan sumber daya ekonomi memang mengelompokkan masyarakat ke dalam kelompok pendapatan kaya, memengah, miskin. Model pembangunan saling ketergantungan ekonomi dapat mencegah tumbuhnya eksploitasi antar kelompok dan spesialisasi yang terjadi bersifat fungsional sehingga ciri-ciri diferensiasi tidak terlalu sukar diseimbangkan Usman, 1996: 80-1. Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa prasyarat bagi adanya suatu integrasi sosial itu adalah adanya : kesadaran kolektif, aktivitas yang saling melengkapi, lembaga tertentu yang berfungsi koordinatif, cross cutting affiliations, dan saling ketergantungan ekonomi. 3. Bentuk Integrasi Sosial Durkheim membagi integrasi sosial atas dua hal: pertama, integrasi normatif, yang ada dalam perspektif budaya dan menekankan solidaritas mekanik yang terbentuk melalui nilai-nilai dan kepercayaan. Kedua, integrasi fungsional yang menekankan pada solidaritas organik, suatu solidaritas yang terbentuk melalaui relasi saling tergantung antara bagian atau usnur dalam masyarakat Shills, 1972: 382. Sosiolog lainnya, Cooley, membagi integrasi sosial ke dalam tiga bentuk: pertama, integrasi normatif yang merupakan tradisi baku masyarakat untuk membentuk kehidupan bersama bagi mereka yang mengikatkan diri dalam kebersamaan itu. Kedua, integrasi komunikatif. Komunikasi dalam hal ini hanya dapat dibangun bagi mereka yang memiliki sifat saling tergantung dan mau diajak bekerjasama menuju tujuan yang dikehendaki. Ketiga, integrasi fungsional yang hanya akan terwujud bila anggota yang mau mengikatkan diri menyadari fungsi dan peran mereka dalam kebersamaan Shills, 1972: 381. 4. Tahap-tahap Integrasi Sosial Integrasi melalui tahapan-tahapan Astrid S. Susanto, 1979: akomodasi, kerjasama, koordinasi dan asimilasi. Mengutip Ogburn dan Nimkoff, Astrid mendefenisikan akomodasi sebaga pribadi atau kelompok bekerja bersama dengan mengesampingkan perbedaan-perbedaan atau permusuhan-permusuhan. Jadi walaupun ada perbedaan dan permusuhan, itu dilupakan dalam rangka kerja bersama. Ini terjadi karena adanya kepentingan yang sama, adanya tujuan obyektif yang sama. Fase ini juga ditandai dengan tercapainya kompromi dan toleransi. Fase berikutnya adalah fase kerjasama. Ini terjadi bila pekerjaan kelompok kerja bersama berlangsung cukup lama. Pada fase ini juga mulai muncul solidaritas ketika reaksi terhadap suatu kejadian adalah sama bahkan terjadi pembagian kerja. Bila kebiasaan bekerjasama lambat laun mencapai situasi dimana orangkelompok mengharapkan dan mempunyai kesediaan untuk bekerjasama, maka ini berarti tercapai fase koordinasi. Fase terakhir dari integrasi adalah asimilasi yaitu proses dimana individukelompok yang tidak sama menjadi sama dan itu terlihat dari kepentingan dan pandangan- pandangan mereka. Tiap pihak telah menyesuaikan diri sehingga tercapai situasi adanya pengalaman dan tradisi bersama Susanto, 1979: 123-126. Untuk mengintegrasikan orang yang mengelompok secara longgar ke dalam suatu kelompok solidaritas memerlukan waktu berinterkasi yang cukup panjang. Karena itu integrasi lebih besar kemungkinannya ditemukan dalam masyarakat yang perubahannya lambat ketimbang di dalam masyarakat yang berubah secara cepat. Dengan lambatnya perubahan sosial seseorang berkesempatan untuk menempati posisi yang sama atau serupa dalam jangka panjang. Jika perubahan sosial berlangsung cepat, orang yang berteman akrab kini, mungkin tak seakrab itu kemaren. Syarat penting lainnya bagi terciptanya integrasi adalah tersedianya sarana komunikasi yang tepat. Orang yang menghadapi persoalan bersama belum tentu akan bersatu untuk memecahkannya kecuali jika mereka menyadari situasi bersama mereka. Dan yang terpenting adalah bahwa orang tidak akan bersatu kecuali jika ada suatu keuntungan yang dapat diduga sebelum mereka menyatukan diri Svalastoga, 1989: 98-9. 5. Unsur-unsur Integrasi Sosial Dari uraian di atas dapat diambil kesimpulan bahwa setidaknya ada 10 elemen yang harus ada dalam situasi sosial yang disebut integrasi. Ke sepuluh elemen itu bisa dilihat sebagai tahap-tahap atau dilihat sebagai unsur-unsur yang saling melengkapi. Dalam hal ini peneliti tidak melihat kesepuluh hal itu sebagai sebuah proses tetapi lebih sebagai unsur atau indikasi suatu integrasi karena masing-masing indikator itu kadang saling tumpang tindih dan yang satu tidak harus menjadi prasyarat bagi hadirnya elemen yang lain. Ke sepuluh indikator itu adalah: 1 tidak memasalahkan adanya perbedaan-perbedaan, 2 munculnya usaha-usaha adaptasi, 3 hadirnya kompromi dan toleransi, 4 adanya kerja bersama, 5 adanya reaksi yang sama terhadap suatu kejadian, 6 munculnya pembagian kerja, 7 berkembangnya solidaritas, 8 adanya kerjasama yang telah berlangsung lama, 9 adanya harapan-harapan dan kesediaan untuk bekerjsama, 10 mengkahiri kebiasaan-kebiasaan lama atau adanya pengalaman-pengalaman bersama yang baru 6. Integrasi Sosial dan Konflik Sosial Dalam interaksi antar berbagai kelompok masyarakat, kemajemukan bisa melahirkan integrasi sebagaimana dia juga bisa melahirkan konflik. Konflik memang bentuk kontradiktif dari integrasi. Tetapi tidak selamanya kedua hal tersebut harus dipertentangkan. Dalam kehidupan nyata integrasi bisa saja hidup bersebelahan dengan konflik, bahkan melalui konflik keseimbangan hubungan sebenarnya bisa ditata kembali Usman, 1996: 80. Oleh karena itu untuk lebih memahami fenomena integrasi, seyogyanya difahami juga hal-hal yang terkait dengan konflik. Konflik ialah pertentangan antar dua kelompok sosial atau lebih, atau potensialitas yang menyebabkan pertentangan. Dengan demikian pengertian ini mencakup pengertian kasus konflik dan potensialitas konflik Mudzhar, 1998: 129. Konflik muncul karena adanya perjuangan antar individu atau kelompok dalam suatu masyarakat atau bahkan antar negara. Seringkali karena persaingan dalam penguasaan akses atau pengontrolan terhadap sumber daya maupun kesempatan-kesempatan yang terbatas Jary, 1991: 111. Dalam model Weberian, berbagai macam konflik bermula ketika setiap kelompok budaya seperti kelompok etnis, agama maupun intelektual berjuang mencari keuntungan Borgotta, 288. Perebutan kepentingan akan tetap sebagai sesuatu yang laten bila tidak ada suatu kelompok yang bergerak untuk berjuang secara aktif. Hal ini terjadi bila anggota- anggota suatu kelompok tersebut berkumpul secara fisik, memiliki sumberdaya material untuk saling berhubungan, dan menyepakati suatu budaya yang sama. Dari aspek strata sosial, kelas-kelas sosial tinggi pada umumnya lebih mobil dibanding kelas sosial rendah dan kebanyakan perebutan kekuasaan terjadi pada faksi- faksi yang berbeda di kalangan kelas tinggi tersebut. Kelas rendah cenderung terpecah dalam kelompok-kelompok lokal dan akan lebih mudah digerakkan kalau mereka secara etnis maupun keagamaan homogen dan terkonsentrasi dalam suatu tempat tertentu. Konflik terbuka biasanya meningkatkan solidaritas kelompok pada kedua pihak yang bertikai. Coser, mengelaborasi teori Simmel, menulis bahwa konflik mengarah kepada pemusatan kekuasaan di dalam masing- masing kelompok dan memotivasi kelompok-kelompok untuk mencari sekutu-sekutu. Dengan demikian konflik cenderung memecah masyarakat, atau bahkan negara yang sedang berperang, ke dalam dua kutub. Proses perpecahan itu bisa dibatasi ketika terdapat keanggotaan lintas antar kelompok: jika pengelompokan kelas, etnis, agama, saling silang, misalnya. Dengan demikian adanya saling silang dalam suatu konflik cross-cutting conflict cenderung membuat masing-masing menjadi netral. Sebaliknya ketika yang ada adalah ‘saling himpit’ tidak ada saling silang maka konflik menjadi lebih ekstrim Borgotta, 288.

B. Etnisitas

1. Antara Ras dan Kelompok Etnis Ras maupun etnik merupakan kenyataan sosial yang penting karena orang menilai penting akan keberadaan kelompok yang dianggap sebagai rasnya. Tetapi ras adalah konsep yang membingungkan karena tidak ada kesepakatan umum mengenai istilah tersebut Horton Hunt, 1992: 60. Oleh karena itu dapat difahami ketika Weber melihat etnisitas sebagai suatu identitas, kesadaran, afiliasi dan komitmen pada suatu aksi yang sangat beragam, sesuai dengan pengalaman historis dari kategori etnis yang spesifik dan batas-batas politik dimana hal itu dterjadi Krishnan, 1995: 34. Dalam kaitan ini Koentjaraningrat 1983 mengusulkan istilah kelompok etnik diganti dengan istilah golongan etnik atau suku bangsa Kamanto, 1993: 137 Salah satu defenisi menyebut ras sebagai suatu kelompok manusia yang agak berbeda dengan kelompok lainnya dalam segi ciri-ciri fisik bawaan, di samping itu banyak juga ditentukan oleh pengertian yang digunakan oleh masyarakat. Lazimnya umat manusia dibagi kedalam tiga kelompok ras utama: Mongoloid kuning dan coklat, Negroid hitam dan Kaukasoid putih. Tetapi klasifikasi beberapa kelompok tidaklah tegas karena ciri-ciri fisik mereka tumpang tindih sebagai akibat adanya kenyataan bahwa beberapa kelompok ras telah saling kawin mawin sejak ribuan tahun yang lalu, sehingga hampir semua kelompok ras telah saling bercampur baur. Para ahli sosiologi lalu menggunakan istilah kelompok etnik untuk menyebutkan setiap bentuk kelompok -baik kelompok ras maupun yang bukan kelompok ras- yang secara sosial dianggap telah berada dan mengembangkan subkulturnya sendiri. Walaupun perbedaan kelompok dikaitkan dengan nenek moyang tertentu, namun ciri-ciri pengenalnya dapat berupa bahasa, agama, wilayah kediaman, kebangsaan, bentuk fisik, atau gabungan dari beberapa ciri tersebut Horton Hunt, 1992: 60-1. Semua kelompok ras kurang lebih sama dalam karakteristik fisik yang penting, perbedaan fisik yang ada hanyalah bersifat kosmetik dan tidak fungsional bila dibandingkan dengan makhluk hidup lainnya. Faktor kebudayaanlah yang paling banyak berpengaruh terhadap lahirnya perbedaan di kalangan kelompk etnik, bukannya faktor keturunan.