Faktor Virulensi Staphylococcus aureus Identifikasi Bakteri Staphylococcus aureus

Kejadian keracunan akibat Staphylococcus aureus pada nasi jagung terjadi di Wonosobo, Jawa Tengah pada tahun 2012. Tujuh santri Pondok Pesantren Roudholuth Tholibien menjadi korban keracunan makanan tersebut, dua di antaranya meninggal. Dinas Kesehatan Wonosobo menetapkan kasus ini sebagai kejadian luar biasa KLB Finesso, 2012.

2.3.5 Faktor Virulensi Staphylococcus aureus

Staphylococcus aureus dapat menimbulkan penyakit melalui kemampuannya tersebar luas dalam jaringan dan melalui pembentukan berbagai zat ekstraseluler. Berbagai zat yang berperan sebagai faktor virulensi dapat berupa protein, termasuk enzim dan toksin seperti Katalase, Koagulase, Hemolisin, Leukosidin, Toksin eksfoliatif, Toksin Sindrom Syok Toksik TSST dan Enterotoksin Kusuma, 2009. Pada umumnya kasus keracunan makanan stafilokokal Staphylococcal gastroenteritis berkaitan dengan enzim enterotoksin yang dihasilkan oleh strain Staphylococcus aureus terutama pada makanan yang mengandung karbohidrat dan protein Kusuma, 2009; Sopandi Wardah, 2013. Enterotoksin adalah enzim yang tahan panas dan tahan terhadap suasana basa di dalam usus Kusuma, 2009. Strain enteroksigenik Staphylococcus aureus diketahui dapat menghasilkan 7 enterotoksin berbeda, yaitu A, B, C1, C2, C3, D, dan E. Enterotoksin yang mempunyai toksisitas lebih tinggi akan lebih stabil terhadap panas dan potensi toksinnya tidak rusak pada proses pengolahan pangan dengan panas Sopandi Wardah, 2013.

2.3.6 Identifikasi Bakteri Staphylococcus aureus

Identifikasi Staphylococcus aureus dapat dilakukan dengan uji morfologi, uji katalase, dan uji koagulase. Dalam Identifikasi pertama, koloni yang tumbuh kemudian dikelompokkan dan dilanjutkan pengecatan gram. Selanjutnya, bakteri gram positif bentuk kokus dilakukan uji katalase. Pada uji katalase dilakukan dengan mengambil sedikit koloni dari kultur murni PAD dan koloni diletakkan pada obyek glass yang telah ditetesi H2O2. Hasil positif ditandai adanya gelembung udara untuk membedakan Staphylococcus sp. dengan Streptococcus sp. Todar, 2005 dalam Toelle Lenda, 2014. Pada uji koagulase dilakukan dengan plasma darah kelinci Bruckler et al., 1994 dalam Toelle Lenda, 2014 dan dilanjutkan penanaman koloni pada mannitol salt agar MSA. Uji MSA dilakukan dengan cara sebagai berikut, koloni yang terdapat dalam plat agar darah PAD diambil dengan ose dan dikultur pada media MSA, kemudian diinkubasi pada suhu 37°C selama 18-24 jam. Hasil pertumbuhan koloni Staphylococcus aureus ditandai dengan perubahan warna dari merah menjadi kuning. Uji Voges Proskauer VP digunakan untuk mengetahui pembentukan acetilmetikarbinol deteksi produksi asetoin, kemudian dilanjutkan uji oksidase Todar, 2005; MacWilliams, 2012 dalam Toelle Lenda, 2014

2.4 Batas Maksimum Cemaran Mikroba BMCM pada Daging