8. Undang-Undang yang lain mengatur secara terpisah dan parsial mengenai
penyitaan dan perampasan hasil dan instrumen tindak pidana berkaitan dengan tindak pidana yang bersangkutan.
196
A. Keadaan Peraturan Perundang-Undangan Tindak Pidana Korupsi
Pembuatan undang-undang yang hanya mengandalkan buah pikiran yang tertanam dalam akal manusia, akan melahirkan aturan-aturan yang abstrak dan
bersifat spekulatif. Pikiran-pikiran yang akan dituangkan sebagai rumusan undang- undang hanya didasarkan pada kemungkinan-kemungkinan yang akan terjadi, kurang
memusatkan perhatian pada kepentingan maupun permasalahan yang dihadapi masyarakat secara nyata.
197
Rumusan undang-undang yang demikian itu akan menjadi hampa, tidak dapat diterapkan pada kenyataan praktik. Jika terjadi hal yang demikian, undang-undang
tidak lagi memiliki kekuatan untuk dihargai dan ditaati. Sebaliknya jika undang- undang sematamata hanya memperhatikan kepentingan dan permasalahan yang
terjadi di masyarakat, tanpa mengindahkan keadilan sebagai nilai kaidah hukum yang dipikirkan akal, maka undang-undang itu hanya menjadi angan-angan belaka, Roscoe
Pound melihat dua kelemahan pembuatan undang-undang : Pertama, adalah pembuatan undang-undang yang dibelakangnya tidak lain daripada kekuasaan
196
Romli Atmasasmita, Op.cit., hal. 114-115.
197
Ramelan, Pembahasan Rancangan Undang-Undang Perampasan Aset, http:www.djpp.depkumham.go.idharmonisasi-peraturan-lainnya43-sosialisasi842-sosialisasi-ruu
tentang-perampasan-aset-tindak-pidana.html , diakses terakhir tanggal 5 maret 2011.
Universitas Sumatera Utara
perintah yang berdaulat, yang berdiri hanya diatas kemauan mereka yang menjalankan kekuasaan membuat atau mempermaklumkan undangundang dari suatu
masyarakat yang berorganisasi politik. Kedua, adalah pembuatan undang-undang yang bermaksud untuk “mendidik”, menegakkan satu cita-cita dari apa yang harus
dilakukan oleh manusia dan bukannya memaksakan aturan tentang apa yang harus mereka lakukan. Kelemahan tersebut mengakibatkan penerapan undang-undang
dalam praktik pelaksanaannya menghadapi kendala. Roscoe Pound menyatakan bahwa untuk menjamin pelaksanaannya maka hukum harus bersandar atas beberapa
keuntungan individu yang langsung dan nyata, untuk digunakannya baik untuk mencapai penaatan kepada aturan hukum itu maupun untuk memberikan satu alasan
kepada orang-orang lain guna membela atau menjalankan aturan itu. Hukum menjadi alat kontrol sosial yang paling penting.
198
Secara teoretis, telah terjadi kekeliruan pemahaman pembentuk undang- undang dan beberapa ahli hukum pidana dan keuangan dalam menyelesaikan masalah
aset tindak pidana. Kekeliruan pertama, yaitu sikap apriori bahwa hukum pidana yang berorientasi pada filsafat keadilan retributif dipandang sebagai satu-satunya sarana
hukum yang dianggap tepat untuk tujuan pemulihan kerugian keuangan negara. Adapun tujuan ini hanya dapat dicapai dengan perubahan paradigma baru yaitu
keadilan korektif-rehabilitatif dan restoratif. Kekeliruan kedua, selama ini pendekatan hukum dalam proses hukum pengembalian aset tindak pidana selalu digunakan
198
Ibid.
Universitas Sumatera Utara
pendekatan hukum normatif yang berlandaskan positivisme hukum. Tujuan perubahan paradigma keadilan korektif-rehabilitatif dan restoratif memerlukan
pendekatan analisis ilmu ekonomi terhadap hukum pidana.
199
Kewajiban bagi negara-negara yang telah meratifikasi UNCAC 2003 adalah menerapkan langkah-langkah anti korupsi secara meluas, akan berimplikasi pada
konsep-konsep kebijakan perundang-undangan nasional, khususnya undang-undang pemberantasan tindak pidana korupsi. Implikasi ratifikasi juga bertalian dengan
institusi serta pelaksanaannya. Langkah untuk melakukan re-evaluasi serta reformasi hukum nasional, masih memerlukan suatu kajian-kajian yang intensif, guna
mewujudkan harapan-harapan dalam upaya pengembalian aset negara yang dikorup untuk dikembalikan ke Indonesia.
200
Kebijakan kriminalisasi dalam UNCAC 2003 menyangkut perbuatan memperkaya diri sendiri illicit enrichment, Pasal 20 UNCAC, merupakan tindak
199
Romli Atmasasmita, Op.cit., hal. 84-85, Pendekatan ilmu ekonomi penting dalam penegakan hukum pidana, Cooeter dan Ulen mengemukakan bahwa:
1. Ilmu ekonomi menyediakan suatu teori untuk memprediksi pengaruh dari sanksi pidana terhadap suatu tingkah laku.
Bagi ilmu ekonomi, sanksi dianggap mirip dengan harga barang; dan masyarakat akan merespon sanksi sama besarnya dengan respons mereka terhadap harga barang. Respons masyarakat
terhadap harga barang yang tinggi dengan membeli barang yang murah, begitu juga respons masyarakat terhadap sanksi yang tinggi dengan melakukan perbuatan yang bersanksi rendah.
Intinya pendekatan analisis ilmu ekonomi atas suatu tingkah laku, menyediakan suatu teori tingkah laku untuk memprediksi bagaimana masyarakat merespons perubahan-perubahan dalam
perundang-undangan.
2. Pendekatan analisis ilmu ekonomi menyediakan standar normatif untuk mengevaluasi terhadap hukum dan kebijakan policy. Pendekatan analisis ilmu ekonomi mengajarkan tentang efisiensi
dan efisiensi sangat relevan dengan penetapan kebijakan karena lebih baik mencapai tujuan sosial dari hukum dengan biaya sosial yang rendah daripada biaya sosial yang tinggi. Pola pendekatan
ini mencegah pengambil kebijakan di bidang hukum dan penegakan hukum untuk dapat memperkirakan dan menghemat biaya sosial tersebut terhadap nilai lain yang penting yaitu
pemerataan pendapatan dan kesejahteraan.
200
I Gusti Ketut Ariawan, Op.cit.
Universitas Sumatera Utara
pidana yang berdiri sendiri. Rumusan ini justru tidak bersesuaian dengan rumusan tindak pidana dalam Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 jo. Undang-Undang No. 20
Tahun 2001 dan berimplikasi mempersempit rumusan tindak pidana korupsi dalam Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 jo. Undang-undang No 20 Tahun 2001.
Berhubungan pula dengan kriminalisasi tersebut adalah unsur “kerugian negara” dalam Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 jo. Undang-undang No. 20 Tahun 2001,
dalam UNCAC 2003 tidak lagi sebagai unsur penting lihat Pasal 3 butir 2 tentang scope and aplication, yang menentukan bahwa : “for the purpose of implementing
this convention, it shall not be necessary, except as otherwise stated herein, for the offences set forth in it to result in damage or harm to state property”. Artinya bahwa
untuk tujuan pelaksanaan konvensi ini, tidak diperlukan kecuali ditentukan lain dalam konvensi ini, bahwa kejahatan dalam konvensi ini mengakibatkan kerugian
keuangan negara.
201
Dalam mengimplementasikan UNCAC 2003, persoalan ini masih memerlukan kajian mendalam prihal persoalan-persoalan menyangkut : apakah unsur
kerugian negara masih dapat dipertahankan pasca ratifikasi konvensi tersebut, sedangkan rumusan pasal 3 tentang scope and application bersifat wajib. Hal lain
yang tidak kalah pentingnya adalah masalah “illicit enrichment” sebagai suatu tindak pidana yang berdiri sendiri dapat menggantikan rumusan Pasal 2 Undang-Undang
No. 31 Tahun 1999 jo. Undang-Undang No. 20 Tahun 2001. Apabila diterima, konsekuensinya adalah dalam masalah beban pembuktian. Perbuatan memperkaya
201
Ibid.
Universitas Sumatera Utara
diri sendiri illicit enrichtment sebagai tindak pidana yang berdiri sendiri dapat digunakan sistem beban pembuktian melalui upaya keperdataan dan tidak hanya
tergantung pada jalur proses peradilan pidana, dan jalur keperdataan inipun telah digunakan oleh beberapa negara. Jalur keperdataan dalam pengembalian aset negara,
dibandingkan jalur pidana relatif lebih mudah karena dalam hal pembuktian, pemerintah cukup mempunyai bukti awal bahwa aset yang akan diambil adalah hasil,
atau berhubungan dengan tindak pidana. Implementasinya adalah apa yang disebut “civil forfeiture”.
202
Dalam masalah pembuktian, pemerintah cukup menghitung berapa pendapatan yang layak bagi pelaku, kemudian membandingkan dengan aset yang
dimiliki. Jika aset yang dimiliki melebihi jumlah pendapatannya, maka pelaku berkewajiban membuktikan bahwa aset tersebut diperoleh secara legal Anthony
Kennedy, 2006 : 38. Kemudahan dalam masalah pembuktian melalui jalur civil forfeiture, merupakan alternatif yang potensial, karena lebih efektif dalam upaya
pengembalian aset, walaupun prosedur ini tidak luput dari berbagai kelemahan, seperti lambat dan biaya tinggi. Di samping itu, perlu dipertimbangkan bahwa
202
Ibid. Lihat juga Rancangan Undang-Undang Nomor ... Tahun ... Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, http:www.djpp.depkumham.go.idpembahasan-ruu80-ruu-yang-di-
bahas607-ruu-tentang-pemberantasan-tindak-pidana-korupsi.html , diakses tanggal 9 April 2011, Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa Anti Korupsi, 2003 telah meniadakan kerugian negara sebagai
unsur tindak pidana sehingga kerugian negara tidak lagi dicantumkan dalam Undang-Undang dalam rangka paralelisasi ketentuan dalam Konvensi. Hal ini dimaksudkan agar pengertian kerugian
mempunyai makna yang lebih luas, tidak hanya bagi negara, melainkan juga kerugian bagi swasta. Untuk melengkapi pengaturan terkait dengan kemungkinan adanya kerugian tersebut, maka dalam
Undang-Undang diatur mengenai perampasan aset hasil tindak pidana korupsi, antara lain, dengan memperkenalkan tuntutan perampasan aset dengan acara cepat agar semua hasil tindak pidana korupsi
dapat dirampas untuk negara. Perampasan aset terdakwatersangka yang meninggal dunia sebelum putusan, yang melarikan diri ke luar negeri dan koruptor yang tidak dikenal diatur dalam Undang-
Undang ini.
Universitas Sumatera Utara
pemanfaatan potensi civil forfeiture harus diikuti dengan adanya perjanjian bilateral disamping pula memerlukan suatu re-strukrisasi hukum nasional. Restrukrisasi di
bidang hukum, antara lain menghendaki adanya reformasi bidang hukum materiil dan formil. Bidang hukum formil antara lain, hukum acara perdata yang harus diformat
kembali, mengingat Indonesia masih menggunakan hukum acara perdata yang hanya berlaku dalam kasus-kasus yang bersifat individual atau private to private. Di
samping itu pula civil forfeiture menuntut legal expertise dan pengetahuan teknis yang tinggi, dan dikhawatirkan Indonesia masih belum memiliki sumber daya yang
bisa memenuhi tuntutan ini. Perluasan jurisdiction scope dari civil forfeiture merupakan suatu hal yang mutlak, mengingat aset hasil korupsi lebih banyak
disembunyikan di negara lain. Yang lebih penting, adalah perlu dipertimbangkannya aspek check and balance karena jalur ini rawan penyalahgunaan oleh aparat penegak
hukum Bismar Nasution, 2007 : 11.
203
Indonesia adalah negara yang termasuk civil law country, yang mendasarkan sistem hukumnya terutama kepada peraturan perundang-undangan. Berbicara
masalah korupsi, maka pertama-tama harus dikaji tentang keadaan peraturan perundangan-undangan tentang korupsi di Indonesia. “Masalah” carut marutnya
pemberantasan korupsi tidak dapat dilepaskan dari keadaan perundang-undangan korupsi tersebut. Secara garis besar keadaan peraturan perundang-undangan
berkenaan dengan korupsi berada dalam keadaan yang tersebar, tidak lengkap dan
203
Ibid.
Universitas Sumatera Utara
saling bertentangan satu sama lain. Keadaan peraturan perundang-undangan korupsi, dapat dijelaskan sebagai berikut
204
: Pertama, perundang-undangan korupsi di Indonesia tersebar dalam berbagai
undang-undang, diantaranya : Undang-Undang No. 3 Tahun 1971 Tentang Tindak Pidana Korupsi ; Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 jo Undang-Undang No. 20
Tahun 2001 Tentang Perubahan Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi; Undang-Undang No. 30 Tahun 2002
Tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi; Undang-Undang No. 28 Tahun 1999 Tentang Penyelenggaraan Negara Yang Bersih dan Bebas Dari Korupsi,
Kolusi dan Nepotisme; Undang-Undang No. 7 Tahun 2006 Tentang Pengesahan United Nations Convention Against Corruption, 2003 Konvensi Perserikatan
Bangsa-Bangsa Anti Korupsi, 2003 Menjadi Undang-Undang. Terdapat sejumlah undang-undang, yang sekalipun tidak terkait langsung dengan pemberantasan
korupsi, tetapi terkait dengan keuangan negara dan pengelolaannya serta terkait dengan masalah penegakan hukum pada umumnya, termasuk penegakan hukum
terhadap tindak pidana korupsi, diantaranya
205
: 1.
Undang-Undang Nomor 8 tahun 1981 Tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana;
204
Chairul Huda, Dualisme Pemberantasan Korupsi Di Indonesia, http:huda- drchairulhudashmh.blogspot.com200902dualisme-pemberantasan-korupsi-di.html , diakses terakhir
tanggal 5 Maret 2011.
205
Ibid.
Universitas Sumatera Utara
2. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 Tentang Pencegahan Dan Pemberantasan
Tindak Pidana Pencucian Uang; 3.
Undang-Undang Nomor 17 tahun 2003 Tentang Keuangan Negara; 4.
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 Tentang Pembendaharaan Negara; 5.
Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2004 Tentang Pemeriksaan, Pengelolaan dan Tanggungjawab Keuangan Negara;
6. Undang-Undang Nomor 16 tahun 2004 Tentang Kejaksaan Republik Indonesia;
7. Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 Tentang Kepolisian Negara
Republik Indonesia. Masing-masing undang-undang tersebut dilengkapi dengan berbagai peraturan
pelaksanaannya sendiri-sendiri. Selain itu, terkadang dalam perundang-undangan tersebut digunakan parameter, kriteria, pengertian yang berbeda satu sama lain
tentang tindak pidana korupsi atau hal-hal lain yang terkait dengannya, sehingga semakin memperparah pemberantasan korupsi itu sendiri. Desakan untuk
mengintegrasikan perundang-undangan mengenai tindak pidana korupsi di Indonesia dalam satu kesatuan juga direkomendasikan oleh para ahli dalam dan luar negeri yang
dikoordinasikan dan difasilitasi KPK untuk mengadakan “Gap Analysis”antara UNCAC 2003 dan peraturan perundang-undangan korupsi. Dalam laporan tersebut
disebutkan: “a key issue under discussion in the preparation of the implementing legislation in Indonesia is whether to recognize and concentrate the dispersed anti-
corruption rules in a single law” KPK, 2006: 10. Inilah yang seharusnya menjadi
Universitas Sumatera Utara
motivasi utama mengadakan revisi peraturan perundang-undangan korupsi di Indonesia.
206
Kedua, perundang-undangan korupsi yang tidak lengkap. Sekalipun telah cukup banyak undang-undang yang “mengatur” pemberantasan tindak pidana
korupsi, tetapi bukan berarti pengaturan mengenai hal itu telah cukup lengkap. Dapat dikatakan dalam banyak segi perundang-undangan korupsi di Indonesia berada dalam
keadaan under legislation. Artinya, ada sejumlah hal yang belum diatur, baik masalah rumusan deliknya hukum materil, masalah penegakan hukumnya hukum formil,
apalagi berkenaan dengan pengaturan pelaksanaan pengembalian aset hasil tindak pidana korupsi hukum pelaksanaan. Misalnya
207
: 1.
Dalam undang-undang korupsi sejauh ini telah diatur “Tindak Pidana Korupsi” dan “Tindak Pidana Lain Yang Berkaitan Dengan Tindak Pidana Korupsi”.
Sebenarnya masih diperlukan pengaturan satu jenis tindak pidana lain sehubungan dengan tindak pidana korupsi ini, yaitu: “Tindak Pidana Setelah
Tindak Pidana Korupsi” Barda N. Arief: 2001. Melakukan double criminality seperti ini, merupakan upaya memberantas suatu tindak pidana dengan
membuatnya sebagai “tidak menguntungkan” crime doesn’t pay , misalnya : a. belum dikriminalisasikannya perbuatan: “menawarkan, menjual, membeli,
menukar, menerima hibah, menyewakan, mengalihkan, harta atau kekayaan tersangka, yang terkait dengan tindak pidana korupsi, dengan maksud
206
Ibid.
207
Ibid.
Universitas Sumatera Utara
menyamarkan harta atau kekayaan tersangka tersebut”. Sekalipun ada penadahan atau tindak pidana pencucian uang belum langsung terkait
dengan tindak pidana korupsi, tetapi tindak pidana pada umumnya atau tindak pidana lain selain tindak pidana korupsi. Selain itu, tindak pidana tersebut
penadahan dan pencucian uang termasuk kedalam ruang lingkup tindak pidana umum penyidiknya hanya Kepolisian Negara Republik Indonesia
POLRI sedangkan korupsi termasuk kedalam tindak pidana khusus yang boleh disidik oleh lembaga selain POLRI, seperti Kejaksaan atau Komisi
Pemberantasan Korupsi. Bukan tidak mungkin hal ini menyulitkan dalam mengadakan penyidikan maupun tuntutan pidananya;
b. belum dikriminalisasikannya perbuatan : “menyembunyikan atau menyamarkan harta atau kekayaan hasil tindak pidana korupsi yang belum
dikenakan perampasan atau penyitaan oleh negara setelah diputus dan telah memperoleh kekuatan hukum tetap”. Keadaan ini menyebabkan sekalipun
seseorang telah divonis melakukan tindak pidana korupsi, tetapi kerugian keuangan negara belum tentu dapat diperoleh kembali;
2. Belum diatur tentang tata cara pengembalian aset hasil korupsi. Baik aset hasil
korupsi yang berada di dalam negeri dan aset hasil korupsi yang berada di luar negeri. Kepentingan untuk dapat menarik kembali aset hasil korupsi di luar negeri
praktis hanya dapat dilakukan dalam kerangka kerjasama internasional. Hal ini menjadi motivasi utama bagi Indonesia untuk menandatangani United Nations
Convention Against Corruption 2003 UNCAC 2003 Romli Atmasasmita:
Universitas Sumatera Utara
2004 dan meratifikasinya dengan Undang-Undang No. 7 Tahun 2006. Salah satu arti penting konvensi ini bagi Indonesia, adalah untuk meningkatkan kerja sama
internasional khususnya dalam melacak, membekukan, menyita, dan mengembalikan aset-aset hasil tindak pidana korupsi yang ditempatkan di luar
negeri Penjelasan Umum Undang-Undang No. 7 tahun 2006. Mengingat menurut Pasal 41 Undang-Undang No. 30 Tahun 2002, kerjasama internasional
yang dapat dilakukan KPK terbatas dalam hal penyelidikan, penyidikan dan penuntutan tindak pidana korupsi. Sedangkan “pengembalian aset” hasil korupsi
berhubungan dengan tindakan yudisial yang terutama dilakukan melalui putusan pengadilan. Dengan demikian, “pengembalian aset” hasil korupsi belum
sepenuhnya dapat dilakukan jika semata-mata mengandalkan kewenangan yang ada berkenaan dengan kerjasama internasional, khususnya dalam bidang
penyelidikan, penyidikan dan penuntutan. “Pengembalian aset” umumnya hanya dapat terjadi melalui putusan pengadilan, baik pidana ataupun perdata, secara
langsung ataupun dalam kerangka bantuan timbal balik dalam bidang hukum. Pengembalian aset hasil tindak pidana korupsi diatur dalam Bab V, Pasal 51 sd
60 UNCAC 2003. Bab ini merupakan matarantai ketentuan tentang kerjasama internasional dalam pencegahan dan pemberantasan korupsi. Lebih tepatnya
ketentuan konvensi dalam ini berisi tentang kerjasama internasional khusus dalam pengembalian aset hasil tindak pidana korupsi. Sementara mengenai kerjasama
internasional yang umum diatur dalam Bab IV konvensi ini. Dengan demikian, ketentuan konvensi dalam bab ini tidak terkait langsung dengan kenyataan
Universitas Sumatera Utara
kebutuhan instrumen hukum dalam pengembalian aset korupsi yang masih berada di Indonesia. Kebutuhan reformasi hukum pidana korupsi di Indonesia pada satu
sisi sebenarnya adalah pencarian terobosan prosedur hukum yang dapat mengatasi kesulitan-kesulitan terutama dalam mengembalikan aset hasil korupsi yang
masih berada di Indonesia Ketiga, keadaan perundang-undangan korupsi yang memuat berbagai
ketentuan yang saling bertentangan satu sama lain. Keadaan dilematis akibat begitu tersebarnya dan kurang lengkapnya perundang-undangan korupsi diperparah dengan
berbagai ketentuan yang samar, tidak tegas atau ambiguitas sehingga dengan mudah dapat dipertentangkan satu sama lain. Misalnya: Perampasan aset hasil korupsi atau
pembayaran uang pengganti akibat kerugian tindak pidana korupsi, hanya merupakan pidana tambahan. Sesuai dengan sifatnya pidana tambahan hanya dapat ditambahkan
pada pidana pokok, sehingga tidak mempunyai sifat keharusan fakultattif. Dengan demikian, hakim dapat tidak menjatuhkan pidana tambahan berupa perampasan aset
hasil korupsi atau pembayaran uang pengganti. Selain itu, penentuan jumlah uang pengganti sebagai pidana tambahan sebagaimana ditentukan dalam Pasal 18 huruf b
Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 adalah “sebanyak-banyaknya sama dengan harta benda yang diperoleh dari tindak pidana korupsi”. Ketentuan ini menyebabkan
jumlah uang pengganti “boleh tidak sama banyak atau lebih sedikit apabila dibandingkan dengan kerugian keuntungan negara atau perekonomian negara” yang
timbul akibat tindak pidana korupsi. Gambaran mengenai keadaan perundang- undangan korupsi yang demikian memberi kontribusi yang signifikan terhadap
Universitas Sumatera Utara
timbulnya “dilema” dalam melakukan pemberantasan korupsi. Dibutuhkan kebijakan legislatif yang mereformasi secara total perundang-undangan tersebut.
208
B. Dilema Beban Pembuktian Terbalik