B. Dasar Teoritis dan Yuridis dari Kekebalan dan Keistimewaan Diplomatik
1. Dasar-Dasar Teoritis Semenjak dahulu didalam perhubungan pertukaran perutusan maupun
wakil negara yang lazimnya sekarang disebut diplomat, telah diberikan hak kekebalan dan hak istimewa. Dengan adanya praktek kebiasaan di dalam
pergaulan internasional ini, maka para sarjana hukum mulai mencari dasar- dasar teoriris dari pemberian hak-hak kekebalan Diplomatik dan hak-hak
istimewa ini. `
Pencarian dasar-dasar teoritis ini tidak hanya berguna bagi pembentukan suatu konstruksi bagi para sarjana hukum, melainkan jika telah
diketemukan suatu dasar hukum, akan dapat berguna didalam kepentingan praktis. Dengan adanya dasar hukum ini, maka perkembangan suatu pemberian
kekebalan-kekebalan dan hak-hak istemewa secara timbal balik antara negara- negara dapat mempunyai patokan-patokan yang dapat diterima secara baik oleh
semua negara didalam pergaulan antar negara pada masyrakat internasional ini. Suatu negara yang mengirimkan wakilnya diberi perlakuan yang istemewa oleh
negara penerima, oleh karena itu negara pengirim akan memperlakukan wakil- wakil diplomatik dengan istemewa pula.
Kita melihat bahwa hak untuk memberikan kekebalan-kekebalan dan hak-hak istemewa kepada para wakil diplomatik agar mereka dapat melakukan
fungsinya secara seluas-luasnya dengan sempurna, dan telah diakui di dalam konvensi Wina 1961 tentang Hubungan Diplomatik, yaitu didalam pasal 27.
Universitas Sumatera Utara
Didalam pasal 27 Konvensi Wina 1961 tersebutt dalam ayat 2 dijelaskan bahwa semua korespondensi untuk berhubungan dengan seluas-luasnya ini
adalah mengirim telegram, surat menyurat dengan perwakilan diplomatik lainnya.
Adapun teori-teori mengenai mengapa diberikan kekebalan-kekebalan dan hak-hak istimewa kepada pejabat-pejabat Diplomatik, didalam hukum
Internasional ada tiga teori yaitu : a.
Teori Exterrioriality atau Exterritorialiteit Dasar dari teori ini adalah Exterritorialiteit. Artinya ialah bahwa seseorang
wakil diplomatik itu karena Exterriorialiteit dianggap tidak berada diwilayah negara penerima, tetapi berada diwilayah negara pengirim, meskipun
kenyataannya diwilayah negara penerima. Oleh karena itu, maka dengan sendirinya seorang wakil diplomatik itu tidak takluk kepada hukum negara
penerima. Begitu pula ia tidak dapat dikuasai oleh hukum negara penerima dan tidak takluk pada segala peraturan negara penerima.
Seorang wakil diplomatik tersebut menurut teori Exterritorialiteit adalah hanya dikuasai oleh hukum negara pengirim. Adapun mengenai tempat
kediaman atau gedung perwakilan dengan teori Exteritorialiteit ini dianggap sebagai bagian dari wilayah negara pengirim.
Menurut teori Exterritorialiteit, seorang wakil diplomatik itu tidak tunduk kepada hukum negara penerima, begitupula ia tidak tunduk pada segala
peraturan negara penerima dan tidak takluk pada segala peraturan negara penerima.
Universitas Sumatera Utara
Misalnya dalam praktek sudah diterima secara umum bahwa seorang pejabat diplomatik harus tunduk pada peraturan lalu lintas negara penerima. Jadi
jelaslah bahwa teori Exteritorialiteit ini adalah tidak dapat disesuaikan dengan praktek kekebalan yang ada, dengan demikian seorang wakil diplomatik
diharapkan untuk bertindak sesuai dengan hukum-hukum negara penerima.
26
Grotius mengemukakan bahwa seorang duta adalah kebal sama sekali terhadap juridiksi negara penerima, namun demikian dalam tindakan kejahatan yang
berat seorang duta dapat dipulangkan dengan paksa ke negaranya untuk melaksanakan hukuman.
Sebagai sumbangan pikiran kepada praktek hukum internasional, Grotius menyampaikan suatu fiksi yang telah diketahui lebih dulu, bahwa secara juridis
duta harus dianggap berada diluar wilayah kekuasaan negara penerima, dimana ia ditempatkan.
27
b. Teori sifat seorang diplomat sebagai wakil negara berdaulat atau
wakil kepala negara Representative Character Dengan melihat adanya ketidaksesuaian teori Exterritorialiteit dengan
praktek kebiasaan pemberian hak kekebalan dan hak-hak istimewa dalam pergaulan antar negara, maka teori Exterriorialiteit di dalam bentuk asalnya ini
sudah tidak dapat dipertahankan lagi.
Teori ini mendasarkan pemberian kekebalan-kekebalan diplomatik dan hak-hak istimewa kepada sifat perwakilan dari seorang diplomat, yaitu karena
ia mewakili kepala negara atau negaranya di luar negeri.
26
Edy Suryono, S.H.,M.H., Ibid hal. 31
27
Edy Suryono, S.H., M.H., Hukum Diplomatik Kekebalan dan Keistimewaannya.hal.31
Universitas Sumatera Utara
Teori ini dapat ditafsirkan bermacam-macam bentuk antara lain, adalah : 1. Apabila seorang pejabat diplomatik dianggap sebagai wakil negara, atau
terutama kepala negara, maka perbuatan dan tindakannya haruslah dianggap seolah-olah merupakan perbuatan dan tindakannya dari kepala
negara itu sendiri, atau setidak-tidaknya perbuatan negara pengirim. Hal ini disebabkan didalam hukum Internasional ditentukan bahwa semua negara
adalah sederajat, sehingga suatu negara adalah kebal terhadap kekuasaan negara berdaulat lainnya.
Atau dalam pepatah latinnya “ Par im parem non habet imperium “, artinya negara yang berdaulat tidak dapat menjalankan juridiksi terhadap negara
berdaulat lainnya.
28
28
Ibid hal. 31
Maka kepada pejabat diplomatiknya haruslah diberi hak kekebalan dan hak-hak istimewa. Tetapi dalam kenyataannya wakil diplomatik
juga diberikan kekebalan dan hak-hak istimewa mengenai perbuatan pribadinya dan sukar untuk menafsirkan perbuatan pribadi sebagai perbuatan
negara atau kepala negara pengirim. 2. Disebabkan kedaulatan daripada negara asing dan kebebasan yang
dipunyainya negara asing, maka agara wakil diplomatiknya dapat melakukan perwakilannya secara bebas di negara penerima tersebut,
dipandang perlu untuk memberikan hak kebebalan dan hak-hak istimewa kepadanya. Maka kita melihat di dalam teori ini bahwa pada pokoknya
kedudukan wakil diplomatik adalah dipersamakan dengan kedudukan seorang kepala negara atau negara pengirim itu sendiri.
Universitas Sumatera Utara
Menurut Sir Gerald Fitzmaurice, seorang wakil diplomatik sebagai perwakilan dari negara yang berdaulat, memperlihatkan ketidaksetiaan kepada negara
tempat ia diakreditir dan dengan demikian ia tidak tunduk pada hukum-hukum dan juridiksi dari negara penerima. Penghinaan terhadap seorang duta besar
dianggap sebagai tidak mengindahkan atau mengabaikan “persoalan dignity” dari kepala negara sebagaimana dipunyai oleh seorang diplomat.
c. Teori kebutuhan Fungsional Functional Necessity Menurut teori ini, dasar kekebalan-kekebalan dan hak-hak istimewa seorang
wakil diplomatik adalah bahwa seorang wakil diplomatik harus dan perlu diberi kesempatan seluas-luasnya untuk melakukan tugasnya dengan sempurna.
Rupanya teori ini merupakan dasar hukum yang paling banyak dianut bagi hak kekebalan dan hak-hak istimewa diplomatik.
Kita melihat bahwa hak untuk memberikan kekebalan-kekebalan dan hak-hak istimewa kepada para wakil diplomatik agar mereka dapat melakukan
fungsinya secara seluas-luasnya dengan sempurna. 2. Dasar-dasar Yuridis
Pada mulanya pelaksanaan serta penagkuan kekebalan-kekebalan dan hak-hak istimewa diplomatik berdasarkan kebiasaan praktek yang berlangsung antar
negara yang mengadakan pertukaran wakil diplomatik. Di dalam perkembangan pergaulan internasional selanjutnya dirasakan perlu untuk
membuat suatu konvensi internasional, yang merupakan dasar hukum tertulis yang umum dapat digunakan oleh semua negara secara timbal balik.
Universitas Sumatera Utara
Kecenderungan ini akhirnya mengahasilkan Konvensi Wina 1961 tentang hubungan diplomatik, yang merupakan pengakuan Hukum Internasional akan
adanya pemberian hak-hak kekebalan diplomatik ini. Pemberian kekebalan-kekebalan diplomatik ini tadinya bersumber pada
Hukum kebiasaan Internasional yang tercermin di dalam praktek negara di dalam praktek negara setempat, dan pada perkembangannya kebiasaan ini telah
dituangkan didalam suatu Konvensi Internasional yang tertulis Indonesia saat ini telah meratifikasi Konvensi Wina 1961, sehingga pemberian hak-hak
kekebalan diplomatik di Indonesia secara Yuridis adalah bersumber pada ketentuan Konvensi Wina 1961.
29
a. Perwakilan Asing
Disamping Konvensi Wina 1961 yang merupakn Yuridis pemberian dan pengakuan hak-hak kekebalan dan hak-hak istimewa diplomatik yang
merupakan perjanjian-perjanjian Multilateral bagi negara-negara pesertanya, juga dibutuhkan Perjanjian Bilateral antar negara yang melaksanakan
pertukaran diplomatik tersebut, sebagai dasar pelaksanaan hak-hak kekebalan dan hak-hak istimewa diplomatik.
Di dalam Peraturan-peraturan Pelaksanaan PP No.8 tahun 1957, L.N. 17 1957 tentang pembebasan bea masuk atas barang-barang yang dimaksudkan
untuk keperluan perwakilan asing di Indonesia, yang dimaksudkan dengan Perwakilan asing dalam Peraturan Pelaksanaan PP No.8 tahun 1957 tersebut
ialah :
29
DEPLU, Pedoman tertib Diplomatik dan tertib Protokol, bp.03-D, 1982
Universitas Sumatera Utara
b. Perwakilan Konsuler
c. Perwakilan perdagangan yang berdasarkan perjanjian dengan pemerintah
Repubilk Indonesia mendapat perlakuan seperti Perwakilan Diplomatik dan sebagainya.
30
Di dalam Konvensi Wina terdapat ketentuan sebagai berikut: “Setiap orang berhak akan keistimewaan dan kekebalan yang akan diperoleh pada saat
mereka memasuki wilayah negara penerima dalam proses untuk menduduki posnya, atau hak itu sudah diperoleh di wilayah tersebut sejak saat
persetujuannya telah diberitahukan kepada Menteri lain yang disetujuinya.
31
Sejalan dengan kemajuan ilmu pengetahuan dan tekonologi yang banyak mempunyai dampak terhadap peri hubungan antarnegara dan
perkembangan anggota masyarakat internasional dengan laju pertumbuhan negara-negara yang baru merdeka maka diarasakan adanya mengembangkan
lagi konvensi-konvensi Hukum Diplomatik secara luas. Pengembangan itu Dengan melihat kutipan diatas, berarti seorang duta besar atau wakil
diplomat memperoleh kekebalan dan keistemewaan tersebut diperoleh secara resmi pada saat persetujuan atas pengangkatan dirinya menjadi duta
diberitahukan kepada Menteri Luar Negeri penerima atau Menteri lain yang telah disetujui untuk itu.
C. Konvensi-Konvensi Internasional yang Mengatur Perlindungan Pejabat Diplomatik