Latar Belakang Timbulnya Kekebalan dan Keistemewaan Diplomatik

BAB III KEKEBALAN DAN KEISTEMEWAAN PEJABAT DIPLOMATIK

A. Latar Belakang Timbulnya Kekebalan dan Keistemewaan Diplomatik

Dalam abad ke 16 dan 17 pada waktu pertukaran Duta-duta Besar secara permanen antar negara-negara di Eropa, sudah mulai umum, kekebalan dan keistemewaan diplomatik telah diterima sebagai praktik-praktik negara dan bahkan telah diterima oleh para ahli hukum internasional meskipun jika terbukti bahwa seorang Duta Besar dapat diusir, tetapi tidak dapat dapat ditangkap dan diadili. Prinsip untuk memberikan kekebalan dan keistemewaan yang khusus semacam itu telah dilakukan oleh negara atas dasar timbal balik, hal itu diperlukan guna menjamin agar perwakilan atau misi asing di suatu negara dapat menjalankan tugas misinya secara bebas dan aman. 23 23 Prof. Dr. Sumaryo Suryokusomo, S.H.,Op.Cit, hal. 50-56 Di samping itu, Undang-undang juga memuat ketentuan bahwa para diplomat asing dibebaskan dari juridiksi perdata dan pidana. Kekebalan diplomatik dinikmati tidak saja oleh Kepala-Kepala Perwakilan seperti Duta Besar, atau Duta atau Kuasa, tetapi juga oleh anggota keluarganya yang tinggal bersama dia, termasuk para diplomat lainnya yang menjadi anggota perwakilan seperti Counsellor, Sekretaris Atase, dan sebagainya dan kadang-kadang dalam keadaan yang jarang sekali oleh para staf administrasi dari perwakilan dari “staf pembantu lainnya” juru masak, sopir, pelayan, penjaga dan lainnya yang serupa. Universitas Sumatera Utara Para pejabat diplomatik yang dikirimkan oleh sesuatu negara ke negara lainnya telah dianggap memiliki suatu sifat suci yang khusus. Sebagai konsekuensinya, mereka telah diberikan kekebalan dan keistimewaan diplomatik. Pada masa Yunani Kuno, misalnya gangguan terhadap seorang Duta Besar dianggap merupakan pelanggaran yang paling berat. Demikian pula di zaman Romawi, para penulis telah sepakat mengenai anggapan bahwa terjadinya cidera terhadap seseorang wakil dari negara pada hakikatnya merupakan pelanggaran secara sengaja terhadap ius gentium. Kemudian pada pertengahan abad ke 18, aturan-aturan kebiasaan hukum internasional mengenai kekebalan dan keistimewaan diplomatik telah mulai ditetapkan, termasuk harta milik, gedung dan komunikasi para diplomat. Untuk menunjukkan totalitas kekebalan dan keistemewaan diplomatik tersebut, sering digunakan istilah exterritoriality atau extra-territoriality. Istilah ini mencerminkan kenyataan bahwa para diplomat dalam segala hal harus diperlukan sebagaimana mereka tidak berada di dalam wilayah negara penerima. Sifat exterritoriality itu diberikan kepada para diplomat oleh hukum nasional negara penerima, didasarkan adanya keperluan bagi mereka untuk menjalankan tugasnya, bebas dari juridiksi, pengawasan negara setempat. Gedung yang dipakai oleh suatu perwakilan diplomatik, baik gedung itu milik negara pengirim atau kepala perwakilan, maupun disewa dari perorangan biasanya dianggap tidak dapat diganggu gugat oleh para pengusaha negara penerima, dibebaskan dari perpajakan, kecuali bagi pajak-pajak dalam bentuk biaya pelayanan khususnya seperti tarif air. Demikian juga arsip perwakilan Universitas Sumatera Utara dan sejenisnya dianggapm tidak dapat diganggu gugat seperti korespondensi diplomatik, setidak-tidaknya jika dibawa oleh kurir diplomatik. Namun demikian, kuranglah tepat bahwa gedung-gedung perwakilan dianggap sebagai exterritorial atau sebagai ‘bagian wilayah dari suatu negara pengirim”. Hugo Grotius juga memberikan tanggapan bahwa para Duta Besar, menurut khayalan hukum, dianggap berada diluar wilayah negara tempat mereka tinggal, tetapi apabila khayalan ini sudah mengambil sifat sebagai aturan, hal itu dilihat sebagai sesuatu yang menyesatkan dan membahayakan. Meskipun aturan-aturan yang luas mengenai kekebalan dan keistemewaan para diplomat tetap tidak diubah, pada abad ke-18, aturan-aturan itu telah berkembang secara terperinci menurut variasi masing-masing yang dilakukan oleh beberapa negara. Dalam perkembangan selanjutnya, pada abad ke-20, kekebalan dan keistemewaan diplomatik cenderung ke arahh bentuk- bentuk baru dalam komunikasi diplomatik, seperti wireless transimiters dalam perwakilan diplomatik, pengangkutan kantong diplomatik oleh kurir ad hoc, dibawa sendiri oleh pilot pesawat terbang, dan tidak terdapat persetujuan secara jelas apakah cara-cara baru itu diizinkan atau diperbolehkan dengan perlindungan yang sama sebagaimana dalam pengangkutan kantong diplomatik tradisional. Ada beberapa kodifikasi dari aturan-aturan dalam hukum diplomatik. Ada beberapa kodifikasi dari aturan-aturan dalam hukum diplomatik, dua diantaranya yang paling penting adalah Havana Convention on Diplomatic Officers,yang ditandatangani dalam tahun 1928, dan Harvard Universitas Sumatera Utara Research Draft Convention on Diplomatic Privileges and Immunities, yang diterbitkan dalam tahun 1932. Adapun yang menjadi landasan dasar daripada adanya pemberian kekebalan dan keistimewaan bagi para pejabat diplomatik dan hakikatnya merupakan hasil sejarah diplomatik yang sudah lama sekali dimana pemberian semacam itu dianggap sebagai kebiasaan internasional. Sesuai dengan aturan-aturan kebiasaan hukum Internasional, para diplomat yang mewakili negara-negara asing memiliki kekebalan yang kuat dari juridiksi negara pengirim. Pemberian hak-hak tersebut didasarkan didasarkan prinsip-prinsip resiprositas antar negara dan prinsip mutlak diperlukan dalam rangka : 1. Mengembangkan hubungan persahabatan antar negara,tanpa mempertimbangkan sistem ketatanegaraan dan sistem sosial mereka yang berbeda. 2. Bukan untuk kepentingan perseorangan tetapi untuk menjamin terlaksananya tugas para pejabat diplomatik secara efisien terutama dalam tugas dari negara yang diwakilinya. Itulah sebabnya, para pejabat diplomatik menikmati keistimewaan dan kekebalan tertentu. Mengapa hak-hak semacam itu perlu diberikan ? Masalah itu juga timbul pada waktu kasus Sun Yat Sen dalam tahun 1896, seorang pelarian politik yang berkebangsaan Cina. Kedutaan Besar cina menyatakan bahwa keistimewaan dan kekebalan itu didasarkan prinsip “eksteritorialitas”. Universitas Sumatera Utara Alasan-alasan untuk meberikan hak-hak tersebut adalah sebagai berikut : 1. Para diplomat adalah wakil-wakil negara 2. Mereka tidak dapat menjalankan tugas secara bebas kecuali jika mereka diberikan kekebalan-kekebalan tertentu. 3. Jelaslah pula bahwa jika terjadi gangguan pada komunikasi mereka dengan negaranya tugas mereka tidak dapat berhasil. 24 Kekebalan diplomatik pada hakekatnya mencakup pula kekebalan terhadap juridiksi perdata maupun pidana dan bebas pula dari perbagai bentuk pajak, termasuk bea pabean. Maka pemberian kekebalan dan keistemewaan diplomatik bagi para diplomat ini, yang tadinya pada hukum kebiasaan internasional yang tercermin dalam praktek negara di dalam hubungan internasional, khususnya Undang- Undang negara setempat, dan pada perkembangannya hukum kebiasaan internasional kini telah berhasil dituangkan didalam suatu konvensi internasional yang tertulis, yaitu Konvensi Wina 1961 tentang hubungan diplomatik, sehingga ketentuan-ketentuan pemberian kekebalan-kekebalan dan keistemewaan para diplomat ini, telah diakui secara internasional sebagai suatu Hukum Internasional. Indonesia saat ini telah meratifikasi Konvensi Wina 1961 dan Konvensi Wina 1963 pada tanggal 25 Januari 1982. 25 24 Prof. Dr. Sumaryo Suryokusumo.S.H., Op.cit. hal 55-56 25 Edy Suryono, S.H.,M.H., Perkembangan Hukum Diplomatik, Mandar Maju, Bandung, 1992, hal 21 Universitas Sumatera Utara

B. Dasar Teoritis dan Yuridis dari Kekebalan dan Keistimewaan Diplomatik