Penelitian Terdahulu TINJAUAN PUSTAKA
Golkar dan lembaga pemerintahan desa, adanya pemukiman yang membaur dan sumber air minum yang sama, dan adanya
faktor kekerabatan Mudzhar, 1998: 203-226 Mujiyana dalam penelitiannya tentang potensi konflik antar
umat beragama di Kabupaten Sleman menyimpulkan bahwa konflik antar umat beragama antara lain disebabkan oleh: dalam
satu tempat tinggal atau pemukiman terdapat berbagai penganut agama dengan karakteristiknya masing-masing, orang berpindah
dari satu agama ke agama lain, peringatan hari besar suatu agama tertentu yang kurang memperhatikan masyarakat
sekitarnya Mujiana, 1999: 117. Kalau menurut Mujiyana peringatan hari besar agama
menjadi sumber konflik, Retnowati justru melihat sebaliknya. Dalam penelitiannya tentang hubungan antar Islam dan Kristen
pasca Kerusuhan Situbondo, Retnowati justru menemukan peringatan hari besar agama sebagai salah satu hal yang
mengintegrasikan masyarakat antar agama. Lebih lanjut Retnowati melihat bahwa Islam dan Kristen di Situbondo
terintegrasi karena: pemakaian bahasa yang sama yaitu bahasa Madura dalam kehidupan sehari-hari, adanya saling
ketergantungan fungsional antar warga masyarakat dalam pekerjaan, adanya tradisi tolong menolong, gotong royong dan
perkumpulan sosial, serta karena adanya perayaan hari besar agama Islam dimana warga Kristen juga ikut berpartisipasi
Retnowati, 2000: 89-95.
Kerusuhan Situbondo yang berlangsung pada 10 Oktober 1996 ini berakibat tewasnya 5 jiwa dan rusaknya 34 bangunan
yang di antaranya berupa terbakarnya 20 gereja. Setelah melakukan penelitian mendalam tentang konflik Situbondo ini,
Retnowati 2000 menulis sebagai berikut. Pertama, kerusuhan itu merupakan konflik sosial keagamaan yaitu konfliki horizontal
meyangkut hubungan antar agama. Penyebabnya adalah akumulasi segala keresahan dan ketidakpuasan yang dialami
masyarakat, jadi bukan merupakan sesuatu yang bersifat spontan. Masalah pokok sebagai penyebab konflik bukan pada
perbedaan aspek doktrin ajaran tetapi pada masalah non teologis, terutama pada kecemburuan keagamaan yaitu karena adanya
gaya hidup beragama kelompok Kristen yang demonstratif. Kedua, telah terjadi kesenjangan komunikasi sosial antar agama
karena tumbuhnya gaya hidup eksklusif dari kelompok sosial tertentu. Ketegangan yang lama terpendam meledak dalam
bentuk amukan massa yang didukung oleh faktor non agama. Ketiga, kesenjangan ekonomi bukan merupakan faktor utama
konflik, penguasaan sumberdaya ekonomi yang tidak simetris antara pelaku ekonomi hanya merupakan faktor pendukung saja.
Keempat, pola pembinaan lembaga gereja dan pesantren cenderung eksklusif, berorientasi ke dalam yaitu berisi tentang
pendidikan agama sendiri, kurang berorientasi ke luar. Dalam hal ini pemeluk agama kurang mendapatkan pengetahuan dan
pemahaman tentang agama lain. Sikap beragama yang demikian
ini sangat rentan konflik karena mudah terjadi kesalahpahaman, streotype negatif, prasangka dan curiga terhadap agama lain.
Kelima, Resolusi konflik berhasil dilakukan melalui konsiliasi dan mediasi. Dialog dilakukan antara lembaga gereja, NU dan
pesantren dan menghasilkan kesepakatan bersama menyangkut sumber-sumber konflik dan solusinya.
Keenam, konflik menghasilkan nilai dan tatanan baru, menyadarkan pemeluk
agama untuk menjalani kerjasama, perlunya keterbukaan dan saling pengertian Retnowati, 2000: 102-4.
Dalam penelitian penulis tentang integrasi antar komunitas Islam dan Kristen di Yogyakarta, ditemukan kenyataan bahwa
kalau dilihat dari sisi etnisitas, kelompok etnis Tionghoa memiliki kualitas integrasi lebih tinggi dari etnis Jawa dan kalau dilihat dari
sisi mayoritas-seimbang di daerah yang ada mayoritas pemeluk agama tertentu memiliki kualitas integrasi lebih rendah dari
daerah yang formasi kepemelukan agamanya seimbang.. Sedangkan faktor pendidikan terbukti tidak signifikan dalam
mempengaruhi kualitas integrasi antar komunitas Islam dan komunitas Kristen di Kecamatan Ngampilan. Variabel etnisitas
lebih dominan dalam mempengaruhi kualitas integrasi karena di dalam variabel etnisitas itu sendiri melekat juga variabel
mayoritasseimbang. Pada etnis Tionghoa melekat dua aspek: minoritas sebagai etnis Tionghoa di tengah mayoritas etnis Jawa
dan minoritas sebagai pemeluk Kristen di tengah mayoritas pemeluk Islam.
Dalam perspektif teori hubungan antar kelompok, antar komunitas Islam dan Kristen di Kecamatan Ngampilan ini terjalin
integrasi dalam arti perbedaan antar komunitas diakui perbedaannya tetapi tidak diberi makna penting dalam interaksi
antar mereka. Kenyataan integrasi ini juga didukung oleh adanya kesadaran kelompok, aktivitas-aktivitas yang lebi saling
melengkapi, dan adanya lembaga ketiga yang mengkoordinasikan aktivitas aktivitas bersama itu Mahli
Zainuddin, 2001 Setelah melakukan penelitian tentang konflik dan integrasi
antar etnis Dayak-Madura, Majid, Mahli dan Khairuddin, menemukan data kuantitatif bahwa varaibel yang berpengaruh
secara signifikan terhadap kualitas konflik dan integrasi antar etnis Dayak-Madura ini adalah kepemelukan agama. Manurut
hasil penelitian itu kualitas integrasi orang Islam lebih tinggi daripada kualitas integrasi orang Kristen Abd. Madjid, Khoiruddin
Bashori dan Mahli Zainuddin, 2001