Latar Belakang Masalah PENDAHULUAN
                                                                                bisa   melahirkan   konflik.   Pada     tahun   1995   Karel   C.   Steenbrink dengan optimis menulis bahwa Indonesia selama masa 45 tahun
terakhir memberikan gambaran kerukunan agama yang hampir- hampir bebas dari berbagai konflik. Itu merupakan prestasi yang
sangat   hebat-   merupakan   perkembangan   yang   dianggap   luar biasa di tempat lain Steenbrink, 1995: 217. Dalam konteks ini
dapat   difahami   pernyataan   Geertz   bahwa   kesadaran   akan kesatuan   kebudayaan   antara   lain   dalam   bentuk   nasionalisme
cenderung   melindungi   masyarakat   dari   perpecahan   Robertson, 1995: 220.
Tetapi   dewasa   ini   hanya   ada   sedikit   masyarakat multikultural  yang tidak memiliki sejarah permusuhan antar etnik
yang   membentuk   mereka   Giddens,   1992:   162.   Bangsa Indonesia, misalnya, pada paruh kedua dekade terakhir abad ke-
20,  menghadapi berbagai konflik: baik yang bernuansa kesukuan, kedaerahan,   keagamaan,   maupun   antar   kelompok   lainnya.   Di
antara konflik itu adalah konflik  di Timor-timor 1995, Situbondo 1996,   Tasikmalaya   1997   Surabaya,   Ambon,   Ujung   Pandang,
Pekalongan,   Pasuruan   Thayib,   1997:   207-8,   Kupang   1998, Maluku   dan   Maluku   Utara   1999-      Kalimantan   Barat     dan
Kalimantan Tengah 2000-  . Konflik-konflik   yang   memakan   banyak   korban   harta
maupun jiwa itu ada yang bisa ditemukan resolusinya  dan ada yang   sampai   sekarang   masih   berlangsung.  Konflik   antar
komunitas   Islam     dan   Kristen     di   Situbondo,   misalnya,   bisa
diselesaikan.   Lihat   Retnowati,   2000.   Sebaliknya   adalah   konflik Ambon. Konflik Ambon telah berlangsung sejak 19 Januari 1999
dan   mengakibatkan   tewasnya   ribuan   jiwa   serta     ratusan   ribu penduduk   mengungsi     TEMPO,   23   Januari   2000.   Walau   telah
diberlakukan keadaan darurat sipil, sampai saat ini konflik antar umat beragama di Ambon   pada khususnya maupun kepulauan
Maluku pada umumnya belum juga berakhir. Kerusuhan di Ambon dan   sekitarnya   adalah   tragedi   kemanusiaan   sekaligus   tragedi
bangsa   yang   memilukan.   Sebelumnya   tidak   terbayangkan   bisa terjadi bentrokan  massal antara dua kelompok  pemeluk  agama
berbeda   di   Indonesia   sampai   berdarah-darah   Ecip,   1999:   5. Sampai Desember 2000, masyarakat Ambon belum juga masuk
masa   post-konflik menuju damai yang dalam   situasi demikian konflik   kekerasan     masih   sangat   mudah   terjadi   Trijono,   2001:
181-2. Setelah beberapa saat konflik antar etnis Madura dengan
Dayak   dan   Melayu   reda   di   Sambas   Kalimantan   Barat   dan sekitarnya, meledak pula konflik dengan skala yang lebih hebat di
Sampit   dan   sekitarnya,   Kalimantan   Tengah.   Kerusuhan     yang sampai saat masih sulit menemukan resolusi konfliknya itu telah
mengakibatkan   469   orang   tewas   dan   puluhan   ribu   warga mengungsi   ADIL,   19   Maret   2001,   hal.   17.   Dengan   demikian,
kerusuhan Sampit antara etnis Dayak dan Madura ini  lebih parah dari kerusuhan Sambas  yang  ‘hanya’ menewaskan 50 orang itu
REPUBLIKA, 23 Februari, 2001.
Kalau   konflik-konflik   yang   terjadi   di   atas   dilihat   dalam interaksi antar etnis, maka secara umum terlihat bahwa konflik
yang   terjadi   melibatkan   etnis   Dayak-Melayu-Madura   di Kalimantan   Barat   dan   Kalimantan   Tengah,     Maluku-Makasar-
Bugis-Buton   di   Maluku   dan   Maluku   Utara.   Dengan   kata   lain, secara relatif,  dalam dekade ini belum terlihat konflik yang cukup
besar antar etnis di luar etnis tersebut. Antar etnis Jawa, Batak dan   Minang,   misalnya,   yang   merupakan   tiga   etnik   yang   cukup
besar   di   Indonesia,   lebih   terlihat   nuansa   integrasi,   di   banding nuansa konflik.
Konflik dan integrasi dalam masyarakat merupakan suatu keniscayaan.   Dalam   kehidupan   nyata   konflik   bisa   saja   hidup
bersebelahan   dengan   integrasi,   bahkan   melalui   konflik keseimbangan hubungan sebenarnya bisa ditata kembali Usman,
1996: 80. Oleh karena itu Untuk memahami kenyataan interaksi sosial, di samping melihat konflik yang terjadi juga harus dilihat
aspek-aspek   integratif   dalam   hubungan   antar   kelompok masyarakat.
Dengan   perspektif   seperti   itu,   dalam   rangka   memahami interaksi   antar   kelompok   masyarakat   Indonesia   yang   majemuk
itu, melihat bagaimana integrasi sosial terjalin antara etnis yang tidak   bertikai   adalah   sesuatu   yang   menarik   untuk   dilakukan.
Apalagi etnis-etnis itu adalah etnis Jawa, Batak dan Minang, yang secara historis merupakan etnis-etnis besar di Indonesia.