Keanekaragaman Ikan dan Hubungannya Dengan Faktor Fisik-Kimia di Sungai Asahan Desa Puloraja Kabupaten Asahan Provinsi Sumatera Utara

(1)

Lampiran 1. Peta Lokasi

Keterangan:

Stasiun 1 : daerah kontrol Stasiun 2 : daerah pemukiman

Stasiun 3 : daerah penambangan pasir


(2)

Lampiran 2. Bagan Kerja Metode Winkler untuk Mengukur DO

Sampel Air

1 ml MnSO4 1 ml KOHKI Dikocok Didiamkan Sampel Endapan

Puith/Cokelat

1 ml H2SO4 Dikocok Didiamkan Larutan Sampel

Berwarna Cokelat

Diambil 100 ml

Dititrasi Na2S2O3 0,00125 N Sampel Berwarna

Kuning Pucat

Ditambah 5 tetes Amilum Sampel

Berwarna Biru

Dititrasi dengan Na2S2O3 0,00125 N

Sampel Bening

Dihitung volume Na2S2O3 yang terpakai

Hasil


(3)

Lampiran 3. Bagan Kerja Metode Winkler untuk Mengukur BOD5

(Suin, 2002) Keterangan :

Penghitungan nilai DO awal dan DO akhir sama dengan penghitungan Nilai DO

Nilai BOD = Nilai awal – Nilai DO akhir dihitung nilai DO akhir

diinkubasi selama 5 hari

pada temperatur 20°C dihitung nilai DO awal

Sampel Air

Sampel Air Sampel Air


(4)

Lampiran 4. Tabel Kelarutan O2 (Oksigen)

T˚C

0,0 0,1 0,2 0,3 0,4 0,5 0,6 0,7 0,8 0,9

0 14,6 14,12 14,08 14,04 14,00 13,97 13,93 13,89 13,85 13,81

1 13,77 13,74 13,70 13,66 13,63 13,59 13,55 13,51 13,48 13,44

2 13,40 13,37 13,33 13,30 13,26 13,22 13,19 13,15 13,12 13,08

3 13,05 13,01 12,98 12,94 12,91 12,87 12,84 12,81 12,77 12,74

4 12,70 12,67 12,64 12,60 12,57 12,54 12,51 12,47 12,44 12,41

5 12,37 12,34 12,31 12,28 12,25 12,22 12,18 12,15 12,12 12,09

6 12,06 12,03 12,00 11,97 11,94 11,91 11,88 11,85 11,82 11,79

7 11,76 11,73 11,70 11,67 11,64 11,61 11,58 11,55 11,52 11,50

8 11,47 11,44 11,41 11,38 11,36 11,33 11,30 11,27 11,25 11,22

9 11,19 11,16 11,14 11,11 11,08 11,06 11,03 11,00 10,98 10,95

10 10,92 10,90 10,87 10,85 10,82 10,80 10,77 10,75 10,72 10,70 11 10,67 10,65 10,62 10,60 10,57 10,55 10,53 10,50 10,48 10,45 12 10,43 10,40 10,38 10,36 10,34 10,31 10,29 10,27 10,24 10,22 13 10,20 10,17 10,15 10,13 10,11 10,09 10,06 10,04 10,02 10,00

14 9,98 9,95 9,93 9,91 9,89 9,87 9,85 9,83 9,81 9,78

15 9,76 9,74 9,72 9,70 9,68 9,66 9,64 9,62 9,60 9,58

16 9,56 9,54 9,52 9,50 9,48 9,46 9,45 9,43 9,41 9,39

17 9,37 9,35 9,33 9,31 9,30 9,28 9,26 9,24 9,22 9,20

18 9,18 9,18 9,15 9,13 9,12 9,10 9,08 9,06 9,04 9,03

19 9,01 8,99 8,98 8,96 8,94 8,93 8,91 8,89 8,88 8,86

20 8,84 8,83 8,81 8,79 8,78 8,76 8,75 58,73 8,71 8,70

21 8,68 8,67 8,65 8,64 8,62 8,61 8,59 8,58 8,56 8,55

22 8,53 8,52 8,50 8,49 8,47 8,46 8,44 8,43 8,41 8,40

23 8,38 8,37 8,36 8,34 8,33 8,32 8,30 8,29 8,27 8,26

24 8,25 8,23 8,22 8,21 8,19 8,18 8,17 8,15 8,14 8,13

25 8,11 8,10 8,09 8,07 8,06 8,05 8,04 8,02 8,01 8,00

26 7,99 7,97 7,96 7,95 7,94 7,92 7,91 7,90 7,89 7,88

27 7,86 7,85 7,84 7,83 7,82 7,81 7,79 7,78 7,77 7,76

28 7,75 7,74 7,72 7,71 7,70 7,69 7,68 7,67 7,66 7,65

29 7,64 7,62 7,61 7,60 7,59 7,58 7,57 7,56 7,55 7,54


(5)

Lampiran 5. Bagan Kerja Pengukuran Nitrat (NO3)

5 ml Sampel Air

1 ml NaCl (pipet volum) 5 ml H2SO4

4 tetes Brucine Sulfat Sulfanic Acid

Larutan

Dipanaskan selama 25 menit

Larutan

Didinginkan Diukur dengan

Spektrofotometer pada λ = 410 nm

Hasil

Lampiran 6. Bagan Kerja Pengukuran Posfat (PO4)

1 ml Amstrong Reagent 1 ml Ascorbic Acid

Larutan

Dibiarka selama 20 menit Diukur dengan

Spektrofotometer pada λ = 880 nm

Hasil

5 ml Sampel Air


(6)

Lampiran 7. Contoh Perhitungan Kepadatan (K) ikan Labiobarbus festivus K =Jumlah individu suatu jenis/ulangan

Luas jaring =23/3

48 = 0,160 ind/m 2

KR =K suatu spesies

Total K x 100% KR =0,160

0,348x 100% = 45,4%

FK = Jumlah ulangan yang ditempati suatu jenis

jumlah total ulangan � 100 % FK = 3

3� 100 %= 100 %

Indeks Diversitas Shannon-Wiener (Indeks Keanekaragaman) Stasiun 1 H‟= - pi ln pi

H‟= - (23 51ln

23 51) + (

9 51ln

9 51) + (

4 51ln

4 3451) + (

8 51ln

8 51) + (

7 51ln

7 51) H‟= - −0,359 + (−0,308) + −0,199 + −0,290 + (−0,272) = 1,428

Indeks Keseragaman E = �

H maks E =1,428

ln 5 = 0,887 IndeksSimilaritas IS = 2

+ �100% IS = 2(1)

5 + 5�100% = 20%


(7)

Lampiran 8. Hasil Korelasi Pearson

Corr

keanekaragaman suhu kecepatan_arus intensit

keanekaragaman

Pearson Correlation 1 -.139 .913

Sig. (2-tailed) .861 .087

N 4 4 4

suhu

Pearson Correlation -.139 1 .273

Sig. (2-tailed) .861 .727

N 4 4 4

kecepatan_arus

Pearson Correlation .913 .273 1

Sig. (2-tailed) .087 .727

N 4 4 4

intensitas_cahaya

Pearson Correlation -.474 .909 -.101

Sig. (2-tailed) .526 .091 .899

N 4 4 4

penetrasi_cahaya

Pearson Correlation -.772 -.513 -.952*

Sig. (2-tailed) .228 .487 .048

N 4 4 4

DO

Pearson Correlation -.621 -.478 -.768

Sig. (2-tailed) .379 .522 .232

N 4 4 4

kejenuhan_oksigen

Pearson Correlation -.784 .075 -.696

Sig. (2-tailed) .216 .925 .304

N 4 4 4

pH

Pearson Correlation .175 .943 .548

Sig. (2-tailed) .825 .057 .452

N 4 4 4

BOD5

Pearson Correlation .396 -.316 .303

Sig. (2-tailed) .604 .684 .697

N 4 4 4

Nitrat

Pearson Correlation -.365 -.870 -.712

Sig. (2-tailed) .635 .130 .288

N 4 4 4

Posfat

Pearson Correlation -.685 .791 -.352

Sig. (2-tailed) .315 .209 .648

N 4 4 4


(8)

(9)

(10)

(11)

(12)

Lampiran 10. Foto Kerja

Mengukur pH air Mengukur Suhu air

Mengukur penetrasi cahaya Mengukur DO


(13)

DAFTAR PUSTAKA

Abdurahim, A., Sunarya, W. dan Ismu S.S., 2004. Kelimpahan dan Sebaran Logitunal Ikan-ikan di Sungai Cidanau banten. Jurnal ikhtiologi. (4):2 Agusnar, H. 2007. Kimia Lingkungan. USU Press: Medan.

Astria, J,. Marsi,. Fitrani, M. 2013. Kelangsungan Hidup dan Pertumbuhan Ikan Gabus (Channa sriata) pada Berbagai Modifikasi pH Media Air Rawa yang Diberi Substrat Tanah. Jurnal Akuakultur Rawa Indonesia. 1(1). Huwoyono, 2010. Aspek Biologi Reproduksi Ikan Lemeduk (Barbodes

schwanenfeldii) Di Sungai Belumai Kabupaten Deli Serdang Provinsi Sumatera Utara. Fakultas Pertanian: USU

Ambarita, R. 2009. Keanekaragaman dan Distribusi Ikan Di Hulu Sungai Asahan Porsea. [Skripsi]. Medan: Universitas Sumatera Utara.

Anwar, N. 2008. Karakteristik Fisika Kimia Perairan dan Kaitannya dengan Distribusi serta Kelimpahan Larva Ikan di Teluk Pelabuhan Ratu. [Tesis]. Bogor:IPB.

Barus, T.A. 1996. Metode Ekologi untuk Menilai Kualitas Perairan Lotik. Jurusan Biologi FMIPA USU. Medan.

_________. 2004. Pengantar Limnologi, Studi tentang Ekosistem Sungai dan Danau. Jurusan Biologi. Fakultas MIPA USU. Medan.

Brotowidjoyo, M. D;Djoko,T & Eko,. M. 1995. Pengantar Lingkungan Perairan dan Budidaya Air. Yogyakarta: Liberty.

Brower,J.,J.Zar and C.V.Ende. 1990. Field and Laboratory Methods for General Ecology. Third Edition. Wm. C, Brown Publishers. P.77.

Defira, C. N & Muchlisin Z.A. 2004. Populasi Ikan di Sungai Alas Stasiun Penelitian Soraya Kawasan Ekosistem Leuser Simpang Kiri Kabupaten Aceh Singkil. Jurnal Ilmiah. Jurnal Ilmiah MIPA. Vol. VII(1).

Dermawan. A. 2009. Jenis-Jenis Ikan yang Dilindungi dan Masuk dalam Appendiks CITES. Direktorat Konservasi dan Taman Nasional Laut. Effendie, M. I. 1997. Biologi Perikanan. Yayasan Pustaka Nusatama: Bogor.

Eschmeyer, W. 1998. Catalog of Fishes Vol.3: Genera of Fishes; Species & Genera in a classification; Literature Cited; Appendices. California Academy of Sciences. San Fransisco.


(14)

Fardiaz, S. 1992.Polusi Air dan Udara. Kanisius. Yogyakarta.

Fithra, R.Y. dan Siregar, Y.I. 2010. Keanekaragaman Ikan Sungai Kampar Inventarisasi Dari Sungai Kampar Kanan. Jurnal Ilmu Lingkungan 2 (4). Gonawi G.R. 2009. Habitat Struktur Komunitas Nekton Di Sungai

Cihideung-Bogor Jawa Barat (Skripsi). Cihideung-Bogor : Institut Pertanian Cihideung-Bogor.

Herawati, V, E. 2008. Analisis Kesesuaian Perairan Segara Anakan Kabupaten Cilacap Sebagai Lahan Budidaya Kerang Totok Ditinjau dari aspek Produktivitas Primer Menggunakan Penginderaan Jauh. Tesis. Universitas Diponegoro: Semarang.

Kaban, S., s.n. Aida, dan A. Wibowo. 2011. Karakteristik Lingkungan Perairan Sungai: Perikanan dan Kondisi Lingkungan Sumber Daya Ikan Perairan Umum Daratan Riau. Balai Penelitian Peikanan. V(9).

Kottelat, M., Anthony, J.W., Sri, N.K., Soetikno, W. 1996. Freshwater Fishes of Western Indonesia and Sulawesi. Java Books: Jakarta.

Krebs, C. J. 1985. Ecology: The Experimental Analysis of Distribution and Abundance. Harper & Row Publishers. New York.

Loebis, J. 1999. Hidrologi Danau Toba Dan Sungai Asahan. PT. Puri Fadjar Mandiri. Jakarta.

Marshall, N.B.1982. Biology of Fishes. Chapman and Hall. New York.

Maryono, A. 2005. Eko-Hidraulik Pembangunan Sungai. Edisi Kedua. Universitas Gadjah Mada: Yogyakarta.

Michael, P. 1994. Metoda Ekologi Untuk Penyelidikan Lapangan dan Laboratorium. UI Press. Jakarta.

__________. 1995.Metoda Ekologi untuk Penyelidikan Lapangan dan Laboratorium. UI Press. Jakarta.

Mulyanto, H. R. 2007. Sungai: Fungsi dan Sifat-sifatnya. Edisi Pertama. Graha Ilmu: Yogyakarta.

Mulya, M. B. 2004. Keanekaragaman Ikan di Sungai Deli Provinsi Sumatera Utara serta Keterkaitannya dengan Faktor Fisik Kimia Perairan. FMIPA USU. Medan.


(15)

Nurudin, F.A. 2013. Keanekaragaman Jenis Ikan di Sungai Sekonyer Taman Nasional Tanjung Putting Kalimantan Tengah. [SKRIPSI]. Universitas Negeri Semarang: Semarang.

Odum, E. P. 1996. Dasar-dasar Ekologi. UMG Press: Yogyakarta.

Patriono, E., Effendi, P, S. dan Alkhairi, E, W. 2007. Inventarisasi Ikan di Sungai Komering Kecamatan Madang Suku II Kabupaten Ogan Komering Ulu Timur Sumatera selatan. [Skripsi]. Universitas Sriwijaya:Palembang. Rahardjo, M. F., D.S. Sjafei., R. Affandi., Sulistiono., J. Hutabarat. 2011.

Ikhtiology. Lubuk Agung: Bandung.

Ruspindo. S. 2008. Kelangsungan Hidup dan Pertumbuhan Benih Ikan Patin Siam (P. hipophthalamus) pada berbagai pHdan DOair Media Pemeliharaan. Unsri. Indralaya.

Schiemer F & M. Zalewski. 1992. The Importance of Riparian EcotoneFor Diversity & Productivity or Riverine Fish Comunities.Netherland Journal of Zoology 42 (2-3) : 323-335.

Simanjuntak, C.P.H. 2012. Keragaman dan Distribusi Spasio-temporal Iktiofauna Sungai Asahan Bagian Hulu dan Anak Sungainya. Prosiding Seminar Nasional Ikan VII. Makassar.

Simatupang, L. 2015. Hubungan Struktur Komunitas Ikan Dengan Kualitas Air Di Perairan Sungai Asahan Kabupaten Toba Samosir, Sumatera Utara. [SKRIPSI]. USU: Medan.

Steven. O. Mc Adam, N.R Liley, and S.P. Eddy. 1999. Comparison of Reproductive Indicators and Analysis of the Reproductive Seasonality of the Tinfoil barb. Puntius schwanenfeldii. In The Perak River. Journal Enviromental Biology of Fishes. V(5).

Suin, N. M. 2002. Metoda Ekologi. Universitas Andalas: Padang.

Sukadi. 1999. Pencemaran Sungai Akibat Buangan Limbah dan Pengaruhnya Terhadap BOD dan DO. Institut Keguruan dan Ilmu Pendidikan: Bandung Sulistiyarto, B., Dedi, S., Mohammad, F, R. dan Sumardjo. 2007. Pengaruh

Musim terhadap Komposisi Jenis dan Kemelimpahan Ikan di Rawa Lebak Sungai Rungan Palangkaraya Kalimantan Tengah. Jurnal Biodiversitas. (8):4

Sumich, J.L.1992. An Introduction to The Biology of Marine Life. Fith edition. WCB Wm.C.Brown Publishers. United States of America.


(16)

Utomo. A.D., S. Adjie., dan K. Fattah. 2010. Potensi Sumber Daya Ikan di Daerah Aliran Sungai Musi Sumatera Selatan. Balai Riset Perikanan Perairan Umum. V(3).

Wibowo A, Ridwan A, Kadarwan S, Sudarto. 2010. Pengelolaan Sumber Daya Ikan Belida (Chitala Lopis) di Sungai Kampar Provinsi Riau. Jurnal Kebijakan Perikanan Indonesia. 2(2).

Wijaya, T.S & Hariyati, R. 2009. Struktur Komunitas Fitoplankton sebagai Bio Indikator Kualitas Perairan Danau Rawapening Kabupaten Semarang Jawa Tengah. Jurnal Ilmiah. V(5).


(17)

BAB 3

BAHAN DAN METODE

3.1 Waktu dan Tempat

Penelitian ini telah dilaksanakan pada bulan April 2016 di Sungai Asahan Desa Puloraja, Kabupaten Asahan, Sumatera Utara. Identifikasi ikan di lakukan di Laboratorium Pengelolaan Sumber Daya Alam dan Lingkungan, Departemen Biologi, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Universitas Sumatera Utara.

3.2. Deskripsi Area

Penelitian ini dilakukan dengan penentuan titik lokasi pengambilan sampel menggunakan metode “Purpose Sampling” yaitu dengan menentukan 4 stasiun pengambilan sampel. Masing-masing stasiun ditentukan berdasarkan aktivitas yang terdapat di sepanjang sungai tersebut.

3.2.1 Stasiun 1

Stasiun ini terletak di Desa Kampung Sayur kecamatan Pulorakyat, yang secara geografis terletak pada N 2042‟18.19” dan E 99036‟14.87”. Daerah ini merupakan daerah bebas aktivitas. Substrat dasar pada lokasi ini berupa pasir dan batu kerikil.


(18)

3.2.2 Stasiun 2

Stasiun ini terletak di Desa Puloraja kecamatan Pulorakyat. Secara geografis terletak pada N 2042‟12.06” dan E 99037‟2.21”. daerah ini merupakan daerah pemukiman. Substrat dasar pada lokasi ini berupa pasir.

Gambar 2. Stasiun 2 (Daerah Pemukiman)

3.2.3 Stasiun 3

Stasiun ini terletak di Desa Rahuning kecamatan Rahuning. Secara geografis terletak pada N 2042‟21.50” dan E 99037‟27.41”. daerah ini merupakan daerah penambangan pasir. Substrat dasar pada lokasi ini berupa pasir.


(19)

3.2.4 Stasiun 4

Stasiun ini terletak di Desa Padang mahondang kecamatan Pulorakyat. Secara geografis terletak pada N 2042‟15.07” dan E 99037‟33.85”. daerah ini merupakan daerah pabrik kelapa sawit PTPN IV. Substrat dasar pada lokasi ini adalah berupa pasir dan batu kerikil.

Gambar 4. Stasiun 4 (Daerah Pabrik Kelapa Sawit PTPN IV)

3.3. Alat dan Bahan

Alat-alat yang digunakan pada penelitian ini adalah jaring, toples, kertas grafik, pH meter, termometer, bola ping pong, Stopwatch, keping sechii, spektrofotometer, timbangan digital, penggaris, camera digital, pipet tetes, erlenmeyer 150 ml, botol Winkler, split 1 ml, split 5 ml, aluminium foil, plastik berukuran 5 kg, botol alkohol, lux meter, bagan kerja DO (dissolved oxygen), dan GPS (Global Positioning System), serta buku identifikasi ikan Kottelat et al, (1996). Bahan-bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah alkohol 70%, MnSO4, KOH-KI, H2SO4, Na2S2O3 dan amilum.

3.4 Pengambilan Sampel

Pengambilan sampel ikan dilakukan dengan menggunakan jaring dengan luas 48 m2 dan ukuran mata jaring 2 inc. Pemasangan jaring dilakukan sebanyak 3 ulangan pada masing-masing stasiun. Sampel ikan yang diperoleh diukur panjang


(20)

total dan panjang standar, dimasukkan ke dalam plastik berukuran 5 kg dan diawetkan dengan alkohol 70% untuk selanjutnya dibawa ke laboratorium untuk diidentifikasi dengan menggunakan buku identifikasi ikan Kottelat.

3.5 Pengukuran Faktor Fisik-Kimia Perairan 3.5.1 Suhu

Pengukuran suhu dilakukan dengan menggunakan alat termometer dengan skala 0-100oC. Termometer dimasukkan ke badan air dan biarkan beberapa saat lalu dibaca skala dari termometer tersebut dan dicatat hasil yang tertera pada skala termometer.

3.5.2 Intensitas Cahaya

Lux meter diletakkan pada lokasi penelitian setelah terlebih dahulu dinyalakan dan diatur Lux meter pada perbesaran 200.000, kemudian dicatat nilai yang tertera pada layar.

3.5.3 Penetrasi Cahaya

Pengukuran penetrasi cahaya dilakukan dengan menggunakan keping Sechii, caranya dengan keping Sechii dimasukkan ke dalam perairan sungai, sampai keping Sechii tersebut tidak kelihatan, kemudian diukur panjang talinya. 3.5.4 Kecepatan Arus Sungai

Bola ping pong dimasukkan ke badan sungai bersamaan dengan menghidupkan stopwatch, hingga mencapai jarak 10 m. Kemudian dimatikan stopwatch dan dicatat waktunya.

3.5.5 pH

Pengukuran pH air dilakukan dengan menggunakan pH meter. Sebelumnya dikalibrasi pH sampai nilai pada pH = 7. pH meter dimasukkan ke badan air lalu dibaca nilainya dan dicatat hasil yang tertera pada skala pH meter.


(21)

3.5.6 Dissolved Oxygen (DO)

Pengukuran oksigen terlarut dilakukan dengan menggunakan metode Winkler, yaitu sampel air dimasukkan ke dalam botol Winkler, lalu ditambahkan masing-masing 1 ml MnSO4 dan KOH-KI ke dalam botol tersebut dan dihomogenkan. Sampel didiamkan sebentar hingga terbentuk endapan putih, kemudian ditambahkan 1 ml H2SO4, dihomogenkan dan didiamkan hingga terbentuk endapan coklat. Sampel diambil 100 ml dan dimasukkan ke dalam erlenmeyer lalu dititrasi dengan Na2S2O3 0,0125 N hingga berwarna kuning pucat, lalu sampel ditetesi amilum sebanyak 5 tetes dan dihomogenkan hingga terbentuk larutan biru. Kemudian sampel dititrasi menggunakan Na2S2O3 0,0125 N hingga terjadi perubahan warna menjadi bening. Volume Na2S2O3 0,0125 N yang terpakai dihitung dan hasilnya dicatat. Dapat dilihat pada lampiran 2.

3.5.7 Biochemical Oxigen Demand (BOD5)

Pengukuran BOD5 dilakukan setelah sampel air yang diambil, diinkubasi selama 5 hari. sebelum di inkubasi diukur DO awal dengan menggunakan metode winkler, yaitu sampel air dimasukkan ke dalam botol Winkler, lalu ditambahkan masing-masing 1 ml MnSO4 dan KOH-KI ke dalam botol tersebut dan dihomogenkan. Sampel didiamkan sebentar hingga terbentuk endapan putih, kemudian ditambahkan 1 ml H2SO4, dihomogenkan dan didiamkan hingga terbentuk endapan coklat. Sampel diambil 100 ml dan dimasukkan ke dalam erlenmeyer lalu dititrasi dengan Na2S2O3 0,0125 N hingga berwarna kuning pucat, lalu sampel ditetesi amilum sebanyak 5 tetes dan dihomogenkan hingga terbentuk larutan biru. Kemudian sampel dititrasi menggunakan Na2S2O3 0,0125 N hingga terjadi perubahan warna menjadi bening. Volume Na2S2O3 0,0125 N yang terpakai dihitung dan hasilnya dicatat. Setelah 5 hari inkubasi di ukur DO akhir. Nilai BOD5 adalah nilai DO awal dikurang dengan nilai DO akhir. Prosedur kerja BOD5 dapat dilihat pada lampiran 3.


(22)

3.5.8 Kejenuhan Oksigen

Nilai kejenuhan oksigen (%) dapat dihitung dengan menggunakan rumus sebagai berikut:

Kejenuhan O2 =

O2 [U]

�2 � x 100%

Keterangan:

O2 [U] : Nilai konsentrasi oksigen yang diukur (mg/l)

O2 [t] : Nilai konsentrasi sesuai besar suhunya. Dapat dilihat pada lampiran 4. 3.5.9 Kadar Nitrat (NO3)

Sampel air diambil sebanyak 5 ml, lalu ditambahkan 1 ml NaCL dengan pipet volum dan ditambahkan 5 ml H2SO4 75% lalu ditambah 4 tetes Brucine Sulfat Sulfanic Acid. Larutan yang terbentuk dipanaskan selama 25 menit. Kemudian larutan tersebut didinginkan lalu diukur dengan spektrofotometer pada λ= 410 nm. Kemudian dicatat nilai yang tertera pada spektrofotometer. Dapat dilihat pada lampiran 5.

3.5.10 Kadar Posfat (PO4)

Sampel air diambil sebanyak 5 ml lalu ditambahkan 1 ml Amstrong Reagen dan 1 ml Ascorbic Acid. Larutan yang terbentuk dibiarkan selama 20 menit, lalu diukur dengan spektrofotometer pada λ= 880 nm. Kemudian dicatat nilai yang tertera pada spektrofotometer. Dapat dilihat pada lampiran 6.

Tabel 1. Alat dan Satuan yang Dipergunakan dalam Pengukuran Faktor Fisik Kimia Perairan

No Parameter Fisik-Kimia Satuan Alat Tempat

Pengukuran

1 Suhu °C Termometer In –situ

2 Penetrasi cahaya Cm Keping secchi In –situ

3 Intensitas cahaya Candela Lux meter In –situ

4 pH air - pH meter In- situ

5 Kecepatan Arus m/det Stopwatch, Gabus, dan

Meteran

In –situ

6 DO mg/L Metode Winkler In –situ

7 BOD5 mg/L Metode Winkler dan

Inkubasi

Laboratorium

8 Kejenuhan Oksigen % - Laboratorium

9 Kadar Nitrat (NO3) mg/L Spektrofotometri Laboratorium


(23)

3.6 Analisis Data 3.6.1 Ikan

Data ikan yang diperoleh dianalisis dengan menghitung kepadatan populasi, kepadatan relatif, frekuensi kehadiran, indeks diversitas Shannon Wiener, Indeks keseragaman dan indeks kesamaan.

a. Kepadatan Populasi

K = A

i n /

Dimana n : jumlah individu suatu spesies i : ulangan

A : luas jaring (48 m2 )

Michael, 1994) b. Kepadatan Relatif Ikan

KR (%) =

K total spesies setiap dalam K jumlah

x 100 %

Apabila KR > 10 % maka suatu habitat dikatakan cocok dan sesuai bagi perkembangan suatu organisme (Barus, 2004).

c. Frekuensi Kehadiran (FK)

FK = x100%

plot total Jumlah jenis suatu ditempati yang plot Jumlah

Apabila nilai FK : 0 - 25 % = kehadiran sangat jarang 25 - 50 % = kehadiran jarang

50 -75 % = kehadiran sering

75 - 100 % = kehadiran absolut (sangat sering) (Michael, 1994) d. Indeks Diversitas Shannon –Wiener (H’)

H‟ = 

pi ln pi dimana :

H‟ = indeks diversitas Shannon – Wiener pi = proporsi spesies ke –i

ln = logaritma Nature pi = ni/N

(Perhitungan jumlah individu suatu jenis dengan keseluruhan jenis) 0 < H´<2,302 = keanekaragaman rendah

2,302 < H´ < 6,907 = keanekaragaman sedang H´ > 6,907 = keanekaragaman tinggi


(24)

e. Indeks Equitabilitas/Indeks Keseragaman (E)

E =

max H' H dimana :

H‟ = indeks diversitas Shannon – Wienner H max = keanekaragaman spesies maximum

= ln S (dimana S banyaknya spesies)

(Krebs, 1985) f. Indeks Similaritas (IS)

IS = X100%

b a

2c  dimana:

IS = Indeks Similaritas

a = Jumlah spesies pada lokasi a b = Jumlah spesies pada lokasi b

c = Jumlah spesies yang sama pada lokasi a dan b

(Michael, 1995) 3.6.2 Analisis Korelasi

Analisis korelasi digunakan untuk mengetahui faktor-faktor lingkungan yang berkorelasi terhadap nilai keanekaragaman ikan. Analisis korelasi dihitung menggunakan Analisis Korelasi Pearson dengan metode komputerisasi SPSS Ver. 21.00.

Keterangan:

0,00-0,199 : Sangat rendah 0,20-0,399 : Rendah 0,40-0,599 : Sedang 0,60-0,799 : Kuat 0,80-1,00 : Sangat kuat


(25)

BAB 4

HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Biotik Lingkungan

4.1.1 Jenis Ikan yang Diperoleh

Hasil jenis ikan yang diperoleh dari setiap stasiun dapat dilihat pada tabel 2 berikut ini:

Tabel 2. Jenis ikan yang diperoleh pada setiap Stasiun

Ordo Famili Spesies

Kingdom : Animalia Cypriniformes Osteoglossiformes Perciformes Cyprinidae Notopteridae Channidae Belontiidae Osphronemidae 1. Barbodes schwanenfeldii 2. Labiobarbus festivus 3. Mystacoleucus marginatus 4. Osteochilus vittatus 5. Osteochilus wandersii 6. Puntius orphoides 7. Notopterus notopterus 8. Channa striata 9. Belontia hasselti 10.Osphronemus goramy Filum : Chordata Kelas : Actinopterygii

Tabel 2 menunjukkan bahwa ikan yang diperoleh terdiri dari 3 ordo, 5 famili dan 10 spesies. Masing-masing jenis ikan ini memiliki karakteristik yang berbeda baik dari segi morfologi, maupun habitatnya dapat dilihat sebagai berikut:

Deskripsi ikan:

1. Ikan (Belontia hasselti) (Kepar)

Morfologi: panjang total: 12,3-19,27 cm; panjang standar: 9,8-15,8 cm; panjang badan: 5,8-7,6 cm; tinggi badan: 4,7-5,3 cm; panjang ekor:3-3,7 cm; tinggi ekor: 1,5-1,7 cm; berat ikan 37,2-38,9 gram; bentuk tubuh compressedform; tipe mulut terminal; tipe ekor homocercal; warna tubuh hitam.


(26)

Menurut Kottelat et al., (1993), ikan ini memiliki badan berwarna coklat; setiap sisik mempunyai pinggiran hitam; pola warna hitam berbentuk jala pada sirip ekor; remaja memiliki bercak hitam pada bagian belakang pangkal sirip punggung.

Gambar. 5 Ikan Belontia hasselti 2. Ikan(Channa sriata) (Gabus)

Morfologi: panjang total: 16-21 cm; panjang standar:13-17,5 cm; panjang badan: 4,7-7,5 cm; tinggi badan: 2,8-4,3 cm;panjang ekor:3-3,8 cm; tinggi ekor: 1,5-2,3 cm; berat ikan: 63,4-89,8 gram; bentuk tubuh anguilliform, tipe mulut inferior, tipe ekor homocercal, warna tubuh hitam kecoklatan, bagian bawah tubuh berwarna putih bercak hitam, permukaan tubuh licin. Menurut Kottelat et al., (1993), ikan ini memiliki sisi badan pita warna berbentuk „<‟, mengarah kedepan; bagian atas umumnya tidak jelas pada bagian dewasa; tidak ada gigi bentuk taring pada vomer dan palatine; 4-5 sisik antara gurat sisi dan pangkal jari-jari sirip punggung bagian depan.

Gambar. 6 Ikan Channa striata 3. Ikan (Labiobarbus festivus) (Sopul)

Morfologi: panjang total: 12,3-21,2 cm; panjang standar: 9,8-17,3 cm; panjangbadan: 6,8-7,6 cm; tinggi badan: 4,2-5,4 cm; panjang ekor:2,8-4,8 cm;


(27)

tinggi ekor: 1,3-2 cm; berat ikan 33,7-102,6 gram; bentuk tubuh compressedform; tipe mulut terminal; tipe ekor homocercal; warna tubuh putih. Menurut Kottelat et al., (1993) pada ikan ini terdapat pita warna hitam di tengah masing-masing lekukan sirip ekor; pinggiran luar sirip punggung berwarna hitam.

Gambar 7. Labiobarbus festivus 4. Ikan (Puntius orphoides) (Mata merah)

Morfologi: panjang total: 12,3-17,7 cm; panjang standar: 9,5-13,8 cm; panjang badan: 6,5-9,8 cm; tinggi badan: 3,2-5 cm; panjang ekor:3-3,5 cm; tinggi ekor: 1,3-2,6 cm; berat ikan 21,2-58,7 gram; bentuk badan compressedform; tipe mulut terminal; tipe ekor homocercal; warna tubuh kuning keperakan. Menurut Kottelat et al., (1993), ikan ini memiliki batang ekor dikelilingi 16 sisik; jari-jari sirip punggung bergerigi halus sebanyak 30; sirip ekor dengan pinggiran hitam tebal diatas dan dibawah; bintik hitam pada batang ekor; ikan muda mempunyai beberapa barisan bintik berwarna gelap sepanjang barisan sisiknya; 5-51/2 sisik antara awal sirip punggung dan gurat sisi.

Gambar 8. Ikan Puntius orphoides 5. Ikan(Osteochilus waandersii) (Salisir)

Morfologi: panjang total: 20-25,3 cm; panjang standar: 16,5-19,8 cm; panjang badan: 13,5-16,6 cm; tinggi badan: 5,6-6,3 cm; panjang ekor:3-5,5 cm;


(28)

tinggi ekor: 1,7-2,3 cm; berat ikan 75,3-120,7 gram; bentuk badan compressedform; warnah tubuh putih. Menurut Kottelat et al., (1993), ikan ini terdapat satu atau tiga tubus keras pada moncong; garis warna hitam jelas sepanjang badan dari celah insang sampai akhir jari-jari tengah sirip ekor; badan berwarna terang; bagian tengah kebawah hampir berwarna putih; 12-131/2 jari-jari bercabang pada sirip punggung; batang ekor dikelilingi 16 sisik.

Gambar 9. Ikan Osteochilus waandersii 6. Ikan(Notopterus-notopterus) (Puta)

Morfologi: panjang total: 20-23,8 cm; panjang standar: 18,5-20,8 cm; panjang badan: 15,5-17,3 cm; tinggi badan: 3,8-6 cm ;tinggi ekor: 1,5-2,1 cm; berat ikan 24,8-58,9 gram; bentuk tubuh angulliform; warna tubuh abu-abu. Menurut Kottelat et al., (1993), ikan ini memiliki bentuk dekat punggung hampir lurus, kadang-kadang sedikit cembung; rahang tidak memanjang dengan meningkatnya umur, hanya memanjang kira-kira dibagian belakang batas mata; badan seluruhnya berwarna coklat; ikan muda memiliki banyak pita hitam tegak.


(29)

7. Ikan (Barbodes schwanenfeldii) (Lemeduk)

Morfologi: panjang total: 15,3-18,8 cm; panjang standar: 11,2-14,8 cm; panjang badan: 6,2-11 cm; tinggi badan: 4,8-6,5 cm; panjang ekor:3-5 cm; tinggi ekor: 1,7-2,3 cm; berat ikan 56,2-95,7 gram; bentuk tubuh compressedform; tipe ekor homocercal; warna tubuh putih keperakan. Menurut Kottelat et al., (1993), ikan ini memiliki gurat sisik sempurna; 13 sisik antara sirip punggung; 8 sisik antara sirip punggung dan gurat sisik; badan berwarna perak dan kuning keemasan; sirip punggung merah dengan bercak hitam pada ujungnya; sirip dada, sirip perut dan sirip dubur berwarna merah, sirip ekor berwarna oranye atau merah dengan pinggiran garis hitam dan putih sepanjang cuping sirip ekor.

Gambar 11. Ikan Barbodes schwanenfeldii 8. Ikan(Osphronemus goramy) (Gurami)

Morfologi: panjang total: 13-16,7 cm; panjang standar: 10,9-11,8 cm; panjang badan: 7,4-8,1 cm; tinggi badan: 5,3-6 cm; panjang ekor:2,5-3 cm ;tinggi ekor: 1,6-1,9 cm; berat ikan 41,2-63,9 gram; bentuk tubuh compressedform; tipe ekor homocercal; Menurut Kottelat et al., (1993), ikan ini memiliki 8-10 pita warna pada ikan muda; ikan dewasa berwarna suram; tidak ada perbedaan warna antara jantan dan betina.


(30)

9. Ikan Mystacoleucus marginatus (Lemasi)

Morfologi: panjang total: 15,5-18,3 cm; panjang standar: 12-13,6 cm; panjang badan: 9,5-10,6 cm; tinggi badan: 4,3-5 cm; panjang ekor:3-4 cm; tinggi ekor: 1,2-2,4 cm; berat ikan 44,9-54,3 gram; bentuk tubuh compressedform, tipe ekor homocercal, warna tubuh putih keperakan. Menurut Kottelat et al., (1993), pada ikan ini terdapat sebuah cuping berukuran sedang pada bibir bawah tetapi tidak menyentuh ujung bibir, jari-jari terakhir sirip punggung yang mengeras lebih pendek daripada kepala tanpa moncong.

Gambar 13. Ikan Mystacoleucus marginatus 10.Ikan Osteochilus vittatus (paitan)

Morfologi: panjang total: 18,2-22,5 cm; panjang standar: 15,4-17,8 cm; panjang badan: 11,8-14,5 cm; tinggi badan: 5,7-6,8 cm; panjang ekor:4-5,5 cm; tinggiekor: 2,5-2,8 cm; berat ikan 90,2-168,1 gram; bentuk tubuh compressedform, tipe ekor homocercal, warna tubuh putih keperakan. Menurut Kottelat et al., (1993), pada ikan ini memiliki awal sirip dorsal kira-kira sejajar dengan gurat sisi ke-8 atau ke-9; terpisahkan dari ubun-ubun oleh 10-12 sisik. Dan terdapat bintik berwarna merah disekitar sirip dada.


(31)

4.1.2. Kepadatan, Kepadatan Relatif dan Frekuensi Kehadiran Ikan

Nilai Kepadatan (K), Kepadatan Relatif (KR), dan Frekuensi Kehadiran (FK) ikan dapat dilihat pada Tabel 3. Berdasarkan Tabel 3 ikan Belontia hasselti dan Puntius orphoides ditemukan pada stasiun 2 dan 4. Hal ini dapat disebabkan karena kedua stasiun ini memiliki kecepatan arus yang tinggi yaitu 0,8 dan 1,1. Menurut Mason (1981) dalam Gonawi (2008), arus yang sangat cepat (>1 m/detik), arus yang cepat (0,5-1 m/detik), arus yang sedang (0,25-0,5 m/detik), arus yang lambat (0,1-0,25 m/detik), dan arus yang sangat lambat (<0,1 m/detik). Menurut steven et al., (1999) habitat yang disukai ikan mata merah (Puntius orphoides) adalah perairan dengan arus deras, terutama saat musim memijah.

Ikan Channa striata dan Barbodes schwanenfeldii ditemukan pada stasiun 1 dan 3. Hal ini dapat disebabkan karena kedua ikan ini memiliki kesamaan sifat yaitu hidup pada perairan yang tenang dan berpasir dimana pada kedua stasiun ini memiliki kecepatan arus yang sedang yaitu 0,4 dan 0,6. Menurut Pulungan (1987 diacu dalam Huwoyon, 2010) ikan lemeduk (Barbodes schwanenfeldii) dapat dijumpai pada perairan dengan arus lemah dan hidup pada dasar perairan berpasir. Menurut Yulisman (2011) ikan gabus (Channa striata) merupakan jenis ikan yang habitatnya ditemukan di perairan sungai dengan arus lambat dan terdapat juga pada rawa banjiran.

Ikan Osteochilus wandersii hanya ditemukan pada stasiun 1. Hal ini dapat disebabkan karena pada stasiun ini memiliki nilai nitrat paling tinggi dibandingkan stasiun lain. Ikan genus Osteochillus termasuk ikan organik yang artinya ikan ini pemakan tumbuh-tumbuhan (herbivora) dan plankton. Menurut Chu (1943) dalam Herawati (2008) alga khususnya fitoplankton dapat tumbuh optimal pada kandungan nitrat sebesar 0,009-3,5 mg/L bebas dan hasil fotosintesis organisme yang hidup dalam perairan tersebut.

Ikan Notopterus-notopterus hanya ditemukan pada stasiun 2. Hal ini dapat disebabkan karena pH pada stasiun ini sebesar 6,3, derajat keasaman (pH) sangat berpengaruh terhadap kehidupan ikan putak (Notopterus-notopterus). Menurut Dermawan (2009) dalam Huda dan sumantriyadi (2014), ikan putak Notopterus-notopterus hidup di rawa banjiran yang agak dalam dengan pH 6,0-6,5.


(32)

Tabel 3. Data Kepadatan (ind/m2), Kepadatan Relatif (%) dan Frekuensi Kehadiran Ikan di

No Spesies Stasiun 1 Stasiun 2 Stasiun 3 Stas

K KR FK K KR FK K KR FK K KR

1 Belontia hasselti

- - - 0,04 22,4 66,6 - - - 0,04 16, 2 Channa

sriata

0,02 7,8 66,6 - - - 0,05 25,6 66,6 - 3 Labiobarbus

festivus

0,15 45,4 100 0,04 19,5 66,6 0,04 19,4 33,3 0,05 18, 4 Puntius

orphoides

- - - 0,04 19,5 66,6 - - - 0,06 23, 5 Osteochilus

wandersii

0,04 13,5 66,6 - - - - - 6 Notopterus

notopterus

- - - 0,03 16,2 66,6 - - - - 7 Barbodes

schwanenfedi

0,05 15,5 66,6 - - - 0,06 32,7 66,6 - 8 Osphronemus

goramy

0,06 17,8 100 - - - 0,04 14 9 Mystacoleucu

s marginatus

- - - 0,05 18,

10 Osteochilus vittatus

- - - 0,04 22,4 33,3 0,04 22,3 33,3 0,02 9,


(33)

Disamping itu ikan putak Notopterus-notopterus merupakan ikan yang dilindungi pemerintah sehingga populasi ikan putak di alam sudah sedikit (Wibowo et al., 2009). Hal ini diperkuat (Utomo et al.,2010) ikan putak Notopterus-notopterus sedikit ditemukan pada Danau dan sungai.

Ikan Mystacoleucus marginatus hanya ditemukan pada stasiun 4. Hal ini dapat disebabkan karena stasiun ini memiliki kecepatan arus yang tinggi dibandingkan stasiun lainnya. Ikan cencen (Mystacoleucus marginatus) sangat berpengaruh terhadap arus dan kedalaman. Menurut Mulya (2004) dalam Kaban et al., (2011), kedalaman dan kecepatan arus bervariasi menurut panjang dan lebar sungai. Semakin ke hilir kedalaman air biasanya semakin tinggi dan hal ini sangat mempengaruhi kehidupan ikan di perairan tersebut. Ikan cencen (Mystacoleucus marginatus) sulit bertahan hidup pada arus lambat dan ikan ini justru akan berenang ke tempat yang memiliki arus yang deras (Kaban et al., 2011).

4.1.3 Indeks Keanekaragaman (Shannon-Wienner) dan Indeks Keseragaman Tabel 4. Nilai Indeks Keanekaragaman (H‟) dan Indeks Keseragaman (E) Pada

Setiap Stasiun.

Stasiun 1 Stasiun 2 Stasiun 3 Stasiun 4

H’ 1,43 1,60 1,37 1,76

E 0,88 0,99 0,98 0.97

Berdasarkan Tabel 4 nilai indeks keanekaragaman (H‟) pada ke-4 stasiun berkisar antara 1,37-1,76. Nilai indeks keanekaragaman pada stasiun 4 tertinggi diantara keempat stasiun penelitian yaitu sebesar 1,76 sedangkan nilai terendah terdapat pada stasiun 3 yaitu sebesar 1,37. Hal ini dapat disebabkan karena pada stasiun 4 terdapat jumlah spesies yang banyak dibandingkan dengan stasiun lainnya. Pada stasiun 4 terdapat 6 spesies ikan sedangkan pada stasiun 3 hanya terdapat 4 spesies ikan. Distribusi spesies ikan pada stasiun 4 lebih merata dibandingkan dengan stasiun 3. Nilai keanekaragaman dipengaruhi oleh jumlah individu, jumlah spesies dan penyebaran individu dari masing-masing spesies. Brower et al., (1990), menyatakan bahwa suatu komunitas dikatakan mempunyai keanekaragaman spesies yang tinggi apabila terdapat banyak spesies dengan jumlah individu masing-masing spesies relatif merata.


(34)

Keanekaragaman ikan dan kelimpahan ikan juga dipengaruhi oleh sifat faktor fisik-kimia air seperti kedalaman, kecepatan arus. Arus yang cepat akan mempengaruhi sebaran jumlah jenis ikan dalam suatu habitat, pada stasiun 4 memiliki kecepatan arus yang cepat yaitu (1,1 m/detik). Menurut Mason (1981) dalam Gonawi (2008), arus yang sangat cepat (>1 m/detik), arus yang cepat (0,5-1 m/detik). Hasil analisis indeks keanekaragaman menunjukkan bahwa keanekaragaman jenis ikan di Sungai Asahan Desa Puloraja Kabupaten Asahan tergolong rendah. Baran (2006) dalam Sulistyarto (2007), nilai indeks keanekaragaman (H‟) berkisar antara 0-2,302 menandakan keanekaragamannya rendah

Hasil analisis indeks keseragaman (E) di sungai Asahan Desa Puloraja Kabupaten Asahan tergolong tinggi yaitu (0,88-0,99). Indeks keseragaman tertinggi terdapat pada stasiun 2 dan terendah terdapat pada stasiun 1. Hal ini dapat disebabkan karena jumlah masing-masing spesies di stasiun 2 hampir merata tidak ada spesies yang mendominasi, sedangkan pada stasiun 1 terdapat satu jenis ikan yang paling mendominasi yaitu Labiobarbus festivus. Krebs (1985) menyatakan bahwa semakin kecil nilai (E) maka semakin kecil pula keseragaman suatu populasi dan penyebaran individunya mendominasi populasi sedangkan bila nilainya semakin besar maka akan semakin besar pula keseragaman suatu populasi dimana jenis dan jumlah individu tiap jenisnya merata atau seragam. 4.1.4 Indeks Similaritas Ikan (IS)

Nilai Indeks Similaritas (IS) pada setiap stasiun dapat dilihat pada tabel 5 berikut. Tabel 5. Data Indeks Similaritas Ikan (IS) Pada setiap stasiun

IS Stasiun 1 Stasiun 2 Stasiun 3 Stasiun 4

Stasiun 1 - 20 % 66,6 % 36,3 %

Stasiun 2 - - 44,4 % 72,7 %

Stasiun 3 - - - 40 %

Stasiun 4 - - - -

Tabel 5 menunjukkan nilai indeks similaritas antar stasiun. Indeks similaritas tertinggi terdapat pada stasiun 2 dan 4 yaitu sebesar 72,7% yang artinya kedua stasiun ini memiliki banyak spesies yang mirip. Indeks similaritas terendah terdapat pada stasiun 1 dan 2 yaitu sebesar 20% yang artinya kedua stasiun ini


(35)

hanya sedikit terdapat spesies yang mirip. Pada stasiun 2 dan 4 terdapat 4 spesies yang sama sedangkan pada stasiun 1 dan 2 hanya terdapat satu spesies yang sama. Ketidakmiripan antara kedua habitat juga dapat disebabkan karena faktor fisik-kimia air. Pada stasiun 2 dan 4 banyak terdapat kemiripan nilai faktor fisik-fisik-kimia air seperti suhu, DO, dan BOD5. Menurut Odum (1971) dalam Defira & Muchlisin (2004), nilai IS berkisar antara 0-1. Jika IS mendekati 0 berati tingkat kesamaan rendah dan sebaliknya jika nilai IS mendekati 1 maka tingkat kesamaan tinggi.

4.2 Abiotik Lingkungan

Hasil pengukuran faktor fisik-kimia perairan Sungai Asahan dapat dilihat pada tabel 6 berikut ini.

Tabel 6. Data pengukuran faktor fisik-kimia perairan Sungai Asahan Pada Setiap Stasiun

No .

Parameter Satuan Stasiun 1 Stasiun 2 Stasiun 3 Stasiun 4

A. Parameter Fisika

1 Suhu oC 24 25 26 25

2 Kecepatan arus m/s 0,4 0.8 0,6 1,1

3 Intensitas cahaya Candela 340 380 420 350

4 Penetrasi Cahaya cm 45 35 38 32

B Parameter Kimia

5 Oksigen terlarut (DO) mg/L 7,2 6,8 7 6,9

6 Kejenuhan Oksigen % 87,27% 83,84% 87,60% 85,08%

7 Derajat Keasaman (pH) - 7,2 6,3 6,8 7,1

8 BOD5 mg/L 2,5 3,1 2,8 3,3

9 Nitrat (NO3-N) mg/L 2,33 0,77 0,18 0,21

10 Fosfat (PO4) mg/L 0,008 0,01 0,014 0,007

Keterangan:

Stasiun 1 : daerah kontrol Stasiun 2 : daerah pemukiman Stasiun 3 : daerah penambangan pasir

Stasiun 4 : daerah pabrik kelapa sawit PTPN 4

4.2.1 Parameter Fisika

Tabel 6 menunjukkan nilai rata-rata parameter fisika di setiap stasiun. Suhu pada setiap stasiun berkisar antara 24-26oC. Suhu yang paling tinggi terdapat pada stasiun 3 dan terendah pada stasiun 1. Keadaan suhu dalam suatu perairan dapat dipengaruhi oleh tinggi rendahnya cahaya yang masuk ke badan sungai. Menurut Wijaya (2009), perubahan suhu berpengaruh terhadap proses fisika, kimia, dan


(36)

badan air. Suhu juga sangat berperan dalam mengendalikan kondisi ekosistem perairan. Organisme akuatik memiliki kisaran suhu tertentu yang baik bagi pertumbuhannya.

Parameter fisika yang lain adalah kecepatan arus yang diukur berada pada kisaran 0,4-1,1 m/detik. terendah pada stasiun 1 dan tertinggi pada stasiun 4. Perbedaan ini dapat disebabkan kondisi fisik sungai yang berbeda. Menurut Barus (2004), arus berfungsi dalam pengangkutan energi panas dan substansi yang terdapat di dalam air.

Intensitas cahaya merupakan salah satu yang mempengaruhi penyebaran ikan, intensitas cahaya yang diukur berada pada kisaran 340-420 Candela. Intensitas cahaya yang tertinggi terdapat pada stasiun 3 sedangkan yang terendah pada stasiun 1. Intensitas cahaya sangat mempengaruhi fitoplankton dan perifiton dalam suatu perairan. Menurut Nugroho (2006), sebagian besar perifiton berperan sebagai produsen yang dapat melakukan aktivitas fotosintesis. Fotosintesis dapat berlangsung dengan baik jika intensitas cahaya yang diterima perifiton cukup banyak. Oleh karena itu cahaya merupakan faktor lingkungan yang sangat menentukan produktivitas suatu perairan. Fitoplankton dan perifiton sebagian adalah makanan alami ikan.

Penetrasi cahaya memiliki peranan yang penting juga bagi ikan. Penetrasi cahaya yang diukur di setiap stasiun berada pada kisaran 32-45 cm. Nilai tertinggi terdapat pada stasiun 1 sedangkan yang terendah terdapat pada stasiun 4. Kecerahan yang berbeda ini dapat disebabkan karena pada stasiun 4 merupakan daerah perkebunan yang memuat limbah buangan yang dikeluarkan oleh pabrik kelapa sawit PTPN 4 ke perairan tersebut. Menurut Sunu (2001), kondisi air keruh yang diakibatkan oleh padatan tersuspensi akan mempengaruhi kualitas air karena akan mengurangi kemampuan penetrasi cahaya.

4.2.2 Parameter Kimia

Tabel 6 menunjukkan nilai rata-rata parameter kimia di setiap stasiun. Nilai oksigen terlarut (DO) di setiap stasiun berada pada kisaran 6,8-7,2 mg/L. Nilai ini ideal untuk pertumbuhan ikan. Menurut Agusnar (2007) konsentrasi oksigen terlarut yang terlalu rendah akan mengakibatkan ikan-ikan dan binatang air


(37)

lainnya yang membutuhkan oksigen akan mati. Derajat keasaman (pH) air merupakan tingkat konsentrasi ion hidrogen yang ada dalam perairan. Hasil pengukuran pH yaitu 6,3-7,2. Menurut Sunu (2001), air dapat bersifat asam atau basa tergantung pada besar kecilnya pH air atau besarnya konsentrasi ion hidrogen di dalam air. Air normal yang memenuhi syarat untuk suatu kehidupan mempunyai pH antara 6,5-7,5. Untuk air minum sebaiknya memiliki pH antara 6,5-8,5. Air yang mempunyai pH lebih kecil dari pH normal akan bersifat asam, sedangkan air yang mempunyai pH lebih besar dari pH normal akan bersifat basa.

Nilai BOD merupakan salah satu indikator pencemaran dalam suatu perairan. Nilai BOD pada setiap stasiun berada pada kisaran 2,5-3,3 mg/L. Menurut Sukadi (1999), pemeriksaan BOD diperlukan untuk menentukan beban pancemaran akibat air limbah dan untuk merancang sistem pengolahan biologis bagi air yang tercemar. Nilai BOD menunjukkan jumlah oksigen yang diperlukan oleh mikro pada waktu melakukan penguraian hampir semua bahan organik yang terlarut dan sebagian yang terlarut. Dalam penguraian bahan organik, apabila tersedia oksigen terlarut dalam jumlah yang cukup, maka proses penguraian akan berlangsung dalam suasana aerobik sampai semua bahan organik terkonsumsi.

Nitrat memiliki peranan yang cukup penting juga bagi kehidupan ikan. Nitrat yang diukur di setiap stasiun berada pada kisaran 0,18-0,233 mg/L. Nilai nitrat tertinggi terdapat pada stasiun 1 hal ini dapat disebabkan karena stasiun ini dekat dengan area pertanian sehingga sisa pembuangan pupuk pertanian terbawa oleh arus sungai dan dinetralisir oleh hujan. Menurut Chu (1943) dalam Herawati (2008), alga khususnya fitoplankton dapat tumbuh optimal pada kandungan nitrat sebesar 0,009-3,5 mg/L. Posfat yang diukur di setiap stasiun memiliki kisaran 0,007-0,14 mg/L. Menurut Joshimura (1975) dalam Herawati (2008), fosfor biasanya muncul dengan konsentrasi yang sedikit di dalam perairan alami karena besarnya mobilitas, meskipun konsentrasi fosfat total pada perairan alami berkisar antara 0,01-200 mg/L.


(38)

4.3 Nilai Analisis Korelasi Pearson

Analisis korealasi Pearson diperoleh dengan menganalisis hubungan keanekaragaman dan faktor fisik-kimia perairan Sungai Asahan menggunakan metode Pearson. Nilai indeks korelasi (r) dapat dilihat pada tabel 7 berikut ini. Tabel 7. Nilai Korelasi Pearson antara Keanekaragaman Ikan Dengan Sifat

Fisik-Kimia Perairan Sungai Asahan

No Parameter Nilai Korelasi (r)

A Parameter Fisika

1 Suhu +0,116

2 Kecepatan Arus +0,349

3 Intensitas Cahaya +0,987

4 Penetrasi Cahaya +0,756

B Parameter Kimia

5 Oksigen Terlarut (DO) -0,699

6 Kejenuhan Oksigen -0,800

7 Derajat Keasaman (pH) +0,123

8 BOD5 0,735

9 Nitrat (NO3-N) -0,471

10 Posfat (PO4) -0,593

Berdasarkan Tabel 7 dapat dilihat bahwa uji analisis korelasi pearson antara faktor fisik-kimia dengan indeks keanekaragaman (H‟) berbeda tingkat dan arah korelasinya. Nilai (+) menunjukkan korelasi yang searah antara nilai faktor fisik kimia perairan dengan nilai indeks keanekaragaman. Hal ini berarti bahwa semakin besar nilai parameter fisik kimia tersebut, maka akan meningkatkan nilai indeks keanekaragaman pada batas toleransi yang masih dapat di tolerir. Nilai (-) menunjukkan korelasi yang berlawanan antara nilai faktor fisik kimia perairan dengan nilai indeks keanekaragaman, dalam arti bahwa semakin tinggi nilai faktor fisik kimia maka akan semakin rendah nilai indeks keanekaragaman pada kondisi yang masih dapat ditolerir. Berdasarkan hasil uji korelasi pada Tabel 7 faktor fisik kimia yang berkolerasi kuat adalah penetrasi cahaya, oksigen terlarut, kejenuhan oksigen, dan posfat yaitu berkisar 0,621-0,784. Nilai kecepatan arus berpengaruh sangat kuat terhadap keanekaragaman ikan yaitu 0,913. Sedangkan nilai suhu, intensitas cahaya, BOD, pH, dan nitrat kurang mempengaruhi keanekaragaman ikan di Sungai Asahan yaitu berkisar 0,139-0,474.


(39)

Nilai kecepatan Arus berpengaruh sangat kuat terhadap keanekaragaman ikan, sedangkan penetrasi cahaya, oksigen terlarut, kejenuhan oksigen, dan posfat berpengaruh kuat terhadap keanekaragaman ikan.

Kecepatan arus berpengaruh terhadap distribusi ikan. Ikan adalah hewan aktif bergerak untuk mencari makan. Arus sebagai faktor pembatas mempunyai peranan sangat penting dalam perairan, baik pada ekositem lotic (mengalir) maupun ekosistem lentic (menggenang) karena arus berpengaruh terhadap distribusi organisme, gas-gas terlarut dan mineral yang terdapat di dalam air.

Penetrasi cahaya berperan dalam menentukan keberadaan ikan. Apabila penetrasi cahaya cukup tinggi hingga mencapai dasar perairan maka ketersediaan oksigen hingga dasar perairan cukup baik. Sehingga ikan dapat berada pada bagian permukaan maupun dasar perairan dan menyebabkan berbagai jenis ikan dapat hidup di setiap bagian perairan.

Kandungan oksigen terlarut (DO) berperan dalam menentukan keberadaan ikan. Toleransi terhadap tingginya kelarutan oksigen dalam air berpengaruh besar dalam aktivitas fisiologi ikan. Apabila kelarutan oksigen tinggi maka pertumbuhan ikan akan semakin maksimal. Menurut Raharjo et al., (2011), kelarutan oksigen optimum atau yang tidak dapat ditoleransi bervariasi bergantung pada jenis ikan, umumnya 4-12 ppm dapat diterima ikan. ikan memijah di air mengalir dan dingin memerlukan oksigen terlarut yang lebih tinggi daripada ikan yang memijah di air tergenang atau berarus lambat.

Kejenuhan oksigen berperan dalam menentukan pertumbuhan dan keanekaragaman ikan. Apabila kondisi kejenuhan oksigen baik atau mencapai 100 % maka jumlah oksigen terlarut mencapai hasil maksimum yang mengindikasikan bahwa kualitas airnya baik untuk pertumbuhan ikan.

Posfat berperan dalam menentukan kesuburan perairan karena posfat dapat digunakan oleh tumbuhan air termasuk alga dan fitoplankton sebagai bahan dasar fotosintesis dan untuk pertumbuhannya dalam perairan. Tumbuhan air termasuk sebagian makanan alami untuk serangga dan ikan.


(40)

BAB 5

KESIMPULAN DAN SARAN

5.1. Kesimpulan

Kesimpulan dari penelitian ini adalah:

a. Ikan yang diperoleh pada keempat stasiun diklasifikasikan sebanyak 3 ordo, 5 famili dan 10 spesies. Spesies-spesies yang diperoleh adalah Belontia hasselti, Channa sriata, Labiobarbus festivus, Puntius orphoides, osteochilus vittatus, Notopterus-notopterus, Barbodes schwanenfeldii, Osphronemus goramy, osteochilus wandersii, mystacoleucus marginatus. Kepadatan ikan berkisar 0,21-0,348. Indeks keanekaragaman ikan berkisar 1,37-1,76 (tergolong rendah).

b. Oksigen terlarut, kejenuhan oksigen, penetrasi cahaya dan posfat memiliki nilai korelasi kuat terhadap keanekaragaman ikan. Kecepatan arus berpengaruh sangat kuat terhadap keanekaragaman ikan di Sungai Asahan. 5.2 Saran

Saran untuk penelitian ini adalah perlunya dilakukan penelitian lebih lanjut terhadap bioreproduksi ikan Labiobarbus festivus ini merupakan ikan yang mendominasi di sungai asahan.


(41)

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Ekosistem Sungai

Sungai adalah salah satu habitat perairan air tawar yang berasal dari air hujan pada suatu alur yang panjang diatas permukaan bumi, dan merupakan salah satu badan air lotik yang utama, yaitu badan sungai dengan air yang mengalir (lotik) dan badan sungai dengan air tidak mengalir (lentik). Sungai juga merupakan suatu perairan terbuka yang memiliki arus, perbedaan gradien lingkungan, serta masih dipengaruhi daratan. Sungai memiliki beberapa ciri antara lain: memiliki arus, resident time (waktu tinggal air), organisme yang ada memiliki adaptasi biota khusus, substrat umumnya berupa batuan, kerikil, pasir dan lumpur, tidak terdapat stratifikasi suhu dan oksigen, serta sangat mudah mengalami pencemaran dan mudah pula menghilangkannya (Odum, 1996).

Sungai mempunyai komponen yang saling berinteraksi membentuk ekosistem yang saling mempengaruhi. Komponen ekosistem sungai akan berintegrasi satu sama lainnya membentuk suatu aliran energi yang mendukung stabilitas ekosistem tersebut (Junaidi et al., 2009). Aliran air melintasi permukaan bumi dan membentuk alur aliran sungai atau morfologi sungai tertentu. Morfologi sungai tersebut menggambarkan keterpaduan antara karakteristik (fisik, hidrologi, hidraulika, sedimen dan lain-lain) dan karakteristik (biologi atau ekologi termasuk flora dan fauna) daerah yang dilaluinya. Pengaruh campur tangan manusia dapat mengaibatkan perubahan morfologi sungai yang jauh lebih cepat daripada pengaruh alamiah biotik saja (Maryono, 2005)

Ekosistem lotik/sungai dibagi menjadi beberapa zona dimulai dengan zona krenal (mata air) yang umumnya terdapat di daerah hulu. Zona krenal dibagi menjadi rheokrenal, yaitu mata air yang berbentuk air terjun biasanya terdapat pada tebing-tebing yang curam, limnokrenal, yaitu mata air yang membentuk genangan air yang selanjutnya membentuk aliran sungai yang kecil dan helokrenal, yaitu mata air yang membentuk rawa-rawa. Berdasarkan keberadaan air, sungai dapat disebut sebagai sungai permanen yaitu sungai yang berair


(42)

sepanjang tahun, sungai intermiten, yaitu sungai yang berair di musim hujan dan kering di musim kemarau serta sungai episodik yaitu sungai yang hanya berair pada saat terjadi hujan saja (Barus, 2004).

2.2. Ekologi Ikan

Ikan merupakan hewan vertebrata dan dimasukkan ke dalam filum Chordata yang hidup dan berkembang di dalam air dengan menggunakan insang. Ikan mengambil oksigen dari lingkungan air disekitarnya. Ikan juga mempunyai anggota tubuh berupa sirip untuk menjaga keseimbangan dalam air sehingga ia tidak tergantung pada arus atau gerakan air yang disebabkan oleh angin (Sumich, 1992).

Penyebaran suatu organisme tergantung pada tanggapannya terhadap faktor lingkungan. Organisme yang dapat hidup pada selang faktor lingkungan yang lebar (euri), cenderung akan tersebar luas pula di permukaan bumi ini, sebaliknya jenis organisme yang hanya dapat hidup pada selang faktor lingkungan yang sempit (steno) penyebarannya sangat terbatas. Penyebaran organisme ditentukan oleh pola penyebarannya. Organisme yang tersebar sangat luas umumnya pola penyebarannya berkelompok atau beraturan (Suin, 2002).

Menurut Myers (1951) dalam Rahardjo et al., (2011), ikan yang ditemukan di perairan air tawar secara garis besar dipisahkan dalam enam kelompok yaitu:

a. Ikan primer adalah kelompok ikan yang tidak atau sedikit bertoleransi terhadap air laut misalnya Cyprinidae dan Clariidae. Air asin bertindak sebagai pembatas distribusi ikan.

b. Ikan sekunder adalah kelompok ikan yang sebarannya terbatas pada perairan air tawar tetapi cukup bertoleransi terhadap salinitas, sehingga mereka dapat masuk ke laut dan kadang kala melintasi hambatan air asin misalnya Cichlidae. c. Ikan diadromus adalah kelompok ikan yang secara reguler beruaya antara

perairan tawar dan perairan laut, misalnya Sidat dan Salmon.

d. Ikan vicarious adalah kelompok ikan laut yang bukan peruaya yang hidup di perairan tawar misalnya Burbot (Lota).


(43)

e. Ikan komplementer adalah kelompok ikan laut peruaya yang mendominasi habitat tawar bila tidak ada ikan primer dan sekunder misalnya belanak dan Obi.

f. Ikan sporadik adalah kelompok ikan yang kadangkala masuk perairan atau yang dapat hidup dan memijah di antara salah satu perairan misalnya belanak. 2.3. Karakteristik Ikan

Ikan merupakan vertebrata akuatik dan bernafas dengan insang. Beberapa jenis ikan bernafas melalui alat tambahan berupa modifikasi gelembung renang/ gelembung udara. Otak ikan terbagi menjadi regioregio yang dibungkus dalam kranium (tulang kepala) dan berupa kartilago (tulang rawan) atau tulang menulang. Bagian kepala ikan terdiri atas sepasang mata, mulut yang disokong oleh rahang, telinga yang hanya terdiri dari telinga dalam dan berupa saluran-saluran semisirkular sebagai organ keseimbangan. Ikan memiliki jantung yang berkembang dengan baik. Sirkulasinya menyangkut aliran seluruh darah dari jantung melalui insang lain ke seluruh bagian tubuh lain (Brotowidjoyo, 1995).

Rahardjo et al., (2011) menyatakan pada bagian tubuh ikan terdapat beberapa sirip tapi tidak semua ikan memiliki sirip yang lengkap. Ada 5 tipe sirip pada tubuh ikan yaitu:

a. Sirip ventral, berperan sebagai alat penyeimbang agar posisi ikan stabil. Pada beberapa ikan penghuni dasar perairan sirip ventralnya berubah bentuk menjadi semacam alat yang digunakan untuk mencengkram substrat dan sebagai alat penyalur sperma.

b. Sirip pektoral mempunyai bentuk yang beragam. Pada ikan perenang cepat seperti ikan tuna sirip pektoral cenderung panjang dan meruncing. Sebaliknya pada ikan yang geraknnya lambat sirip cenderung membundar.

c. Sirip dorsal mempunyai banyak variasi. Sirip dorsal yang memanjang ditemukan pada ikan gabus.

d. Sirip anal pada beberapa ikan letaknya memanjang seperti pada bawal hitam. Sirip anal menyatu dengan sirip kaudal yang ditemukan pada ikan belida. Pada ikan seribu jantan sirip anal berubah menjadi gonopodium yang berfungsi sebagai penyalur sperma.


(44)

e. Sirip kaudal berperan dalam gerak berenang sebagai pendorong dan sekaligus berfungsi sebagai kemudi untuk berbelok ke kiri atau ke kanan. Sirip ekor mempunyai berbagai bentuk, yakni: bundar, berpinggiran tegak, berbentuk tunggal, bulan sabit, seperti garpu, baji dan berlekuk ganda.

Selain itu ikan juga memiliki ciri khas, terutama cara perkembangan yang kebanyakan bertelur (ovivar), tapi beberapa jenis diantara ikan-ikan tersebut ada juga yang menghasilkan anak yang menetas ketika masih berada dalam tubuh induknya (ovovipar), dan ada juga yang melahirkan anak berupa individu-individu baru (vivipar) seperti julung-julung (Hemirhampohodon pogonognathus) yang bersifat vivipar yang kemudian bunting yang terus menerus dan melahirkan individu baru (Effendi, 1997).

2.4. Penggolongan Ikan

Eschmeyer (1998), membagi ikan menjadi enam kelas yaitu:

a. Kelas Myxini memiliki ciri-ciri bentuk seperti ular, tidak mempunyai tulang belakang (vertebra), tidak mempunyai rahang mata rudimenter. Tidak ada sirip berpasangan dan tidak ada sirip dorsal. Bertulang rawan, lubang hidung pada bagian kepala. Nostril di bagian depan kepala. Terdapat 5-15 kantung insang pada setiap sisi. Sistem garis sisi mengalami degenerasi. Semua anggota kelas Myxini hidup di laut, sebagian besar di zona intertidal pada dasar berlumpur lunak dan berpasir.

b. Kelas Cephalaspidomorphi memiliki ciri-ciri bentuk seperti ular. Vertebrae terdiri atas tulang rawan. Ikan ini tidak mempunyai rahang. Mata berkembang baik. Nostril di bagian atas kepala, tidak ada lengkung insang sejati untuk menyokong dan melindungi insang, dan sebagai gantinya terdapat suatu kantung yang terletak di luar insang, arteri insang dan saraf terletak di dalamnya, satu lubang hidung. Sirip berpasangan tidak ada. Sirip dorsal satu atau dua. Usus bersilia. Telur kecil dengan kait. Salah satu spesies ikan anggota kelas ini adalah ikan lamprey (Lampreta planeri, Petromyzon marinus)

c. Kelas Holocephali ikan ini umum disebut sebagai ratfish karena ekornya yang ramping dan memanjang serta kepala yang meruncing memberikan gambaran seperti tikus. Rahang atas menyatu dengan kranium. Jumlah insang ada empat


(45)

pasang dan celah insang satu pasang. Tanpa sisik pada ikan dewasa. Tidak punya spirakel dan tidak ada kloaka. Ikan yang jantan mempunyai alat penyalur sperma disebut tenakulum, yang terletak di kepala bagian depan. Kelas Holocephali hanya terdiri atas satu ordo, yaitu Chimaeriformes. Salah satu anggotanya ialah Chimaera monstrosa L.

d. Kelas Elasmobranchii ikan ini mempunyai rahang. Jumlah insang dan celah insang berkisar antara 5-7 pasang, yang setiap pasangnya mempunyai sekat pelat insang. Spirakel terletak di depan celah insang. Ikan mempunyai sirip yang berpasangan. Terdapat sepasang nostril (dirhinous). Bersisik plakoid atau tidak bersisik. Ikan jantan biasanya mempunyai alat penyalur sperma yang dinamakan klasper (miksopterigium). Bentuk sirip ekor tidak simetris (heteroserkal).

e. Kelas Sarcopterygii sebagian dari kelas ini sudah punah dan tinggal fosil. Salah satu anggota kelas ini adalah coelacanth yang berupa fosil dan diperhitungkan hidup pada kurun waktu antara masa pertengahan Devonian (350 juta tahun yang lalu) sampai akhir Cretaceous (66 juta tahun yang lalu).

f. Kelas Actinopterygii merupakan kelas yang dominan di bumi. Sekitar 44% dari jumlah spesies tersebut adalah ikan air tawar. Kelas ini mempunyai ciri-ciri lengkung insang merupakan tulang sejati, yang terletak di bagian tengah insang, mengandung arteri dan saraf. notokorda seperti rangkaian manik, atau seperti manik-manik yang terpisah mempunyai rahang (maksila dan premaksila) rangka terdiri atas tulang sejati. mempunyai sirip yang berpasangan (sirip dada dan sirip perut) mempunyai sepasang lubang hidung mempunyai sisik yang umumnya bertipe sikloid dan stenoid, tetapi ada juga yang bersisik tipe ganoid dan beberapa kelompok tanpa sisik biasanya mempunyai gelembung gas tidak ada kloaka.

2.5. Faktor Fisik Kimia Air

Kualitas air sungai dapat mempengaruhi kehidupan biota dalam ekosistem tersebut. Sifat-sifat fisika dan kimia yang berpengaruh terhadap kehidupan ikan. Dalam studi ekologi, pengukuran faktor lingkungan abiotik penting dilakukan. Dengan dilakukannya pengukuran faktor lingkungan abiotik, maka akan dapat


(46)

diketahui faktor yang besar pengaruhnya terhadap keberadaan dan kepadatan populasi. Faktor lingkungan abiotik secara garis besarnya dapat dibagi atas faktor iklim, fisika, dan kimia (Suin, 2002).

2.5.1. Faktor Fisika Perairan Sungai 2.5.1.1 Arus Sungai

Arus air merupakan pergerakan massa air dari daerah yang tinggi ke daerah yang rendah sesuai dengan sifat air. Perpindahan air sangatlah penting dalam penentuan penyebaran plankton, gas terlarut dan garam-garaman juga mempengaruhi perilaku organisme kecil. Arus sungai yang terlalu cepat tentunya juga akan mempengaruhi pergerakan ikan dan pemijahan. Pemijahan memerlukan arus yang tenang dimana banyak tumbuh tanaman air. Derasnya arus sungai akan mempengaruhi jumlah fertilitas ikan (Nurudin, 2013).

Kecepatan arus air permukaan tidak sama dengan air bagian bawah. Semakin ke bawah gerakan air biasanya semakin lambat dibandingkan dengan di bagian permukaan. Perbedaan kecepatan arus antar kedalaman menyebabkan tampak bentuk antara organisme air pada kedalaman yang berbeda tidak sama. Kecepatan arus air dapat diukur dengan beberapa cara, mulai dengan cara yang paling sederhana sampai dengan alat yang khusus untuk itu, yaitu dengan meteran arus buatan pabrik (Suin, 2002).

2.5.1.2. Suhu Air Sungai

Suhu merupakan faktor lingkungan yang utama pada perairan karena merupakan faktor pembatas terhadap pertumbuhan dan penyebaran hewan (Michael, 1994). Secara umum kenaikan temperatur perairan akan mengakibatkan kenaikan aktivitas fisiologis organisme. Menurut Hukum Van‟t Hoffs kenaikan suhu sebesar 10oC (Hanya pada kisaran suhu yang masih ditolerir) akan meningkatkan aktivitas fisiologis (misalnya respirasi) dari organisme sebesar 2-3 kali lipat. Pola suhu ekosistem akuatik dipengaruhi oleh berbagai faktor seperti intensitas cahaya matahari, pertukaran panas antara air dengan udara sekelilingnya dan juga oleh faktor kanopi (penutupan oleh vegetasi) dari pepohonan yang tumbuh di tepi (Brechm & Meijering 1990 dalam Barus 1996).


(47)

2.5.1.3. Kecerahan Air Sungai

Menurut Barus (2004) , faktor cahaya matahari yang masuk ke dalam air akan mempengaruhi sifat optis dari air. Sebagian cahaya matahari tersebut akan diabsorbsi dan sebagian lagi akan dipantulkan ke luar permukaan air. Dengan bertambahnya kedalaman lapisan air intensitas cahaya tersebut akan mengalami perubahan yang signifikan baik secara kualitatif maupun kuantitatif. Cahaya gelombang pendek merupakan yang paling kuat mengalami pembiasan yang menyebabkan kolam air yang jernih akan terlihat berwarna biru dari permukaan. Pada lapisan dasar, warna air akan berubah menjadi hijau kekuningan, karena intensitas dari warna ini paling baik ditransmisi dalam air sampai ke lapisan dasar. Kondisi optik dalam air selain dipengaruhi oleh intensitas cahaya matahari juga oleh berbagai substrat dan benda lain yang terdapat di dalam air, misalnya oleh plankton dan humin yang terlarut dalam air. Vegetasi yang ada di sepanjang aliran air juga dapat mempengaruhi intensitas cahaya yang masuk ke dalam air, karena tumbuh-tumbuhan tersebut juga mempunyai kemapuan untuk mengabsorbsi cahaya matahari.

Pengukuran kecerahan air dengan keping secchi didasarkan pada batas pandangan ke dalam air untuk melihat warna putih yang berada dalam air. Semakin keruh suatu badan air akan semakin dekat batas pandangan, sebaliknya kalau air jernih akan jauh batas pandangan tersebut (Suin, 2002).

2.5.2. Faktor Kimia Perairan

2.5.2.1. Kelarutan Oksigen (Dissolved Oxygen)

Oksigen terlarut merupakan kebutuhan dasar untuk kehidupan tanaman dan hewan dalam air. Kehidupan makhluk hidup di dalam air tersebut tergantung dari kemampuan air untuk mempertahankan konsentrasi oksigen yang dibutuhkan untuk kehidupan (Fardiaz, 1992).

Oksigen terlarut juga merupakan faktor penting dalam menetukan kualitas air, karena air yang polusi organiknya tinggi memiliki oksigen terlarut yang sangat sedikit. Ikan merupakan makhluk air yang menentukan oksigen tertinggi, kemudian invertebrata dan yang terkecil adalah bakteri. Barus (1996) menyatakan Bahwa kelarutan maksimum oksigen pada perairan tercapai pada temperatur 00C


(48)

yaitu sebesar 14,16 mg/l oksigen Konsentrasi ini akan menurun sejalan dengan meningkatnya temperatu r.

Gas-gas yang terlarut dalam air merupakan faktor yang berpengaruh terhadap perkembangan embrio ikan. Kelarutan oksigen optimum atau yang tidak dapat ditoleransi bervariasi bergantung pada jenis ikan, umumnya 4-12 ppm dapat diterima oleh ikan. Ikan biasa memijah di air mengalir dan dingin memerlukan oksigen terlarut lebih tinggi daripada ikan yang biasanya memijah di air tergenang (stagnan) atau berarus lambat (Rahardjo et al., 2011).

2.5.2.2. Biochemical Oxygen Demand (BOD)

Biochemical Oxygen Demand (BOD) atau kebutuhan oksigen biologis adalah jumlah oksigen yang dibutuhkan oleh mikroorganisme di dalam memecah bahan organik. Penguraian organik melalui proses oksidasi oleh mikroorganisme di dalam air lingkungan merupakan proses alamiah yang mudah terjadi apabila air lingkungan mengandung oksigen yang cukup. Nilai BOD dapat dinyatakan sebagai jumlah oksigen yang diperlukan oleh mikroorganisme aerobik dalam proses penguraian senyawa organik. Penguraian bahan buangan organik melalui proses oksidasi oleh mikroorganisme di dalam air lingkungan adalah proses alamiah yang mudah terjadi apabila air lingkungan mengandung oksigen yang cukup (Wardhana (1995) dalam Fitra (2008)).

2.5.2.3. Nilai pH

Organisme air dapat hidup dalam suatu perairan yang mempunyai nilai pH netral dengan kisaran antara asam lemah sampai basa lemah. Nilai pH yang ideal bagi kehidupan organisme air pada umumnya terdapat antara antara 7 sampai 8,5. Kondisi perairan yang bersifat sangat asam maupun sangat basa akan membahayakan kelangsungan hidup organisme karena akan menyebabkan terjadinya gangguan metabolisme dan dan respirasi. Disamping itu pH yang sangat rendah akan menyebabkan mobilitas berbagai senyawa logam berat terutama ion aluminium (Barus, 2004).


(49)

2.5.2.4. Kandungan Nitrat dan Pospat

Unsur hara yang penting di perairan adalah nitrogen dan fosfor. Nitrogen di perairan berada dalam bentuk nitrogen bebas, nitrat, nitrit, ammonia, dan ammonium. Unsur fosfor dapat ditemukan dalam bentuk senyawa organik yang terlarut (ortofosfat dan folifosfat) dan senyawa organik yang berupa partikulat. Sumber nitrogen yang dapat dimanfaatkan secara langsung oleh tumbuhan adalah nitrat dan amonia yang merupakan sumber utama nitrogen di perairan. Kadar nitrat di perairan tidak tercemar biasanya lebih tinggi daripada kadar amoniak. Nitrat adalah bentuk utama dari nitrogen di perairan alami dan merupakan nutrien utama bagi pertumbuhan tanaman dan alga. Nitrat nitrogen sangat mudah larut dalam air dan bersifat stabil, sedangkan nitrit biasanya ditemukan dalam jumlah yang sangat sedikit di perairan karena bersifat tidak stabil terhadap keberadaan oksigen. Senyawa nitrat dapat dihasilkan dari proses oksidasi sempurna senyawa nitrogen di perairan (Effendi 1997).

Dalam kondisi di mana konsentrasi oksigen terlarut sangat rendah dapat terjadi proses kebalikan dari nitrifikasi yaitu proses denitrifikasi yang dapat membentuk amonium/amoniak melalui proses Amonifikasi nitrat. Posfat juga merupakan unsur penting. Posfat dapat berasal dari sedimen yang selanjutnya akan terfiltarasi dalam air tanah dan akhirnya masuk ke dalam sistem perairan terbuka dan selain itu juga dapat berasal dari atmosfter bersama air hujan (Barus, 2004).


(50)

BAB 1 PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Sungai Asahan merupakan salah satu sungai terbesar di Sumatera Utara, Indonesia. Sungai ini mengalir dari mulut Danau Toba, melintasi Kota Tanjung Balai dan berakhir di Teluk Nibung, Selat Malaka. Daerah ini dibatasi oleh kontur ketinggian yang mengelilingi danau dan melintasi desa Porsea di mana sungai Asahan sepanjang 150 km mengalirkan air keluar dari Danau Toba (Loebis, 1999).

Sungai termasuk salah satu wilayah perairan tawar yang penting. Menurut Sumarti (1996) dalam Patriono (2007) sungai merupakan suatu ekosistem yang mempunyai keanekaragaman organisme yang sangat kompleks, banyak terdapat tumbuhan air, hewan avertebrata dan ikan yang telah beradaptasi dengan habitat tertentu. Dua fungsi utama sungai di alam yaitu untuk mengalirkan air dan mengangkut sedimen hasil erosi pada DAS dan alurnya dimana kedua fungsi ini berlangsung secara bersamaan dan saling mempengaruhi (Mulyanto, 2007).

Sungai asahan saat ini dimanfaatkan oleh masyarakat sekitar untuk berbagai aktifitas seperti penambangan pasir, pemukiman, industri (pabrik perkebunan Kelapa sawit PTPN IV). Akibat adanya aktivitas masyarakat di sepanjang Sungai Asahan diduga telah menyebabkan kondisi perairan terganggu dan mempengaruhi stabilitas ekosistem perairan sungai tersebut serta mengancam keberadaan biota yang hidup di Sungai Asahan khususnya ikan. Kehidupan organisme sangat tergantung pada faktor lingkungan baik lingkungan biotik dan abiotik. Menurut Anwar (2008) Kondisi perairan sangat menentukan kelimpahan dan penyebaran organisme di dalamnya, akan tetapi setiap organisme memiliki kebutuhan dan preferensi lingkungan yang berbeda untuk hidup yang terkait dengan karakteristik lingkungannya. Dalam studi ekologi pengukuran faktor lingkungan abiotik secara garis besarnya dapat dibagi atas faktor iklim, fisik dan kimia. Faktor fisik seperti oksigen terlarut, pH, alkalinitas, kesadahan, BOD,


(51)

sedangkan faktor lingkungan biotik bagi organisme adalah organisme lain yang juga terdapat di habitatnya serta predatornya (Suin, 2002).

Menurut Simanjuntak (2012), penelitian yang dilakukan di bagian hulu sungai Asahan keragaman ikan di Sungai Asahan termasuk tinggi. Ikan yang ditemukan selama penelitian berjumlah 31 spesies dari 22 genera dan 11 famili. Famili Cyprinidae umumnya paling banyak diikuti famili Balitoridae dan Clariidae. Penelitian yang dilakukan Ambarita (2009), ditemukan 4 ordo, 8 famili, 12 genera, dan 12 spesies di hulu Sungai Asahan Porsea. Penelitian yang dilakukan Simatupang (2015), ikan yang ditemukan selama penelitian berjumlah 10 Spesies, 3 ordo dan 5 famili, di Sungai Asahan, Kabupaten Toba Samosir Provinsi Sumatera Utara.

Informasi yang diperoleh dari masyarakat setempat menunjukkan bahwa hasil tangkapan ikan di sungai Asahan telah banyak mengalami penurunan, baik dalam jumlah hasil tangkapan maupun variasi jenis hasil tangkapan. Penurunan hasil tangkapan ikan di sungai Asahan diduga disebabkan oleh beberapa faktor antara lain: (1) terjadinya pencemaran air, (2) adanya penangkapan ikan secara berlebihan (over fishing), (3) terjadinya kerusakan habitat, dan (4) belum adanya upaya pengelolaan dan konservasi sumberdaya perikanan secara terpadu di sungai Asahan. Perubahan lingkungan di Sungai Asahan yang disebabkan oleh berbagai aktivitas mempengaruhi sifat fisik-kimia air dan keanekaragaman ikan di sungai Asahan Desa Puloraja tersebut. Oleh sebab itu, diperlukan penelitian tentang

“Keanekaragaman ikan dan Hubungannya dengan Faktor Fisik Kimia Air di

Sungai Asahan Desa Puloraja” yang pada saat ini belum dilakukan. 1.2. Permasalahan

Sungai Asahan merupakan sungai yang banyak digunakan oleh masyarakat sekitarnya dalam berbagai keperluan. Banyak aktivitas yang dilakukan oleh masyarakat di Sungai Asahan seperti mandi, cuci, kegiatan penambangan pasir, dan pembuangan limbah pabrik kelapa sawit PTPN IV. Adanya berbagai aktivitas tersebut menyebabkan terjadi perubahan sifat fisik-kimia air dan keberadaan ikan di sungai tersebut.


(52)

Oleh sebab itu perlu diteliti bagaimana keanekaragaman ikan dan hubungannya dengan faktor fisik-kimia air di sungai Asahan Desa Puloraja, Kabupaten Asahan, Sumatera Utara

1.3.Tujuan

Adapun tujuan dari penelitian ini adalah:

a. Untuk menganalisis keanekaragaman ikan di Sungai Asahan Desa Puloraja, Kabupaten Asahan, Sumatera Utara.

b. Untuk menganalisis hubungan antara keanekaragaman ikan dan faktor fisik kimia air di sungai Asahan Desa Puloraja, Kabupaten Asahan, Sumatera

utara. 1.4. Manfaat

Adapun manfaat dari penelitian ini adalah:

a. Memberi informasi mengenai keanekaragaman ikan di Sungai Asahan Desa Puloraja, Kabupaten Asahan, Sumatera Utara.

b. Sebagai sumber informasi bagi penduduk dan pihak-pihak yang ingin melakukan analisis lebih lanjut mengenai Keanekaragaman Ikan di Sungai Asahan Desa Puloraja, Kabupaten Asahan, Sumatera Utara.


(53)

iv

KEANEKARAGAMAN IKAN DAN HUBUNGANNYA

DENGAN FAKTOR FISIK-KIMIA DI SUNGAI ASAHAN

DESA PULORAJA, KABUPATEN ASAHAN,

PROVINSI SUMATERA UTARA

ABSTRAK

Penelitian ini telah dilakukan di Sungai Asahan, Desa Puloraja pada bulan April 2016. Penentuan titik lokasi penelitian menggunakan metode “Purposive

Sampling” dengan menentukan 4 stasiun berdasarkan aktivitas masyarakat di

sungai tersebut. Ada sepuluh spesies ikan yang ditemukan di lokasi penelitian yang diklasifikasikan kedalam 3 ordo (Cypriniformes, Osteoglossiformes, Perciformes) dan 5 famili (Cyprinidae, Belontidae, Channidae, Notopteridae, Osphronemidae). Kepadatan tertinggi ditemukan pada stasiun 1 dengan nilai 0,348 ind/m2 dan terendah pada stasiun 3 dengan nilai 0,2 ind/m2. Indeks keanekaragaman dari keempat stasiun tergolong rendah yaitu berkisar 1,37-1,76. Berdasarkan hasil analisis korelasi pearson, nilai kecepatan arus berkorelasi sangat kuat terhadap keanekaragaman ikan di Sungai Asahan.


(54)

FISH DIVERSITY AND ITS CORRELATION TO WATER

PHYSICO-CHEMICAL FAKTORCS IN ASAHAN RIVER,

PULORAJA VILLAGE, REGENCY OF ASAHAN,

NORTH SUMATRA

ABSTRACT

This study has been conducted at Asahan river, Puloraja Village on during April 2016. Purpossive sampling method was used to Determine four stations of the research based on community activities at the river. The research found ten genera of fishes, classified into three orders (Cypriniformes, Osteoglossiformes, Perciformes) and five families (Cyprinidae, Belontidae, Channidae, Notopteridae, Osphronemidae). The highest density was found at 1st station with the value of 0.348 ind /m2 and the lowest was found at 3rd station with the value of 0.2 ind /m2. Diversity index from all stations were low which ranges from 1.37 to 1.76. Pearson correlation analysis indicated that only stream velocity value are strongly correlated with the diversity of fishes in Asahan river.


(55)

DESA PULORAJA, KABUPATEN ASAHAN,

PROVINSI SUMATERA UTARA

SKRIPSI

OLEH:

MEI MINDUANA MANIK 120805063

DEPARTEMEN BIOLOGI

FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN 2016


(56)

DESA PULORAJA, KABUPATEN ASAHAN,

PROVINSI SUMATERA UTARA

SKRIPSI

Diajukan untuk melengkapi tugas dan memenuhi syarat mencapai gelar Sarjana Sains

OLEH:

MEI MINDUANA MANIK 120805063

DEPARTEMEN BIOLOGI

FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN 2016


(57)

i

PERSETUJUAN

Judul : Keanekaragaman Ikan dan Hubungannya

Dengan Faktor Fisik-Kimia Di Sungai Asahan Desa Puloraja Kabupaten Asahan Provinsi Sumatera Utara.

Kategori : Skripsi

Nama : Mei Minduana Manik

Nomor Induk Mahasiswa : 120805063

Program Studi : Sarjana (S1) Biologi

Departemen : Biologi

Fakultas : Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Sumatera Utara

Disetujui di Medan, November 2016 Komisi Pembimbing:

Pembimbing 2 Pembimbing 1

Dr. Hesti Wahyuningsih, M.Si Prof. Dr. Ing. Ternala A. Barus, M.Sc NIP. 10691018994122002 NIP. 195810161987031003

Disetujui oleh

Departemen Biologi FMIPA USU Ketua

Dr. Nursahara Pasaribu, M.Sc NIP. 196301231990032001


(58)

PERNYATAAN

KEANEKARAGAMAN IKAN DAN HUBUNGANNYA

DENGAN FAKTOR FISIK-KIMIA DI SUNGAI ASAHAN

DESA PULORAJA, KABUPATEN ASAHAN,

PROVINSI SUMATERA UTARA

SKRIPSI

Saya mengakui bahwa skripsi ini adalah hasil karya sendiri. Kecuali beberapa kutipan dan ringkasan yang masing- masing disebutkan sumbernya.

Medan, November 2016

Mei Minduana Manik 120805063


(1)

FISH DIVERSITY AND ITS CORRELATION TO WATER

PHYSICO-CHEMICAL FAKTORCS IN ASAHAN RIVER,

PULORAJA VILLAGE, REGENCY OF ASAHAN,

NORTH SUMATRA

ABSTRACT

This study has been conducted at Asahan river, Puloraja Village on during April 2016. Purpossive sampling method was used to Determine four stations of the research based on community activities at the river. The research found ten genera of fishes, classified into three orders (Cypriniformes, Osteoglossiformes, Perciformes) and five families (Cyprinidae, Belontidae, Channidae, Notopteridae, Osphronemidae). The highest density was found at 1st station with the value of 0.348 ind /m2 and the lowest was found at 3rd station with the value of 0.2 ind /m2. Diversity index from all stations were low which ranges from 1.37 to 1.76. Pearson correlation analysis indicated that only stream velocity value are strongly correlated with the diversity of fishes in Asahan river.


(2)

vi DAFTAR ISI Halaman PERSETUJUAN PERNYATAAN PENGHARGAAN i ii iii

ABSTRAK iv

ABSTRACT v

DAFTAR ISI vi

DAFTAR TABEL viii

DAFTAR GAMBAR ix

DAFTAR LAMPIRAN x

BAB 1. PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang 1

1.2 Perumusan Masalah 2

1.3 Tujuan 3

1.4 Manfaat 3

BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Ekosistem Sungai 4

2.2 Ekologi Ikan 5

2.3 Karakteristik Ikan 6

2.4 Penggolongan Ikan 2.5 Faktor Fisik-Kimia Air

7 8

2.5.1 Faktor Fisika Perairan Sungai 9

2.5.1.1 Arus Sungai 2.5.1.2 Suhu Air Sungai 2.5.1.3 Kecerahan Air Sungai

9 9 10

2.5.2 Faktor Kimia Perairan 10

2.5.2.1 Kelarutan Oksigen (DO)

2.5.2.2 Biochemical Oxygen Demand (BOD) 2.5.2.3 Nilai pH

2.5.2.4 Kandungan Nitrat dan Pospat

10 11 11 12

BAB 3. METODE PENELITIAN

3.1 Waktu dan Tempat 13

3.2 Deskripsi Area 13

3.2.1 Stasiun 1 13

3.2.2 Stasiun 2 14

3.2.3 Stasiun 3 3.2.4 Stasiun 4

14 15

3.3 Alat dan Bahan 15


(3)

3.5 Pengukuran Faktor Fisik-Kimia Perairan 16

3.5.1Suhu 16

3.5.2 Intensitas Cahaya 16

3.5.3 Penetrasi Cahaya 16

3.5.4 Kecepatan Arus Sungai 16

3.5.5 pH 16

3.5.6 Dissolved Oxygen (DO) 17

3.5.7 Biochemical Oxygen Demand (BOD5) 3.5.8 Kejenuhan Oksigen

3.5.9 Kadar Nitrat (NO3) 3.5.10 Kadar Posfat (PO4)

17 18 18 18

3.6 Analisis Hasil 18

3.6.1 Ikan 19

3.6.2 Analisis Korelasi 20

BAB 4. Hasil dan Pembahasan

4.1 Biotik Lingkungan 21

4.1.1 Jenis Ikan yang Diperoleh 21

4.1.2 Kepadatan, Kepadatan Relatif dan Frekuensi Kehadiran Ikan

4.1.3 Indeks Keanekaragaman dan Indeks Keseragaman 4.1.4 Indeks Similaritas Ikan (IS)

27 29 30

4.2 Abiotik Lingkungan 31

4.2.1 Parameter Fisika 4.2.2 Parameter Kimia

31 32

4.3 Nilai Analisis Korelasi Pearson 34

BAB 5. KESIMPULAN DAN SARAN

5.1 Kesimpulan 36

5.2 Saran 36


(4)

viii

DAFTAR TABEL

Tabel Judul Halaman

1 Alat dan Satuan yang Dipergunakan dalam Pengukuran Faktor Fisik-Kimia Perairan

18 2

3

Jenis Ikan yang Diperoleh Pada Setiap Stasiun

Data Kepadatan (ind/m2) dan Frekuensi Kehadiran (%) Ikan pada setiap stasiun

21 28 4 Nilai Indeks Keanekaragaman (H’) dan Indeks

keseragaman (E)

29 5

6

Data Indeks Similaritas Ikan (IS) Pada Setiap Stasiun Data Pengukuran Faktor Fisik-Kimia Perairan Sungai Asahan

30 31 7 Nilai Korelasi Pearson antara Keanekaragaman Ikan

Dengan Sifat Fisik-Kimia Perairan Sungai Asahan


(5)

DAFTAR GAMBAR

Gambar Judul Halaman

1 Stasiun 1(Daerah control) 13

2 Stasiun 2 (Daerah dekat Penambangan Pasir) 14 3 Stasiun 3 (Daerah dekat Pemukiman Penduduk) 14 4 Stasiun 4 (Daerah dekat Perkebunan Kelapa Sawit) 15 5

6 7 8 9 10 11 12 13 14

Belontia hasselti Channa sriata Labiobarbus festivus Puntius orphoides Osteochilus wandersii Notopterus-notopterus Barbodes schwanenfeldii Osphronemus goramy Mystacoleucus marginatus Osteochillus vittatus

22 22 23 23 24 24 25 25 26 26


(6)

x

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran Judul Halaman

1 Peta Lokasi 41

2 Bagan Kerja Metode Winkler untuk mengukur DO 42 3

4

Bagan Kerja Metode Winkler untuk mengukur BOD5 Tabel Kejenuhan Oksigen

43 44

5 Bagan Kerja Pengukuran Nitrat (NO3) 45

6 Bagan Kerja Pengukuran Posfat (PO4) 45

7 Contoh Perhitungan 46

8 Hasil Analisis Korelasi Pearson 47

9 10

Hasil Uji Lab Nitrat (NO3) dan Posfat (PO4) Foto Kerja

48 52