Bahan hukum tertier atau bahan hukum penunjang yang mencakup bahan hukum yang memberi petunjuk-petunjuk dan penjelasan terhadap bahan hukum
primer dan bahan hukum sekunder, seperti kamus umum, kamus hukum, majalah dan jurnal ilmiah, serta bahan-bahan lain diluar bidang hukum yang dianggap relevan dan
berguna untuk melengkapi data yang diperlukan dalam penelitian.
3. Teknik Pengumpulan Data
Untuk memperoleh data yang diperlukan dalam penelitian ini, maka penulis menggunakan metode pengumpulan data berupa penelitian kepustakaan library
research. Data yang diperoleh melalui penelitian kepustakaan tersebut selanjutnya akan dipilah-pilah guna memperoleh kaedah-kaedah hukum yang kemudian
dihubungkan dengan isu hukum dan kemudian disistematisasikan sehingga menghasilkan klasifikasi yang selaras dengan isu hukum. Selanjutnya data yang
diperoleh tersebut akan dianalisis secara induktif kualitatif untuk sampai pada kesimpulan, sehingga pokok permasalahan yang dibahas dalam penelitian ini dapat
dijawab.
Universitas Sumatera Utara
4. Analisis Data
Analisis data dilakukan secara kualitatif
56
, yaitu melakukan analisis secara eksploratif terhadap peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan masalah
aset tindak pidana korupsi. Kemudian data yang diperoleh dibuat sistematikanya sehingga akan menghasilkan klasifikasi tertentu sesuai dengan permasalah yang
dibahas dalam penelitian ini. Data yang dianalisis secara kualitatif akan dikemukakan dalam bentuk uraian secara sistematis pula dengan menjelaskan hubungan antara
berbagai jenis data, selanjutnya semua data diseleksi dan diolah kemudian dianalisis secara deskriptif sehingga selain menggambarkan dan mengungkapkan dasar
hukumnya, juga dapat memberikan solusi terhadap permasalahan.
56
M. Syamsudin, Operasionalisasi Penelitian Hukum, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2007 hal. 133, pengolahan dan analisis data kualitatif lebih menekankan analisisnya pada proses
penyimpanan deduktif dan induktif serta dinamika hubungan fenomena yang diamati, dengan menggunakan logika ilmiah, berusaha menjawab pertanyaan penelitian melalui cara-cara berpikir
formal dan argumentatif.
Universitas Sumatera Utara
BAB II KEBIJAKAN HUKUM PIDANA DALAM PERAMPASAN ASET
HASIL TINDAK PIDANA KORUPSI
A. Perkembangan Hukum Di Dunia Internasional Mengenai Penyitaan Dan Perampasan Hasil Tindak Pidana
Dewasa ini, pemberantasan korupsi difokuskan kepada tiga isu pokok, yaitu pencegahan, pemberantasan, dan pengembalian aset hasil korupsi asset recovery.
57
Ada dua hal yang fundamental berhubungan dengan pengembalian aset asset recovery yaitu
58
: 1. Menentukan harta kekayaan apa yang harus dipertanggungjawabkan untuk
dilakukan penyitaan; dan 2. Menentukan dasar penyitaan suatu harta kekayaan.
Pada Pasal 3 United Nations Convention Against Corruption UNCAC 2003 tentang pembekuan, perampasan, penyitaan dan pengembalian atas aset yang terjadi akibat
pelanggaran atas konvensi, ada beberapa hal yang perlu diperhatikan adalah : 1. Pembuktian harta kekayaan merupakan hasil dari pelanggaran konvensi pasal 31
ayat 1 huruf a. 2. Pembuktian penggunaannya dalam rangka pelanggaran konvensi pasal 31 ayat
1 huruf b.
57
Saldi Isra, Asset Recovery Tindak Pidana Korupsi Melalui Kerjasama Internasional, http:www.saldiisra.web.idindex.php?option=com_contentview=articleid=80:asset-recovery-
tindak-pidana-korupsi-melalui-kerjasama-internasionalcatid=23:makalahItemid=11 , diakses terakhir tanggal 27 Februari 2011.
58
I Ktut Sudiharsa, Pengembalian Asset Kejahatan Korupsi, http:dongulamo.comjoomla- overviewcategory7-artikel.html , diakses terakhir tanggal 5 Maret 2011.
29
Universitas Sumatera Utara
3. Pembuktian adanya perubahan bentuk terhadap harta kekayaan pasal 31 ayat 4. 4. Pembuktian percampuran harta kekayaan yang sah dan yang melanggar konvensi
pasal 31 ayat 5. 5. Pembuktian bahwa harta kekayaan merupakan penerimaan atau keuntungan yang
diperoleh dari : a. Pelanggaran terhadap konvensi.
b. Perubahan bentuk harta kekayaan dari pelanggaran konvensi. c. Integrasi harta kekayaan sah dan pelanggaran konvensi.
Dalam menentukan dasar hukum penyitaan, UNCAC menentukan agar negara-negara peserta harus membuat ketentuan untuk pelaksanaan penyitaan terhadap harta
kekayaan dari pelanggaran konvensi. Indonesia sebagai negara yang telah menandatangani UNCAC berkewajiban untuk melaksanakan prinsip-prinsip dasar
konvensi yaitu: 1. Adanya tanggung jawab pemerintah untuk mengembangkan kebijakan anti
korupsi yang efektif; 2. Perlunya melibatkan masyarakat;
3. Pentingnya kerjasama internasional.
59
Pemberantasan korupsi tidak hanya terletak pada upaya pencegahan maupun pemidanaan para koruptor saja, tetapi juga meliputi tindakan yang dapat
mengembalikan kerugian keuangan negara akibat dari kejahatan extraordinary tersebut. Kegagalan pengembalian aset hasil korupsi dapat mengurangi makna
59
Ibid.
Universitas Sumatera Utara
penghukuman terhadap para koruptor. Upaya pengembalian aset negara yang dicuri stolen asset recovery melalui tindak pidana korupsi tipikor cenderung tidak mudah
untuk dilakukan. Para pelaku tipikor memiliki akses yang luar biasa luas dan sulit dijangkau dalam menyembunyikan maupun melakukan pencucian uang money
laundering hasil tindak pidana korupsinya. Permasalahan menjadi semakin sulit untuk upaya recovery dikarenakan tempat penyembunyian safe haven hasil
kejahatan tersebut yang melampaui lintas batas wilayah negara dimana tindak pidana korupsi itu sendiri dilakukan.
60
Perjuangan menentang “penyakit” korupsi secara global berujung dengan terbentuknya konvensi-konvensi PBB. Pasal 2 huruf a United Nation Convention
Against Transnational Crime UNCATC Tahun 2000 memasukkan tipikor sebagai salah satu kejahatan lintas batas yang dilakukan oleh organized criminal group.
Kesadaran tersebut kemudian dilanjutkan dengan terbentuknya United Nation Convention Against Corruption UNCAC Tahun 2003 yang menyatakan bahwa
korupsi tidak lagi merupakan masalah lokal di suatu negara tetapi juga dapat mempengaruhi perekomian global sehingga diperlukan kerjasama internasional untuk
“mengatasinya”. UNCAC telah diratifikasi oleh Indonesia melalui UU No. 7 Tahun 2006. UNCAC juga memberikan peluang untuk memudahkan pengembalian aset
curian yang dihalangi ketentuan kerahasian bank, dengan syarat; negara tempat aset itu disimpan meratifikasi UNCAC. Pasal 40 UNCAC menyatakan bahwa setiap
negara pihak wajib memastikan terdapatnya mekanisme yang layak dalam sistem
60
Saldi Isra, Op.cit.
Universitas Sumatera Utara
hukum nasionalnya untuk mengatasi halangan-halangan yang mungkin timbul dari UU kerahasian bank atas penyidikan terhadap kasus-kasus pidana yang ditentukan
dalam UNCAC tersebut. Dalam hal upaya pembekuan, penyitaan dan perampasan asset negara yang dicuri melalui tipikor yang ditentukan Pasal 31 UNCAC juga
pasal-pasal lainnya sesungguhnya hanyalah ketentuan pasif yang tidak dapat memaksa negara-negara safe haven untuk bekerjasama mengembalikan asset korupsi
yang tersimpan di negaranya. Dalam mengaktifkan ketentuan tersebut masih diperlukan kerjasama internasional diantara negara-negara dunia. Hanya saja hal
tersebut tentu menjadi kendala bagi negara-negara berkembang yang tidak memiliki bargaining position yang kuat dalam kancah politik internasional.
61
Kendala kerjasama dan belum diratifikasinya UNCAC oleh banyak negara- negara besar menjadi penghambat utama dalam mengembalikan aset-aset curian dari
tipikor. Aset kekayaan yang dicuri tersebut sangat membantu pembangunan negara- negara dunia berkembang dan miskin. Berdasarkan pentingnya upaya pengembalian
asset tersebut bagi negara berkembang, maka perlu diketahui sejauhmana peran dari konvensi PBB dan program inisiatif seperti StAR itu sendiri bagi pengembalian aset
curian tipikor. Romli Atmasasmita berpendapat bahwa upaya pengembalian asset
61
Ibid., Langkah terbaru dalam upaya pengembalian asset curian adalah melalui usaha kerjasama Bank Dunia dan United Nation office of Drugs and Crime UNODC yang meluncurkan
prakarsa yang disebut Stolen Asset Recovery StAR Initiative pada 17 September 2007. Ide StAR initiative tersebut dilandasi kesadaran Bank Dunia bahwa negara-negara berkembang memerlukan
bantuan dalam mengembalikan asset-asset curian yang diakibatkan tindak pidana. Program StAR initiative “diluncurkan” dengan optimisme yang luar biasa. StAR initiative bukanlah instrumen hukum
yang langsung dapat diterapkan sebagaimana konvensi-konvensi PBB yang lain dikarenakan bergantung kepada efektifnya kemitraan antara negara maju dengan negara berkembang serta antara
lembaga-lembaga bilateral dan multilateral terkait. StAR juga berkaitan dengan diratifikasi atau tidaknya UNCAC oleh sebuah negara.
Universitas Sumatera Utara
melalui peran Konvensi dan ratifikasi konvensi tersebut dengan UU tidak akan banyak berarti apabila tidak diikuti langkah-langkah teknis dan strategi diplomasi
yang baik oleh Indonesia negara-negara berkembang. Sehingga menurut Romli Atmasasmita, untuk mengatasi hal tersebut harus diperhatikan bagaimana membatasi
prinsip-prinsip intervensi yang kaku dari kedaulatan negara yang dapat menghambat kerjasama internasional dalam upaya pengembalian aset curian dari tipikor.
62
Perkembangan terakhir di dunia Internasional mengenai penyitaan dan perampasan hasil dan instrumen tindak pidana sebagai upaya menekan tingkat
kejahatan, dapat dilihat dari uraian berikut
63
: 1.
Perserikatan Bangsa-Bangsa atau PBB, dalam kurun waktu 10 Tahun terakhir, telah menyetujui dan menetapkan sejumlah konvensi yang berkaitan dengan
upaya menekan tingkat kejahatan, yaitu United Nation Convention Against Illicit Trafic in Narkotic Drugs and Phychotropic Substance pada tahun 1988 dan
62
Ibid., Menurut Komisi Hukum Nasional terdapat beberapa permasalahan bagi terlaksananya ketentuan UNCAC terutama yang berkenanan dengan asset recovery yang diturunkan dengan program
StAR Initiative, yaitu; 1.
StAR initiative bukanlah sarana yang mudah digunakan oleh negara berkembang untuk memperoleh kembali uang yang dicuri melalui korupsi dan disimpan di pusat-pusat finansial yang
terdapat di negara-negara maju yang dibentengi dengan hukum, profesionalisme, teknologi serta politik.
2. Implementasi StAR initiative serta keberhasilannya sangat tergantung kepada keikutsertaan dan kepatuhan negara maju serta negara berkembang tanpa kecuali. Tanpa ini, StAR initiative akan
tetap tinggal sebagai wacana, bukan sebagai the missing link in an effective anti corruption effort dan constitute a formidable deterrent to corruption.
3. Belum diterimanya UNCAC oleh setengah dari Negara G-8 dan oleh pusat-pusat finansial dunia di mana uang curian disimpan, perbedaan sistem hukum common law-civil law, lemahnya negara
berkembang dalam institusi publik, sistem hukum dan penegakannya, tidak tegasnya political will, lemahnya kerjasama internasional, lemahnya dukungan professional yang diperlukan dan lain-
lain, dipastikan menimbulkan kesulitan bagi negara berkembang untuk dapat memanfaatkan StAR initiative dan memetik buahnya dengan mudah. Lagi-lagi negara berkembang perlu dibantu oleh
unsur luar yaitu World Bank Group-UNODC di mana di dalamnya duduk negara-negara maju dan bantuan apapun bentuknya tidak ada yang prodeo.
63
Romli Atmasasmita, Op.cit., hal. 116-117.
Universitas Sumatera Utara
United Nations Convention on Transnational Organized Crime UNTOC pada 2000 serta United Nation Convention Against Corruption UNCAC pada 2003.
Salah satu bagian penting dari konvensi-konvensi PBB tersebut adalah adanya pengaturan yang berkatian dengan penelusuran, penyitaan, dan perampasan hasil
dan instrumen tindak pidana termasuk kerja sama internasional dalam rangka pengembalian hasil dan instrumen tindak pidana antarnegara.
2. Pemerintah Inggris pada 2002 menetapkan suatu Undang-Undang Proceed of
Crime Act POCA yang antara lain mengatur mengenai penyitaan dan perampasan hasil dan instrumen tindak pidana.
64
Sejak undang-undang ini diberlakukan pada 2003, aparat penegak hukum di Inggris telah berhasil
merampas sekitar 234 juta pondsterling atau setara dengan 4,38716 trilyun rupiah hasil dan instrumen tindak pidana.
3. Pemerintah Australia pada 2002 juga menetapkan Proceed of Crime Act.
Ketentuan baru ini membuka kesempatan yang sangat luas bagi aparat penegak hukum untuk menyita dan merampas aset tindak pidana.
64
Lihat Purwaning M. Yanuar, Op.cit., hal. 220-221, dalam sistem hukum nasional Inggris dikenal dua sistem penyitaan, yaitu : sistem yang berdasarkan propertikekayaan atau disebut juga in
rem system dan sistem yang berdasarkan nilai atau disebut in personam system. Jika sistem hukum nasional menganut in rem system, penyitaan dilakukan atas kekayaan yang berhubungan dengan tindak
pidana yang dilakukan oleh pelaku. Kekayaan tersebut meliputi kekayaan yang diperoleh dari dan dengan segala keuntungan dan kekayaan yang digunakan dalam tindak pidana tersebut, tanpa
menghiraukan kepemilikan atas kekayaan-kekayaan tersebut. Jika sistem hukum nasional menganut in personam system, penyitaan dilakukan hanya atas kekayaan yang dimiliki oleh pelaku tindak pidana,
tanpa melihat apakah ada hubungan antara kekayaan tersebut dengan tindak pidana. Dengan sistem ini kekayaan apapun yang dimiliki pelaku tindak pidana, baik yang diperoleh sebelum maupun setelah
dilakukannya tindak pidana, dapat menjadi objek penyitaan, selama kekayaan tersebut berada di bawah hak milik pelaku atau terpidana.
Universitas Sumatera Utara
4. Pemerintah Selandia Baru pada 2005 juga menetapkan Criminal Proceeds and
Instruments Bill setelah melihat keberhasilan Australia dan Inggris menerapkan ketentuan yang serupa.
5. Pemerintah Nigeria pada 1998-2006 berhasil menyita dan merampas hasil tindak
pidana korupsi yang dilakukan oleh Jenderal Sani Abacha, mantan presiden Nigeria, dalam jumlah 800 juta dollar AS dari dalam negeri dan 505,5 juta dollar
AS dari Swiss. 6.
Pemerintah Peru selama kurun waktu 2000-2001 melakukan reformasi hukum dan pengadilan yang secara fundamental meningkatkan kemampuan penyidikan,
pengungkapan jaringan pelaku tindak pidana korupsi dan pengembalian hasil tindak pidana korupsi. Sebagai hasilnya, pada 2001 Peru menerima kembali 33
juta dollar AS dari Kepulauan Cayman dan 2002 menerima 77,5 juta dollar dari Swiss serta 2004 menerima 20 juta dollar dari Amerika Serikat. Dana ini berasal
dari hasil Korupsi Vladimiro Montesinos, kepala intelijen polisi pada pemerintahan Presiden Alberto Fujimori.
7. Pemerintah Philippina selama 18 tahun antara 1986-2004 berhasil menyita dan
merampas 624 juta dollar AS dari Swiss. Dana tersebut berasal dari hasil korupsi Ferdinand Marcos, mantan Presiden Philippina.
Universitas Sumatera Utara
Instrumen Internasional mengenai perampasan aset tindak pidana telah mengalami perkembangan
65
, baik dari sisi teori pembuktian maupun praktik peradilan di beberapa negara terhadap perkara tindak pidana serius seperti tindak
pidana narkotika, korupsi, pencucian uang dan di bidang perpajakan. Perkembangan dalam teori pembuktian adalah dengan pemberlakuan teori pembuktian terbalik
reversal burden of proof yang semula ditentang oleh banyak negara maju dan berkembang. Keyakinan bahwa pembuktian terbalik merupakan instrumen yang
ampuh dalam membuktikan asal usul harta kekayaan seseorang yang diduga kuat
65
Lihat Romli Atmasasmita, Op.cit, Hal. 96-97. Lahirnya ketentuan Bab V tentang Asset Recovery dalam konvensi PBB Anti-Korupsi 2003 didahului oleh tiga resolusi sidang umum PBB
Anti Korupsi 2003 didahului oleh tiga resolusi sidang umum PBB yaitu sebagai berikut: 1. Resolusi sidang majelis umum PBB No. 5188 tanggal 20 Desember 2000, “Preventing and
Combating Corrupt Pratices and Illegal Transfer of Funds and Repatriation of such funds to Countries of Origin”;
2. Resolusi sidang majelis umum PBB No. 56260 Tanggal 31 Januari 2002, yang meminta Komite Adhoc Negosiasi Draft. Konvensi PBB Anti Korupsi untuk memasukkan suatu pendekatan multi
disiplin termasuk pencegahan dan petindakan terhadap transfer aset berasal dari korupsi; dan 3. Resolusi Badan Ecosoc Tahun 200113 Tanggal 24 Juli 2001, “Strenghtening International
Cooperation in Preventing and Combating the Transfer of Funds of Illicit Origin, including Laundering of Funds”.
Ketiga resolusi di atas ditindaklanjuti dengan Loka Karya Teknis dengan topik, Transfer Abroad of Funds or Asset of Illicit Origin;
1. Return of Funds or Assets of Illicit Origin. 2. Prevention of the Transfer of Funds or Assets of Illicit Origin.
Sejarah perkembangan “Asset Recovery” dapat ditelusuri dari beberapa instrument internasional mengenai korupsi dan pencucian uang sebagai berikut:
1. United Nations Convention Againts Transnational Organized Crime Tahun 2000 UN General
Assembly Resolution No.5525 Annex 1. 2. The Convention on Laundering, Search, Seizure, and Confiscation of the Proceeds From Crime
ETS No.141-Strasbourg 8 November 1990. 3. Criminal Law Convention on Corruption of the Council of Europe adopted in 1999; entry into
force in 2003. 4. Civil Law Convention on Corruption of the Council of Europe adopted in 1999, entry into force
in 2002. 5. The Inter-American Convention Againts Corruption of the Organization of American State
adoption in 1996, entry into force in 1997. 6. The Convention on Combating Bribery of Foreign Public Officials in International Business
Transaction of the Organization Economic Cooperation and Development adopted in 1997, entry into force, 2004.
Universitas Sumatera Utara
berasal dari tindak pidana atau digunakan untuk melakukan suatu tindak pidana semakin menguat terutama setelah Konvensi PBB Anti Korupsi Tahun 2003
mengatur ketentuan pembuktian terbalik tersebut. Pengaturan tersebut mencerminkan suatu kehendak masyarakat internasional untuk menerapkan pembuktian terbalik
tersebut dalam hal-hal tertentu.
66
Penerapan pembuktian terbalik reversal burden of proof dalam perampasan aset, secara teoretis diperbolehkan dengan pertimbangan sebagai berikut: pertama,
doktrin dalam sistem hukum Common Law menegaskan bahwa harta hasil tindak pidana ialah harta kekayaan negara sehingga harta kekayaan tersebut harus
dikembalikan kepada negara. Sehubungan dengan perampasan aset tindak pidana, dikenal “Relation-back doctrine”. Atas dasar doktrin ini maka perampasan aset telah
terjadi sejak perpindahan kepemilikan atas aset negara kepada seseorang. Intinya dokrin ini membolehkan berlaku surut sampai sejak tempus delicti perpindahan aset
tindak pidana tersebut. Perampasan atas aset ini dianggap telah terjadi sejak aset tersebut berpindah tangan. Namun Mahkamah Agung Amerika Serikat menegaskan
bahwa, doktrin tersebut tidak berlaku surut kecuali jika pemerintah memperoleh putusan pengadilan yang memerintahkan penyitaan tersebut. Dengan kata lain,
doktrin tersebut tidak bersifat “self-executing”. Pertimbangan kedua, yaitu pembuktian terbalik tidak merupakan pelanggaran atas prinsip praduga tak bersalah
dan privilege againts selfincrimination. Sekalipun Mahkamah HAM Uni Eropa
66
Romli Atmasasmita, Op.cit., hal. 97-99.
Universitas Sumatera Utara
secara prinsipil tidak menolak praduga atas fakta dan hukum, pembuktian atas praduga tersebut dibebankan kepada tersangka sesuai dengan hukum acara yang
berlaku dan membuka kemungkinan untuk membuktikan dirinya tidak bersalah. Pendapat yang lebih tegas dinyatakan dalam putusan Mahkamah HAM Uni-Eropa
dalam kasus Phoam Hamg v Perancis 25 September 1992. Mahkamah menegaskan bahwa, pertimbangan apa yang dimaksud dengan “resiko” merujuk kepada sisi
kewaspadaan yang lebih besar dalam menghargai hak asasi manusia dari tersangkatertuduh.
67
Inti persoalan dalam pembuktian terbalik bukan masalah pelanggaran atas hak asasi tersangka an sich melainkan terletak pada sejauh mana undang-undang
memberikan kesempatan dan keleluasaan seorang tersangka untuk membuktikan sebaliknya. Model pembuktian terbalik yang dibolehkan dalam sistem hukum Uni-
Eropa adalah pembuktian terbalik tidak murni atau partial reversal burden of proof. Undang-Undang Hukum Pidana Belanda 1996 telah menganut model pembuktian
terbalik tidak murni sebagaimana tercantum dalam pasal 36 yang membolehkan penyitaan terhadap harta kekayaan yang diduga kuat berasal dari tindak pidana
dengan syarat tersangka telah dituntut melakukan tindak pidana dengan ancaman
67
Ibid., Putusan Mahkamah Hak Asasi Manusia Uni Eropa dalam perkara Phoam Hang, pertimbangan penerapan pembuktian terbalik dalam perampasan aset secara keperdataan harus
dilandaskan pada “proportionality test” atau “tes kelayakan”. Tes kelayakan masih memiliki kelemahan-kelemahan. Di antara kelemahan ini dan penting untuk diketahui bahwa untuk meneliti
lebih jauh apakah praduga atas fakta dan hukum presumption of fact or law, sesuaicocok dengan praduga tak bersalah, pengadilan tidak hanya menilai penerapan praduga tersebut telah dilaksanakan
melainkan harus menyelidiki apakah undang-undang telah dengan benar memberikan kesempatan kepada tersangkatertuduh untuk mengajukan bukti lawan. Tes kelayakan proportionality dalam
pelaksanaannya harus dinilai oleh pengadilan yang bebas dan mandiri.
Universitas Sumatera Utara
kategori kelima dan tersangka diduga telah menikmati hasil tindak pidana yang telah dilakukannya. Sistem hukum Civil Law, masih tidak sepenuhnya mendukung model
pembuktian terbalik tidak murni genuine reversal of the burden of proof. Dalam praktik, persoalannya penuntut umum sering menghadapi hambatan bagaimana cara
efektif dan efisien untuk melaksanakan pembuktian terbalik terhadap aset tindak pidana dengan melalui tuntutan secara pidana. Hal ini disebabkan pembuktian melalui
jalur kepidanaan harus terlebih dahulu dibuktikan dengan bukti permulaan yang cukup mengenai kesalahan tersangka prof beyond a reasonable doubt, kemudian
dilaksanakan perampasan aset tindak pidana lainnya yang telah dikonversikan atau dihibahkan kepada pihak ketiga atas dasar pembuktian terbalik. Model perampasan
aset ini selain menyita waktu, juga dalam praktik sering dihadapkan kenyataan, tersangka melarikan diri atau tidak diketahui keberadaannya atau telah meninggal
dunia. Selain itu kesulitan lain adalah dalam melacakmenelusuri perpindahan aset kepada orang lain terutama jika dilakukan secara tunai atau ditransfer dalam hitungan
detik dengan teknologi masa kini
68
Civil forfeiture atau civil recovery digunakan apabila proceeding pidana yang kemudian diikuti dengan pengambilalihan asset cosfiscation tidak dapat dilakukan,
yang bisa diakibatkan karena lima hal, yaitu : pemilik aset telah meninggal dunia, berakhirnya proses pidana karena terdakwa bebas, penuntutan pidana terjadi dan
berhasil tetapi pengambilalihan aset tidak berhasil, terdakwa tidak berada dalam batas
68
Ibid., hal. 101-102.
Universitas Sumatera Utara
yurisdiksi, nama pemilik aset tidak diketahui, tidak ada bukti yang cukup untuk mengawali gugatan pidana. Dalam implementasinya, civil forfeiture menggunakan
sistem pembuktian terbalik dimana pemerintah cukup mempunyai bukti awal bahwa asset yang akan diambil adalah hasil, berhubungan atau digunakan untuk kejahatan.
69
Aplikasi ekstra territorial memang tidak pernah luput dari berbagai kendala, terutama apabila tidak ada kerja sama yang efektif dengan pemerintah negara lain.
Dengan demikian, mutual legal assistance menjadi faktor penting. Mutual legal assistance sangat dibutuhkan tidak hanya untuk membantu asset recovery melalui
gugatan pidana, tetapi juga melalui gugatan perdata.
70
Ketentuan mengenai bantuan timbal balik dalam masalah pidana Mutual Legal Assistance diatur dalam Pasal 46 United Nations Convention Against
Corruption Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa Menentang Korupsi, antara lain
71
: 1.
Negara-negara peserta wajib seluas-luasnya saling memberi bantuan timbal balik dalam masalah pidana dalam proses penyidikan, penuntutan dan proses peradilan
berkenaan dengan tindak pidana yang dicakup oleh konvensi ini. 2.
Bantuan timbal balik dalam masalah pidana wajib diberikan seluas mungkin di bawah perundang-undangan, perjanjian-perjanjian, persetujuan-persetujuan dan
persiapan-persiapan yang relevan Negara Peserta yang diminta yang menyangkut penyidikan, penuntutan dan proses peradilan yudisial berkenaan dengan tindak
69
Bismar Nasution, Stolen Asset Recovery Initiative dari Perspektif Civil Forfeiture, Disampaikan pada Focus Group Discusion FGD Perampasan aset Hasil Kejahatan Dalam Perspektif
Rezim Anti Money Laundering, yang dilaksanakan oleh DPD ISHI Sumatera Utara, Wisma Benteng Medan, 18 Desember 2010, hal. 6.
70
Ibid.
71
United Nations Convention Againts Corruption UNCAC, 2003, Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa Menentang Korupsi, 2003, Terjemahan Tidak Resmi oleh Forum Pemantau
Pemberantasan Korupsi FORUM 2004, Jakarta: Perum Percetakan Negara RI, Cetakan Pertama, 2005, hal. 59-72.
Universitas Sumatera Utara
pidana untuk mana subyek hukum dapat ditahan berdasarkan Pasal 26 dari konvensi ini di Negara Peserta yang meminta.
3. Bantuan timbal balik dalam masalah pidana yang akan diberikan sesuai dengan
pasal ini dapat diminta untuk salah satu dari tujuan-tujuan berikut ini: a mendapatkan bukti atau pernyataan-pernyataan keterangan dari orang-orang;
b menjalankan pelayanan dokumen-dokumen yudisial; c melakukan penggeledahan dan perampasan serta pembekuan;
d memeriksa obyek dan tempat; e memberikan informasi, barang-barang bukti dan penilaian ahli;
f menyediakan atau memberikan asli atau salinan resmi dokumen-dokumen
yang relevan dan rekaman-rekaman, termasuk rekaman pemerintah, bank, keuangan, perusahaan atau bisnis;
g mengidentifikasikan atau menolak hasil-hasil kejahatan, kekayaan, peralatan- peralatan atau benda-benda lain untuk tujuan pembuktian;
h memfasilitasi kehadiran sukarela orang-orang di Negara Peserta; i bantuan dalam bentuk-bentuk lain yang tidak bertentagan dengan hukum
nasional dari Negara Peserta yang diminta; j mengidentifikasi, membekukan dan melacak perolehan hasil tindak pidana
sesuai dengan ketentuan-ketentuan Bab V Konvensi ini; k pengembalian aset-aset sesuai dengan ketentuan-ketentuan Bab V konvensi
ini. 4. Tanpa mengurangi hukum nasional, otoritas-otoritas yang kompeten dari suatu
Negara Peserta dapat, tanpa permintaan terlebih dahulu, mengirimkan masalah- masalah kriminal kepada suatu otoritas yang berkompeten di Negara Peserta yang
lain dimana mereka percaya bahwa informasi itu dapat membantu otoritas tersebut dalam menjalankan atau dengan sukses membuat mengakhiri
penyelidikan dan proses peradilan kriminal, atau dapat berakhir dengan suatu permohonan yang diformulasikan oleh Negara Peserta yang disebut terakhir
sesuai dengan Konvensi ini.
Ketentuan mengenai Pembekuan, Perampasan dan Penyitaan diatur dalam Pasal 31 United Nations Convention Againts Corruption UNCAC, 2003 Konvensi
Perserikatan Bangsa-Bangsa Menentang Korupsi, 2003: 1.
Setiap Negara Peserta wajib mengambil, sejauh dimungkinkan oleh sistem hukum nasionalnya, tindakan-tindakan yang diperlukan untuk memungkinkan penyitaan
atas: a Hasil tindak pidana yang diperoleh dari tindak pidana yang ditetapkan
berdasarkan Konvensi ini, atau kekayaan yang nilainya sama dengan hasil tindak pidana tersebut;
Universitas Sumatera Utara
b Kekayaan, peralatan atau perkasas lainnya yang digunakan atau dimaksud untuk digunakan dalam tindak pidana yang ditetapkan berdasarkan Konvensi
ini. 2. Setiap Negara Peserta wajib mengambil tindakan-tindakan yang mungkin
diperlukan untuk memungkinkan identifikasi, pelacakan, pembekuan atau perampasan setiap hal tersebut pada ayat 1 pasal ini dengan tujuan kemungkinan
penyitaan.
3. Setiap Negara Peserta wajib mengadopsi, sesuai dengan hukum nasionalnya, tindakan-tindakan lainnya yang mungkin diperlukan untuk mengatur penataan
kekayaan yang dibekukan, dirampas atau disita yang dibekukan, dirampas atau disita yang ditentukan dalam ayat 1 dan ayat 2 pasal ini oleh pejabat-pejabat yang
berwenang.
4. Jika hasil-hasil tindak pidana tersebut telah diubah atau dikonversi, sebagian atau seluruhnya, menjadi kekayaan dalam bentuk lain, maka kekayaan dimaksud dapat
dikenakan tindakan-tindakan tersebut dalam pasal ini sebagai pengganti hasil kejahatan itu.
5. Jika hasil-hasil tindak pidana tersebut telah bercampur-baur dengan kekayaan yang diperoleh dari sumber-sumber yang sah, maka kekayaan tersebut, dan tanpa
mengurangi kewenangan apa pun yang berkaitan dengan pembekuan atau perampasan, dapat dikenakan tindakan penyitaan sampai sebesar nilai yang
diperkirakan dari hasil-hasil yang telah bercampur-baur itu.
6. Pendapatan atau keuntungan lainnya yang didapat dari hasil-hasil tindak pidana itu, dari kekayaan ke dalam mana hasil-hasil tindak pidana itu telah diubah atau
dikonversi, atau dari kekayaan dengan mana hasil-hasil tindak pidana tersebut telah bercampur-baur, juga akan dapat dikenakan tindakan-tindakan tersebut
dalam pasal ini, dengan cara yang sama dan untuk jumlah yang sama dengan hasil-hasil tindak pidana.
7. untuk tujuan pasal ini dan pasal 55 konvensi ini, setiap Negara Peserta wajib memberi wewenang kepada pengadilan mereka atau kepada otoritas-otoritas
lainnya yang berwenang, untuk memerintahkan kepada Bank, lembaga keuangan agar dokumen-dokumen perbankan, keuangan atau perdagangan dibuat tersedia
atau disita. Suatu Negara Peserta tidak akan menolak untuk melakukan tindakan berdasarkan ketentuan-ketentuan ayat ini dengan alasan kerahasiaan bank.
8. Negara-Negara Peserta dapat mempertimbangkan kemungkinan untuk
mewajibkan seorang pelanggar menerangkan sumber yang sah atas hasil-hasil yang diduga berasal dari tindak pidana atau kekayaan lainnya yang dapat
dikenakan penyitaan, sejauh syarat tersebut konsisten dengan prinsip-prinsip dasar hukum nasional mereka, dan konsisten pula dengan sifat dari proses
yudisial dan proses peradilan lainnya.
9. Ketentuan dalam pasal ini tidak dapat ditafsirkan dengan merugikan pihak-pihak ketiga yang beritikad baik.
Universitas Sumatera Utara
10. Tak satupun yang dimuat dalam pasal ini mempengaruhi prinsip bahwa tindakan- tindakan yang dirujuk itu akan dirumuskan dan dilaksanakan sesuai dengan dan
tunduk pada ketentuan-ketentuan dari hukum nasional suatu negara.
72
Kebijakan hukum perampasan aset tindak pidana baik di Inggris dan Amerika Serikat, tidak bertujuan untuk mengembalikan kerugian yang diderita oleh negara an
sich, melainkan bertujuan untuk memutus mata rantai aktivitas kejahatan dengan menghentikan sumber kekuatan kehidupan para pelaku kejahatan yang utama yaitu
pendanaan. Adapun di negara berkembang tujuan perampasan aset semata-mata mengembalikan dan memulihkan kuangan negara. Kebijakan perampasan aset tindak
pidana di Indonesia masih jauh dari tujuan perampasan aset yang terjadi di Amerika Serikat dan Inggris. Sehubungan dengan keberadaan dua model perampasan aset,
masih terdapat permasalahan, yaitu sarana hukum manakah yang harus diutamakan, perampasan aset melalui kepidanaan atau melalui keperdataan. Pernyataan yang
berkaitan dengan penerapan hierarkhi tersebut diutamakan melalui jalur normal melalui sarana perampasan aset berdasarkan penuntutan pidana criminal based
forfeiture. Hirarkhi penegakan hukum sepanjang berkaitan dengan aset tindak pidana di Inggris, dilaksanakan secara berjenjang yaitu perampasan aset melalui kepidanaan
merupakan primum remidium sedangkan sarana perampasan aset melalui keperdataan merupakan ultimum remidium.
73
72
Ibid., hal. 45-46.
73
Romli Atmasasmita, Op.cit., hal. 104-105.
Universitas Sumatera Utara
Cassela mengemukakan bahwa, praktik perampasan aset asset forfeiture di Amerika Serikat merupakan bagian dari penanganan perkara pidana dengan
pertimbangan sebagai berikut : Pertama, penegak hukum di Amerika Serikat bukan hanya ingin memenjarakan
pelaku tindak pidana melainkan juga ingin memindahkan sarana untuk melakukan tindak pidana sehingga tidak dapat digunakan. Kedua, jika terdapat korban tindak
pidana maka sarana terbaik adalah mengembalikan aset tindak pidana untuk memberikan kompensasi bagi korban yang bersangkutan. Ketiga, perampasan aset
efektif untuk mencegah keuntungan yang diharapkan diperoleh dari tindak pidana. Keempat, perampasan aset merupakan salah satu bentuk dari hukuman. Keempat
pertimbangan memasukkan perampasan aset sebagai bagian penting dan terpisahkan dalam penegakan hukum di Amerika Serikat terutama ditujukan terhadap tindak
pidana narkotika, penggelapan pajak dan pelanggaran ketentuan pasar modal security exchange act dan undang-undang antikorupsi Amerika Serikat Foregin
Corrupt Practices Act.
74
B. Pendekatan Penal Policy Dalam Perampasan Aset Hasil Tindak Pidana
Korupsi
Istilah “kebijakan” diambil dari istilah policy Inggris atau politiek Belanda. Bertolak dari kedua istilah asing ini, maka istilah “kebijakan hukum pidana” dapat
pula disebut “politik hukum pidana”. Dalam kepustakaan asing istilah “politik hukum pidana” ini sering dikenal dengan berbagai istilah antara lain “penal policy”,
“criminal law policy” atau “strafrechts politiek”. Pengertian kebijakan atau politik hukum pidana dapat dilihat dari politik hukum maupun dari politik kriminal. Menurut
Sudarto, “Politik Hukum” adalah :
74
Ibid., hal. 106.
Universitas Sumatera Utara
a. usaha untuk mewujudkan peraturan-peraturan yang baik sesuai dengan keadaan
dan situasi pada suatu saat.
75
b. kebijakan dari negara melalui badan-badan yang berwenang untuk menetapkan
peraturan-peraturan yang dikehendaki yang diperkirakan bisa digunakan untuk mengekspresikan apa yang terkandung dalam masyarakat dan untuk mencapai apa
yang dicita-citakan.
76
Senada dengan pernyataan di atas, Solly Lubis juga menyatakan bahwa politik hukum adalah kebijaksanaan politik yang menentukan peraturan hukum apa yang
seharusnya berlaku mengatur berbagai hal kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Mahfud M.D., juga memberika defenisi politik hukum sebagai kebijakan mengenai
hukum yang akan atau telah dilaksanakan secara nasional oleh pemerintah. Hal ini juga mencakup pula pengertian tentang bagaimana politk mempengaruhi hukum
dengan cara melihat konfigurasi kekuatan yang ada dibelakang pembuatan dan penegakan hukum itu. Dalam konteks ini hukum tidak bisa hanya dipandang sebagai
pasal-pasal yang bersifat imperatif, melainkan harus dipandang sebagai subsistem yang dalam kenyataannya, bukan tidak mungkin sangat ditentukan oleh politik, baik
dalam perumusan materinya pasal-pasal, maupun dalam penegakannya. Berdasarkan pengertian tentang politik hukum sebagaimana dikemukakan di atas,
maka secara umum dapat ditarik kesimpulan bahwa politik hukum pidana merupakan upaya menentukan ke arah mana pemberlakuan hukum pidana Indonesia masa yang
75
Barda Nawawi Arief, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana, Perkembangan Penyusunan Konsep KUHP Baru, Op.cit., hal. 26.
76
Sudarto, Hukum Pidana Dan Perkembangan Masyarakat, Kajian Terhadap Pembaharuan Hukum Pidana, Bandung: Sinar Baru, 1983, hal. 93.
Universitas Sumatera Utara
akan datang dengan melihat penegakanya saat ini. Hal ini juga berkaitan dengan konseptualisasi hukum pidana yang paling baik untuk diterapkan.
77
Lebih lanjut Sudarto mengungkapkan, melaksanakan “politik hukum pidana” berarti :
1. mengadakan pemilihan untuk mencapai hasil perundang-undangan pidana yang
paling baik dalam arti memenuhi syarat keadilan dan daya guna;
78
2. usaha mewujudkan peraturan perundang-undangan pidana yang sesuai dengan
keadaan dan situasi pada suatu waktu dan untuk masa-masa yang akan datang.
79
Dengan demikian politik hukum pidana mengandung arti, bagaimana mengusahakan atau membuat dan merumuskan suatu perundang-undangan pidana yang baik.
Pengertian demikian terlihat pula dalam defenisi “penal policy” dari Marc Ancel, “suatu ilmu sekaligus seni yang bertujuan untuk memungkinkan peraturan hukum
positif dirumuskan secara lebih baik”. Peraturan hukum positif the positif rules dalam defenisi Marc Ancel jelas adalah peraturan perundang-undangan hukum
pidana. Dengan demikian, istilah “penal policy” menurut Marc Acel adalah sama dengan istilah “kebijakan atau politik hukum pidana”.
80
Pencegahan dan penanggulangan kejahatan dengan sarana “penal” merupakan “penal
policy” atau “penal law enforcement policy” yang fungsionalisasioperasionalisasinya melalui beberapa tahap:
77
Mahmud Mulyadi, Op.cit., hal. 66.
78
Barda Nawawi Arief, Op.cit., hal. 26.
79
Sudarto, Op.cit., hal. 93.
80
Ibid.
Universitas Sumatera Utara
1. tahap formulasi kebijakan legislatif;
2. tahap aplikasi kebijakan yudikatifyudisial;
3. tahap eksekusi kebijakan eksekutifadministratif.
Dengan adanya tahap “formulasi”, maka upaya pencegahan dan penanggulangan kejahatan bukan hanya tugas aparat penegakpenerap hukum, tetapi juga tugas aparat
pembuat hukum aparat legislatif; bahkan kebijakan legislatif merupakan tahap paling strategis dari “penal policy”. Karena itu, kesalahankelemahan kebijakan
legislatif merupakan kesalahan strategis yang dapat menjadi penghambat upaya pencegahan dan penanggulangan kejahatan pada tahap aplikasi dan eksekusi.
81
Usaha dan kebijakan untuk membuat peraturan hukum pidana yang baik pada hakikatnya tidak dapat dilepaskan dari tujuan penanggulangan kejahatan. Jadi
kebijakan atau politik hukum pidana juga merupakan bagian dari politik kriminal. Dengan perkataan lain, dilihat dari sudut kriminal, maka politik hukum pidana identik
dengan pengertian “kebijakan penanggulangan kejahatan dengan hukum pidana”. Usaha penaggulangan kejahatan dengan hukum pidana pada hakikatnya juga
merupakan bagian dari usaha penegakan hukum khususnya penegakan hukum pidana. Oleh karena itu, sering pula dikatakan bahwa politik atau kebijakan hukum
81
Moh. Hatta, Kebijakan Politik Kriminal, Penegakan Hukum Dalam Rangka Penanggulangan Kejahatan, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2010, hal. 39.
Universitas Sumatera Utara
pidana merupakan bagian pula dari kebijakan penegakan hukum law enforcement policy.
82
Pembentukan undang-undang menurut Sudarto, melalui proses yang tidak singkat dan memerlukan pemikiran yang luas dan dalam. Isi dari suatu undang-
undang mempunyai pengaruh yang luas terhadap masyarakat. Bukan hanya sudah terbentuknya undang-undang, melainkan apakah sesudah terbentuknya undang-
undang itu tujuan yang dicita-citakan oleh masyarakat bisa tercapai. Suatu golongan sudah merasa puas apabila undang-undang mengenai masalah tertentu sesuai dengan
apa yang didambakan. Akan tetapi harus juga diperhitungkan pengaruh adanya undang-undang tersebut dalam masyarakat. Apakah pelaksanaannya diterima secara
baik oleh masyarakat, ataukah mendapat tentangan dan bahkan menimbulkan konflik. Jika yang terakhir ini terjadi, maka dapat dikatakan bahwa undang-undang itu
disfungsionil dan menjadi perhatian dari penguasa untuk meningkatkan mutu dari perundang-undangan.
83
82
Barda Nawawi Arief, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana, Perkembangan Penyusunan Konsep KUHP Baru, Op.cit., hal. 28. Lihat juga, Lilik Mulyadi, Bunga Rampai Hukum
Pidana, Perspektif, Teoretis Dan Praktik, Bandung: PT. Alumni, 2008, hal. 206, bahwa, politik hukum adalah kebijakan penyelenggara negara tentang apa yang dijadikan kriteria untuk menghukum
sesuatu. Dalam hal ini kebijakan tersebut dapat berkaitan dengan pembentukan hukum, penerapan hukum dan penegakannya sendiri. Politik hukum adalah sebagai suatu pernyataan kehendak penguasa
Negara mengenai hukum yang berlaku di wilayahnya, dan mengenai arah perkembangan hukum yang dibangun. Politik hukum adalah kebijakan dari Negara melalui badan-badan Negara yang berwenang
untuk menetapkan peraturan-peraturan yang dikehendaki, yang diperkirakan akan digunakan untuk mengekspresikan apa yang terkandung dalam masyarakat dan untuk mencari apa yang dicita-citakan.
Politik hukum adalah sebagai aktivitas memilih dan cara yang hendak dipakai untuk mencapai suatu tujuan sosial dan hukum tertentu dalam masyarakat.
83
Sudarto, Op.cit., hal. 21-22.
Universitas Sumatera Utara
Undang-undang yang dibentuk harus meningkat secara kualitatif. Undang- undang dalam arti materiil adalah produk perundang-undangan yang mengikat
penduduk atau golongan penduduk secara umum. Untuk dapat memperhitungkan pengaruh bekerjanya undang-undang, maka perlu dketahui keadaan sebenarnya dari
masyarakat dan perundang-undangan yang ada. Informasi mengenai hal ini akan sempurna dengan bantuan ilmu sosial, termasuk pula ilmu hukum. Informasi yang
diberikan oleh ilmu hukum yaitu mengenai hukum positif yang berlaku. Hal ini akan menghindarkan pembuatan undang-undang yang saling bertentangan, yang akan
mengakibatkan keragu-raguan dalam penerapannya. Jika penegak hukum sendiri tidak pasti dalam melaksanakan suatu undang-undang maka masyarakat umum akan
merasakan akibat buruk dari ketidak pastian hukum itu.
84
Fungsionalisasi hukum pidana dapat diartikan sebagai upaya untuk membuat hukum pidana itu dapat berfungsi, beroperasi atau bekerja dan terwujud secara
konkret. Jadi, istilah fungsionalisasi hukum pidana dapat diidentikkan dengan istilah operasionalisasi atau konkretisasi hukum pidana yang pada hakikatnya sama dengan
pengertian penegakan hukum pidana. Bertolak dari pengertian yang demikian, fungsionalisasi hukum pidana, seperti fungsionalisasi atau penegakan hukum pada
umumnya, melibatkan minimal tiga faktor yang saling terkait yaitu faktor perundang- undangan, faktor aparatbadan penegak hukum dan faktor kesadaran hukum.
84
Ibid.
Universitas Sumatera Utara
Pembagian ketiga faktor ini dapat dikaitkan dengan pembagian tiga komponen sistem hukum, yaitu substansi hukum, struktur hukum, dan budaya hukum.
85
Faktor perundang-undangan yang patut dikaji adalah faktor kebijakan legislatif yang berhubungan dengan kejahatan. Peninjauan masalah ini sangat penting
karena kebijakan legislatif pada dasarnya merupakan tahap awal yang paling strategis dari keseluruhan perencanaan proses fungsionalisasi hukum pidana atau proses
penegakan hukum pidana. Dengan perkataan lain, tahap kebijakan legislatif merupakan tahap paling strategis bagi upaya penanggulangan kejahatan dengan
hukum pidana. Tahap ini merupakan tahap formulasi yang menjadi dasar, landasan dan pedoman bagi tahap-tahap fungsionalisasi berikutnya, yaitu tahap aplikasi dan
tahap eksekusi. Perencanaan atau kebijakan penanggulangan kejahatan yang dituangkan dalam peraturan perundang-undangan, secara garis besar meliputi:
a. perencanaan atau kebijakan tentang perbuatan-perbuatan terlarang apa yang akan
ditanggulangi karena dipandang membahayakan atau merugikan; b.
perencanaan atau kebijakan tentang sanksi apa yang dapat dikenakan terhadap pelaku perbuatan yang terlarang itu baik berupa pidana atau tindakan dan sistem
penerapannya. c.
perencanaan atau kebijakan tentang prosedur atau mekanisme sistem peradilan pidana dalam rangka proses penegakan hukum pidana.
86
85
Muladi dan Barda Nawawi Arief, Bunga Rampai Hukum Pidana, Bandung: PT. Alumni, 2007, hal. 168.
Universitas Sumatera Utara
Dua masalah sentral dalam kebijakan kriminal dengan menggunakan sarana penal hukum pidana ialah masalah penentuan:
1. perbuatan apa yang seharusnya dijadikan tindak pidana; dan
2. sanksi apa yang sebaiknya digunakan atau dikenakan kepada si pelanggar.
87
Bertolak dari pendekatan kebijakan, Sudarto berpendapat bahwa dalam menghadapi masalah sentral yang pertama di atas, yang sering disebut masalah kriminalisasi
88
, harus dibuktikan hal-hal yang pada intinya sebagai berikut:
a. Pembentuk undang-undang
89
, demikian pula badan-badan kenegaraan lainnya, dalam tindakannya harus berusaha mewujudkan masyarakat adil makmur yang
merata materril dan spiritual berdasarkan pancasila; sehubungan dengan ini maka penggunaan hukum pidana bertujuan untuk menanggulangi kejahatan demi
kesejahteraan dan pengayoman masyarakat.
b. Perbuatan yang diusahakan untuk dicegah atau ditanggulangi dengan hukum
pidana harus merupakan perbuatan yang tidak dikehendaki, yaitu perbuatan yang mendatangkan kerugikan materiil danatau spiritual atas wargan masyarakat.
86
Ibid., hal. 169-170.
87
Barda Nawawi Arief, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana, Perkembangan Penyusunan Konsep KUHP Baru, Op.cit., Hal. 30.
88
Lihat, Sudarto, Hukum Dan Hukum Pidana, Bandung: PT. Alumni, 2007, hal. 31-32. Kriminalisasi adalah proses penetapan suatu perbuatan orang sebagai perbuatan yang dapat dipidana.
Proses ini diakhiri degnan terbentuknya undang-undang dimana perbuatan itu diancam dengan suatu sanksi yang berupa pidana. Terbentuknya peraturan hukum pidana yang siap untuk diterapkan oleh
hakim dan selanjutnya apabila dijatuhkan pidana, dilaksanakan kekuasaan administratif eksekutf.
89
Lihat Podgorecki dalam Sudarto, Hukum Pidana Dan Perkembangan Masyarakat, Kajian Terhadap Pembaharuan Hukum Pidana, Op.cit., Hal. 23, bahwa pembentuk undang-undang harus :
1. Mempunyai pengetahuan yang cukup tentang keadaan senyatanya;
2. Mengetahui sistem nilai yang berlaku dalam masyarakat, yang berhubungan dengan keadaan itu,
dengan cara-cara yang diusulkan dan dengan tujuan-tujuan yang hendak dicapai, agar hal-hal ini dapat diperhitungkan dan agar dapat dihormati;
3. Mengetahui hipotesa yang menjadi dasar undang-undang yang bersangkutan, dengan perkataan
lain mempunyai pengetahuan tentang hubungan kausal antara sarana undang-undang dan misalnya sanksi yang ada di dalamnya dan tujuan-tujuan yang hendak dicapai;
4. Menguji hipotesa ini, dengan perkataan lain melakukan penelitian tentang effek dari undang-
undang itu, termasuk effek sampingan yang tidak diharapkan.
Universitas Sumatera Utara
c. Usaha untuk mencegah suatu perbuatan dengan menggunakan sarana hukum
pidana, dengan sanksi yang negatif yang berupa pidana, perlu disertai perhitungan akan biaya dan hasil yang diharapkan akan dicapai.
d. Penggunaan hukum pidana harus pula memperhatikan kapasitas atau kemampuan
daya kerja dari badan-badan penegak hukum, yaitu jangan sampai ada kelampauan beban tugas overbelasting.
90
Pembentuk undang-undang dalam suatu aturan pidana menyatakan suatu perbuatan dapat dipidana mempunyai arti perbuatan tersebut sebagai bersifat
melawan hukum. Sebelum dinyatakan dalam suatu aturan perundang-undangan pidana, perbuatan tersebut belum dapat dinyatakan sebagai perbuatan pidana. Hal ini
sejalan dengan ketentuan Pasal 1 ayat 1 KUHP yang menyebutkan: “Tiada suatu perbuatan dapat dipidana kecuali atas kekuatan suatu aturan pidana dalam perundang-
undangan sebelum perbuatan dilakukan”. Ada empat makna yang terkandung di dalam Pasal 1 ayat 1 KUHP, yakni : Pertama, pembuat undang-undang tidak boleh
memberlakukan suatu ketentuan pidana berlaku mundur. Kedua, semua perbuatan yang dilarang harus dimuat dalam rumusan tindak pidana sejelas-jelasnya. Ketiga,
hakim dilarang menyatakan bahwa terdakwa melakukan perbuatan pidana didasarkan pada hukum tidak tertulis atau hukum kebiasaan. Keempat, terhadap peraturan hukum
pidana dilarang diterapkan analogi.
91
Aturan pidana merupakan aturan hukum yang berisi penilaian terhadap kelakuan-kelakuan yang berhubungan dengan aturan hukum yang bersangkutan yaitu
baik atau jelek bagi masyarakat dan karenanya kelakuan demikian boleh dilakukan
90
Lihat, Sudarto, Hukum Dan Hukum Pidana,Op.cit., hal. 36-40.
91
Alvi Syahrin,
Sifat Melawan Hukum wederrechtelijk http:alviprofdr.blogspot.com201011melawan-hukum.html , diakses terakhir tanggal 8 Maret 2011.
Universitas Sumatera Utara
atau tidak boleh dilakukan dalam kehidupan bermasyarakat. Dengan demikian, makna hukum dipandang sebagai keseluruhan penilaian mengenai cara bagaimana
orang sepatutnya berbuat dalam hidup bermasyarakat, sebagai keseluruhan aturan bertingkah laku. Aturan dipandang sebagai aturan mengenai seharusnya atau tidak
seharusnya. Aturan hukum bersifat umum, bukan yang ditetapkan untuk seorang tertentu tetapi untuk semua orang dalam masyarakat tertentu. Aturan hukum tidak
berhenti berlaku jika ia telah ditetapkan untuk suatu kejadian tertentu, melainkan selalu dapat diterapkan lagi setiap kali ada kejadian-kejadian yang berhubungan
dengan aturan hukum tersebut. Sifatnya yang umum mengakibatkan kesamaan hukum, aturan yang sama untuk kejadian-kejadian yang sama. Suatu perbuatan yang
dapat dipidana menurut pembentuk undang-undang dipandang sebagai perbuatan bersifat melawan hukum. Sifat melawan hukum adalah unsur mutlak perbuatan
pidana. Pembentuk undang-undang, dalam merumuskan perbuatan pidana tidak selalu menyebutkan “melawan hukum” dalam rumusannya. Dalam perundang-undangan
pada umumnya lebih banyak rumusan tindak pidana yang tidak memuat unsur melawan hukum daripada memuatnya.
92
Perbuatan korupsi telah menimbulkan kerugian negara yang sangat besar dan berdampak pada timbulnya krisis di berbagai bidang. Keuangan negara yang
dimaksud adalah seluruh kekayaan negara dalam bentuk apapun, yang dipisahkan atau yang tidak dipisahkan, termasuk didalamnya segala bagian kekayaan negara dan
segala hak dan kewajiban yang timbul karena:
92
Ibid.
Universitas Sumatera Utara
a. berada dalam penguasaan, pengurusan, dan pertanggungjawaban pejabat lembaga Negara, baik di tingkat pusat maupun di daerah;
b. berada dalam penguasaan, pengurusan dan pertanggungjawaban Badan Usaha Milik NegaraBadan Usaha Milik Daerah, yayasan, badan hukum, dan perusahaan
yang menyertakan modal negara, atau perusahaan yang menyertakan modal pihak ketiga berdasarkan dengan Negara.
93
Korupsi di Indonesia terjadi secara sistematik dan meluas sehingga tidak hanya merugikan keuangan negara, tetapi juga telah melanggar hak-hak sosial dan
ekonomi masyarakat secara luas, maka pemberantasan tindak pidana korupsi harus dilakukan dengan cara yang luar biasa.
94
Tindak pidana korupsi “murni merugikan keuangan negara” adalah suatu perbuatan yang dilakukan oleh orang, pegawai negeri sipil dan penyelenggara negara
yang secara melawan hukum, menyalahgunakan kewenangannya, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan dengan melakukan
perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara.
95
Pelaku tindak pidana
93
Penjelasan Atas Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
94
Penjelasan Atas Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2001 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi.
95
Lihat Penjelasan Atas Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 1999, Perekonomian negara adalah kehidupan perekonomian yang disusun sebagai usaha bersama
berdasarkan asas kekeluargaan ataupun usaha masyarakat secara mandiri yang didasarkan pada kebijakan pemerintah, baik di tingkat pusat maupun di daerah sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan yang berlaku yang bertujuan memberikan manfaat, kemakmuran, dan kesejahteraan kepada seluruh kehidupan rakyat.
Universitas Sumatera Utara
korupsi “murni merugikan keuangan negara dapat dijerat atau didakwa dengan pasal- pasal: Pasal 2, 3, 7 ayat 1 huruf a, Pasal 7 ayat 1 huruf c, Pasal 7 ayat 2, Pasal 8,
Pasal 9, Pasal 10 huruf a, Pasal 12 huruf i Pasal 12 A dan Pasal 17 Undang- Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang
Nomor 20 Tahun 2001.
96
Pasal 2 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi, yang menyatakan bahwa : 1 Setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya
diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, dipidana dengan pidana penjara seumur
hidup atau pidana penjara paling singkat 4 empat tahun dan paling lama 20 dua puluh tahun dan denda paling sedikit Rp. 200.000.000,00 dua ratus juta
rupiah dan paling banyak Rp. 1.000.000.000,00 satu miliar rupiah.
2 Dalam hal tindak pidana korupsi sebagaimana dimaksud dalam ayat 1 dilakukan dalam keadaan tertentu, pidana mati dapat dijatuhkan.
Rumusan tindak pidana korupsi pada pasal 2 ayat 1 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 ini bila dirincikan, terdapat unsur-unsur:
1. secara melawan hukum atau wederrechtelijk; 2. memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi;
3. dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara. Penjelasan Pasal 2 ayat 1 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999
menyebutkan:
96
Ermansjah Djaja, Memberantas Korupsi Bersama KPK Komisi Pemberantasan Korupsi, Edisi Kedua, Jakarta : Sinar Grafika, 2010, hal. 63.
Universitas Sumatera Utara
Yang dimaksud dengan ”secara melawan hukum” dalam pasal ini mencakup perbuatan melawan hukum dalam arti formil maupun dalam arti materiil, yakni
meskipun perbuatan tersebut tidak diatur dalam peraturan perundang-undangan, namun apabila perbuatan tersebut dianggap tercela karena tidak sesuai dengan rasa
keadilan atau norma-norma kehidupan sosial dalam masyarakat,
97
maka perbuatan tersebut dapat dipidana. Dalam ketentuan ini, kata “dapat” sebelum frasa “merugikan
keuangan atau perekonomian negara” menunjukkan bahwa tindak pidana korupsi merupakan delik formil, yaitu adanya tindak pidana korupsi cukup dengan
dipenuhinya unsur-unsur perbuatan yang sudah dirumuskan dengan timbulnya akibat.
Dengan adanya kata “maupun” dalam penjelasan tersebut, dapat diketahui bahwa Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 mengikuti 2 dua ajaran sifat
melawan hukum secara alternatif, yaitu a. ajaran sifat melawan hukum formil, atau
b. ajaran sifat
melawan hukum materiil. Roeslan saleh mengemukakan : menurut ajaran melawan hukum, yang disebut
melawan hukum materiil tidaklah hanya sekedar bertentangan dengan hukum tertulis, tetapi juga bertentangan dengan hukum tidak tertulis. Sebaliknya, ajaran melawan
hukum formil berpendapat bahwa melawan hukum adalah bertentangan dengan hukum tertulis saja. Jadi menurut ajaran materiil, disamping memenuhi syarat-syarat
formil, yaitu memenuhi semua unsur yang disebut dalam rumusan delik, perbuatan harus benar-benar dirasakan masyarakat sebagai tidak boleh atau tidak patut.
98
97
Lihat Andi Hamzah, Pemberantasan Korupsi Melalui Hukum Pidana Nasional Dan Internasional, Edisi Revisi, Jakarta : PT RajaGrafindo Persada, 2006, hal. 123-124, penerapan unsur
melawan hukum secara materil berarti asas legalitas di dalam Pasal 1 ayat 1 KUHP disingkirkan. Dengan adanya kata-kata “tidak sesuai dengan rasa keadilan” dan seterusnya, hal ini menjadi sangat
luas sehingga sangat sulit bagaimana hakim dapat menyatakan bahwa unsur rasa keadilan masyarakat itu terbukti. Dapatkah dikatakan jika ada demonstrasi menuntut seseorang sebagai koruptor merupakan
manifestasi rasa keadilan masyarakat? Jika demikian halnya orang dapat mengumpulkan seribu orang dengan bayaran untuk berdemonstrasi menuntut seseorang sebagai koruptor, misalnya dengan motif
politik. Gejala seperti ini sangat berbahaya bagi kepastian hukum dan telah terlihat pada beberapa kasus Pilkada. Mencantumkan kata-kata frasa “rasa keadilan masyarakat” sangat bersifat karet, dan
menjadi sama dengan penyingkiran asas legalitas zaman Jerman Nazi dengan kata-kata yang sama, yaitu “rasa keadilan masyarakat” the sound sense of justice of the people menuntut agar seseorang
dipidana maka orang itu harus dipidana, walaupun tidak tercantum di dalam undang-undang. Setiap orang dapat mengatasnamakan masyarakat untuk menuduh orang telah melakukan korupsi.
98
R. Wiyono, Pembahasan Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, Edisi Kedua, Jakarta : Sinar Grafika, 2009, hal. 32.
Universitas Sumatera Utara
Dalam kepustakaan hukum pidana, terdapat 2 dua fungsi dari ajaran sifat melawan hukum materiil, yaitu :
a. ajaran sifat melawan hukum materiil dalam fungsinya yang positif, yaitu suatu perbuatan, meskipun oleh peraturan perundang-undangan tidak ditentukan
sebagai melawan hukum, tetapi jika menurut penilaian masyarakat perbuatan tersebut bersifat melawan hukum, perbuatan dimaksud tetap merupakan perbuatan
yang bersifat melawan hukum. b. ajaran sifat melawan hukum materiil dalam fungsinya yang negatif, yaitu suatu
perbuatan, meskipun menurut peraturan perundang-undangan merupakan perbuatan yang bersifat melawan hukum, tetapi jika menurut penilaian
masyarakat perbuatan tersebut tidak bersifat melawan hukum, perbuatan yang dimaksud adalah perbuatan yang tidak bersifat melawan hukum.
99
Menurut Indrianto Seno Adji, penerapan ajaran sifat melawan hukum materiil dalam fungsinya yang positif memerlukan syarat, alasan dan kriteria yang tegas
dengan segala pertimbangan kondisi yang situasional dan kasuistis. Oleh Indrianto Seno Adji dikemukakan bahwa kriteria yang menentukan asalan-alasan yang
mendasari diimplementasikannya ajaran perbuatan melawan hukum materiil dalam fungsi yang positif antara lain sebagai berikut:
a. Perbuatan pelaku yang tidak termasuk atau tidak memenuhi rumusan delik, dipandang dengan kepentingan hukum, ternyata menimbulkan kerugian yang jauh
tidak seimbang bagi masyarakat atau negara dibandingkan dengan keuntungan yang disebabkan oleh perbuatannya yang tidak melanggar peraturan perundang-
undangan.
99
Ibid.
Universitas Sumatera Utara
b. Menimbulkan kerugian yang jauh tidak seimbang bagi masyarakatnegara apabila seorang pegawai negeri atau penyelenggara negara, meskipun tidak melakukan
pelanggaran peraturan yang ada sanksi pidananya, tetapi menerima fasilitas yang berlebihan serta keutungan lainnya dari seseorang korporasibadan hukum
dengan maksud agar pegawai negeri atau penyelenggara negara itu menggunakan kekuasaan atau wewenang yang melekat pada jabatannya secara berlebihan atau
menyimpang.
100
Menurut Adami Chazawi, atas dasar dapat tidaknya merugikan keuangan negara dan atau perekonomian negara dapat dibedakan menjadi dua kelompok, yaitu:
a tindak pidana korupsi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara dan b tindak pidana korupsi yang tidak mensyaratkan dapat menimbulkan
kerugian negara atau perekonomian negara. Haruslah dipahami bahwa tindak pidana korupsi yang dapat membawa kerugian negara pada sub a tersebut bukanlah tindak
pidana materiil, melainkan tindak pidana formil. Terjadinya tindak pidana korupsi secara sempurna tidak perlu menunggu timbulnya kerugian negara. Asalkan dapat
ditafsirkan menurut akal sehat bahwa suatu perbuatan dapat menimbulkan kerugian bagi negara, maka perbuatan tersebut sudah dapat dikategorikan sebagai tindak
pidana korupsi. Bentuk-bentuk tindak pidana korupsi baik sub a maupun sub b dirumuskan secara formil atau merupakan tindak pidana formil dan tidak ada yang
dirumuskan secara materiil, atau berupa tindak pidana materill.
101
Pendapat Mahkamah Konstitusi tentang kata “dapat”, persoalan pokok yang harus
dijawab adalah
102
: 1. apakah pengertian kata “dapat” dalam pasal 2 ayat 1 yang dijelaskan dalam
Penjelasan pasal 2 ayat 1, dengan penambahan kata “dapat” tersebut menjadikan tindak pidana korupsi dalam pasal 2 ayat 1 menjadi rumusan delik formil?
2. apakah dengan pengertian sebagaimana dijelaskan pada butir 1 tersebut di atas, frasa “dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara”, yang
diartikan baik kerugian yang nyata actual loss maupun hanya yang bersifat potensial atau berupa kemungkinan kerugian potential loss, merupakan unsur
yang tidak perlu dibuktikan atau harus dibuktikan?
100
Ibid., hal. 34.
101
Adami Chazawi, Hukum Pidana Materill Dan Formil Korupsi Di Indonesia, Malang : Bayumedia, 2005, hal. 30.
102
Theodorus M. Tuanakotta, Menghitung Kerugian Keuangan Negara Dalam Tindak Pidana Korupsi, Jakarta : Salemba Empat, 2009, hal. 87.
Universitas Sumatera Utara
Mahkamah berpendapat, kerugian yang terjadi dalam tindak pidana korupsi, terutama yang berskala besar, sangatlah sulit untuk dibuktikan secara tepat dan akurat.
Ketepatan yang dituntut sedemikian rupa, akan menimbulkan keraguan, apakah jika satu angka jumlah kerugian diajukan dan tidak selalu dapat dibuktikan secara akurat,
namun kerugian telah terjadi, akan berakibat pada terbukti tidaknya perbuatan yang didakwakan. Hal demikian telah mendorong antisipasi atas akurasi kesempurnaan
pembuktian, sehingga menyebabkan dianggap perlu mempermudah beban pembuktian tersebut. Dalam hal tidak dapat diajukan bukti akurat atas jumlah
kerugian nyata atau perbuatan yang dilakukan adalah sedemikian rupa bahwa kerugian negara dapat terjadi, telah dipandang cukup untuk menuntut dan memidana
pelaku, sepanjang unsur dakwaan lain berupa unsur memperkaya diri atau orang lain atua suatu korporasi dengan cara melawan hukum wederrechtelijk telah terbukti.
Tindak pidana korupsi digolongkan oleh undang-undang sebagai delik formil. Dengan demikian, kategori tindak pidana korupsi digolongkan sebagai delik formil,
di mana unsur-unsur perbuatan harus telah dipenuhi, dan bukan sebagai delik materil, yang mensyaratkan akibat perbuatan berupa kerugian yang timbul tersebut harus
nyata terjadi.
103
Perampasan adalah upaya paksa pengambilalihan hak atas kekayaan atau keuntungan yang telah diperoleh, atau mungkin telah diperoleh oleh orang dari tindak
pidana yang dilakukannya, berdasarkan putusan pengadilan di Indonesia atau negara asing.
104
Tindakan untuk merampas harta kekayaan aset yang diduga merupakan hasil dari suatu kejahatan atau tindak pidana merupakan langkah antisipatif dalam
menyelamatkan dan atau mencegah larinya harta kekayaan yang merupakan salah satu langkah represif. Apabila telah terjadi suatu tindak pidana atau kejahatan maka
dalam hal ini aparat penegak hukum harus berpikir tidak hanya bagaimana mempidanakan pelakunya ke penjara akan tetapi harus pula memikirkan dan
mempertimbangkan apakah ada harta hasil tindak pidana dari perbuatan pelaku
103
Ibid.
104
Pasal 1 angka 5 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2006 Tentang Bantuan Timbal Balik Dalam Masalah Pidana.
Universitas Sumatera Utara
tersebut dan apabila terindikasi adanya harta hasil tindak pidana maka patut dipikirkan dasar hukum dan langkah apa saja yang harus diambil untuk memulihkan
kembali harta hasil tindak pidana. Dalam upaya pemulihan harta hasil kejahatan atau tindak pidana korupsi,
adalah dengan tindakan perampasan sebagai pidana tambahan pada putusan pengadilan pidana oleh hakim terhadap harta kekayaan yang dimiliki oleh terpidana
tindak pidana korupsi, dimana harta kekayaan tersebut merupakan hasil dari tindak pidana korupsi dan atau harta kekayaan tersebut digunakan sebagai sarana atau
prasarana melakukan tindak pidana korupsi. Pidana Perampasan barang bergerak yang berwujud atau yang tidak berwujud
atau barang tidak bergerak yang digunakan untuk atau yang diperoleh dari tindak pidana korupsi diatur dalam Pasal 18 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 :
1 Selain pidana tambahan sebagaimana dimaksud dalam Kitab Undang-Undang
Hukum Pidana, sebagai pidana tambahan adalah: a.
perampasan barang bergerak yang berwujud atau yang tidak berwujud atau barang tidak bergerak yang digunakan untuk atau yang diperoleh dari tindak
pidana korupsi, termasuk perusahaan milik terpidana di mana tindak pidana korupsi dilakukan, begitu pula harga dari barang yang menggantikan barang-
barang tersebut;
b. pembayaran uang pengganti yang jumlahnya sebanyak-banyaknya sama
dengan harta benda yang diperleh dari tindak pidana korupsi; c.
penutupan seluruh atau sebagian perusahaan untuk waktu paling lama 1 satu tahun;
d. pencabutan seluruh atau sebagian hak-hak tertentu atau penghapusan seluruh
atau sebagian keuntungan tertentu, yang telah atau dapat diberikan oleh pemerintah kepada terpidana.
2 Jika terpidana tidak membayar uang pengganti sebagaimana dimaksud dalam ayat
1 huruf b paling lama dalam waktu 1 satu bulan sesudah putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, maka harta bendanya dapat disita
oleh jaksa dan dilelang untuk menutupi uang pengganti tersebut.
Universitas Sumatera Utara
3 Dalam hal terpidana tidak mempunyai harta benda yang mencukupi untuk
membayar uang pengganti sebagaimana dimaksud dalam ayat 1 huruf b, maka dipidana dengan pidana penjara yang lamanya tidak melebihi ancaman
maksimum dari pidana pokoknya sesuai dengan ketentuan dalam undang-undang ini dan lamanya pidana tersebut sudah ditentukan dalam putusan pengadilan.
Menurut Adami Chazawi, sebagaimana prinsip umum pidana tambahan, maka pidana perampasan barang tertentu adalah bersifat fakultatif, tidak merupakan
keharusan imperative untuk dijatuhkan.
105
P.A.F. Lamintang menyebutkan, bahwa mengenai keputusan apakah perlu atau tidaknya dijatuhkan suatu pidana tambahan,
selain dari menjatuhkan suatu pidana pokok kepada seorang terdakwa, hal ini sepenuhnya diserahkan kepada pertimbangan hakim.
106
Adapun perbedaan antara pidana pokok dengan pidana tambahan adalah sebagai berikut:
1. Penjatuhan salah satu jenis pidana pokok bersifat keharusan imperatif
sedangkan penjatuhan pidana tambahan sifatnya fakultatif. Menjatuhkan salah satu jenis pidana pokok sesuai dengan yang diancamkan pada tindak pidana yang
dianggap terbukti adalah suatu keharusan, artinya imperatif, sedangkan penjatuhan jenis pidana tambahan bersifat fakultatif, artinya bukan merupakan
suatu keharusan.
2. Penjatuhan jenis pidana pokok tidak harus dengan demikian menjatuhkan jenis pidana tambahan berdiri sendiri, tetapi menjatuhkan jenis pidana tambahan tidak
boleh tanpa dengan menjatuhkan jenis pidana pokok. Penjatuhan jenis pidana tambahan tidak dapat berdiri sendiri lepas dari pidana pokok, melainkan hanya
dapat dijatuhkan oleh hakim, apabila dalam suatu putusannya itu telah menjatuhkan salah satu jenis pidana pokok sesuai dengan yang diancamkan pada
tindak pidana yang bersangkutan. Sedangkan menjatuhkan jenis pidana pokok adalah dapat berdiri sendiri, tanpa harus dengan menjatuhkan jenis pidana
tambahan.
105
Mohammad Ekaputra, Op.cit., hal. 158.
106
Ibid., hal. 123.
Universitas Sumatera Utara
3. Jenis pidana pokok yang dijatuhkan, bila telah mempunyai kekuatan hukum tetap in kracht van gewijsde zaak diperlukan suatu tindakan pelaksanaan
107
executie. Terhadap ketentuan tentang pidana tambahan seperti yang terdapat dalam
pasal 18 ayat 1 tersebut, dapat diberikan beberapa penjelasan dan catatan sebagai berikut:
a. Untuk menjatuhkan pidana tambahan berupa perampasan barang-barang
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 39 ayat 1 KUHP, barang-barang tersebut harus kepunyaan terpidana.
Pidana tambahan berupa perampasan barang- barang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 39 ayat 1 KUHP tidak dapat
dilakukan terhadap barang yang tidak berwujud, karena yang dimaksud dengan “barang” dalam Pasal 39 ayat 1 KUHP adalah hanya barang berwujud,
sedangkan perampasan barang-barang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 ayat 1 huruf a dapat dilakukan terhadap barang-barang yang tidak berwujud.
109
b. Perlu adanya alat-alat bukti antara keterangan ahli Pasal 184 ayat 1 huruf b
KUHAP yang dapat menentukan dan membuktikan berapa sebenarnya jumlah “harta benda yang diperoleh terpidana dari tindak pidana korupsi” karena
pelaksanaan pidana tambahan berupa pembayaran uang pengganti hanya terbatas sampai “sebanyak-banyaknya sama” dengan harta yang diperoleh terpidana dari
hasil tindak pidana korupsi. Yang dimaksud dengan “harta benda yang diperoleh dari tindak pidana korupsi” dalam pasal 18 ayat 1 huruf b tersebut, jangan hanya
108
107
Ibid., hal. 134-135.
108
R. Wiyono, Op.cit., hal. 142.
109
Ermansjah Djaja, Op.cit., hal. 78.
Universitas Sumatera Utara
ditafsirkan harta benda yang diperoleh dari hasil tindak pidana korupsi yang “masih dikuasai” oleh terpidana pada waktu pengadilan menjatuhkan putusannya,
tetapi ditafsirkan termasuk pula harta benda yang diperoleh dari hasil tindak pidana korupsi, yang pada waktu pengadilan menjatuhkan putusannya, harta
benda tersebut oleh terdakwa sudah dialihkan kepada orang lain.
110
c. Yang dimaksud pidana tambahan berupa penutupan seluruh atau sebagian
perusahaan, oleh penjelasan pasal 18 ayat 1 huruf c disebutkan: pencabutan izin usaha atau penghentian kegiatan untuk sementara waktu sesuai dengan putusan
pengadilan. Di dalam ketentuan pasal 18 ayat 1 huruf c tersebut tidak dijelaskan apakah perusahaan yang dimaksud adalah perusahaan kepunyaan terpidana, atau
apakah tindak pidana korupsi yang dilakukan terpidana harus dibuktikan di dalam lingkungan usaha dari perusahaan yang ditutup.
111
Untuk dapat menjatuhkan pidana tambahan berupa penutupan perusahaan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 18 ayat 1 huruf c, tidak perlu perusahaan yang dimaksud adalah kepunyaan terpidana, cukup dengan syarat asal tindak pidana korupsi yang
dilakukan oleh terpidana masih di dalam lingkungan usaha dari perusahaan yang ditutup. Sehubungan dengan dicantumkan atau disebutnya tenggang waktu, baik
di dalam pasal 18 ayat 1 huruf c maupun di dalam penjelasan pasal 18 ayat 1 huruf c, maka kepada pengadilan yang akan menjatuhkan putusan tentang pidana
tambahan yang berupa penutupan perusahaan, agar mencantumkan di dalam
110
R. Wiyono, Op.cit., hal. 142-143.
111
Ermansjah Djaja, Op.cit., hal. 79.
Universitas Sumatera Utara
putusannya tenggang waktu lamanya penutupan perusahaan berlangsung dan yang jelas jangan sampai melewati wakti 1 satu tahun.
112
d. Yang dimaksud dengan “hak-hak tertentu” dalam pasal 18 ayat 1 huruf d, bukan
hanya hak-hak sebagaimana dimaksud dalam pasal 35 ayat 1 KUHP, karena jika tidak demikian, tentunya tidak perlu adanya ketentuan seperti pasal 18 ayat 1
huruf d. Dengan demikian, yang dimaksud dengan “hak-hak tertentu” dalam pasal 18 ayat 1 huruf d adalah termasuk hak-hak yang telah atau dapat diberikan oleh
pemerintah kepada terdakwa, yang tidak termasuk hak-hak sebagaimana dimaksud dalam pasal 35 ayat 1 KUHP, misalnya hak untuk mengekspor
barang-barang tertentu atau hak untuk mengembangkan suatu kawasan tertentu.
113
e. Pidana tambahan sebagaimana dimaksud dalam pasal 18 ayat 1 huruf c dan
pasal 18 ayat 1 huruf d, pada hakikatnya merupakan pidana tambahan yang berupa pencabutan hak sebagaimana dimaksud dalam pasal 10 huruf b angka 1
KUHP. Oleh karena merupakan pidana tambahan, ketentuan yang terdapat di dalam Pasal 38 ayat 2 KUHP berlaku juga untuk ketentuan yang terdapat di
dalam Pasal 18 ayat 1 huruf c dan Pasal 18 ayat 1 huruf d, artinya pidana tambahan yang berupa penutupan perusahaan, pencabutan hak-hak tertentu dan
penghapusan keuntungan tertentu tersebut mulai berlaku pada hari putusan pidana tambahan tersebut dapat dijalankan dan bukan mulai berlaku pada hari mulai
terpidana menjalani pidana tambahan. Dengan demikian, pelaksanaan eksekusi
112
R. Wiyono, Op.cit., hal. 143.
113
Ibid.
Universitas Sumatera Utara
pidana tambahan sebagaimana dimaksud dalam pasal 18 ayat 1 huruf c dan pasal 18 ayat 1 huruf d tidak diperlukan.
114
Jika pengadilan telah menjatuhkan putusan mengenai pembayaran uang pengganti sebagaimana dimaksud Pasal 18 ayat 1 huruf b Undang-Undang Nomor
31 Tahun 1999, maka bagi terpidana diberi batas waktu untuk membayar uang pengganti sebagaimana ditentukan dalam Pasal 18 ayat 2 Undang-Undang Nomor
31 Tahun 1999 yaitu “... paling lama dalam waktu 1 satu bulan sesudah putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, ... ” inkracht.
115
Terhadap tenggang waktu tersebut, jaksa sebagai pelaksana dari putusan pengadilan Pasal 270 KUHAP, tidak dapat memperpanjang tenggang waktu pembayaran uang
pengganti, tidak seperti halnya jaksa dapat memperpanjang tenggang waktu pembayaran denda, yaitu yang ditentukan dalam Pasal 273 ayat 2 KUHAP, karena
pembayaran uang pengganti berbeda dengan pembayaran denda.
116
Pidana tambahan berupa pembayaran uang pengganti adalah merupakan pidana tambahan, sedangkan pidana denda merupakan pidana pokok, sehingga
akibatnya ketentuan-ketentuan mengenai pidana denda yang antara lain terdapat dalam Pasal 273 ayat 2 KUHAP tidak dapat serta merta diberlakukan untuk
pembayaran uang pengganti. Jika tenggang waktu untuk pembayaran uang pengganti sudah lewat dan terpidana ternyata tidak membayar uang pengganti, tindak lanjutnya
114
Ibid. hal. 144.
115
Ermansjah Djaja, Op.cit., hal. 80.
116
R. Wiyono, Op.cit., hal. 145.
Universitas Sumatera Utara
adalah seperti yang ditentukan dalam pasal 18 ayat 2, yaitu “... maka harta bendanya dapat disita oleh jaksa dan dilelang untuk menutupi uang pengganti tersebut”.
117
Ketentuan yang merupakan tindak lanjut dari akibat terpidana tidak membayar uang pengganti tersebut, perlu diberikan penjelasan yaitu mengenai apa yang
dimaksud dengan kalimat “harta bendanya” dan kalimat “dapat disita” dalam Pasal 18 ayat 2 tersebut. Yang dimaksud dengan “harta bendanya” dalam pasal 18 ayat 2
adalah harta benda kepunyaan terpidana yang bukan merupakan harta benda hasil dari tindak pidana korupsi danatau harta benda kepunyaan terpidana yang bukan
dipergunakan untuk melakukan tindak pidana korupsi, karena jika memang terbukti di sidang pengadilan, bahwa harta benda kepunyaan terpidana tersebut merupakan
harta benda hasil tindak pidana korupsi danatau dipergunakan untuk melakukan tindak pidana korupsi maka pengadilan sudah tentu akan menjatuhkan pidana
tambahan berupa perampasan barang-barang sebagaimana dimaksud dalam pasal 39 ayat 1 KUHP atau pasal 18 ayat 1 huruf b, sehingga jaksa tidak perlu sampai
melakukan penyitaan terhadap barang-barang yang dimaksud dan dilelang untuk menutupi uang pengganti tersebut. Yang dimaksud dengan “dapat disita” dalam pasal
18 ayat 2 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 adalah penyitaan yang dilakukan oleh jaksa terhadap harta benda kepunyaan terpidana tindak pidana korupsi bersifat
fakultatif, karena penyitaan terhadap harta benda kepunyaan terpidana dan kemudian harta benda tersebut dilelang, baru dilakukan oleh jaksa sebagai eksekutorpelaksana
117
Ermansjah Djaja, Op.cit., hal. 80.
Universitas Sumatera Utara
putusan pengadilan sebagaimana diatur dalam pasal 270 KUHAP
118
, jika terpidana tidak membayar uang pengganti sebagaimana dimaksud dalam ayat 1 huruf b paling
lama waktu 1 satu bulan sesudah putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap,...”Pasal 18 ayat 2 Undang-Undang Nomor 31 Tahun
1999.
119
Perampasan pidana merupakan sistem yang didasari atas unsur objektif, yang dalam hal ini keweanangan jaksa harus membuktikan bahwa aset yang dimaksud
merupakan suatu hasil atau sarana kejahatan yang telah selesai atau dalam proses kejadiannya. Perampasan aset pidana tunduk pada semua perlindungan prosedural
konstitusional dan peraturan yang tersedia di bawah naungan hukum pidana. Penerapan tindak perampasan harus disertakan dalam dakwaan yang diajukan oleh
pihak jaksa penuntut umum. Ketentuan mengenai perampasan aset hasil kejahatan diatur dalam Rancangan
Undang-Undang Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Tahun 2010
120
: pasal 6 : Pejabat Publik yang memperkaya diri berupa peningkatan jumlah
kekayaannya secara signifikan dan tidak dapat membuktikan peningkatan tersebut diperoleh secara sah, dipidana dengan Perampasan Kekayaan tersebut.
118
Pasal 270 KUHAP: Pelaksana putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap dilakukan oleh jaksa, yang untuk itu panitera mengirimkan salinan surat putusan
kepadanya.
119
Ermansjah Djaja, Op.cit., hal. 81.
120
Rancangan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor ... Tahun ... Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, http:www.djpp.depkumham.go.idpembahasan-ruu80-ruu-
yang-di-bahas607-ruu-tentang-pemberantasan-tindak-pidana-korupsi.html , diakses terakhir tanggal 9 April 2011.
Universitas Sumatera Utara
pasal 20 : Setiap orang yang menghalang-halangi Penyitaan atau Perampasan barang atau uang yang diduga keras berasal dari tindak pidana korupsi, dipidana dengan
pidana penjara paling lama 2 dua tahun. pasal 21 : Setiap orang yang menjual atau mengalihkan barang yang telah disita atau
dirampas dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 tiga tahun. pasal 22 :
1 Pejabat Publik yang dengan sengaja melaporkan harta bendanya yang tidak
benar, diancam dengan pidana penjara paling lama 2 dua tahun atau denda paling banyak Rp100.000.000,00 seratus juta rupiah.
2 Pejabat Publik yang pada waktu melaporkan harta bendanya mengajukan buktibukti palsu tentang perolehan harta benda tersebut, diancam dengan pidana
penjara paling lama 3 tiga tahun atau denda paling banyak Rp150.000.000,00 seratus lima puluh juta rupiah.
pasal 23 : 1 Permohonan Perampasan aset untuk menyatakan suatu aset dirampas menjadi
milik negara terhadap: a. milik tersangkaterdakwa yang telah meninggal dunia yang diduga keras
diperoleh dari tindak pidana korupsi; b. milik tersangka yang tidak dikenal yang diduga keras diperoleh dari tindak
pidana korupsi; c. milik tersangkaterdakwa yang melarikan diri ke luar negeri yang diduga.
d. kekayaan yang tidak dapat dibuktikan sebagaimana dimaksud dalam pasal 6. 2 Permohonan Perampasan aset sebagaimana dimaksud pada ayat 1 dilakukan
oleh jaksa. 3 Sebelum diajukan permohonan, penyidik atau penuntut umum sesuai dengan
kewenangannya dapat melakukan penyitaan atas aset sebagaimana dimaksud pada ayat 1.
pasal 24 : 1 Permohonan Perampasan aset sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 diajukan
kepada pengadilan negeri yang wilayah hukumnya meliputi tempat aset tersebut berada.
2 Pemeriksaan permohonan Perampasan aset sebagaimana dimaksud pada ayat 1 dilakukan oleh hakim tunggal dengan acara singkat.
3 Putusan yang menyatakan suatu aset sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 ayat 1 huruf a, huruf b, dan huruf c menjadi milik negara adalah Putusan
pertama dan terakhir. 4 Putusan hakim terhadap permohonan Perampasan aset yang berasal dari
Kekayaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 ayat 1 huruf d dapat dimintakan banding dan kasasi.
Universitas Sumatera Utara
5 Putusan terhadap permohonan Perampasan aset harus dibacakan pada sidang yang terbuka untuk umum dan wajib diumumkan.
6 Pihak lain yang berkepentingan yang beritikad baik dapat mengajukan
perlawanan terhadap penetapan Perampasan aset dalam jangka waktu 90 sembilan puluh hari setelah Putusan diucapkan.
7 Dalam hal hakim menganggap alasan yang dikemukakan oleh pihak
berkepentingan dapat diterima maka hakim mengembalikan aset tersebut seluruhnya atau sebagian kepadanya.
pasal 25 : 1 Penetapan hakim untuk menyatakan suatu aset menjadi milik negara harus
dijatuhkan dalam jangka waktu paling lama 3 tiga hari kerja setelah permohonan diajukan.
2 Biaya perkara pemeriksaan permohonan Perampasan aset ditanggung oleh negara.
pasal 45 : 1 Terdakwa wajib memberikan keterangan tentang seluruh Kekayaannya dan
Kekayaan istri atau suami, anak, dan Kekayaan setiap orang atau Korporasi yang diduga mempunyai hubungan dengan perkara yang didakwakan.
2 Dalam hal terdakwa tidak dapat membuktikan tentang Kekayaan yang tidak seimbang dengan penghasilannya atau sumber penambahan Kekayaannya maka
keterangan sebagaimana dimaksud pada ayat 1 digunakan untuk memperkuat alat bukti yang sudah ada bahwa terdakwa telah melakukan tindak pidana
korupsi.
pasal 47 : 1 Setiap orang yang didakwa melakukan salah satu tindak pidana korupsi
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 sampai dengan Pasal 12, wajib membuktikan sebaliknya terhadap Kekayaan miliknya yang belum didakwakan,
tetapi juga diduga berasal dari tindak pidana korupsi.
2 Dalam hal terdakwa tidak dapat membuktikan bahwa Kekayaan sebagaimana dimaksud pada ayat 1 diperoleh bukan karena tindak pidana korupsi,
Kekayaan tersebut dianggap diperoleh juga dari tindak pidana korupsi dan hakim berwenang memutuskan seluruh atau sebagian Kekayaan tersebut
dirampas untuk negara.
3 Tuntutan Perampasan Kekayaan sebagaimana dimaksud pada ayat 2 diajukan oleh penuntut umum pada saat membacakan tuntutannya pada perkara pokok.
4 Pembuktian bahwa Kekayaan sebagaimana dimaksud pada ayat 1 bukan berasal dari tindak pidana korupsi diajukan oleh terdakwa pada saat
membacakan pembelaannya dalam perkara pokok dan dapat diulangi pada memori banding dan memori kasasi.
Universitas Sumatera Utara
5 Hakim wajib membuka persidangan yang khusus untuk memeriksa pembuktian yang diajukan terdakwa sebagaimana dimaksud pada ayat 4.
6 Dalam hal terdakwa dibebaskan atau dinyatakan lepas dari segala tuntutan hukum dari perkara pokok maka tuntutan Perampasan Kekayaan sebagaimana
dimaksud pada ayat 1 dan ayat 2 harus ditolak oleh hakim.
Pengaturan mengenai perampasan aset selain belum diatur secara khusus dalam peraturan perundang-undangan di Indonesia. Ketentuan yang sudah ada
memiliki kelemahan, yaitu upaya untuk merampas aset hasil tindak pidana umumnya hanya dapat dilaksaksanakan jika pelaku kejahatan oleh pengadilan telah dinyatakan
terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana.
121
Mekanisme ini selain seringkali sulit diterapkan akibat adanya berbagai halangan yang mengakibatkan pelaku kejahatan tidak bisa menjalani pemeriksaan di
sidang pengadilan, juga tidak tertutup kemungkinan tidak dapat diterapkan karena tidak ditemukan bukti yang cukup untuk mengajukan tuntutan ke pengadilan dan
sebagainya. Aset kejahatan seringkali dengan mudah dialihkan atau bahkan dilarikan ke luar negeri. Selain juga belum mengatur secara komprehensif langkah-langkah
untuk meminimalkan kerugian negara tersebut yang harus dilakukan sejak awal penanganan perkara, yaitu dengan dilakukan pemblokiran dan penyitaan baik
terhadap harta kekayaan di dalam negeri maupun harta kekayaan tersangka di luar negeri. Secara umum, perbedaan antara ketentuan-ketentuan hukum yang berlaku di
Indonesia dan perkembangan terakhir di dunia internasional menyangkut penyitaan
121
Yunus Husein, Perampasan Aset Hasil Tindak Pidana Di Indonesia Asset Forfeiture Of Crime In Indonesia, jurnal.pdii.lipi.go.idadminjurnal7410563576.pdf, diakses terakhir tanggal 16
Mei 2011.
Universitas Sumatera Utara
dan perampasan hasil dan instrumen tindak pidana menunjukkan perlunya perluasan, penambahan dan penyesuaian terhadap ketentuan-ketentuan hukum yang berlaku saat
ini di Indonesia.
122
Tujuan utama dari penyusunan undang-undang perampasan hasil tindak pidana yaitu untuk menekan tingkat kejahatan dan meletakkan keadilan di dalam
masyarakat di Indonesia melalui penyitaan dan perampasan hasil dan instrumen tindak pidana. Perampasan hasil dan instrumen tindak pidana diharapkan akan
mengurangi atau bahkan menghilangkan salah satu motif dasar perilaku atau calon pelaku tindak pidana yaitu medapatkan keuntungan ekonomis. Selain pengenaan
sanksi pidana, harta kekayaan yang dihasilkan dari tindak pidana dan juga sarana yang digunakan untuk memfasilitasi tindak pidana akan dirampas oleh negara.
Dengan berkurang atau hilangnya salah satu motif untuk melakukan tindak pidana diharapkan dapat menekan tingkat kejahatan.
123
Perampasan hasil dan instrumen tindak pidana juga menunjukkan bahwa harta kekayaan yang diperoleh secara melawan hukum dan sarana yang diperoleh secara
melawan hukum dan sarana yang memungkinkan perolehan harta tersebut akan dirampas dan dikembalikan kepada masyarakat. Dengan kata lain, perampasan hasil
tindak pidana akan menunjukkan bahwa bagi pelaku tindak pidana “crime doesn’t pay”. Hal seperti ini memberikan pesan kuat bahwa keadilan, yang sempat terganggu
dengan adanya tindak pidana dikembalikan kepada masyarakat. Kegunaan dari
122
Ibid.
123
Romli Atmasasmita, Op.cit., hal. 117.
Universitas Sumatera Utara
penyusunan undang-undang yang mengatur penyitaan dan perampasan hasil dan instrumen tindak pidana mempunyai beberapa kegunaan, yaitu:
1. menyediakan ketentuan hukum yang bersifat komprehensif yang dapat digunakan
oleh aparat penegak hukum dan aparat pemerintah lainnya dalam melaksanakan penyitaan dan perampasan hasil dan istrumen tindak pidana.
2. mendorong agar pengembalian hasil tindak pidana dapat dilaksanakan secara
optimal melalui mekanisme yang efektif, dalam waktu yang singkat dan sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku.
3. mengimbangi perkembangan di dunia internasional di bidang penegakan hukum
khususnya dalam rangka pengembalian hasil dan instrumen tindak pidana atau asset recovery antarnegara.
124
C. Pengembalian Aset Melalui Jalur Pidana
Pengembalian aset adalah sistem penegakan hukum yang dilakukan oleh negara korban tindak pidana korupsi untuk mencabut, merampas, menghilangkan hak
atas aset hasil tindak pidana korupsi dari pelaku tindak pidana korupsi melalui rangkaian proses dan mekanisme, baik secara pidana dan perdata, aset hasil tindak
pidana korupsi, baik yang ada di dalam maupun di luar negeri, dilacak, dibekukan, dirampas, disita, diserahkan dan dikembalikan kepada negara korban tindak pidana
korupsi, sehingga dapat mengembalikan kerugian keuangan negara yang diakibatkan
124
Ibid., hal. 117-118.
Universitas Sumatera Utara
oleh tindak pidana korupsi, dan untuk mencegah pelaku tindak pidana menggunakan aset hasil tindak pidana korupsi sebagai alat atau sarana untuk melakukan tindak
pidana lainnya, dan memberikan efek jera bagi pelaku danatau calon pelaku tindak pidana korupsi.
125
Dari rumusan pengertian tersebut terdapat beberapa unsur-unsur penting pengembalian aset hasil tindak pidana korupsi, yaitu:
1. Pengembalian aset merupakan sistem penegakan hukum;
2. Penegakan hukum tersebut dilakukan baik melalui jalur pidana maupun jalur
perdata; 3.
Melalui kedua jalur tersebut aset hasil tindak pidana korupsi dilacak, dibekukan, dirampas, disita, diserahkan dan dikembalikan kepada negara korban tindak
pidana korupsi; 4.
Pelacakan, pembekuan, perampasan, penyitaan, penyerahan, dan pengembalian dilakukan terhadap aset hasil tindak pidana korupsi baik yang ditempatkan di
dalam maupun di luar negeri; 5.
Sistem penegakan hukum dilakukan oleh negara korban tindak pidana korupsi yang dilaksanakan oleh institusi penegak hukum;
6. Sistem ini memiliki tujuan-tujuan sebagai berikut:
125
Purwaning M. Yanuar, Op.cit., hal. 104.
Universitas Sumatera Utara
a. mengembalikan kerugian negara korban tindak pidana korupsi yang ditimbulkan oleh pelaku tindak pidana korupsi;
b. mencegah penggunaan atau pemanfaatan aset-aset tersebut sebagai alat atau sarana oleh pelaku tindak pidana korupsi untuk melakukan tindak pidana
lainnya, misalnya, tindak pidana pencucian uang, terorisme dan tindak pidana lintas negara lainnya;
c. memberikan efek jera bagi pihak lain yang beriktikad melakukan tindak pidana korupsi.
126
Substansi sistem hukum pengembalian aset melalui jalur hukum pidana umumnya terdiri dari ketentuan-ketentuan mengenai proses pengembalian aset
melalui empat tahap yang terdiri dari : pertama, pelacakan aset untuk melacak aset- aset; kedua, tindakan-tindakan penghentian perpindahan aset-aset melalui mekanisme
pembekuan atau penyitaan; ketiga, penyitaan. Hanya setelah melalui dan memenuhi tahapan-tahapan tersebut baru dapat dilaksanakan tahap keempat, yaitu penyerahan
aset dari negara penerima kepada negara korban tempat aset diperoleh secara tidak sah.
127
1. Tahap Pertama, Pelacakan Aset
Tahap ini sangat penting dan menentukan tahapan selanjutnya. Tujuan investigasi atau pelacakan aset ini adalah untuk mengidentifikasi aset, lokasi
126
Ibid.
127
Ibid., hal. 206.
Universitas Sumatera Utara
penyimpanan aset, bukti kepemilikan aset, dan hubungannya dengan tindak pidana yang dilakukan. Tahapan ini sekaligus merupakan pengumpulan alat-alat bukti.
Untuk kepentingan investigasi dirumuskan praduga bahwa pelaku tindak pidana akan menggunakan dana-dana yang diperoleh secara tidak sah untuk kepentingan pribadi
dan keluarganya. Dalam hal demikian, pasti terdapat hubungan yang disamarkan antara individu dengan aset-aset tersebut. Semua fakta diperiksa silang dan disatukan
dengan hasil riset dari database dunia, riset catatan publik, dan pemeriksaan berkas- berkas korporasi. Informasi awal ini digunakan untuk menentukan langkah
investigasi selanjutnya. Praduga kedua adalah bahwa pihak ketiga akan dimanfaatkan dalam proses penyembunyiaan aset-aset tersebut. Conyngham mengungkapkan
bahwa ketika perburuan aset dimulai, pihak-pihak ketiga tersebut patut dicurigai untuk didekati. Selain menjadikan mereka sebagai target, yurisdiksi yang akan
dilacak harus dapat diperkirakan. Hal ini sangat penting karena kemenangan baru tercapai apabila aset yang dapat diidentifikasikan berada dalam yurisdiksi yang tidak
menerapkan ketentuan pengembalian yang rumit dalam sistem hukumnya.
128
Kesulitan terbesar dalam membuktikan tindak pidana korupsi adalah mengetahui jumlah kekayaan tersangka. Pada masa sekarang orang lebih mudah
memiliki properti di luar negeri, membuka rekening bank di luar garis yuridisnya dan
128
Ibid.
Universitas Sumatera Utara
melindungi kepemilikan atas suatu properti.
129
Pencucian hasil kejahatan diatur dalam Pasal 23 ayat 1 UNCAC :
Setiap negara peserta wajib mengadopsi, sesuai dengan prinsip-prinsip dasar dari hukum nasionalnya, tindakan-tindakan legislatif dan tindakan-tindakan lain sejauh
diperlukan, untuk menetapkan sebagai tindak pidana kejahatan, bilamana dilakukan dengan sengaja :
a. i konversi atau transfer kekayaan, padahal diketahuinya bahwa kekayaan itu
merupakan hasil kejahatan, dengan maksud untuk menyembunyikan atau menyamarkan asal usul harta kekayaan itu atau untuk tujuan membantu
seseorang yang terlibat dalam melakukan kejahatan asal untuk menghindari akibat hukum dari tindakannya.
ii penyembunyian atau penyamaran dari sifat, sumber, lokasi, kedudukan, pergerakan atau kepemilikan dari atau hak-hak yang sesungguhnya berkenaan
dengan kekayaan, mengetahui bahwa kekayaan tersebut merupakan hasil perolehan kejahatan.
b. tunduk pada konsep-konsep dasar dari sistem hukumnya :
i perolehan, pemilikan atau penggunaan kekayaan, padahal mengetahui, pada saat penerimaan, bahwa kekayaan itu merupakan hasil perolehan kejahatan;
ii penyertaan dalam, keterlibatan dengan atau berkonspirasi untuk melakukan dan membantu, membujuk, memfasilitasi dan menganjurkan untuk
melakukan satu dari tindak pidana-tindak pidana yang ditetapkan sesuai dengan pasal ini.
Harian Indonesia Times, 24 Agustus 1991, A.T. Kerney Incorporated, perusahaan konsultan Amerika Serikat menyebutkan sejumlah besar dana dari
Indonesia berada di Bank-Bank Singapura sebanyak 41 persen dari total jumlah Asian Currency unit, yakni 76 milyar dollar AS, yang dimiliki oleh oknum-oknum pejabat
dan perusahaan tertentu dari Indonesia terdiri dari dana individu-individu dan perusahaan tertentu dari Indonesia terdiri dari dana individu-individu dan perusahaan
tertentu sebesar 26 milyar dollar AS dan dana non Bank sebesar 50 milyar dollar AS
129
Ian Mc Walters, SC., Memerangi Korupsi, Sebuah Peta Jalan Untuk Indonesia, Surabaya: JPBooks, 2006, hal. 51.
Universitas Sumatera Utara
pada tahun 1991. Pada tahun 1997 dan setelah selesainya riwayat Orde Baru pada bulan Mei 1998 jumlahnya semakin meningkat menjadi puluhan kali, dari segi
simpanan deposito warga negara Indonesia dan kerugian lainnya.
130
Semakin banyaknya dana-dana Negara Indonesia oleh oknum-oknum pejabat negara berupa deposito dan tabungan sampai saat ini, karena negara Indonesia lemah
dalam proses penegakan hukum terhadap oknum-oknum pejabat negara baik eksekutif, legislatif maupun yudikatif yang berkolusi dan nepotisme dengan
pengusaha-pengusaha untuk melakukan korupsi. Walaupun telah banyak proses hukum, tetapi para pelaku tindak pidana korupsi hanya terdiri dari para pengusaha
yang mudah melarikan diri keluar negeri dengan membawa hasil kejahatan keluar negeri tanpa adanya upaya-upaya hukum lainnya dengan menerapkan hukum pidana
internasional konvensi-konvensi internasional yang telah disepakati oleh para negara peserta. Jadi proses hukum yang dilakukan oleh aparat penegak hukum baik polisi,
jaksa, hakim masih menerapkan hukum pidana nasional domestik. Dalam proses penegakan hukum terhadap tindak pidana korupsi dan pencucian uang yang
dilakukan oleh para pengusaha yang menggunakan dana bantuan likuiditas Bank Indonesia BLBI, antara lain yaitu:
a. David Nusa Wijaya Dirut Bank Servita dengan kerugian negara Rp. 1,29 triliun, di vonis 8 tahun penjara.
b. Samdikun Antono Dirut Bank Modern dengan kerugian uang negara sekitar Rp. 169 milyar di vonis 4 tahun penjara.
130
H. R. Abdussalam, Hukum Pidana Internasional 2, Jakarta: Restu Agung, 2006, hal. 246.
Universitas Sumatera Utara
c. Bambang Sutrisno Dirut Bank Surya dengan kerugian negara sekitar Rp. 1,5 triliun, di vonis penjara semur hidup.
d. Adrian Kiki Ariawan Bank Surya dengan kerugian negara Rp. 1,5 triliun di vonis penjara seumur hidup.
e. Sudjiono Tinan Dirut BPHI dengan kerugian negara sekitar Rp. 2,2 triliun Rp. 369 miliar dan Rp. 178 juta dollar AS.
131
Para terdakwa tersebut diatas sedang dalam proses hukum, telah melarikan diri ke luar negeri dengan mudah tanpa adanya penyidikan siapa dibelakang layar
para terdakwa tersebut dapat dengan mudah melarikan diri ke luar negeri, aset kekayaan pribadi para terdakwa tersebut diatas termasuk kekayaan istri dan anak-
anaknya yang tidak diikuti dengan melakukan penyitaan terhadap kekayaan para terdakwa serta tanpa proses hukum terhadap mantan para pejabat pemerintahan yang
telah memberi kemudahan untuk mendapatkan dana BLBI tanpa agunan.
132
Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi terutama perkembangan transportasi, komunikasi, dan informasi mengakibatkan satu negara dengan negara
lain seakan-akan tanpa batas sehingga perpindahan orang atau barang dari satu negara ke negara lain dilakukan dengan mudah dan cepat. Hal ini mengakibatkan pula
perkembangan kejahatan dan modus operandinya semakin canggih sehingga penanggulangannya diperlukan kerja sama antara negara yang satu dengan negara
131
Ibid., hal. 247-248.
132
Ibid., hal. 248.
Universitas Sumatera Utara
yang lain.
133
Upaya mencari ataupun mengejar para terpidana dan tersangka beserta aset-asetnya baik didalam negeri maupun di luar negeri, maka dibentuklah Tim
Terpadu Pencari Terpidana dan Tersangka Tindak Pidana Korupsi. Tim Terpadu adalah satuan kerja lintas departemen dibawah koordinasi Wakil Jaksa Agung.
Keanggotaan Tim Terpadu terdiri dari unsur-unsur Kejaksaan Agung R.I., Kemenko Polhukam Deputy IIIMenko Polhukam Bidang Hukum dan Ham, Departemen
Hukum Dan Ham Ditjen Administrasi Hukum Umum dan Ditjen Imigrasi, Kepolisian Negara R.I. Bareskrim dan NCB Interpol Indonesia, Departemen Luar
Negeri Ditjen Politik Hukum Keamanan dan Kewilayahan, dan Unsur PPATK.
134
133
Penjelasan Atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2006 Tentang Bantuan Timbal Balik Dalam Masalah Pidana.
134
Tim Terpadu Pencari Terpidana Dan Tersangka Tindak Pidana Korupsi, http:www.kejaksaan.go.idunit_kejaksaan.php?idu=2sm=3, diakses terakhir tanggal 8 Maret 2011.
Tugas Pokok : a. Menghimpun keterangan, fakta data dan informasi dari berbagai sumber tentang tempat atau
keberadaan terpidana dan tersangka tindak pidana korupsi di dalam maupun di luar negeri sebagai bahan masukan guna pengakurasian, pengolahan serta penetapan kebijakan, langkah dan tindakan
lebih lanjut. b. Melakukan koordinasi dan kerjasama dalam rangka penyelidikan, pencarian dan penangkapan
terpidana dan tersangka perkara tindak pidana korupsi di dalam negeri dengan segenap jajaran pemerintah baik dengan departemen lembaga pemerintah non departemen yang secara fungsional
terkait langsung maupun tidak langsung berwenang atau berkepentingan dengan penegakan hukum, aparat keamanan serta lembaga lainnya yang diperlukan dan di luar negeri dengan
berbagai negara dan atau pemerintahan khususnya di negara-negara yang diduga menjadi tempat beradanya terpidana atau tersangka perkara tindak pidana korupsi baik secara langsung maupun
atas dukungan dari departemen luar negeri melalui Perwakilan Kedutaan Besar Republik Indonesia.
c. Menyerahkan terpidana dan tersangka tindak pidana korupsi kepada institusi penegak hukum selaku pihak yang berwenang dalam hal ini Kejaksaan Agung Republik Indonesia dan atau kepada
Kepolisian Negara Republik Indonesia terhadap para tersangka untuk dilakukan diselesaikan penyelidikan penyidikannya.
d. Melakukan upaya penyelamatan kerugian keuangan negara berupa asset hasil korupsi dan asset lainnya untuk dimasukkan kembali sebagai asset negara.
e. Melaksanakan berbagai upaya antisipatif dan koordinatif dalam rangka menjamin tercapainya kecepatan dan ketepatan kebijakan, langkah dan tindak lanjut dengan pimpinan masing-masing
anggota tim terpadu sejak perencanaan, pelaksanaan dan proses hukum hingga penuntasan eksekusi.
Universitas Sumatera Utara
Hasil yang telah dicapai tahun 2009
1 Pelacakan aset ECW Neloe. a.
Swiss Federal Prosecutor telah mengeluarkan hasil keputusan resmi formal decree untuk menyita aset ECW Neloe tanggal 17 April 2009, namun
pemilik rekening diberi kesempatan selama 30 hari untuk keberatan banding atas keputusan resmi penyitaan tersebut.
b. Menindaklanjuti informasi resmi dari pihak Federal of Justice and Police of
Switzerlandadatanggal 20 April 2009, maka jangka waktu 30 tiga puluh hari untuk proses banding atas penyitaan rekening milik ECW Neloe di Pengadilan
Federal Swiss adalah tanggal 17 Mei 2009. c.
Jika terdapat kemungkinan Banding atas penyitaan rekening milik ECW. Neloe, maka Pemerintah Republik Indonesia sebagai Negara Peminta perlu
melakukan diskusi dengan pihak berwenang di Swiss atas materi keberatan dari pemilik rekening antara lain apakah ada keterkaitan dengan pihak ketiga
informasi tentang pihak ketiga untuk mengetahui apakah ada keterlibatan langsung atau tidak langsung dengan tindak pidana korupsi di Bank Mandiri,
serta kewenangan dari pihak yang mengajukan keberatan karena ECW Neloe saat ini berstatus sebagai narapidana di Indonesia.
Fungsi : Turut serta menuntaskan pelaksanaan eksekusi terhadap putusan pengadilan yang telah
memperoleh kekuatan hukum tetap serta turut serta menuntaskan perkara tindak pidana korupsi yang masih dalam proses penyelesaian tahap penyidikan dan tahap penuntutan
dengan mengoptimalkan pencarian terpidana dan tersangka beserta asset-assetnya baik didalam negeri maupun di luar negeri.
Universitas Sumatera Utara
d. Jika tidak terdapat banding terhadap penyitaan aset ECW Neloe, maka
Pemerintah Republik Indonesia sebagai Negara peminta dapat mendiskusikan bagaimana langkah-langkah yang harus diambil guna menindaklanjuti
keputusan resmi formal decree dari Swiss Federal Prosecutor tersebut. 2 Pelacakan keberadaan Irawan Salim dan asetnya.
135
a. Dalam pelacakan asset tersangka Irawan Salim kasus Bank Global di Swiss,
Pemerintah Federal Swiss pada dasarnya telah dapat menyetujui permintaan MLA untuk melakukan pembekuan asset Irawan Salim sejumlah USD 9,9 juta
yang berada di Bank Swiss, untuk dan atas nama Pemerintah Indonesia. Sampai saat ini Tim menunggu pihak Kejaksaan Federal Swiss untuk tindak
lanjutnya. b.
Telah diterima nota diplomatik dari Federal Department of Justice of Switzerland tanggal 30 April 2009, yang secara resmi telah memberitahukan
tentang pemblokiran aset-aset dalam rekening di Deutschebank of Switzerland.
c. Pemerintah Republik Indonesia sebagai Negara Peminta sebaiknya
mendiskusikan materi pembatasan penggunaan dokumen reservation of speciality yang diajukan Pemerintah Swiss terhadap aset milik Irawan Salim
yang telah diblokir, serta mendiskusikan materi keberatan apa saja dari 2 dua pemilik rekening yang mengajukan banding di Swiss.
135
Ibid.
Universitas Sumatera Utara
d. Pemerintah Republik Indonesia sebagai Negara Peminta sebaiknya
mendiskusikan tentang maksud reservation of speciality terhadap tindakan- tindakan perdata yang dimasukkan dalam pemeriksaan di sidang pengadilan
pidana menurut Pasal 49 Sub ayat d Konvensi tentang implementasi Schengen Agreement.
e. Penyidik Kepolisian dan Penuntut Umum perlu menindaklanjuti proses
hukum terhadap tersangka Irawan Salim atas tindak pidana pencucian uang yang dijadikan dasar pengajuan permintaan bantuan timbal balik ke Swiss.
Karena untuk memenuhi isi permintaan untuk perampasan dan pengembalian aset, Indonesia sebagai Negara Peminta harus menyampaikan Putusan
Pengadilan untuk perintah perampasan aset di Swiss. Jika terdapat hambatan proses hukum, maka Pemerintah Republik Indonesia sebagai Negara Peminta
sebaiknya melakukan negosiasi untuk menghilangkan hambatan tersebut. f.
Diperoleh fakta baru bahwa asset Irawan Salim yang berada di Swiss sudah ada sejak tahun 1998 sementara kasus Bank Global baru terjadi tahun 2004.
Oleh karena itu Tim Terpadu sedang meminta kepada penyidik Bareskrim untuk melakukan tindakan hukum penyidikan lanjutan dengan meminta
bantuan audit BPKBPKP guna penelusuran aliran keuangan dari Bank Global hingga ke Swiss periode sebelum tempus delictie kasus Bank Global.
Disamping itu Tim Terpadu juga sedang meminta hasil pemeriksaan Tim Pemeriksa BI pada Bank Global periode tahun 1998 sd 2005 guna
Universitas Sumatera Utara
mengetahui aliran dana Bank Global periode sebelum tempus delictie kasus Bank Global.
g. Diperoleh informasi adanya pergerakan masuk dan keluar Irawan Salim dan
keluarganya di Kanada dan pihak NCB Interpol Indonesia telah bekerja sama dengan Interpol Kanada untuk memastikan keberadaan Irawan Salim berikut
keluarganya di Kanada. h.
PPATK telah mengirimkan surat kepada Jaksa Agung RI tentang pemblokiran aset Irawan Salim di Jersey. Pihak berwenang di Jersey meminta Pemerintah
RI untuk mengirimkan permintaan resmi dari pihak berwenang di Indonesia kepada Kejaksaan Agung Jersey terkait pemblokiran aset tersebut karena
sampai saat ini pemblokiran yang dilakukan oleh Pemerintah Jersey masih bersifat informal.
3 Pelacakan ke Australia.
136
a. Pelacakan Terpidana Adrian Kiki Ariawan. 1.
Adrian Kiki Ariawan telah berhasil ditangkap oleh Australian Federal Police pada tanggal 28 Nopember 2008. Pihak Australia mengemukakan
bahwa Adrian Kiki Ariawan sedang dalam penahanan CDPP Commonwealth Director of Public Prosecutions sejak tanggal 28
November 2008 di Hakea Prison, Negara Bagian Western Australia. pada sidang Magistratetanggal 8 Desember 2008 yang lalu, pengadilan setuju
untuk tetap menahan termohon ekstradisi.
136
Ibid.
Universitas Sumatera Utara
2. Dalam sidang tanggal 16 Januari 2009 di Perth Magistrate Court, pihak
pengacara yang bersangkutan menyatakan bahwa kliennya tetap pada posisi menolak permintaan ekstradisi yang diajukan oleh Pemerintah RI
dan menyampaikan permohonan untuk memperoleh Bail status tahanan luar dengan jaminan. Pihak Kejaksaan Australia CDPP akan
mempertimbangkan usulan Bail tersebut dan akan dibicarakan pada hearing selanjutnya rencananya akan diadakan pada tanggal 24 Maret
2009 namun dimajukan menjadi tanggal 24 Februari 2009 atas permintaan dari Kejaksaan Australia CDPP. Pada persidangan tersebut yang
bersangkutan menolak permohonan ekstradisi dan tidak mengajukan Bail dan tetap berada dalam tahanan. Persidangan berikutnya
dijadwalkan tanggal 12-13 Agustus 2009. 3.
Mengenai aset yang mungkin dimiliki oleh Adrian Kiki Ariawan di Australia, pihak Indonesia berkeinginan agar dibuka kesempatan untuk
mendiskusikan kemungkinan perampasan aset tersebut melalui mekanisme MLA Mutual Legal Assistance. Namun sesuai
dengan hukum Australia, pelacakan terhadap asset tersebut hanya bisa dilakukan untuk masa 6 enam tahun ke belakang. Sehingga untuk kasus
Adrian Kiki Ariawan, hal tersebut telah melampaui masa daluarsa statutory limitation.
4. Kedutaan Besar Australia menginformasikan bahwa proses ekstradisi akan
memakan waktu cukup panjang bahkan sampai beberapa tahun sampai
Universitas Sumatera Utara
terciptanya keputusan final apabila yang bersangkutan memanfaatkan semua haknya untuk banding ke pengadilan federal dan ke pengadilan
tinggi. Namun Pemerintah Australia tetap akan memfasilitasi dan mempercepat langkah-langkah ekstradisi dengan mengedepankan
perjanjian ekstradisi yang sudah ada antara Indonesia dan Australia. 5.
Bahwa perkembangan terakhir persidangan ekstradisi Adrian Kiki Ariawan di Australia, Pengadilan Australia memutuskan Kiki Adrian
Ariawan layak di ekstradisi ke Indonesia. Berdasarkan surat dari Maggie Jackson – First Secretary, International Crime Cooperation
Division, Kedubes Australia tertanggal 15 Oktober 2009 diperoleh informasi bahwa berdasarkan hukum Australia, yang bersangkutan
mempunyai hak untuk mengajukan upaya hukum, dalam waktu 15 lima belas hari sejak putusan dijatuhkan. Namun sejauh ini Adriawan Kiki
Ariawan tidak mengajukan upaya hukum atas putusan Pengadilan Megistrate tersebut, sehingga dengan demikian tahap kedua proses
ekstradisi telah selesai dan masalah tersebut sekarang sedang dalam proses pertimbangan oleh Menteri Dalam Negeri Australia untuk memutuskan
dapat tidaknya ekstradisi dilakukan. Selanjutnya ditambahkan bahwa apabila Mendagri Australia memutuskan untuk menyerahkan Kiki
Ariawan ke Indonesia, yang bersangkutan berhak mengajukan perlawanan yang diajukan kepada Pengadilan yang lebih tinggi. Namun demikian
Universitas Sumatera Utara
pemerintah Australia menjamin untuk memprioritaskan penanganan masalah ini.
b. Pelacakan Aset Terpidana Hendra Rahardja. 1.
Berkaitan dengan permintaan bantuan pelacakan dan penarikan kembali aset-aset Hendra Rahardja yang ditransfer dari Australia ke Hong Kong,
Pemerintah Australia melalui Keputusan The New South Wales Supreme Court telah memerintahkan kepada South East Group SEG di Hong
Kong untuk mengalihkan asset terpidana Hendra Rahardja sebesar USD 398,478,87 ke Australia untuk diserahkan kepada Pemerintah RI.
2. Guna tindak lanjutnya pemerintah Australia telah meminta kepada
Direktur Perjanjian Internasional Ditjen AHU Departemen Hukum dan HAM agar dibuka rekening khusus untuk menerima menampung dana
sebesar USD 398,478,87 tersebut. 3.
Untuk memenuhi maksud tersebut Kejaksaan Agung telah menyampaikan kepada Menteri Hukum dan HAM rekening penampungan dana tersebut
yaitu pada Bank Rakyat Indonesia Nomor : 000001933-01-000638-30-1 atas nama bendaharawan pengeluaran Kejaksaan Agung RI dan oleh
Menteri Hukum dan HAM dengan surat tanggal 27 Juli 2006 telah diteruskan kepada Jaksa Agung Australia.
4. Perkembangan terakhir untuk penanganan aset terpidana Hendra Rahardja,
pada tanggal 8 Desember 2009 bertempat di Departemen Hukum dan HAM telah dilakukan penyerahan aset tersebut secara simbolis dari pihak
Universitas Sumatera Utara
berwenang Australia kepada Tim Terpadu dan pihak Departemen Hukum dan HAM sebagai Central Authority
137
, dana sebesar 493.647,07 Dollar Australia yang akan ditransfer ke Nomor Rekening : 000001933-01-
000638-30-1 atas nama bendaharawan pengeluaran Kejaksaan Agung RI. 4. Pelacakan tersangka Maria Pauline Lumowa dan asetnya.
138
a. Bahwa Menteri Hukum dan HAM dengan surat Nomor : M.HH.AH.08.02-13
tanggal 29 April 2009 telah menyampaikan permintaan bantuan hukum timbal balik dan permintaan ekstradisi kepada Pemerintah Kerajaan Belanda yang
disampaikan melalui saluran diplomatik Departemen Luar Negeri. b.
Terdapat informasi bahwa tersangka Maria Pauline Lumowa telah mengetahui upaya Pemerintah RI untuk melacak, membekukan, menyita dan merampas
aset miliknya di Belanda sehingga terdapat upaya dari yang bersangkutan untuk menjual dan mengalihkan aset-aset tersebut baik yang bergerak dan
tidak bergerak. c.
Permintaan Bantuan Hukum Timbal Balik dan Ekstradisi didasarkan pada Konvensi PBB Menentang Korupsi UNCAC dan Konvensi PBB Menentang
Kejahatan Transnasional Terorganisir UNTOC. Dalam ketentuan di kedua Konvensi tersebut, jika pemerintah Belanda menolak untuk mengekstradisi
137
Lihat Adi Asyari, Peran Bantuan Hukum Timbal Balik Dalam Penyitaan Dan Perampasan Asset Korupsi, jurnal.pdii.lipi.go.idadminjurnal410794105.pdf, diakses terakhir tanggal 4 Maret
2011, bahwa Central Authority mempunyai peran ganda, yang pertama, peran di dalam negeri sebagai koordinator untuk meminta dan melengkapi data-data permintaan dari instansi-instansi di dalam
negeri, kedua, peran kerjasama dengan negara asing sebelum formal request dibuat.
138
Tim Terpadu Pencari Terpidana Dan Tersangka Tindak Pidana Korupsi, http:www.kejaksaan.go.idunit_kejaksaan.php?idu=2sm=3, Op.cit.
Universitas Sumatera Utara
tersangka Maria Pauline Lumowa maka Belanda mempunyai kewajiban sebagai Negara Pihak dalam Konvensi tersebut untuk menuntut yang
bersangkutan berdasarkan hukum nasionalnya.
139
Jaksa Agung Basrief Arief dalam Konferensi International Association of Prosecutor IAP ke-7, menyatakan kerja sama lintas negara perlu dikembangkan
demi terwujudnya penegakan hukum. Penanganan kasus korupsi terhambat oleh otoritas atau yurisdiksi negara lain. Untuk itu, ada beberapa model hukum
internasional yang dapat digunakan untuk menyikapi kendala-kendala dalam penanganan kejahatan lintas negara, seperti melalui sarana pengajuan bantuan hukum
timbal balik dalam masalah pidana Mutual Legal Assistant–MLA dan ekstradisi.
140
Menurut Hikmahanto Juwana, pakar hukum internasional : perjanjian bantuan hukum timbal balik cukup efektif untuk melacak aset koruptor. Dengan perjanjian itu, kedua
negara yang bekerja sama akan saling mengikat, sehingga bila ada permohonan dari Indonesia, negara yang bersangkutan wajib menindaklanjutinya.
141
139
Ibid.
140
Novrieza Rahmi, Kerja Sama, Kunci Penanganan Transnational Crimes, http:202.153.129.35beritabacalt4d836dc794451kerja-sama-kunci-penanganan-transnational-crime
, diakses terakhir tanggal 16 Mei 2011.
141
Yandhrie Arvian, Bagja Hidayat, Timbal Balik Menjerat Koruptor, http:majalah.tempointeraktif.comidarsip20060501EBmbm.20060501.EB119121.id.html ,
diakses terakhir tanggal 19 Maret 2011. Lihat juga Pasal 46 ayat 15 UNCAC : Permintaan untuk bantuan timbal balik dalam masalah pidana harus memuat:
a identitas jati diri dari otoritas yang membuat permintaan; b pokok masalah dan sifat investigasi, penuntutan, atau proses peradilan yudisial yang berkaitan,
dan nama serta tugas-tugas fungsi-fungsi otoritas yang menentukan investigasi, penuntutan atau proses peradilan yudisial;
c ringkasan fakta-fakta yang relevan, kecuali yang menyangkut permintaan untuk tujuan pelayanan dokumen-dokumen yudisial;
d deskripsi gambaran mengenai bantuan yang dicari dan rincian dari proses tertentu ingin diikuti oleh Negara Peserta yang meminta;
Universitas Sumatera Utara
Kerja sama ini, dapat dilakukan karena ada beberapa konvensi internasional yang telah diratifikasi Pemerintah Indonesia. Beberapa di antaranya adalah United
Nations Convention Against Corruption UNCAC Tahun 2003 sebagaimana telah disahkan dengan UU No 7 Tahun 2006, dan United Nations Convention Against
Transnational Organized Crime UNCTOC Tahun 2000 sebagaimana telah disahkan dengan UU No 5 Tahun 2009.
142
Kerjasama penegakan hukum untuk memberantas korupsi diatur dalam ketentuan UNCAC. Pasal 48 United Nations Convention Against Corruption
UNCAC, 2003 Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa Menentang Korupsi, 2003, antara lain:
1. Negara-Negara Peserta wajib bekerjasama secara erat satu dengan lainnya, bersesuaian dengan sistem hukum dan administrasi nasional mereka masing-
masing, untuk meningkatkan efektifitas tindakan penegakan hukum untuk memerangi kejahatan-kejahatan yang dicakup dalam konvensi ini. Setiap Negara
Peserta wajib, secara khusus, mengambil tindakan-tindakan yang efektif:
a Untuk meningkatkan
dan, dimana diperlukan, membangun jalur-jalur
komunikasi antara otoritas-otoritas, “instansi” mereka yang berwenang untuk memudahkan pertukaran secara cepat dan aman informasi mengenai
seluruh aspek kejahatan-kejahatan yang dicakup oleh Konvensi ini termasuk, jika Negara-Negara Peserta yang terkait menganggap ini layak,
hubungan-hubungan dengan kegiatan-kegiatan kejahatan lainnya;
b Untuk bekerjasama dengan Negara-Negara Peserta lainnya dalam melakukan penyelidikan berkenaan dengan tindak pidana yang dicakup oleh
konvensi ini mengenai: i Identitas, keberadaan dan kegiatan-kegiatan dari orang-orang yang
disangka terlibat dalam kejahatan-kejahatan tersebut atau lokasi dari orang-orang lain yang terkait;
ii Pemindahan hasil-hasil kejahatan atau kekayaan yang berasal dari kejahatan-kejahatan yang dilakukan itu;
e dimana mungkin, identitas, lokasi dan kebangsaan dari orang yang terkait; dan f tujuan untuk mana bukti-bukti, informasi dan sesuatu tindakan itu dicari diminta.
142
Novrieza Rahmi, Op.cit.
Universitas Sumatera Utara
iii Pemindahan
kekayaan, perlengkapan atau alat-alat pembantu lainnya
yang digunakan atau dimaksudkan untuk digunakan dalam melakukan kejahatan-kejahatan tersebut;
c Mengadakan, jika layak, item-item yang diperlakukan atau sejumlah substansi untuk tujuan-tujuan analitis atau investigatif;
d Tukar-menukar informasi dimana layak, dengan Negara-Negara Perserta lain mengenai cara-cara dan metode-metode khusus yang digunakan untuk
melakukan kejahatan-kejahatan yang dicakup oleh Konvensi ini, termasuk penggunaan identitas palsu, dokumen-dokumen yang dipalsukan, diubah
atau dokumen palsu dan kegiatan-kegiatan untuk tujuan menyembunyikan dengan cara sarana lainnya.
e Memudahkan koordinasi yang efektif antara otoritas-otoritas, “badaninstansi” mereka yang berwenang dan mempromosikan pertukaran
personil dan ahli-ahli, termasuk, sesuai perjanjian-perjanjian atau pengaturan-pengaturan bilateral antara Negara-Negara Peserta yang terkait,
penempatan perwira penghubung;
f Tukar-menukar informasi dan mengkoordinir tindakan-tindakan administratif dan tindakan-tindakan lain selayaknya untuk tujuan
identifikasi awal kejahatan-kejahatan yang dicakup oleh konvensi ini. 2. Dengan maksud untuk mengefektifkan Konvensi ini, Negara-Negara Peserta
wajib mempertibangkan untuk mengadakan perjanjian-perjanjian bilateral dan multilateral atau pengaturan-pengaturan kerjasama langsung antara
“badaninstansi” penegak hukum mereka dan mengubahnya jika perjanjian- perjanjian atau pengaturan-pengaturan itu sudah ada. Dalam ketiadaan perjanjian-
perjanjian atau pengaturan-pengaturan antara Negara-Negara Peserta yang terkait, Negara-Negara Peserta dapat mempertimbangkan untuk menjadikan Konvensi ini
sebagai basis landasan untuk kerjasama penegakan hukum timbal balik berkenaan dengan kejahatan-kejahatan yang dicakup oleh Konvensi ini. Manakala
layak, Negara-Negara Peserta wajib sepenuhnya memanfaatkan perjanjian- perjanjian atau pengaturan-pengaturan, termasuk organisasi-organisasi
internasional atau regional, untuk meningkatkan kerjasama antara “badaninstansi” penegakan hukum mereka.
Ratifikasi UNCAC 2003 dengan Undang-undang Nomor 7 Tahun 2006 oleh pemerintah Indonesia, secara politis telah menempatkan Indonesia sebagai salah satu
negara di Asia yang memiliki komitmen pemberantasan korupsi melalui kerjasama Internasional. Hal ini penting, karena korupsi di Indonesia terjadi secara sistematik,
Universitas Sumatera Utara
sebagai suatu perbuatan yang sangat merugikan serta dapat merusak sendi-sendi kehidupan perekonomian suatu negara.
143
2. Tahap Kedua, Pembekuan Atau Perampasan Aset