sebagai suatu perbuatan yang sangat merugikan serta dapat merusak sendi-sendi kehidupan perekonomian suatu negara.
143
2. Tahap Kedua, Pembekuan Atau Perampasan Aset
Kesuksesan investigasi dalam melacak aset-aset yang diperoleh secara tidak sah memungkinkan pelaksanaan tahap pengembalian aset berikutnya, yaitu
pembekuan atau perampasan aset. Menurut Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa Menentang Korupsi KAK 2003, pembekuan atau perampasan berarti larangan
sementara untuk mentransfer, mengkonversi, mendisposisi atau memindah kekayaan atau untuk sementara dianggap sebagai ditaruh di bawah perwalian atau di bawah
pengawasan berdasarkan perintah pengadilan atau badan yang berwenang lainnya. Jika aset-aset yang dibekukan atau dirampas berada dalam yurisdiksi hukum negara
korban, berdasarkan perintah tersebut pembekuan atau perampasan dapat langsung dilaksanakan.
144
Jika aset-aset tersebut berada di luar yurisdiksi hukum negara korban, tetapi berada dalam yurisdiksi hukum negara lain negara penerima, pelaksanaan perintah
pembekuan dan perampasan hanya dapat dilakukan melalui otoritas yang berkompeten dari negara penerima. Ada dua kemunginan cara melaksanakan perintah
pembekuan atau perampasan dari negara korban dalam yurisdiksi hukum negara
143
I, Gusti Ketut Ariawan, Stolen Asset Recovery Initiative, Suatu Harapan Dalam Pengembalian Aset Negara,
ejournal.unud.ac.id...stolen20aset20recovery20_gst20kt20ariawan_20jan20200920w rd1.pdf , diakses terakhir tanggal 3 Maret 2011.
144
Purwaning M. Yanuar, Op.cit., hal. 211.
Universitas Sumatera Utara
penerima. Jika hukum nasional negara penerima mengizinkan badan yang berwenang negara tersebut melaksanakan perintah pembekuan dan perampasan yang dikeluarkan
oleh badan yang berwenang negara lain tempat asal aset diperoleh secara tidak sah, perintah dari badan yang berwenang negara korban dapat langsung dilaksanakan.
Akan tetapi, jika hukum nasional negara penerima tidak mengizinkan badan- badannya melaksanakan perintah pembekuan dan perampasan dari badan yang
berwenang negara lain, otoritas negara korban harus mengajukan permintaan kepada badan yang berwenang negara penerima untuk mengeluarkan perintah pembekuan
atau perampasan aset-aset yang diperoleh secara tidak sah yang ditempatkan di negara penerima tersebut. Idealnya negara penerima harus melakukan tindakan yang
diperlukan untuk mengizinkan badan yang berwenang negara penerima membekukan atau merampas aset-aset berdasarkan perintah pembekuan atau perampasan yang
dikeluarkan pengadilan atau badan yang berwenang yang dikeluarkan pengadilan atau badan yang berwenang dari negara korban. Perintah pembekuan atau penyitaan dari
badan yang berwenang negara korban setidak-tidaknya harus memenuhi dua syarat, yaitu pertama, perintah tersebut harus mengadung dasar yang beralasan, sehingga
badan yang berwenang negara penerima yakin bahwa terdapat alasan-alasan yang cukup untuk melakukan tindakan tersebut; kedua, aset-aset yang dimintakan
pembekuan atau perampasannya merupakan objek perintah yang dikeluarkan oleh otoritas yang berwenang.
145
145
Ibid.
Universitas Sumatera Utara
Perampasan dalam konteks tindak pidana korupsi, merupakan bagian dari proses mekanisme pengembalian aset Asset Recovery, dikatakan oleh Matthew H.
Fleming bahwa : Pertama, pengembalian aset sebagai proses pencabutan, perampasan, penghilangan;
Kedua, yang dicabut, dirampas, dihilangkan adalah hasilkeuntungan dari tindak pidana yang dilakukan oleh pelaku tindak pidana; Ketiga, salah satu tujuan
pencabutan, perampasan, penghilangan adalah agar pelaku tindak pidana tidak dapat menggunakan hasilkeuntungan-keuntungan dari tindak pidana sebagai alatsarana
untuk melakukan tindak pidana lainnya.
146
Perampasan aset dalam pemberantasan tindak pidana korupsi merupakan suatu proses dalam hal sistem penegakan hukum yang dilakukan oleh negara untuk
mengembalikan kerugian atas tindak pidana korupsi yang terjadi, dan untuk mencegah pelaku tindak pidana korupsi menggunakan aset hasil tindak pidana
korupsi sebagai suatu alat atau sarana untuk melakukan tindak pidana lainnya, selain itu juga dapat memberikan efek jera bagi pelaku danatau calon pelaku tindak pidana
korupsi.
147
Dalam RUU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, perampasan adalah pengambilalihan secara permanen atas kekayaan dengan putusan pengadilan atau
badan berwenang yang lain pasal 1 angka 7.
148
Perampasan Aset Tindak Pidana yang selanjutnya disebut Perampasan Aset adalah upaya paksa yang dilakukan oleh
negara untuk merampas aset tindak pidana berdasarkan penetapan atau putusan
146
Matthew H. Fleming dalam Purwaning M. Yanuar, Op.cit., hal. 103.
147
Ibid., hal. 105.
148
Rancangan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor ... Tahun ... Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.pdf, http:www.djpp.depkumham.go.idpembahasan-ruu80-
ruu-yang-di-bahas607-ruu-tentang-pemberantasan-tindak-pidana-korupsi.html , diakses terakhir tanggal 9 April 2011.
Universitas Sumatera Utara
pengadilan tanpa didasarkan pada penghukuman terhadap pelakunya Pasal 1 angka 1 Rancangan Undang-Undang Republik Indonesia Tentang Perampasan Aset Tindak
Pidana. Aset Tindak Pidana adalah semua benda bergerak atau benda tidak bergerak, baik berwujud maupun tidak berwujud dan mempunyai nilai ekonomis, yang
diperoleh atau diduga berasal dari tindak pidana Pasal 1 angka 2. Dalam Pasal 16 RUU Perampasan Aset disebutkan bahwa perampasan aset tidak menghapuskan
kewenangan untuk melakukan penuntutan terhadap pelaku tindak pidana.
149
Perampasan aset tindak pidana melalui jalur kepidanaan menurut Romli Atmasasmita, harus terlebih dahulu dibuktikan kesalahan orang yang menguasai aset
tersebut sampai memperoleh putusan yang memiliki kekuatan hukum tetap; jika tidak demikian maka perampasan aset tindak pidana melanggar asas praduga tak
bersalah.
150
Perampasan pidana dilakukan terhadap barang yang terkait langsung dengan tindak pidana dan dijadikan sebagai barang bukti di dalam berkas perkara.
Tata cara perampasan pidana dilakukan menurut tata cara yang diatur di dalam Hukum Acara Pidana. Pasal 35 RUU Perampasan Aset Tahun 2008.
151
149
Rancangan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor ... Tahun ... Tentang Perampasan Aset Tindak Pidana.pdf, http:www.djpp.depkumham.go.idharmonisasi-peraturan-lainnya43-
sosialisasi842-sosialisasi-ruu-tentang-perampasan-aset-tindak-pidana.html , diakses terakhir tanggal 8 Maret 2011.
150
Romli Atmasasmita, Op.cit., hal. 106-107. Lihat Pasal 6 ayat 2 Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman, menyatakan : Tidak seorang pun dapat dijatuhi
pidana, kecuali apabila pengadilan karena alat pembuktian yang sah menurut undang-undang, mendapat keyakinan bahwa seseorang yang dianggap dapat bertanggung jawab, telah bersalah atas
perbuatan yang didakwakan atas dirinya. Selanjutnya, Pasal 8 ayat 1 Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman, menyatakan : Setiap orang yang disangka, ditangkap,
ditahan, dituntut, atau dihadapkan di depan pengadilan wajib dianggap tidak bersalah sebelum ada putusan pengadilan yang menyatakan kesalahannya dan telah memperoleh kekuatan hukum tetap.
151
Rancangan Undang-Undang Republtik Indonesia Nomor ... Tahun ... Tentang Perampasan Aset, http:www.djpp.depkumham.go.idrancangan.html , diakses terakhir tanggal 15 Maret 2011.
Universitas Sumatera Utara
E.Y. Kanter dan S.R. Sianturi menyebutkan, bahwa apabila suatu barang disita dan diajukan dalam pemeriksaan sidang, nasib barang tersebut kemudian
ditentukan dalam putusan hakim. Dalam hal ini ada tiga kemungkinan penyelesaiannya yaitu:
1. Dirampas untuk negara. Perampasan ini adalah merupakan pidana tambahan. 2. Dimusnahkan. Tindakan ini merupakan tindakan kepolisian, bukan merupakan
tindakan tambahan. 3. Dikembalikan kepada yang paling berhak, hal ini merupakan tindakan perdata.
Apabila secara tegas ditentukan bahwa barang itu dikembalikan kepada seseorang, maka kewajiban penuntut umum untuk mengembalikan kepada orang
tersebut. Sedangkan apabila tidak secara tegas disebutkan kepada seseorang pemgembalian barang tersebut, maka hal ini dapat diselesaikan secara “damai”
atau melalui perkara perdata, atau secara administratif. Suatu barang yang dicuri dari pemiliknya, dimana pemilik tersebut tidak ada sangkut pautnya dengan
perkara yang bersangkutan, tidak termasuk barang yang boleh dirampas. Demikian juga suatu barang yang dicuri yang digunakan untuk melakukan suatu
kejahatan, dan barang tersebut bukan merupakan barang yang terlarang, juga tidak termasuk barang yang dapat dirampas.
152
Berdasarkan Pasal 39 ayat 1 KUHP dapat diketahui bahwa barang yang dirampas
melalui putusan hakim pidana adalah: 1. Barang-barang yang berasaldiperoleh dari suatu kejahatan bukan dari
pelanggaran, yang disebut dengan corpora delictie, misalnya uang palsu dari kejahatan pemalsuan uang, surat, cek palsu dari kejahatan pemalsuan uang;
2. Barang-barang yang digunakan dalam melakukan kejahatan, yang disebut dengan instrumenta delictie, misalnya pisau yang digunakan dalam kejahatan
pembunuhan atau penganiayaan, anak kunci palsu yang digunakan dalam pencurian, dan lain sebagainya.
153
152
Mohammad Ekaputra, Dasar-Dasar Hukum Pidana, Medan: USU Press. 2010, hal. 156.
153
Lihat Mohammad Ekaputra, Ibid., Corpora delictie dan instrumenta delictie yang dapat dirampas itu haruslah kepunyaan terpidana. Andi Hamzah menyebutkan, bahwa jika suatu benda itu
dimiliki bersama dengan orang lain, maka ada dua pendapat: 1. ada yang mengatakan tidak dirampas. Pompe dan Vos berpendapat bahwa barang demikian dapat
dirampas dengan menunjuk arrest, Hoge Raad 16 Desember 1981. 2. ada pula yang berpendapat dapat dirampas. Noyon-Langemeijer mengatakan tidak dapat dirampas,
karena suatu hak tidak dapat dirampas, sedangkan milik bersama ini adalah suatu hak.
Universitas Sumatera Utara
Menurut Andi Hamzah dan Siti Rahayu, perampasan sebagai pidana tambahan yang dijatuhkan oleh hakim, merupakan tindakan mencabut hak milik atau
suatu barang dari orang yang mempunyainya dan barang itu dijadikan milik pemerintah untuk dirusak atau dijual untuk negara. Pidana perampasan barang ini
hanya diperkenankan atas barang-barang tertentu saja, tidak diperkenankan dilakukan untuk semua barang. Perlu diperhatikan, bahwa pidana perampasan barang-barang
tertentu, berbeda dengan pengertian penyitaan menurut penafsiran otentik dalam Pasal 1 angka 16 KUHAP.
154
KUHAP menggunakan istilah “benda”. Hal ini dirumuskan dalam penjelasan pengertian pada pasal 1 angka 16 tentang penyitaan adalah serangkaian tindakan
penyidik untuk mengambil alih dan atau menyimpan di bawah penguasaannya benda bergerak atau tidak bergerak, berwujud atau tidak berwujud untuk kepentingan
pembuktian dalam penyidikan, penuntutan dan peradilan. Istilah “aset” yang dipergunakan dalam Draft RUU ini memiliki pengertian yang tidak sama dengan
istilah “benda” yang dipergunakan dalam KUHAP. KUHAP lebih menekankan kepada benda barang yang terkait dengan tindak pidana, termasuk benda hasil
tindak pidana, sedangkan “aset” dalam Draf RUU lebih ditujukan kepada benda bergerak-tidak bergerak, berwujud-tidak berwujud yang diperoleh atau diduga
berasal dari tindak pidana. Rumusan dalam Draf RUU ini tidak sama dengan jenis aset yang dapat dirampas dalam Pasal 2 ayat 1 yang mencakup juga aset yang
154
Ibid.
Universitas Sumatera Utara
digunakan untuk melakukan tindak pidana dan bahkan aset yang diduga akan dipergunakan untuk melakukan tindak pidana. Jika draf RUU ini hendak mengatur
tentang Aset Tindak Pidana, sebaiknya rumusan Pasal 1 dan Pasal 2 yang mengatur tentang batas pengertian aset tindak pidana disesuaikan dan mengacu kepada rumusan
yang secara tersirat dalam KUHAP, yaitu benda atau aset yang dipergunakan sebagai alat tindak pidana dan hasil tindak pidana.
155
Pasal 2 Draf RUU Perampasan Aset Tahun 2008, menyatakan bahwa benda atau aset yang dirampas adalah:
a. aset yang diduga diperoleh secara langsung maupun tidak langsung berasal dari
tindak pidana termasuk kekayaan yang kedalamannya kemudian dikonversi, diubah atau digabungkan dengan kekayaan yang dihasilkan atau diperoleh
lansung dari tindak pidana tersebut, termasuk pendapatan, modal atau keuntungan ekonomi lainnya yang diperoleh dari kekayaan tersebut;
b. aset yang patut diduga akan digunakan atau telah digunakan sebagai sarana
maupun prasarana untuk melakukan tindak pidana; c.
aset yang terkait dengan tindak pidana yang tersangkaterdakwanya meninggal dunia, melarikan diri, sakit permanen, tidak diketahui keberadaannya, atau alasan
lain; danatau d.
aset lainnya yang sah sebagai pengganti aset tindak pidana.
Termasuk aset yang dapat dirampas berdasarkan Rancangan Undang-Undang tentang Perampasan aset Tindak Pidana ini adalah aset yang berupa barang temuan.
Selanjutnya ditentukan dalam Pasal 3 ayat 1 RUU Perampasan Aset Tindak Pidana
155
Mudzakir, Penelusuran, Penyitaan, Perampasan Dan Pengelolaan Aset Tindak Pidana, Makalah sebagai bahan Focus Group Discussion FGD tentang Penyitaan dan Perampasan Aset untuk
Mendukung Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang yang diselenggarakan oleh Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan Departemen bekerjasama dengan Departemen
Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia, Jakarta, 21 Juli 2009, http:www.legalitas.orgcontentpenelusuran-penyitaan-perampasan-dan-pengelolaan-aset-tindak-
pidana , diakses terakhir tanggal 12 Desember 2010.
Universitas Sumatera Utara
disebutkan bahwa aset tindak pidana yang dapat dirampas adalah aset yang berasal dari tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara 4 empat tahun atau lebih.
156
Bila dalam suatu berkas perkara, ada bangunanrumah serta tanahnya yang dijadikan barang bukti, maka selain bangunanrumah agar tanah dimana
bangunanrumah didirikan ikut pula disita dengan cara menyita sertifikat asli tanah, surat-surat jual beli tanah dan surat lain yang ada hubungan dengan pemilikan atas
tanah tersebut. Penyitaan tersebut diberitahukan secara resmi kepada Kepala Badan Pertanahan KotaKabupaten, sesuai dengan Pasal 30 ayat 2 Peraturan Pemerintah No.
10 Tahun 1961, selain itu penyitaan dilaksanakan dengan disaksikan oleh Kepala Desa atau Ketua Lingkungan dengan 2 orang saksi, sesuai dengan ketentuan Pasal
129 KUHAP. Apabila kepentingan penyidikan tidak memerlukan lagi, maka benda yang disita dikembalikan kepada orang dari mana benda itu disita atau kepada mereka
yang paling berhak.
157
156
Marwan Effendy, Pemberantasan Korupsi dan Good Governance Jakarta: Timpani, 2010, hal. 92. Lihat juga, Pasal 95 dan Pasal 96 Rancangan Undang-Undang Republik Indonesia
Nomor … Tahun … Tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, http:www.djpp.depkumham.go.idrancangan.html ,
Pasal 95: 1 Pidana perampasan barang danatau tagihan tertentu dapat dijatuhkan tanpa pidana pokok jika
ancaman pidana penjara terhadap tindak pidana yang bersangkutan tidak lebih dari 7 tujuh tahun. 2 Pidana perampasan barang tertentu danatau tagihan dapat juga dijatuhkan jika terpidana hanya
dikenakan tindakan. 3 Pidana perampasan barang yang bukan milik terpidana tidak dapat dijatuhkan jika hak pihak
ketiga dengan itikad baik akan terganggu. Pasal 96: Barang yang dapat dirampas adalah :
a. barang danatau tagihan milik terpidana atau orang lain yang diperoleh dari tindak pidana; b. barang yang ada hubungan dengan terwujudnya tindak pidana;
c. barang yang dipergunakan untuk mewujudkan atau mempersiapkan tindak pidana; d. barang yang dipergunakan untuk menghalang-halangi penyidikan tindak pidana; danatau
e. barang yang khusus dibuat atau diperuntukkan untuk mewujudkan tindak pidana.
157
Marwan Effendy, Ibid., hal. 92.
Universitas Sumatera Utara
Draf RUU Perampasan Aset Tahun 2008, menunjukkan adanya perluasan benda yang dapat disita dari ketetuan yang diatur dalam KUHAP yaitu:
a. Aset yang diduga diperoleh secara tidak langsung berasal dari tindak pidana Pasal 2 ayat 1 huruf a.. Ketentuan mengenai tidak langsung dari tindak
kejahatan juga dimuat dalam Pasal 2 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan Dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang.
158
b. Aset yang yang diduga akan dijadikan alat untuk melakukan tindak pidana Pasal 2 ayat 1 huruf b..
c. Aset yang terkait dengan tindak pidana Pasal 2 ayat 1 huruf c d. Aset yang sah sebagai pengganti asset tindak pidana Pasal 2 ayat 1 huruf d.
Aset dimaksud dalam Pasal 2 huruf c dan huruf d tersebut sesungguhnya merupakan
penjelasan tentang asset, tidak termasuk kategori jenis asset tindak pidana yang dapat disita atau dirampas. Karena merupakan penjelasan yang berisi perluasan, sebaiknya
dimuat dalam ayat tersendiri atau pasal yang memuat perluasan norma sebelumnya atau dimuat dalam penjelasan pasal.
159
Sehubungan dengan hal tersebut menurut Mudzakir, Draf RUU Perampasan Aset Tahun 2008 dalam pasal 2, memuat norma hukum yang substansinya
menyatukan untuk semua aset atau benda yang terkait dengan tindak pidana, dengan
158
Pasal 2 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan Dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang
1 Hasil tindak pidana adalah Harta Kekayaan yang diperoleh dari tindak pidana: a. korupsi; b. penyuapan; c. narkotika; d. psikotropika; e. penyelundupan tenaga kerja; f.
penyelundupan migran; g. di bidang perbankan; h. di bidang pasar modal; i. di bidang perasuransian; j. kepabeanan; k. cukai; l. perdagangan orang; m. perdagangan senjata gelap; n.
terorisme; o. penculikan; p. pencurian; q. penggelapan; r. penipuan; s. pemalsuan uang; t. perjudian; u. prostitusi; v. di bidang perpajakan; w. di bidang kehutanan; x. di bidang lingkungan
hidup; y. di bidang kelautan dan perikanan; atau z. tindak pidana lain yang diancam dengan pidana penjara 4 empat tahun atau lebih, yang dilakukan di wilayah Negara Kesatuan Republik
Indonesia atau di luar wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia dan tindak pidana tersebut juga merupakan tindak pidana menurut hukum Indonesia.
2 Harta Kekayaan yang diketahui atau patut diduga akan digunakan danatau digunakan secara langsung atau tidak langsung untuk kegiatan terorisme, organisasi teroris, atau teroris
perseorangan disamakan sebagai hasil tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat 1 huruf n.
159
Mudzakir, Op.cit.
Universitas Sumatera Utara
maksud menyempurnakan dilakukan dengan cara: Pertama, jenis benda atau aset mengacu kepada norma hukum tentang jenis benda atau aset yang dapat disita dan
dirampas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 39 KUHAP. Kedua, jika dipandang perlu, mengingat perkembangan hukum pidana dan praktek hukum ditambah jenis
aset tertentu yang belum masuk ke dalam jenis aset dalam KUHAP. Bendaasset tindak pidana yang perlu dipertimbangkan untuk dimasukkan ke dalam perluasan
jenis bendaaset hasil tindak pidana secara lengkap sebagai berikut: 1. Aset tindak pidana:
a. Aset yang dipergunakan untuk melakukan tindak pidana
b. Aset yang hasil dari tindak pidana langsung
c. Aset yang hasil tindak pidana yang telah diubah dalam bentuk aset lain
perubahan aset langsung 2. Aset sebagai pengganti pidana denda yang tidak dibayarkan.
3. Aset sebagai pengganti aset hasil tindak pidana contoh: Pasal 18 UU Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun
2001 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi . 4. Aset yang dijadikan jaminan bagi tersangkaterdakwa atau terpidana.
5. Aset hasil dari perbuatan melawan hukum, hukum administrasi atau hukum perdata, yang terkait dengan kewajiban membayar kepada negara hak tagih
negara yang diduga akan digelapkan atau tidak dibayarkan yang perbuatan tersebut termasuk kategori tindak pidana.
6. Aset yang tidak ada atau tidak diketahui pemiliknya dengan berbagai alasan yang diduga hasil dari tindak pidana.
Dari bendaasset tersebut dapat dijelaskan: a. Aset yang boleh dirampas adalah “aset tindak pidana” dan bendaasset yang
berhubungan dengan tindak pidana yang tidak langsung tidak dapat dijadikan objek perampasan asset.
b. Hubungan bendaasset dengan tindak pidana adalah hubungan yang bersifat langsung yaitu:
1. Bendaaset yang dipergunakan untuk “persiapan” melakukan tindak pidana yang dapat dipidana ada persiapan yang tidak dapat dipidana.
2. Bendaaset yang dipergunakan untuk “percobaan” melakukan tindak pidana yang dapat dipidana ada percobaan yang tidak dapat dipidana.
3. Bendaaset yang dipergunakan untuk “melakukan tindak pidana”.
Universitas Sumatera Utara
4. Bendaaset yang “hasil tindak pidana” dan bendaasset yang sudah diubah dengan segala bentuk dan perwujudannya.
c. Termasuk Aset Tindak Pidana adalah aset yang dijadikan jaminan utk memenuhi kewajiban berdasarkan putusan pengadilan:
1. Membayar pidana denda. 2. Membayar pidana ganti kerugian keuangan negara Pasal 18 UU Nomor 31
Tahun 1999 jo. UU Nomor 20 Tahun 2001. 3.
Jaminan bagi tersangkaterdakwa yang apabila tidak dapat memenuhi kewajibannya
d. Bendaaset yang tidak diketahui pemiliknya dan diduga hasil tindak pidana e. Bendaaset lain yg dapat disita dan dirampas menjadi milik negara bendaaset
yang berasal dari perbuatan melawan hukum yang bukan tindak pidana, sebaiknya dimuat dalam bab tersendiri.
Hal ini untuk menunjukkan bahwa kehadiran Draf RUU ini sebagai bagian tak
terpisahkan dari sistem hukum pidana nasional Indonesia. Apabila Draf RUU merumuskan norma sendiri tentang asset tindak pidana yang berbeda dengan norma
hukum pidana lain yang telah ada maksudnya rumusan dalam KUHAP dapat menyulitkan dalam praktek penegakan hukum pidana.
160
3. Tahap Ketiga, Penyitaan Aset-Aset