Dilema Beban Pembuktian Terbalik

timbulnya “dilema” dalam melakukan pemberantasan korupsi. Dibutuhkan kebijakan legislatif yang mereformasi secara total perundang-undangan tersebut. 208

B. Dilema Beban Pembuktian Terbalik

Pembuktian berasal dari kata bukti yang berarti suatu hal peristiwa dan sebagainya yang cukup untuk memperlihatkan kebenaran suatu hal peristiwa tersebut. Pembuktian adalah perbuatan membuktikan. Membuktikan sama dengan memberi memperlihatkan bukti, melakukan sesuatu sebagai kebenaran, melaksanakan, menandakan, menyaksikan dan meyakinkan. Dikaji dari makna leksikon, pembuktian adalah suatu proses, cara perbuatan membuktikan, usaha menunjukkan benar atau salahnya si terdakwa dalam sidang pengadilan. 209 Dikaji dari perspektif yuridis, menurut M. Yahya Harahap, pembuktian adalah: Ketentuan-ketentuan yang berisi penggarisan dan pedoman tentang cara-cara yang dibenarkan undang-undang membuktikan kesalahan yang didakwakan kepada terdakwa. Pembuktian juga merupakan ketentuan yang mengatur alat-alat bukti yang dibenarkan undang-undang dan yang boleh dipergunakan hakim membuktikan kesalahan yang didakwakan. Persidangan pengadilan tidak boleh sesuka hati dan semena-mena membuktikan kesalahan terdakwa. 210 Pembuktian merupakan suatu proses yang dengan menggunakan alat-alat bukti yang sah dilakukan tindakan dengan prosedur khusus, untuk mengetahui apakah suatu 208 Ibid. 209 Lilik Mulyadi, Bunga Rampai Hukum Pidana, Perspektif, Teoretis Dan Praktik, Op.cit., hal. 92. 210 M. Yahya Harahap, Pembahasan, Permasalahan Dan Penerapan KUHAP, Jilid II, Jakarta: Pustaka Kartini, 1993, hal. 793. Universitas Sumatera Utara fakta atau pernyataan, khususnya fakta atau pernyataan yang diajukan ke pengadilan adalah benar atau tidak seperti yang dinyatakan. 211 Di dalam Pasal 184 KUHAP secara jelas ditetapkan bahwa yang dimaksud dengan alat bukti yang sah adalah : a. keterangan saksi; b. keterangan ahli; c. surat; d. petunjuk; e. keterangan terdakwa. Keterangan saksi sebagai alat bukti diatur dalam Pasal 185 KUHAP. 1 Keterangan saksi sebagai alat bukti ialah apa yang saksi nyatakan di sidang pengadilan. 2 Keterangan seorang saksi saja tidak cukup untuk membuktikan bahwa terdakwa bersalah terhadap perbuatan yang didakwakan kepadanya. 3 Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat 2 tidak berlaku apabila disertai dengan suatu alat bukti yang sah lainnya. 4 Keterangan beberapa saksi yang berdiri sendiri-sendiri tentang suatu kejadian atau keadaan dapat digunakan sebagai suatu alat bukti yang sah apabila keterangan saksi itu ada hubungannya satu dengan yang lain sedemikian rupa, sehingga dapat membenarkan adanya suatu kejadian atau keadaan tertentu. Keterangan Ahli diatur dalam Pasal 186 KUHAP. keterangan ahli ialah apa yang seorang ahli nyatakan di sidang pengadilan. Keterangan ahli adalah apa yang seorang ahli nyatakan di sidang pengadilan di bawah sumpah. Keterangan ini adalah menyangkut pengetahuan ahli sesuai dengan keahliannya. Ini berbeda dengan keterangan saksi, yang menerangkan yang dia alami, dengar atau lihat sendiri. Ahli 211 Alvi Syahrin, Penyidikan Dan Pembuktian Dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 Tentang Perlindungan Dan Pengelolaan Lingkungan Hidup UUPPLH, Op.cit. Universitas Sumatera Utara mungkin tidak melihatnya, tetapi berdasarkan penelitiannya dia dapat menjelaskan masalah tersebut. 212 Surat sebagai alat bukti yang sah diatur dalam Pasal 187 KUHAP. 213 Surat sebagaimana tersebut pada pasal 184 ayat 1 huruf c, dibuat atas sumpah jabatan atau dikuatkan dengan sumpah, adalah: a. berita acara dan surat lain dalam bentuk resmi yang dibuat oleh pejabat umum yang berwenang atau yang dibuat di hadapan yang memuat keterangan tentang kejadian atau keadaan yang didengar, dilihat atau yang dialaminya sendiri, disertai dengan alasan yang jelas dan tegas tentang keterangannya itu; b. surat yang dibuat menurut ketentuan peraturan perundang-undangan atau surat yang dibuat oleh pejabat mengenai hal yang termasuk tata laksana yang menjadi 212 Darwan Prints, Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 2002, hal. 115. 213 Lihat Alvi Syahrin, Penyidikan Dan Pembuktian Dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 Tentang Perlindungan Dan Pengelolaan Lingkungan Hidup UUPPLH, http:alviprofdr.blogspot.com201011penyidikan-dan-pembuktian-dalam-undang.html , diakses terakhir tanggal 3 April 2011. Penjelasan Pasal 187 KUHAP, menyatakan “cukup jelas”, sehingga memunculkan berbagai penafsiran dalam praktek terhadap pengertian “surat” sebagaimana dimaksud pada huruf “a”, “b”, “c” dan “d” dalam Pasal 187 KUHAP. Menurut Lamintang, surat-surat yang dimaksud dalam Pasal 187 huruf a dan b KUHAP, yaitu surat-surat yang biasanya disebut dengan akta-akta resmi atau officiele akten berupa akta-akta otentik atau authentikeke akten ataupun akta-akta jabatan atau ambtelijke akten. Surat atau berita acara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 187 huruf a KUHAP, misalnya: akta notaris atau berita acara pemeriksaan surat. Surat dalam Pasal 187 huruf b, misalnya: sertifikat tanah, berita acara pemeriksaan di tempat kejadian yang dibuat penyidik, putusan pengadilan. Surat dalam Pasal 187 huruf c,merupakan surat keterangan dari ahli yang memuat pendapat berdasarkan keahliannya mengenai sesuatu hal atau suatu keadaan, dan menjadi alat bukti yann dari ahli yang memuat pendapat berdasarkan keahliannya mengenai sesuatu hal atau suatu keadaan, dan menjadi alat bukti yang sah apabila pendapatnya mengenai hal atau keadaan tersebut telah diminta secara resmi kepada ahli tersebut. Keterangan ahli dipandang sebagai suatu permintaan yang resmi, apabila permintaan tersebut diminta oleh pejabat-pejabat tertentu yang disebutkan dalam KUHAP dalam kualitas mereka sebagai penyidik, penuntut umum, hakim. Surat dalam Pasal 187 huruf d KUHAP, merupakan surat yang ada hubungannya dengan alat bukti yang lain. Menurut Yahya Harahap, bentuk surat sebagaimana yang disebut dalam Pasal 187 huruf d KUHAP, dari tinjauan teoritis bukan merupakan alat bukti yang sempurna. Bentuk surat ini tidak mempunyai sifat bentuk formil yang sempurna. Karena itu baik isi dan bentuknya, bukan merupakan alat bukti yang bernilai sempurna dan dapat dikesampingkan begitu saja. Ketentuan Pasal 188 KUHAP, mengatur tentang petunjuk sebagai alat bukti. Petunjuk berdasarkan Pasal 188 ayat 1 KUHAP, adalah perbuatan, kejadian atau keadaan, yang karena persesuaiannya, baik antara yang satu dengan yang lain, maupun dengan tindak pidana itu sendiri, menandakan bahwa telah terjadi suatu tindak pidana dan siapa pelakunya. Kemudian, petunjuk tersebut, berdasarkan Pasal 188 ayat 2 KUHAP hanya dapat diperoleh dari: keterangan saksi, surat dan keterangan terdakwa. Universitas Sumatera Utara tanggung jawabnya dan yang diperuntukkan bagi pembuktian sesuatu hal atau sesuatu keadaan; c. surat keterangan dari seorang ahli yang memuat pendapat berdasarkan keahliannya mengenai sesuatu hal atau sesuatu keadaan yang diminta secara resmi dari padanya; d. surat lain yang hanya dapat berlaku jika ada hubungannya dengan isi dari alat pembuktian yang lain. Petunjuk sebagai alat bukti yang sah diatur dalam Pasal 188 KUHAP: 1 Petunjuk adalah perbuatan, kejadian atau keadaan, yang karena persesuaiannya, baik antara yang satu dengan yang lain, maupun dengan tindak pidana itu sendiri, menandakan bahwa telah terjadi suatu tindak pidana dan siapa pelakunya. 2 Petunjuk sebagaimana dimaksud dalam ayat 1 hanya dapat diperoleh dari : a. keterangan saksi; b. surat; c. keterangan terdakwa. 3 Penilaian atas kekuatan pembuktian dari suatu surat petunjuk dalam setiap keadaan tertentu dilakukan oleh hakim dengan arif lagi bijaksana, setelah ia mengadakan pemeriksaan dengan penuh kecermatan dan kesaksamaan hati nuraninya. Alat bukti sah berupa petunjuk diatur dalam Pasal 26 A Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 Tentang perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi : Alat bukti yang sah dalam bentuk petunjuk sebagaimana dimaksud dalam Pasal 188 ayat 2 Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana, khusus untuk tindak pidana korupsi juga dapat diperoleh dari : a. alat bukti lain yang berupa informasi yang diucapkan, dikirim, diterima, atau disimpan secara elektronik dengan alat optik atau yang serupa dengan itu. Yang dimaksud dengan “disimpan secara elektronik”, misalnya data yang disimpan dakan mikro film, Compact Disk Read Only Memory CD-Room atau Write Once Read Many WORM. Sedangkan yang dimaksud dengan “alat optik atau yang serupa dengan itu” tidak terbatas pada data penghubung elektronik electronic data interchange, surat elektronik e-mail, telegram, teleks dan faksimili. b. dokumen, yakni setiap rekaman data atau informasi yang dapat dilihat, dibaca, dan atau didengar yang dapat dikeluarkan dengan atau tanpa bantuan suatu Universitas Sumatera Utara sarana, baik yang tertuang di atas kertas, benda fisik apa pun selain kertas, maupun yang terekam secara elektronim, yang berupa tulisan, suara, gambar, peta, rancangan, foto, huruf, tanda, angka atau perforasi yang memiliki makna. Keterangan Terdakwa diatur dalam Pasal 189 KUHAP 214 . 1 Keterangan terdakwa ialah apa yang terdakwa nyatakan di sidang tentang perbuatan yang ia lakukan atau yang ia ketahui atau alami sendiri. 2 Keterangan terdakwa yang diberikan di luar sidang dapat digunakan untuk membantu menemukan bukti di sidang, asalkan keterangan itu didukung oleh suatu alat bukti yang sah sepanjang mengenai hal yang didakwakan kepadanya. 3 Keterangan terdakwa hanya dapat digunakan terhadap dirinya sendiri. 4 Keterangan terdakwa saja tidak cukup untuk membuktikan bahwa ia bersalah melakukan perbuatan yang didakwakan kepadanya, melainkan harus disertai dengan alat bukti yang lain. Pasal 37 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 : 1 Terdakwa mempunyai hak untuk membuktikan bahwa ia tidak melakukan tindak pidana korupsi. 2 Dalam hal terdakwa dapat membuktikan bahwa ia tidak melakukan tindak pidana korupsi, maka pembuktian tersebut dipergunakan oleh pengadilan sebagai dasar untuk menyatakan bahwa dakwaannya tidak terbukti. 214 Ibid., Berdasarkan ketentuan Pasal 189 KUHAP, keterangan terdakwa harus dinyatakan di sidang pengadilan, jika keterangan tersebut dinyatakan di luar sidang, maka keterangan terdakwa tersebut dapat dipergunakan untuk “membantu” menemukan bukti dipersidangan, dengan syarat keterangan terdakwa diluar sidang tersebut di dukung oleh suatu alat bukti yang sah dan keterangan yang dinatakannya di luar sidang tadi sepanjang mengenai hal yang didakwakan kepadanya. Bentuk keterangan yang dapat diklassifikasi sebagai keterangan terdakwa yang diberikan di luar sidang, yaitu: keterangan yang diberikan dalam pemeriksaan penyidikan, dan keterangan tersebut dicatat dalam berita acara penyidikan, serta berita acara penyidikan itu ditandatangani oleh pejabat penyidik dan terdakwa. Hal ini sejalan dengan Pasal 75 ayat 1 huruf “a” yang menyatakan : “berita acara dibuat untuk setiap tindakan tentang pemeriksaan tersangka” dan Pasal 75 ayat 3 KUHAP, yang menetapkan: berita acara tersebut selain ditandatangani pejabat yang melakukan pemeriksaan tersangka, juga ditandatangani oleh pihak terlibat dalam hal ini tersangka. Penandatangan berita acara penyidikan oleh tersangka tidak merupakan syarat mutlak, karena berdasarkan Pasal 118 ayat 2 KUHAP, dinyatakan bahwa: dalam hal tersangka dan atau saksi tidak mau membubuhkan tanda tangannya, penyidik mencatat hal itu dalam berita acara dengan menyebutkan alasannya. Berita acara penyidikan tersebut tetap dianggap sah sesuai ketentuan Pasal 118 KUHAP dan Pasal 75 KUHAP. Universitas Sumatera Utara Pasal 191 KUHAP : 1 Jika pengadilan berpendapat bahwa dari hasil pemeriksaan di sidang, kesalahan terdakwa atas perbuatan yang didakwakan kepadanya tidak terbukti secara sah dan meyakinkan, maka terdakwa diputus bebas. 2 Jika pengadilan berpendapat bahwa perbuatan yang didakwakan kepada terdakwa terbukti, tetapi perbuatan itu tidak merupakan suatu tindak pidana, maka terdakwa diputus lepas dari segala tuntutan hukum. KUHAP menetapkan bahwa alat bukti yang sah terdiri dari 5 macam alat bukti. Hal tersebut di atas dapat diartikan bahwa di luar lima macam alat bukti yang sah tersebut tidak ada lagi alat bukti yang sah. 215 Alat bukti yang sah dalam Rancangan Undang-Undang Tentang KUHAP Tahun 2010 diatur dalam pasal 175 ayat 1 mencakup 216 : a. barang bukti 217 ; b. surat-surat; c. bukti elektronik 218 ; d. keterangan seorang ahli; e. keterangan seorang saksi; f. keterangan terdakwa; dan. 215 Alat bukti dalam Rancangan Undang-Undang Republik Indonesia Tentang Pemberantasan Tindak Pidana korupsi Tahun 2010, pasal 33 menyatakan: Alat bukti yang sah selain sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang tentang Hukum Acara Pidana, termasuk juga: a. informasi yang diucapkan, dikirim, diterima, atau disimpan secara elektronik dengan alat optik atau yang serupa dengan itu; b. dokumen, yakni setiap rekaman data atau informasi yang dapat dilihat, dibaca, danatau didengar yang dapat dikeluarkan dengan atau tanpa bantuan suatu sarana, baik yang tertuang di atas kertas, benda fisik apapun selain kertas, maupun yang terekam secara elektronik, yang berupa tulisan, suara, gambar, peta, rancangan, foto, huruf, tanda, angka, atau perforasi yang memiliki makna. 216 Rancangan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor ... Tahun ... Tentang Hukum Acara Pidana , http:www.djpp.depkumham.go.iddaftar-rancangan.html , http:www.djpp.depkumham.go.idprolegnas-2010-2014.html , diakses terakhir tanggal 9 April 2011. 217 Pasal 176 RUU Tentang KUHAP: Barang bukti sebagaimana dimaksud dalam Pasal 175 ayat 1 huruf a adalah alat atau sarana yang dipakai untuk melakukan tindak pidana atau yang menjadi obyek tindak pidana atau hasilnya atau bukti fisik atau materiel yang dapat menjadi bukti dilakukannya tindak pidana. 218 Pasal 178 RUU Tentang KUHAP: Bukti elektronik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 175 huruf c adalah seluruh bukti dilakukannya tindak pidana berupa sarana yang memakai elektronik. Universitas Sumatera Utara g. pengamatan hakim 219 . Ketentuan KUHAP yang menyatakan di luar lima macam alat bukti yang sah tidak ada lagi alat bukti yang sah tersebut diatas, bila dikaji lebih lanjut dalam praktek hukum, bukan saja dapat membingungkan tetapi kadang-kadang dapat menimbulkan kekaburan pengertian dan permasalahan. Dalam praktek peradilan tidak jarang terjadi hakim menunda persidangan disebabkan barang buktibenda sitaan oleh penuntut umum belumtidak dapat diajukan di muka persidangan atau yang diajukan hanya sebagian kecil dari barang bukti sebagai sampel atau contoh. Sehubungan dengan hal tersebut, maka dengan mengacu pada ketentuan yang diatur dalam Pasal 184 KUHAP maka dapat diketahui bahwa benda sitaanbarang bukti tidak termasuk sebagai alat bukti yang sah. Namun demikian, walaupun benda sitaan tersebut secara formal bukan berstatus sebagai alat bukti yang sah, bahkan merupakan benda mati yang tidak dapat berbicara. Akan tetapi dalam praktek penegakan hukumperadilan barang bukti tersebut ternyata dapat dikembangkan dan dapat memberikan keterangan yang berfungsi sebagai alat bukti yang sah dalam bentuk keterangan saksi, keterangan ahli visum et repertum dan keterangan terdakwa. 220 219 Pasal 182 RUU Tentang KUHAP: 1 Pengamatan hakim selama sidang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 175 ayat 1 huruf g adalah didasarkan pada perbuatan, kejadian, keadaan, atau barang bukti yang karena persesuaiannya, baik antara yang satu dengan yang lain, maupun dengan tindak pidana itu sendiri yang menandakan telah terjadi suatu tindak pidana dan siapa pelakunya. 2 Penilaian atas kekuatan pembuktian dari suatu pengamatan hakim selama sidang dilakukan oleh hakim dengan arif dan bijaksana, setelah hakim mengadakan pemeriksaan dengan cermat dan seksama berdasarkan hati nurani. 220 HMA. Kuffal, Op.cit., hal. 26. Universitas Sumatera Utara Berdasarkan uraian tersebut di atas dapat diketahui bahwa benda sitaanbarang bukti meskipun bukan alat bukti yang sah, tetapi dalam praktek penegakan hukum ternyata dapat dikembangkan dan mempunyai fungsi dalam upaya pembuktian dan atau setidak-tidaknya dapat berfungsi sebagai sarana untuk mendukung dan memperkuat “keyakinan” Hakim Pasal 181 KUHAP. 221 Selain itu dengan diajukannya barang bukti di depan persidangan, maka hakim melalui putusannya dapat sekaligus menetapkan status hukum dari barang bukti yang bersangkutan, yaitu dapat ditetapkan untuk diserahkan kepada pihak yang berhak menerimanya kembali, atau dirampas untuk kepentingan Negara atau untuk dimusnahkan atau dirusak sehingga tidak dapat dipergunakan lagi. Pembuktian merupakan masalah yang memegang peranan dalam proses pemeriksaan sidang pengadilan. Dengan pembuktian inilah ditentukan nasib terdakwa. Apabila hasil pembuktian dengan alat-alat bukti yang ditentukan undang- undang tidak cukup membuktikan kesalahan yang didakwakan kepada terdakwa, terdakwa dibebaskan dari hukuman. Sebaliknya kalau kesalahan terdakwa dapat dibuktikan dengan alat-alat bukti yang disebut dalam Pasal 184 KUHAP, terdakwa harus dinyatakan bersalah. Kepadanya akan dijatuhkan hukuman. Oleh karena itu para hakim harus hati-hati, cermat dan matang menilai dan mempertimbangkan masalah pembuktian. Meneliti sampai di mana batas minimum “kekuatan 221 Ibid., hal. 28. Universitas Sumatera Utara pembuktian” atau bewijs kracht dari setiap alat bukti yang disebut dalam Pasal 184 KUHAP. 222 Pada dasarnya, aspek pembuktian sudah dimulai sebenarnya pada tahap penyelidikan perkara pidana. 223 Dalam tahap penyelidikan, tindakan penyelidik untuk mencari dan menemukan sesuatu peristiwa yang diduga sebagai tindak pidana guna dapat atau tidaknya dilakukan penyidikan, disini sudah ada tahapan pembuktian. Begitu pula halnya dengan penyidikan, ditentukan adanya tindakan penyidik untuk mencari serta mengumpulkan bukti dan dengan bukti tersebut membuat terang tindak pidana yang terjadi dan guna menemukan tersangkanya. Oleh karena itu, dengan tolak ukur ketentuan Pasal 1 angka 2 dan angka 5 KUHAP, untuk dapat dilakukannya tindakan penyidikan, penuntutan dan pemeriksaan di sidang pengadilan bermula dilakukan penyelidikan dan penyidikan sehingga sejak tahap awal diperlukan adanya pembuktian dan alat-alat bukti. Konkretnya, pembuktian berawal dari penyelidikan 222 M. Yahya Harahap, Pembahasan, Permasalahan Dan Penerapan KUHAP, Jilid II, Op.cit., hal. 793. 223 Lihat Adami Chazawi, Hukum Pembuktian Tindak Pidana Korupsi, Bandung: PT. Alumni, 2008, hal. 15, bahwa Kegiatan pembuktian di sidang pengadilan dapat dibedakan menjadi 2 bagian, yaitu: 1. Bagian kegiatan pengungkapan fakta; dan 2. Bagian pekerjaan penganalisisan fakta yang sekaligus penganalisisan hukum. Bagian pembuktian yang pertama, adalah kegiatan pemeriksaan alat-alat bukti yang diajukan dimuka sidang pengadilan oleh JPU dan PH a decharge atau atas kebijakan majelis hakim. Proses pembuktian bagian pertama ini akan berakhir pada saat ketua majelis menyatakan diucapkan secara lisan dalam sidang bahwa pemeriksaan perkara selesai Pasal 184 ayat 1 huruf a. Dimaksudkan selesai menurut pasal ini tiada lain adalah selesai pemeriksaan untuk mengungkap atau mendapatkan fakta-fakta dari alat-alat bukti dan barang bukti yang diajukan dalam sidang termasuk pemeriksaan setempat. Bagian pembuktian yang kedua, ialah bagian pembuktian yang berupa penganalisisan fakta- fakta yang didapat dalam persidangan dan penganalisisan hukum masing-masing tiga pihak tersebut. Oleh jaksa penuntut umum, pembuktian dalam arti kedua ini dilakukan dalam surat tuntutan requisitoir. Bagi penasihat hukum, pembuktian dilakukan dalam nota pembelaan pledooi, dan majelis hakim akan dibahas dalam putusan akhir vonis yang dibuatnya. Universitas Sumatera Utara dan berakhir sampai adanya penjatuhan pidana vonnis oleh hakim di depan sidang pengadilan baik ditingkat Pengadilan Negeri atau Pengadilan Tinggi yudex facti jika perkara tersebut dilakukan upaya hukum banding hogerberoeprevisi. Proses pembuktian hakikatnya memang lebih dominan pada sidang pengadilan guna menemukan kebenaran materiil akan peristiwa yang terjadi dan memberi keyakinan kepada hakim tentang kejadian tersebut sehingga hakim dapat memberikan putusan seadil mungkin. Pada proses pembuktian ini ada korelasi dan interaksi mengenai apa yang akan diterapkan hakim dalam menemukan kebenaran materill melalui tahap pembuktian, alat-alat bukti dan proses pembuktian terhadap aspek-aspek sebagai berikut: a. Perbuatan-perbuatan manakah yang dapat dianggap terbukti; b. Apakah telah terbukti, bahwa terdakwa bersalah atas perbuatan-perbuatan yang didakwakan kepadanya; c. Delik apakah yang dilakukan sehubungan dengan perbuatan-perbuatan itu; d. Pidana apakah yang harus dijatuhkan kepada terdakwa. 224 Secara gradual Sistem Hukum Pidana Indonesia SHPI meliputi hukum pidana materiil dan hukum pidana formal. Hukum pidana materiil terdapat dalam KUHP maupun di luar KUHP. Kemudian, hukum pidana formal bersumber pada Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara 224 Lilik Mulyadi, Bunga Rampai Hukum Pidana, Perspektif, Teoretis Dan Praktik, Op.cit., hal. 92-93. Universitas Sumatera Utara Pidana KUHAP. Oleh karena itu, tindak pidana umum dalam KUHP sebagaimana halnya tindak pidana korupsi mengenal hukum pembuktian. 225 Hukum pembuktian adalah memuat dan mengatur tentang berbagai unsur pembuktian yang tersusun dan teratur saling berkaitan dan berhubungan sehingga membentuk suatu kebulatan perihal pembuktian, yang jika dilihat dari segi keteraturan dan keterkaitan dalam suatu kebulatan itu dapat juga disebut dengan sistem pembuktian. Sistem pembuktian adalah merupakan ketentuan tentang bagaimana cara dalam membuktikan dan sandaran dalam menarik kesimpulan tentang terbuktinya apa yang dibuktikan. Pengertian sistem pembuktian yang mengandung isi yang demikian, dapat pula disebut dengan teori atau ajaran pembuktian. 226 Di lingkungan hukum acara pidana dikenal adanya beberapa teori atau sistem pembuktian sebagai berikut 227 : 1. Sistem pembuktian menurut keyakinan atau conviction in time. Sistem pembuktian convection in time menentukan salah tidaknya seorang terdakwa, semata-mata ditentukan oleh penilaian “keyakinan” hakim. Keyakinan 225 Lilik Mulyadi, Pembalikan Beban Pembuktian Tindak Pidana Korupsi, Op.cit., hal. 9. 226 Adami Chazawi, Op.cit., hal. 24-25. 227 M. Yahya Harahap, Pembahasan, Permasalahan Dan Penerapan KUHAP, Jilid II, Op.cit., hal. 797. Lihat juga, Lilik Mulyadi, Pembalikan Beban Pembuktian Tindak Pidana Korupsi, Op.cit, hal. 9-10, bahwa secara teoretis Ilmu Pengetahuan Hukum Acara Pidana mengenal 3 tiga teori sistem pembuktian, yaitu berupa: Kesatu, sistem pembuktian menurut undang-undang secara positif positief wettelijke bewijs theorie dengan tolak ukur sistem pembuktian bergantung kepada eksistensi alat-alat bukti yang secara limitatif disebut dalam undang-undang, singkatnya, undang-undang telah menentukan adanya alat-alat bukti mana dapat dipakai hakim, cara bagaimana hakim mempergunakannya, kekuatan alat-alat bukti tersebut dan bagaimana caranya hakim harus memutus terbukti atau tidaknya perkara yang sedang diadili. Kedua, sistem pembuktian menurut keyakinan hakim polarisasinya hakim dapat menjatuhkan putusan berdasarkan “keyakinan” belaka dengan tidak terikat oleh suatu peraturan. Ketiga, sistem pembuktian menurut undang-undang Negatif negatief wettelijke bewijs theorie, yaitu hakim hanya boleh menjatuhkan pidana kepada terdakwa apabila alat bukti tersebut secara limitatif ditentukan undang-undang dan didukung pula adanya keyakinan hakim terhadap eksistensinya alat-alat bukti yang bersangkutan. Universitas Sumatera Utara hakim yang menentukan terbuktinya kesalahan terdakwa. Dari mana hakim menarik dan menyimpulkan keyakinannya, tidak menjadi masalah dalam system ini. Keyakinan boleh diambil dan disimpulkan hakim dari alat-alat bukti yang diperiksanya dalam sidang pengadilan. Begitu juga hasil pemeriksaan alat-alat bukti itu diabaikan oleh hakim dan langsung menarik keyakinan dari keterangan atau pengakuan terdakwa. 2. Sistem pembuktian menurut keyakinan berdasarkan alasan yang jelas dan dapat diterima atau conviction raisonee 228 . Dalam sistem ini dikatakan bahwa, keyakinan hakim tetap memegang peranan penting dalam menentukan salah tidaknya seorang terdakwa. Akan tetapi dalam sistem pembuktian ini, faktor keyakinan hakim “dibatasi”. Jika dalam sistem pembuktian conviction in time peran keyakinan hakim leluasa tanpa batas, maka pada sistem pembuktian conviction raisonee keyakinan hakim harus didukung dengan “alasan-alasan yang jelas”. Hakim wajib menguraikan dan menjelaskan alasan-alasan apa yang mendasari keyakinannya atas kesalahan terdakwa. Tegasnya, keyakinan hakim dalam sistem conviction raisonee, harus dilandasi oleh reasoning atau alasan- alasan. Dan reasoning itu sendiri harus pula reasonable, yakni berdasar alasan yang dapat diterima. Keyakinan hakim harus mempunyai dasar-dasar alasan yang logis dan 228 Ibid., hal. 798. Universitas Sumatera Utara benar-benar dapat diterima akal. Tidak semata-mata atas dasar keyakinan yang tertutup tanpa uraian alasan yang masuk akal. 3. Sistem pembuktian menurut undang-undang secara positif 229 Pembuktian menurut undang-undang secara positif adalah merupakan pembuktian yang bertolak belakang dengan sistem pembuktian menurut keyakinan atau conviction in time. Pembuktian menurut undang-undang secara positif, keyakinan hakim tidak ikut ambil bagian dalam membuktikan kesalahan terdakwa. Keyakinan hakim dalam sistem ini tidak ikut berperan menentukan salah atau tidaknya terdakwa. Sistem ini berpedoman pada prinsip pembuktian dengan alat-alat bukti yang ditentukan undang-undang. Untuk membuktikan salah atau tidaknya terdakwa semata-mata digantungkan kepada alat-alat bukti yang sah. Jika sudah dipenuhi syarat-syarat dan ketentuan pembuktian menurut undang-undang, sudah cukup menentukan kesalahan terdakwa tanpa mempersoalkan keyakinan hakim. Apakah hakim yakin atau tidak tentang kesalahan terdakwa bukan menjadi masalah dalam sistem ini. Apabila sudah terpenuhi cara-cara pembuktian dengan alat-alat bukti yang sah menurut undang- undang, hakim tidak lagi menanyakan keyakinan hati nuraninya akan kesalahan terdakwa. 229 Ibid., hal. 798. Universitas Sumatera Utara Dalam sistem ini, hakim seolah-olah robot pelaksana undang-undang yang tidak memiliki hati nurani. Hati nuraninya seolah-olah tidak ikut hadir dalam menentukan salah atau tidaknya terdakwa. Disatu sigi sistem ini mempunyai kebaikan. Sistem ini benar-benar menuntut hakim suatu kewajiban mencari dan menemukan kebenaran salah atau tidaknya terdakwa sesuai dengan tatacara pembuktian dengan alat-alat bukti yang telah ditentukan undang-undang. Dari sejak semula pemeriksaan perkara, hakim harus melemparkan dan mengenyampingkan jauh-jauh faktor keyakinannya. Hakim semata-mata berdiri tegak pada nilai pembuktian objektif tanpa mencampuradukkan hasil pembuktian yang diperoleh di persidangan dengan unsur subjektif keyakinannya. Hakim majelis menemukan hasil pembuktian yang objektif sesuai dengan cara dan alat-alat bukti yang sah menurut undang-undang, mereka tidak perlu lagi menanya dan menguji hasil pembuktian tersebut dengan hati nuraninya. Jika dibandingkan dengan sistem pembuktian keyakinan atau conviction in time, maka sistem pembuktian menurut undang-undang secara positif lebih sesuai dibandingkan dengan sistem pembuktian menurut keyakinan. Sistem pembuktian menurut undang-undnag secara positif lebih dekat kepada prinsip penghukuman berdasarkan hukum. Artinya penjatuhan hukuman terhadap seseorang, semata-mata tidak diletakkan di bawah kewenangan hakim tetapi di atas kewenangan undang- undang yang berlandaskan asas seorang terdakwa baru dapat dihukum dan dipidana Universitas Sumatera Utara jika apa yang didakwakan kepadanya benar-benar terbukti berdasar cara dan alat-alat bukti yang sah menurut undang-undang. 4. Sistem pembuktian secara negatif menurut undang-undang. 230 Sistem pembuktian menurut undang-undang secara negatif negatif wettelijk stelsel merupakan teori antara sistem pembuktian menurut undang-undang secara positif dengan sistem pembuktian menurut keyakinan atau conviction in time. Sistem pembuktian menurut undang-undang secara negatif merupakan suatu sistem keseimbangan antara kedua sistem yang saling bertolak belakang secara ekstrim. Dari keseimbangan tersebut, sistem pembuktian menurut undang-undang secara negatif “menggabungkan” ke dalam dirinya secara terpadu sistem pembuktian menurut keyakinan dengan sistem pembuktian menurut undang-undang secara positif. Dari 230 Lihat Alvi Syahrin, Penyidikan Dan Pembuktian Dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 Tentang Perlindungan Dan Pengelolaan Lingkungan Hidup UUPPLH, Op.cit., bahwa Sistem pembuktian di dalam Hukum Acara Pidana menganut sistem negatif negatief wettelijk bewijsleer yang berarti yang dicari oleh hakim yaitu kebenaran materil. Berdasarkan sistem pembuktian ini, pembuktian didepan pengadilan agar suatu pidana dapat dijatuhkan oleh hakim, harus memenuhi dua syarat mutlak, yaitu: alat bukti yang cukup dan keyakinan hakim. Pengertian “alat bukti yang cukup” dapat dikaitkan dengan ketentuan Pasal 183 KUHAP yang menyebutkan: “Hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seorang kecuali apabila dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah ia memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan bahwa terdakwalah yang bersalah melakukannya.”, Dipenuhinya sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah, belum cukup untuk menjatuhkan hukuman pada tersangka, perlu adanya keyakinan hakim untuk itu. Sebaliknya, jika hakim sudah cukup yakin akan kesalahan tersangka, namun tidak tersedia alat bukti yang cukup, hakim juga tidak dapat menjatuhkan pidana, artinya hakim tidak dapat menjatuhkan pidana hanya didasarkan kepada keyakinannya saja tanpa dibarengi dua alat bukti yang sah. Suatu alat bukti bukti yang dipergunakan di pengadilan perlu memenuhi beberapa syarat, diantaranya: a. diperkenankan oleh undang-undang untuk dipakai sebagai alat bukti. b. reability, yaitu alat bukti tersebut dapat dipercaya keabsahannya. c. necessity, yakni alat bukti yang diajukan memang diperlukan untuk membuktikan suatu fakta. d. relevance, yaitu alat bukti yang diajukan mempunyai relevansi dengan fakta yang akan dibuktikan. Universitas Sumatera Utara hasil penggabungan kedua sistem yang saling bertolak belakang tersebut, terwujudlah suatu “sistem pembuktian menurut undang-undang secara negatif”, yang rumusannya berbunyi: salah tidaknya seorang terdakwa ditentukan oleh keyakinan hakim yang didasarkan kepada cara dan dengan alat-alat bukti yang sah menurut undang-undang. Berdasarkan rumusan diatas, untuk menyatakan salah atau tidaknya seorang terdakwa, tidak cukup berdasarkan keyakinan hakim semata-mata atau hanya semata- mata didasarkan atas keterbuktian menurut ketentuan dan cara pembuktian dengan alat-alat bukti yang ditentukan undang-undang. 231 Seorang terdakwa baru dapat dinyatakan bersalah apabila kesalahan yang didakwakan kepadanya dapat dibuktikan dengan cara dan dengan alat-alat bukti yang sah menurut undang-undang serta sekaligus keterbuktian kesalahan tadi ditambah dengan keyakinan hakim. Bertitik 231 Ibid., Suatu alat bukti yang akan diajukan ke pengadilan merupakan alat bukti yang harus relevan dengan yang akan dibuktikan. Alat bukti yang tidak relevan akan membawa resiko dalam proses pencarian keadilan, diantaranya: akan menimbulkan praduga-praduga yang tidak perlu sehingga membuang-buang waktu, penilaian terhadap masalah yang diajukan menjadi tidak proporsional karena membesar-besarkan masalah yang kecil atau mengecilkan masalah yang sebenarnya besar, yang hal ini akan menyebabkan proses peradilan menjadi tidak sesuai lagi dengan asas peradilan yang dilakukan dengan cepat, sederhana dan biaya ringan serta bebas, jujur dan tidak memihak. Menurut Munir Fuady, untuk melihat apakah suatu alat bukti yang diajukan relevan atau tidak dengan fakta yang akan dibuktikan, terlebih dahulu perlu menjawab beberapa pertanyaan, diantaranya: a. Apakah yang akan dibuktikan oleh alat bukti tersebut? b. Apakah yang dibuktikan itu merupakan hal yang materialsubstansial bagi kasus tersebut? c. Apakah bukti tersebut memiliki hubungan secara logis dengan masalah yang akan dibuktikan? d. Apakah bukti tersebut cukup menolong menjelaskan persoalan atau cukup memiliki unsur pembuktian? Setelah menjawab pertanyaan diatas, dan jawabannya positif, dilanjutnya dengan pertanyaan tahap kedua, yaitu apakah ada ketentuan lain yang merupakan alasan untuk menolak alat bukti yang diajukan tersebut. Alasan atau aturan yang harus dipertimbangkan tersebut, antara lain: a. Bagaimana dengan penerimaan alat bukti secara terbatas? b. Alat bukti tersebut ditolak manakala penerimanya dapat menyebabkan timbulnya praduga yang tidak fair atau dapat menyebabkan kebingunangan. c. Merupakan saksi de auditu yang harus ditolak. d. Ada alasan instrinsik yang dapat membenarkan alat bukti tersebut, misalnya adanya perbaikan yang dilakukan kemudian. e. Adanya pembatasan-pembatasan untuk menggunakan bukti karakter. Universitas Sumatera Utara tolak dari uraian diatas, untuk menentukan salah atau tidaknya seorang terdakwa menurut sistem pembuktian undang-undang secara negatif, terdapat dua komponen: a. pembuktian harus dilakukan menurut ketentuan cara dan dengan alat-alat bukti yang sah menurut undang-undang; dan b. keyakinan hakim yang juga harus didasarkan atas ketentuan cara dan dengan alat- alat bukti yang sah menurut undang-undang. Dengan demikian sistem ini memadukan unsur-unsur objektif dan subjektif dalam menentukan salah atau tidaknya seorang terdakwa. Tidak ada yang paling dominan di antara kedua unsur tersebut. Karena kalau salah satu di antara dua unsur itu tidak ada, berarti belum cukup mendukung keterbuktian kesalahan terdakwa. Misalnya, ditinjau dari segi ketentuan cara dan dengan alat-alat bukti yang sah menurut undang-undang, kesalahan terdakwa jelas cukup terbukti. Sekalipun sudah cukup terbukti, hakim sendiri tidak yakin akan kesalahan tedakwa yang sudah terbukti maka dalam hal seperti ini, terdakwa tidak dapat dinyatakan bersalah. Sebaliknya, hakim benar-benar yakin terdakwa sungguh-sungguh bersalah melakukan kejahatan yang didakwakan, akan tetapi keyakinan tersebut tidak didukung dengan pembuktian yang cukup menurut cara dan dengan alat-alat bukti yang sah menurut undang-undang. Dalam hal seperti ini, terdakwa tidak dapat dinyatakan bersalah. Oleh karena itu antara kedua komponen tersebut harus “saling mendukung”. Universitas Sumatera Utara Menurut Martiman Prodjohamidjojo, dalam pembuktian delik korupsi dianut dua teori pembuktian, yakni 232 : 1. teori bebas, yang diturut oleh terdakwa 233 dan 2. teori negatif menurut undang-undang, yang diturut oleh penuntut umum 234 . Terhadap pembuktian terbalik terbatas dan berimbang dalam UU No. 31 Tahun 1999, Martiman Prodjohamidjojo menggambarkan 235 : 1. Sikap terdakwa. Bagi terdakwa, wacana demikian ada segi-segi yang perlu diperhatikan dalam memilih alternatif: apakah ia akan menggunakan hak itu atau tidak. Karena menggunakan hak atau tidak, semuanya ada konsekuensinya. Dalam 232 Martiman Prodjohamidjojo, Penerapan Pembuktian Terbalik Dalam Delik Korupsi UU No. 31 Tahun 1999, Bandung : Mandar Maju, 2001, hal. 108. 233 Pasal 37 UU No. 31 Tahun 1999: 1 Terdakwa mempunyai hak untuk membuktikan bahwa ia tidak melakukan tindak pidana korupsi. 2 Dalam hal terdakwa dapat membuktikan bahwa ia tidak melakukan tindak pidana korupsi, maka keterangan tersebut dipergunakan sebagai hal yang menguntungkan baginya. 3 Terdakwa wajib memberikan keterangan tentang seluruh harta bendanya dan harta benda istri atau suami, anak, dan harta benda setiap orang atau korporasi yang diduga mempunyai hubungan dengan perkara yang bersangkutan. 4 Dalam hal terdakwa tidak dapat membuktikan tentang kekayaan yang tidak seimbang dengan penghasilannya atau sumber penambah kekayaannya, maka keterangan tersebut dapat digunakan untuk memperkuat alat bukti yang sudah ada bahwa terdakwa telah melakukan tindak pidana korupsi. 5 Dalam keadaan sebagaimana dimaksud dalam ayat 1, ayat 2, ayat 3, dan ayat 4, penuntut umum tetap berkewajiban untuk membuktikan dakwaannya. Adapun dalam penjelasan pasal 37 disebutkan : Ketentuan ini merupakan suatu penyimpangan dari ketentuan Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana yang menentukan bahwa jaksa yang wajib membuktikan dilakukannya tindak pidana, bukan terdakwa. Menurut ketentuan ini terdakwa dapat membuktikan bahwa ia tidak melakukan tindak pidana korupsi. Apabila terdakwa dapat membuktikan hal tersebut tidak berarti ia tidak terbukti melakukan korupsi, sebab penuntut umum masih tetap berkewajiban untuk membuktikan dakwaannya. Ketentuan pasal ini merupakan pembuktian terbalik yang terbatas, karena jaksa masih tetap wajib membuktikan dakwaannya. 234 Pasal 183 KUHAP: Hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seorang, kecuali apabila dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah ia memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan bahwa terdakwalah yang bersalah melakukannya. 235 Martiman Prodjohamidjojo, Op.cit., hal. 110-112. Universitas Sumatera Utara menggunakan hak terdakwa ada dua hal yang harus diperhatikan oleh terdakwa, yakni: a. untuk membuktikan bahwa ia tidak melakukan delik korupsi sebagaimana didakwakan oleh penuntut umum b. ia berkewajiban untuk keterangan tentang seluruh harta bendanya sendiri, harta benda istrinya, atau suaminya, harta benda setiap orang atau korporasi yang diduga ada kaitannya dengan perkara yang bersangkutan. Pada syarat pertama ini, merupakan penyimpangan dari ketentuan KUHAP, yang menentukan bahwa Penuntut Umum wajib membuktikan dilakukan tindak pidana, bukan terdakwa. Menurut ketentuan ini terdakwa dapat membuktikan dalilnya, bahwa ia tidak melakukan tindak pidana korupsi. Syarat kedua ialah ia berkewajiban memberikan keterangan tentang asal usulperolehan hak atau usulpelepasan hak atas harta bendanya pribadi, anak istrinya, ataupun orang lain atau korporasi yang diduga berkaitan dengan delik korupsi tersebut. Perolehanpelepasan hak itu mengenai kapan; bagaimana dan siapa-siapa saja yang terlibat dalam perolehanpelepasan hak itu serta mengapa dan sebab-sebab apa perolehan atau peralihan itu terjadi. Penggunaan hak terdakwa ini dapat menguntungkan dan merugikan kedudukan terdakwa dalam pembelaannya. 2. Sikap Penutut Umum Penuntut umum tidak mempunyai hak tolak atas hak yang diberikan undang- undang kepada terdakwa, namun tidak berarti penuntut umum tidak memiliki hak Universitas Sumatera Utara untuk menilai dari sudut pandang penuntut umum dalam requisitornya. Apabila terdakwa dapat membuktikan hak tersebut, bahwa ia tidak melakukan delik korupsi, tidak berarti bahwa ia tidak terbukti melakukan korupsi, sebab penuntut umum masih berkewajiban untuk membuktikan dakwaannya. Ketentuan pasal ini merupakan pembuktian terbalik terbatas, karena penuntut umum masih tetap wajib membuktikan dakwaannya sesuai dengan teori negatif menurut undang- undang apakah terdakwa bersalah atau tidak. 3. Sikap Hakim Terhadap keterangan terdakwa itu, hakim akan mempertimbangkan semuanya dan sikap Hakim bebas dalam menentukan pendapatnya, sebagai berikut: a. keterangan terdakwa itu hanya berlaku bagi terdakwa sendiri saja b. jika keterangan terbukti tidak melakukan delik korupsi, maka keterangan itu dipakai sebagai hal yang menguntungkan pribadinya. c. jika terdakwa tidak dapat membuktikan tentang kekayaan yang tidak seimbangsebanding dengan penghasilan atau sumber penambahan kekayaan, maka keterangan itu, dapat dipergunakan untuk memperkuat bukti yang sudah ada bahwa terdakwa telah melakukan tindak pidana korupsi, atau dengan kata lain, keterangan itu merugikan bagi kedudukan terdakwa. Universitas Sumatera Utara 4. Perhatian bagi penegak hukum Perlu diperhatikan dalam menerapkan teori negatif menurut undang-undang negatif wettelijk, terdapat dua hal yang merupakan syarat, yakni: a. wettelijk, oleh karena alat-alat bukti yang sah dan yang ditetapkan oleh undang-undang. b. negatif, oleh karena dengan alat-alat bukti yang sah dan ditetapkan oleh undang-undang saja belum cukup untuk memaksa hakim pidana menganggap bukti sudah diberikan, akan tetapi masih dibutuhkan keyakinan hakim. Dengan demikian antara alat-alat bukti dengan keyakinan hakim diharuskan adanya hubungan causal sebab akibat. 236 Ketentuan hukum positif Indonesia tentang tindak pidana korupsi diatur dalam UU Nomor 31 Tahun 1999 jo UU Nomor 20 Tahun 2001. 237 Pada UU tersebut maka ketentuan mengenai pembuktian perkara korupsi terdapat dalam Pasal 12B ayat 1 huruf a dan b, Pasal 37, Pasal 37 A dan Pasal 38B. Apabila dicermati maka UU Tindak Pidana Korupsi mengklasifikasikan pembuktian menjadi 3 tiga sistem: 236 Ibid. 237 Pada undang-undang Nomor 20 Tahun 2001 dilahirkan suatu sistem pembuktian terbalik, yang khusus diberlakukan untuk tindak pidana korupsi. Menurut sistem ini terdakwa harus membuktikan, bahwa gratifikasi yang diterimanya bukan merupakan suap. Dengan demikian berlaku asas praduga bersalah Artinya, bahwa sesuatu gratifikasi yang diterima oleh seorang pegawai negeri atau penyelenggara negara adalah suap, kecuali ia dapat membuktikan sebaliknya. Oleh karena itu, sistem ini merupakan pengecualian atas asas praduga tidak bersalah atau presumption of innocence sebagaimana diatur dalam Pasal 8 ayat 1 Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman : Setiap orang yang disangka, ditangkap, ditahan, dituntut, atau dihadapkan di depan pengadilan wajib dianggap tidak bersalah sebelum ada putusan pengadilan yang menyatakan kesalahannya dan telah memperoleh kekuatan hukum tetap. Universitas Sumatera Utara 1. pembalikan beban pembuktian dibebankan kepada terdakwa untuk membuktikan dirinya tidak melakukan tindak pidana korupsi. 238 Pembalikan beban pembuktian ini berlaku untuk tindak pidana suap menerima gratifikasi yang nilainya sebesar Rp. 10.000.000,00 sepuluh juta rupiah atau lebih Pasal 12 B ayat 1 huruf a dan terhadap harta benda yang belum didakwakan yang ada hubungannya dengan tindak pidana korupsi Pasal 38B. Apabila mengikuti polarisasi pemikiran pembentuk UU sebagai kebijakan legislasi, ada beberapa pembatasan yang ketat terhadap penerapan pembalikan beban pembuktian dikaitkan dengan hadiah yang wajar bagi pejabat. Pembatasan tersebut berorientasi kepada aspek hanya diterapkan kepada pemberian gratifikasi dalam delik suap, pemberian tersebut dalam jumlah Rp. 10.000.000,00 atau lebih, berhubungan dengan jabatannya in zijn bediening dan yang melakukan pekerjaan yang bertentangan dengan kewajiban in strijd met zijn plicht dan harus melapor ke Komisi Pemberantasan Korupsi KPK. 238 Di dalam penjelasan umum Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 disebutkan: “...undang-undang ini juga menerapkan pembuktian terbalik yang bersifat terbatas atau berimbang , yakni terdakwa mempunyai hak untuk membuktikan bahwa ia tidak melakukan tindak pidana korupsi dan wajib memberikan keterangan tentang seluruh harta bendanya dan harta benda istri atau suami, anak dan harta benda setiap orang atau korporasi yang diduga mempunyai hubungan dengan perkara yang bersangkutan dan penuntut umum tetap berkewajiban membuktikan dakwaannya”. Di dalam penjelasan umum Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 disebutkan: Ketentuan mengenai “pembuktian terbalik” perlu ditambahkan dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagai ketentuan yang bersifat “premium remidium” dan sekaligus mengandung sifat prevensi khusus terhadap pegawai negeri sebagaimana di maksud dalam Pasal 1 angka 2 atau terhadap penyelenggara negara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 Undang- Undang Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi dan Nepotisme, untuk tidak melakukan tindak pidana korupsi. Pembuktian terbalik ini diberlakukan pada tindak pidana baru tentang gratifikasi dan terhadap tuntutan perampasan harta benda terdakwa yang diduga berasal dari salah satu tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2, Pasal 3, Pasal 4, Pasal 13, Pasal 15 dan Pasal 16 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dan Pasal 5 sampai dengan Pasal 12 Undang-Undang ini. Universitas Sumatera Utara 2. pembalikan beban pembuktian yang bersifat semi terbalik atau berimbang terbalik dimana beban pembuktian diletakkan baik terhadap terdakwa maupun Jaksa Penuntut Umum secara berimbang terhadap obyek pembuktian yang berbeda secara berlawanan Pasal 37A. 3. sistem konvensional dimana pembuktian tindak pidana korupsi dan kesalahan terdakwa melakukan tindak pidana korupsi dibebankan sepenuhnya kepada Jaksa Penuntut Umum. Aspek ini dilakukan terhadap tindak pidana suap menerima gratifikasi yang nilainya kurang dari Rp. 10.000.000,00 sepuluh juta rupiah Pasal 12 B ayat 1 huruf b dan tindak pidana korupsi pokok. 239 Sistem Hukum Pidana Indonesia khususnya terhadap beban pembuktian dalam tindak pidana korupsi secara normatif mengenal asas pembalikan beban pembuktian yang ditujukan terhadap kesalahan orang Pasal 12 B ayat 1, Pasal 37 UU Nomor 31 Tahun 1999 jo UU Nomor 20 Tahun 2001 dan kepemilikan harta kekayaan pelaku tindak pidana korupsi Pasal 37A, Pasal 38 B UU Nomor 31 Tahun 1999 jo UU Nomor 20 Tahun 2001. Secara kronologis pembalikan beban pembuktian bermula dari sistem pembuktian yang dikenal dari negara penganut rumpun Anglo-Saxon terbatas pada “certain cases” khususnya terhadap tindak pidana “gratification” atau pemberian yang berkorelasi dengan “bribery” suap, misalnya seperti di United Kingdom of Great Britain, Republik Singapura dan Malaysia. 239 Lilik Mulyadi dalam Varia Peradilan, Majalah Hukum Tahun Ke XXII No. 264 November 2007, Asas Pembalikan Beban Pembuktian Terhadap Tindak Pidana Korupsi Dalam Sistem Hukum Pidana Indonesia Dihubungkan Dengan Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa Anti Korupsi, 2003, hal. 37. Universitas Sumatera Utara Di United Kingdom of Great Britain atas dasar “Prevention of Corruption Act 1916” terdapat pengaturan apa yang dinamakan “Praduga korupsi untuk kasus-kasus tertentu” Presumption of corruption in certain cases 240 yang redaksional berbunyi sebagai berikut: “where in any proceeding againts a person for an offence under the Prevention of Corruption Act 1906, or the Public Bodies Corrupt Practices Act 1889, it is proved that any money, gift, or other employment of His Majesty or any Government Department or a public body by or from a person, or agent of a person, holding or seeking to obtain a contract from His Majesty or any Government Department or public body, the money, gift, or consideration shall be deemed to have been paid or given and received corruptly as such inducement or reward as in mentioned in such Act unless the contrary is proved”. 241 Di Malaysia, atas dasar Pasal 42 Akta Pencegahan Rasuah 1997 “Anti Corruption Act, 1997 Act 575” yang mulai berlaku sejak tanggal 8 Januari 1998 menentukan: “Where in any proceeding against any person for an offence under section 10, 11, 13, 14 or 15 it is proved that any gratification has been accepted or agreed to be acepted, obtained, solicited, given or agreed to be given, promised or offered by or to the accused, the gratification shall be presumed to have corruptly accepted or agreed to be accepted, obtained or attempted to be obtained, solicited, given or agreed to be given, promised, or offered as an inducement or a reward for or on account of the matters set out in the particulars of the offence, unless the contrary is proved”. 242 Pada setiap proses terhadap setiap orang yang didakwa melanggar Pasal 10, 11, 13, 14 atau 15 telah dibuktikan bahwa suatu pemberian gratification telah diterima atau setuju untuk diterima, diperoleh, atau dicoba untuk diperoleh, didapatkan, diberikan atau setuju untuk diberikan atau dijanjikan, atau ditawarkan oleh atau kepada terdakwa maka pemberian itu dianggap secara korup telah diterima atau setuju untuk 240 Ibid., hal. 38. 241 Muladi, Sistem Pembuktian Terbalik, Omkering van Bewijslast atau Reverse Burden of Proof atau Shifting Burden of Proff, Varia Peradilan, Majalah Hukum Tahun XVI, No. 190, Juli 2001, hal. 122. 242 Lilik Mulyadi, Pembalikan Beban Pembuktian Tindak Pidana Korupsi, Op.cit., hal. 12. Universitas Sumatera Utara diterima, diperoleh atau dicoba untuk diperoleh, didapat, diberikan atau setuju untuk diberikan, dijanjikan, atau ditawarkan sebagai suatu bujukan atau hadiah untuk suatu atau karena hal yang dinyatakan secara khusus dalam delik itu, kecuali dapat dibuktikan sebaliknya. 243 Di dalam rumusan Pasal 42 ACA Anti Corruption Act ini ternyata bahwa pembalikan beban pembuktian berlaku bagi penerima passieve omkoping dan pemberi actieve omkoping dengan kata-kata ... by or to the accuse ...oleh atau kepada terdakwa. Pasal 42 ayat 2 ACA dinyatakan, bahwa ketentuan tentang pembalikan beban pembuktian ini berlaku juga bagi delik suap di dalam Penal Code atau KUHP Malaysia. Lengkapnya Pasal 42 ayat 2 ACA tersebut berbunyi: Where in any proceeding against any person for an offence under section 161, 162, 163, or 164 of the Penal Code, it is proved that such person has accepted or agreed to accept, or obtained or attempted to obtain any gratification, such person shall be presumed to have done so as motive or reward for the matters set out in the particulars of the offence, unless the contrary is proved. Pada semua proses terhadap setiap orang yang didakwa melanggar Pasal 161, 162, 163 atau 164 KUHP Malaysia, telah dibuktikan bahwa orang itu telah menerima atau setuju untuk menerima atau memperoleh atatu mencoba untuk memperoleh suatu pemberian gratification, maka orang itu dianggap telah melakukan perbuatan demikian sebagai motif atau hadiah atas hal-hal yang dinyatakan secara khusus dalam delik itu, kecuali dibuktikan sebaliknya. Maksud kalimat: ... hal-hal yang dinyatakan secara khusus dalam delik itu, ... adalah bagian dari delik bestanddelen yang harus dibuktikan oleh penuntut umum, menjadi tidak usah dibuktikan karena sebaliknya terdakwalah yang harus membuktikannya. Rumusan Pasal 42 ayat 2 ACA adalah sama dengan rumusan Pasal 12 B Undang- Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2001 Tentang Perubahan atas Undang- Undang Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak 243 Ermansjah Djaja, Memberantas Korupsi Bersama KPK, Op.cit., hal. 351. Universitas Sumatera Utara Pidana Korupsi. 244 Atas dasar Undang-Undang Malaysia Akta 575, Akta Pencegahan Rasuah 1997 ada kewajiban bagi pegawai badan awam untuk melaporkan transaksi penyogokan, dengan ancaman pidana berat bagi yang tidak melakukannya maksimum 100,000 ringgit atau penjara maksimum 10 tahun atau kedua-duanya. 245 Berikutnya di Singapura, atas dasar “Prevention of Corruption Act Chapter 241” ditegaskan pula sebagai berikut: “Where in any proceeding against a person for an offence inder section 5 or 6, it is proved that any gratification has been paid or given to or received by a person in the employment of the Government or any department there of or of a public body by or from a person or agent of a person who has or seeks to have any dealing with the Government or any department there of or any public body, that gratification shall be deemed to have been paid or given and received corruptly as a inducement or reward as herein before mentioned unless the contrary is proved”. 246 Keluarnya UU Nomor 20 Tahun 2001 maka pembalikan beban pembuktian 247 dikenal juga dalam rumpun hukum Eropa Kontinental seperti Indonesia. Secara eksplisit ketentuan Pasal 12 B UU Nomor 20 Tahun 2001 selengkapnya berbunyi sebagai berikut: 1 Setiap gratifikasi kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara dianggap pemberian suap apabila berhubungan dengan jabatannya dan yang berlawanan dengan kewajiban atau tugasnya, dengan ketentuan sebagai berikut: 244 Ibid., hal 351-352. 245 Muladi, Sistem Pembuktian Terbalik, Op.cit., hal. 123. 246 Lilik Mulyadi, Asas Pembalikan Beban Pembuktian Terhadap Tindak Pidana Korupsi Dalam Sistem Hukum Pidana Indonesia Dihubungkan Dengan Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa Anti Korupsi, 2003, Op.cit., hal. 39. 247 Dalam Ketentuan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001, dikenal pembalikan beban pembuktian terbalik yang bersifat absolutmutlak seperti ketentuan pasal 12 b ayat 1 huruf a dan ketentuan pasal 38 B yang dilakukan oleh terdakwa semata-mata dan oleh Penuntut Umum sebagaimana ketentuan Pasal 12 B ayat 1 huruf b dan Pasal 38 C Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 dan terdakwa maupun Penuntut Umum secara berimbang membuktikan sebagaimana ketentuan Pasal 37 dan Pasal 37 A. Universitas Sumatera Utara a. yang nilainya Rp. 10.000.000,00 sepuluh juta rupiah atau lebih, pembuktian bahwa gratifikasi tersebut bukan merupakan suap dilakukan oleh penerima gratifikasi ; b. yang nilainya kurang dari Rp. 10.000.000,00 sepuluh juta rupiah, pembuktian bahwa gratifikasi tersebut suap dilakukan oleh penuntut umum. 2 Pidana bagi pegawai negeri atau penyelenggara negara sebagaimana dimaksud dalam ayat 1 adalah pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 empat tahun dan paling lama 20 dua puluh tahun, dan pidana denda paling sedikit Rp. 200.000.000,00 dua ratus juta rupiah dan paling banyak Rp. 1.000.000.000,00 satu miliar rupiah. Eksistensi pembalikan beban pembuktian dari perspektif kebijakan legislasi dikenal dalam tindak pidana korupsi sebagai ketentuan yang bersifat “premium remidium” dan sekaligus mengandung prevensi khusus. Tindak pidana korupsi sebagai extra ordinary crimes yang memerlukan extra ordinary enforcement dan extra ordinary measures maka aspek krusial dalam kasus-kasus tindak pidana korupsi adalah upaya pemenuhan beban pembuktian dalam proses yang dilakukan aparat penegak hukum. Dimensi ini diakui Oliver Stolpe bahwa: “One of the most difficult issues facing prosecutors in large-scale corruption cases is meeting the basic burden of proof when prosecuting offenders and seeking to recover proceeds.” 248 Ditetapkannya pembalikan beban pembuktian maka menjadi beralih beban pembuktian shifting of burden proof dari Jaksa Penuntut Umum kepada terdakwa. Akan tetapi, walaupun pembalikan beban pembuktian dilarang terhadap kesalahanperbuatan orang dan keseluruhan delik korupsi akan tetapi secara normatif diperbolehkan terhadap gratifikasi delik penyuapan dan perampasan harta kekayaan 248 Lilik Mulyadi, Pembalikan Beban Pembuktian Tindak Pidana Korupsi, Op.cit., hal. 22. Universitas Sumatera Utara pelaku tindak pidana korupsi. Dalam praktik hal ini telah diterapkan Pengadilan Tinggi Hongkong Court of Appeal of Hong Kong berdasarkan ketentuan Pasal 11 ayat 1 Hong Kong Bill of Rights Ordinance 1991. Apabila dikaji secara selayang pandang dimensi filosofis mengapa kebijakan legislasi menerapkan adanya eksistensi pembalikan beban pembuktian dalam tindak pidana korupsi disebabkan ada kesulitan dalam Sistem Hukum Pidana Indonesia untuk melakukan pembuktian terhadap perampasan harta kekayaan pelaku offender apabila dilakukan dengan mempergunakan teori pembuktian negatif. Akibatnya, diperlukan ada aspek yuridis luar biasa dan perangkat hukum luar biasa pula berupa sistem pembalikan beban pembuktian sehingga tetap menjungjung tinggi asas praduga tidak bersalah presumption of innocence dengan tetap memperhatikan Hak Asasi Manusia HAM, dan juga tetap memperlakukan sistem pembuktian beyond reasonable doubt. 249 Bekerjanya suatu pembuktian bergantung kepada objek apa yang harus dibuktikan. Jika terdakwa korupsi suap menerima gratifikasi, maka objek pembuktian ada 4 empat antara lain: 1. objek apa yang diterima oleh terdakwa; 2. objek yang didakwakan bukan terdakwa yang menerimanya; 3. tidak adanya hubungan antara objek apa yang diterima terdakwa dengan jabatan dan kedudukan terdakwa; 4. apa yang diterima terdakwa tidaklah berlawanan dengan kewajiban atau tugasnya. 249 Lilik Mulyadi, Asas Pembalikan Beban Pembuktian Terhadap Tindak Pidana Korupsi Dalam Sistem Hukum Pidana Indonesia Dihubungkan Dengan Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa Anti Korupsi, 2003, Op.cit., hal. 40. Universitas Sumatera Utara Mengenai objek pembuktian yang pertama, bahwa apa yang diterima terdakwa bukan masuk pada pengertian gratifikasi sebagaimana yang dimaksud dalam pasal 12 B ayat 1. Hal yang pertama ini sangat sulit dilakukan terdakwa, mengingat begitu luasnya pengertian gratifikasi tersebut. Pengertian gratifikasi ada diterangkan dalam penjelasan pasal 12 B. Karena itu, terdakwa atau penasihat hukum akan membuktikan sejak saat pemeriksaan alat-alat bukti di sidang pengadilan, maupun pada saat pembelaan, bahwa apa yang diterimanya itu bukanlah masuk pada pengertian gratifikasi. Apabila apa yang diterima itu bukanlah merupakan gratifikasi, maka dakwaan tindak pidana korupsi suap menerima gratifikasi tidak terbukti. 250 Mengenai pembuktian yang kedua, ialah terdakwa membuktikan bahwa yang menerima sesuatu bukanlah terdakwa, tetapi orang lain. Cara membuktikan yang demikian pun bisa dilakukan terdakwa. Apabila terdakwa berhasil membuktikan bahwa sesuatu penerimaan yang didakwakan bukan terdakwa yang menerimanya, maka terdakwa pun akan dibebaskan hakim. 251 Mengenai objek pembuktian yang ketiga dan keempat, ialah bahwa penerimaan itu bukan berhubungan dengan jabatannya dan berlawanan dengan kewajiban atau tugasnya. Jadi, mengacu langsung pada unsur-unsur tindak pidana korupsi suap menerima gratifikasi, tetapi kebalikan secara negatif yakni tidak ada unsur-unsur tindak pidana korupsi tersebut. Unsur-unsur tindak pidana korupsi suap pegawai negeri atau penyelenggara negara menerima gratifikasi, ialah: 250 Darwan Prinst, Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 2002, hal. 127. 251 Ibid. Universitas Sumatera Utara 1. adanya suatu yang diterima, yakni berupa gratifikasi; 2. penerimaan ada hubungannya dengan jabatan dan kedudukan; 3. penerimaan itu bertentangan dengan kewajiban dan tugas jabatannya pasal 12 B ayat 1. 252 252 Ibid., hal. 127-128. Universitas Sumatera Utara

BAB IV KESIMPULAN DAN SARAN