Pendekatan Penal Policy Dalam Perampasan Aset Hasil Tindak Pidana

Cassela mengemukakan bahwa, praktik perampasan aset asset forfeiture di Amerika Serikat merupakan bagian dari penanganan perkara pidana dengan pertimbangan sebagai berikut : Pertama, penegak hukum di Amerika Serikat bukan hanya ingin memenjarakan pelaku tindak pidana melainkan juga ingin memindahkan sarana untuk melakukan tindak pidana sehingga tidak dapat digunakan. Kedua, jika terdapat korban tindak pidana maka sarana terbaik adalah mengembalikan aset tindak pidana untuk memberikan kompensasi bagi korban yang bersangkutan. Ketiga, perampasan aset efektif untuk mencegah keuntungan yang diharapkan diperoleh dari tindak pidana. Keempat, perampasan aset merupakan salah satu bentuk dari hukuman. Keempat pertimbangan memasukkan perampasan aset sebagai bagian penting dan terpisahkan dalam penegakan hukum di Amerika Serikat terutama ditujukan terhadap tindak pidana narkotika, penggelapan pajak dan pelanggaran ketentuan pasar modal security exchange act dan undang-undang antikorupsi Amerika Serikat Foregin Corrupt Practices Act. 74

B. Pendekatan Penal Policy Dalam Perampasan Aset Hasil Tindak Pidana

Korupsi Istilah “kebijakan” diambil dari istilah policy Inggris atau politiek Belanda. Bertolak dari kedua istilah asing ini, maka istilah “kebijakan hukum pidana” dapat pula disebut “politik hukum pidana”. Dalam kepustakaan asing istilah “politik hukum pidana” ini sering dikenal dengan berbagai istilah antara lain “penal policy”, “criminal law policy” atau “strafrechts politiek”. Pengertian kebijakan atau politik hukum pidana dapat dilihat dari politik hukum maupun dari politik kriminal. Menurut Sudarto, “Politik Hukum” adalah : 74 Ibid., hal. 106. Universitas Sumatera Utara a. usaha untuk mewujudkan peraturan-peraturan yang baik sesuai dengan keadaan dan situasi pada suatu saat. 75 b. kebijakan dari negara melalui badan-badan yang berwenang untuk menetapkan peraturan-peraturan yang dikehendaki yang diperkirakan bisa digunakan untuk mengekspresikan apa yang terkandung dalam masyarakat dan untuk mencapai apa yang dicita-citakan. 76 Senada dengan pernyataan di atas, Solly Lubis juga menyatakan bahwa politik hukum adalah kebijaksanaan politik yang menentukan peraturan hukum apa yang seharusnya berlaku mengatur berbagai hal kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Mahfud M.D., juga memberika defenisi politik hukum sebagai kebijakan mengenai hukum yang akan atau telah dilaksanakan secara nasional oleh pemerintah. Hal ini juga mencakup pula pengertian tentang bagaimana politk mempengaruhi hukum dengan cara melihat konfigurasi kekuatan yang ada dibelakang pembuatan dan penegakan hukum itu. Dalam konteks ini hukum tidak bisa hanya dipandang sebagai pasal-pasal yang bersifat imperatif, melainkan harus dipandang sebagai subsistem yang dalam kenyataannya, bukan tidak mungkin sangat ditentukan oleh politik, baik dalam perumusan materinya pasal-pasal, maupun dalam penegakannya. Berdasarkan pengertian tentang politik hukum sebagaimana dikemukakan di atas, maka secara umum dapat ditarik kesimpulan bahwa politik hukum pidana merupakan upaya menentukan ke arah mana pemberlakuan hukum pidana Indonesia masa yang 75 Barda Nawawi Arief, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana, Perkembangan Penyusunan Konsep KUHP Baru, Op.cit., hal. 26. 76 Sudarto, Hukum Pidana Dan Perkembangan Masyarakat, Kajian Terhadap Pembaharuan Hukum Pidana, Bandung: Sinar Baru, 1983, hal. 93. Universitas Sumatera Utara akan datang dengan melihat penegakanya saat ini. Hal ini juga berkaitan dengan konseptualisasi hukum pidana yang paling baik untuk diterapkan. 77 Lebih lanjut Sudarto mengungkapkan, melaksanakan “politik hukum pidana” berarti : 1. mengadakan pemilihan untuk mencapai hasil perundang-undangan pidana yang paling baik dalam arti memenuhi syarat keadilan dan daya guna; 78 2. usaha mewujudkan peraturan perundang-undangan pidana yang sesuai dengan keadaan dan situasi pada suatu waktu dan untuk masa-masa yang akan datang. 79 Dengan demikian politik hukum pidana mengandung arti, bagaimana mengusahakan atau membuat dan merumuskan suatu perundang-undangan pidana yang baik. Pengertian demikian terlihat pula dalam defenisi “penal policy” dari Marc Ancel, “suatu ilmu sekaligus seni yang bertujuan untuk memungkinkan peraturan hukum positif dirumuskan secara lebih baik”. Peraturan hukum positif the positif rules dalam defenisi Marc Ancel jelas adalah peraturan perundang-undangan hukum pidana. Dengan demikian, istilah “penal policy” menurut Marc Acel adalah sama dengan istilah “kebijakan atau politik hukum pidana”. 80 Pencegahan dan penanggulangan kejahatan dengan sarana “penal” merupakan “penal policy” atau “penal law enforcement policy” yang fungsionalisasioperasionalisasinya melalui beberapa tahap: 77 Mahmud Mulyadi, Op.cit., hal. 66. 78 Barda Nawawi Arief, Op.cit., hal. 26. 79 Sudarto, Op.cit., hal. 93. 80 Ibid. Universitas Sumatera Utara 1. tahap formulasi kebijakan legislatif; 2. tahap aplikasi kebijakan yudikatifyudisial; 3. tahap eksekusi kebijakan eksekutifadministratif. Dengan adanya tahap “formulasi”, maka upaya pencegahan dan penanggulangan kejahatan bukan hanya tugas aparat penegakpenerap hukum, tetapi juga tugas aparat pembuat hukum aparat legislatif; bahkan kebijakan legislatif merupakan tahap paling strategis dari “penal policy”. Karena itu, kesalahankelemahan kebijakan legislatif merupakan kesalahan strategis yang dapat menjadi penghambat upaya pencegahan dan penanggulangan kejahatan pada tahap aplikasi dan eksekusi. 81 Usaha dan kebijakan untuk membuat peraturan hukum pidana yang baik pada hakikatnya tidak dapat dilepaskan dari tujuan penanggulangan kejahatan. Jadi kebijakan atau politik hukum pidana juga merupakan bagian dari politik kriminal. Dengan perkataan lain, dilihat dari sudut kriminal, maka politik hukum pidana identik dengan pengertian “kebijakan penanggulangan kejahatan dengan hukum pidana”. Usaha penaggulangan kejahatan dengan hukum pidana pada hakikatnya juga merupakan bagian dari usaha penegakan hukum khususnya penegakan hukum pidana. Oleh karena itu, sering pula dikatakan bahwa politik atau kebijakan hukum 81 Moh. Hatta, Kebijakan Politik Kriminal, Penegakan Hukum Dalam Rangka Penanggulangan Kejahatan, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2010, hal. 39. Universitas Sumatera Utara pidana merupakan bagian pula dari kebijakan penegakan hukum law enforcement policy. 82 Pembentukan undang-undang menurut Sudarto, melalui proses yang tidak singkat dan memerlukan pemikiran yang luas dan dalam. Isi dari suatu undang- undang mempunyai pengaruh yang luas terhadap masyarakat. Bukan hanya sudah terbentuknya undang-undang, melainkan apakah sesudah terbentuknya undang- undang itu tujuan yang dicita-citakan oleh masyarakat bisa tercapai. Suatu golongan sudah merasa puas apabila undang-undang mengenai masalah tertentu sesuai dengan apa yang didambakan. Akan tetapi harus juga diperhitungkan pengaruh adanya undang-undang tersebut dalam masyarakat. Apakah pelaksanaannya diterima secara baik oleh masyarakat, ataukah mendapat tentangan dan bahkan menimbulkan konflik. Jika yang terakhir ini terjadi, maka dapat dikatakan bahwa undang-undang itu disfungsionil dan menjadi perhatian dari penguasa untuk meningkatkan mutu dari perundang-undangan. 83 82 Barda Nawawi Arief, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana, Perkembangan Penyusunan Konsep KUHP Baru, Op.cit., hal. 28. Lihat juga, Lilik Mulyadi, Bunga Rampai Hukum Pidana, Perspektif, Teoretis Dan Praktik, Bandung: PT. Alumni, 2008, hal. 206, bahwa, politik hukum adalah kebijakan penyelenggara negara tentang apa yang dijadikan kriteria untuk menghukum sesuatu. Dalam hal ini kebijakan tersebut dapat berkaitan dengan pembentukan hukum, penerapan hukum dan penegakannya sendiri. Politik hukum adalah sebagai suatu pernyataan kehendak penguasa Negara mengenai hukum yang berlaku di wilayahnya, dan mengenai arah perkembangan hukum yang dibangun. Politik hukum adalah kebijakan dari Negara melalui badan-badan Negara yang berwenang untuk menetapkan peraturan-peraturan yang dikehendaki, yang diperkirakan akan digunakan untuk mengekspresikan apa yang terkandung dalam masyarakat dan untuk mencari apa yang dicita-citakan. Politik hukum adalah sebagai aktivitas memilih dan cara yang hendak dipakai untuk mencapai suatu tujuan sosial dan hukum tertentu dalam masyarakat. 83 Sudarto, Op.cit., hal. 21-22. Universitas Sumatera Utara Undang-undang yang dibentuk harus meningkat secara kualitatif. Undang- undang dalam arti materiil adalah produk perundang-undangan yang mengikat penduduk atau golongan penduduk secara umum. Untuk dapat memperhitungkan pengaruh bekerjanya undang-undang, maka perlu dketahui keadaan sebenarnya dari masyarakat dan perundang-undangan yang ada. Informasi mengenai hal ini akan sempurna dengan bantuan ilmu sosial, termasuk pula ilmu hukum. Informasi yang diberikan oleh ilmu hukum yaitu mengenai hukum positif yang berlaku. Hal ini akan menghindarkan pembuatan undang-undang yang saling bertentangan, yang akan mengakibatkan keragu-raguan dalam penerapannya. Jika penegak hukum sendiri tidak pasti dalam melaksanakan suatu undang-undang maka masyarakat umum akan merasakan akibat buruk dari ketidak pastian hukum itu. 84 Fungsionalisasi hukum pidana dapat diartikan sebagai upaya untuk membuat hukum pidana itu dapat berfungsi, beroperasi atau bekerja dan terwujud secara konkret. Jadi, istilah fungsionalisasi hukum pidana dapat diidentikkan dengan istilah operasionalisasi atau konkretisasi hukum pidana yang pada hakikatnya sama dengan pengertian penegakan hukum pidana. Bertolak dari pengertian yang demikian, fungsionalisasi hukum pidana, seperti fungsionalisasi atau penegakan hukum pada umumnya, melibatkan minimal tiga faktor yang saling terkait yaitu faktor perundang- undangan, faktor aparatbadan penegak hukum dan faktor kesadaran hukum. 84 Ibid. Universitas Sumatera Utara Pembagian ketiga faktor ini dapat dikaitkan dengan pembagian tiga komponen sistem hukum, yaitu substansi hukum, struktur hukum, dan budaya hukum. 85 Faktor perundang-undangan yang patut dikaji adalah faktor kebijakan legislatif yang berhubungan dengan kejahatan. Peninjauan masalah ini sangat penting karena kebijakan legislatif pada dasarnya merupakan tahap awal yang paling strategis dari keseluruhan perencanaan proses fungsionalisasi hukum pidana atau proses penegakan hukum pidana. Dengan perkataan lain, tahap kebijakan legislatif merupakan tahap paling strategis bagi upaya penanggulangan kejahatan dengan hukum pidana. Tahap ini merupakan tahap formulasi yang menjadi dasar, landasan dan pedoman bagi tahap-tahap fungsionalisasi berikutnya, yaitu tahap aplikasi dan tahap eksekusi. Perencanaan atau kebijakan penanggulangan kejahatan yang dituangkan dalam peraturan perundang-undangan, secara garis besar meliputi: a. perencanaan atau kebijakan tentang perbuatan-perbuatan terlarang apa yang akan ditanggulangi karena dipandang membahayakan atau merugikan; b. perencanaan atau kebijakan tentang sanksi apa yang dapat dikenakan terhadap pelaku perbuatan yang terlarang itu baik berupa pidana atau tindakan dan sistem penerapannya. c. perencanaan atau kebijakan tentang prosedur atau mekanisme sistem peradilan pidana dalam rangka proses penegakan hukum pidana. 86 85 Muladi dan Barda Nawawi Arief, Bunga Rampai Hukum Pidana, Bandung: PT. Alumni, 2007, hal. 168. Universitas Sumatera Utara Dua masalah sentral dalam kebijakan kriminal dengan menggunakan sarana penal hukum pidana ialah masalah penentuan: 1. perbuatan apa yang seharusnya dijadikan tindak pidana; dan 2. sanksi apa yang sebaiknya digunakan atau dikenakan kepada si pelanggar. 87 Bertolak dari pendekatan kebijakan, Sudarto berpendapat bahwa dalam menghadapi masalah sentral yang pertama di atas, yang sering disebut masalah kriminalisasi 88 , harus dibuktikan hal-hal yang pada intinya sebagai berikut: a. Pembentuk undang-undang 89 , demikian pula badan-badan kenegaraan lainnya, dalam tindakannya harus berusaha mewujudkan masyarakat adil makmur yang merata materril dan spiritual berdasarkan pancasila; sehubungan dengan ini maka penggunaan hukum pidana bertujuan untuk menanggulangi kejahatan demi kesejahteraan dan pengayoman masyarakat. b. Perbuatan yang diusahakan untuk dicegah atau ditanggulangi dengan hukum pidana harus merupakan perbuatan yang tidak dikehendaki, yaitu perbuatan yang mendatangkan kerugikan materiil danatau spiritual atas wargan masyarakat. 86 Ibid., hal. 169-170. 87 Barda Nawawi Arief, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana, Perkembangan Penyusunan Konsep KUHP Baru, Op.cit., Hal. 30. 88 Lihat, Sudarto, Hukum Dan Hukum Pidana, Bandung: PT. Alumni, 2007, hal. 31-32. Kriminalisasi adalah proses penetapan suatu perbuatan orang sebagai perbuatan yang dapat dipidana. Proses ini diakhiri degnan terbentuknya undang-undang dimana perbuatan itu diancam dengan suatu sanksi yang berupa pidana. Terbentuknya peraturan hukum pidana yang siap untuk diterapkan oleh hakim dan selanjutnya apabila dijatuhkan pidana, dilaksanakan kekuasaan administratif eksekutf. 89 Lihat Podgorecki dalam Sudarto, Hukum Pidana Dan Perkembangan Masyarakat, Kajian Terhadap Pembaharuan Hukum Pidana, Op.cit., Hal. 23, bahwa pembentuk undang-undang harus : 1. Mempunyai pengetahuan yang cukup tentang keadaan senyatanya; 2. Mengetahui sistem nilai yang berlaku dalam masyarakat, yang berhubungan dengan keadaan itu, dengan cara-cara yang diusulkan dan dengan tujuan-tujuan yang hendak dicapai, agar hal-hal ini dapat diperhitungkan dan agar dapat dihormati; 3. Mengetahui hipotesa yang menjadi dasar undang-undang yang bersangkutan, dengan perkataan lain mempunyai pengetahuan tentang hubungan kausal antara sarana undang-undang dan misalnya sanksi yang ada di dalamnya dan tujuan-tujuan yang hendak dicapai; 4. Menguji hipotesa ini, dengan perkataan lain melakukan penelitian tentang effek dari undang- undang itu, termasuk effek sampingan yang tidak diharapkan. Universitas Sumatera Utara c. Usaha untuk mencegah suatu perbuatan dengan menggunakan sarana hukum pidana, dengan sanksi yang negatif yang berupa pidana, perlu disertai perhitungan akan biaya dan hasil yang diharapkan akan dicapai. d. Penggunaan hukum pidana harus pula memperhatikan kapasitas atau kemampuan daya kerja dari badan-badan penegak hukum, yaitu jangan sampai ada kelampauan beban tugas overbelasting. 90 Pembentuk undang-undang dalam suatu aturan pidana menyatakan suatu perbuatan dapat dipidana mempunyai arti perbuatan tersebut sebagai bersifat melawan hukum. Sebelum dinyatakan dalam suatu aturan perundang-undangan pidana, perbuatan tersebut belum dapat dinyatakan sebagai perbuatan pidana. Hal ini sejalan dengan ketentuan Pasal 1 ayat 1 KUHP yang menyebutkan: “Tiada suatu perbuatan dapat dipidana kecuali atas kekuatan suatu aturan pidana dalam perundang- undangan sebelum perbuatan dilakukan”. Ada empat makna yang terkandung di dalam Pasal 1 ayat 1 KUHP, yakni : Pertama, pembuat undang-undang tidak boleh memberlakukan suatu ketentuan pidana berlaku mundur. Kedua, semua perbuatan yang dilarang harus dimuat dalam rumusan tindak pidana sejelas-jelasnya. Ketiga, hakim dilarang menyatakan bahwa terdakwa melakukan perbuatan pidana didasarkan pada hukum tidak tertulis atau hukum kebiasaan. Keempat, terhadap peraturan hukum pidana dilarang diterapkan analogi. 91 Aturan pidana merupakan aturan hukum yang berisi penilaian terhadap kelakuan-kelakuan yang berhubungan dengan aturan hukum yang bersangkutan yaitu baik atau jelek bagi masyarakat dan karenanya kelakuan demikian boleh dilakukan 90 Lihat, Sudarto, Hukum Dan Hukum Pidana,Op.cit., hal. 36-40. 91 Alvi Syahrin, Sifat Melawan Hukum wederrechtelijk http:alviprofdr.blogspot.com201011melawan-hukum.html , diakses terakhir tanggal 8 Maret 2011. Universitas Sumatera Utara atau tidak boleh dilakukan dalam kehidupan bermasyarakat. Dengan demikian, makna hukum dipandang sebagai keseluruhan penilaian mengenai cara bagaimana orang sepatutnya berbuat dalam hidup bermasyarakat, sebagai keseluruhan aturan bertingkah laku. Aturan dipandang sebagai aturan mengenai seharusnya atau tidak seharusnya. Aturan hukum bersifat umum, bukan yang ditetapkan untuk seorang tertentu tetapi untuk semua orang dalam masyarakat tertentu. Aturan hukum tidak berhenti berlaku jika ia telah ditetapkan untuk suatu kejadian tertentu, melainkan selalu dapat diterapkan lagi setiap kali ada kejadian-kejadian yang berhubungan dengan aturan hukum tersebut. Sifatnya yang umum mengakibatkan kesamaan hukum, aturan yang sama untuk kejadian-kejadian yang sama. Suatu perbuatan yang dapat dipidana menurut pembentuk undang-undang dipandang sebagai perbuatan bersifat melawan hukum. Sifat melawan hukum adalah unsur mutlak perbuatan pidana. Pembentuk undang-undang, dalam merumuskan perbuatan pidana tidak selalu menyebutkan “melawan hukum” dalam rumusannya. Dalam perundang-undangan pada umumnya lebih banyak rumusan tindak pidana yang tidak memuat unsur melawan hukum daripada memuatnya. 92 Perbuatan korupsi telah menimbulkan kerugian negara yang sangat besar dan berdampak pada timbulnya krisis di berbagai bidang. Keuangan negara yang dimaksud adalah seluruh kekayaan negara dalam bentuk apapun, yang dipisahkan atau yang tidak dipisahkan, termasuk didalamnya segala bagian kekayaan negara dan segala hak dan kewajiban yang timbul karena: 92 Ibid. Universitas Sumatera Utara a. berada dalam penguasaan, pengurusan, dan pertanggungjawaban pejabat lembaga Negara, baik di tingkat pusat maupun di daerah; b. berada dalam penguasaan, pengurusan dan pertanggungjawaban Badan Usaha Milik NegaraBadan Usaha Milik Daerah, yayasan, badan hukum, dan perusahaan yang menyertakan modal negara, atau perusahaan yang menyertakan modal pihak ketiga berdasarkan dengan Negara. 93 Korupsi di Indonesia terjadi secara sistematik dan meluas sehingga tidak hanya merugikan keuangan negara, tetapi juga telah melanggar hak-hak sosial dan ekonomi masyarakat secara luas, maka pemberantasan tindak pidana korupsi harus dilakukan dengan cara yang luar biasa. 94 Tindak pidana korupsi “murni merugikan keuangan negara” adalah suatu perbuatan yang dilakukan oleh orang, pegawai negeri sipil dan penyelenggara negara yang secara melawan hukum, menyalahgunakan kewenangannya, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan dengan melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara. 95 Pelaku tindak pidana 93 Penjelasan Atas Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. 94 Penjelasan Atas Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2001 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. 95 Lihat Penjelasan Atas Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 1999, Perekonomian negara adalah kehidupan perekonomian yang disusun sebagai usaha bersama berdasarkan asas kekeluargaan ataupun usaha masyarakat secara mandiri yang didasarkan pada kebijakan pemerintah, baik di tingkat pusat maupun di daerah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku yang bertujuan memberikan manfaat, kemakmuran, dan kesejahteraan kepada seluruh kehidupan rakyat. Universitas Sumatera Utara korupsi “murni merugikan keuangan negara dapat dijerat atau didakwa dengan pasal- pasal: Pasal 2, 3, 7 ayat 1 huruf a, Pasal 7 ayat 1 huruf c, Pasal 7 ayat 2, Pasal 8, Pasal 9, Pasal 10 huruf a, Pasal 12 huruf i Pasal 12 A dan Pasal 17 Undang- Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001. 96 Pasal 2 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, yang menyatakan bahwa : 1 Setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 empat tahun dan paling lama 20 dua puluh tahun dan denda paling sedikit Rp. 200.000.000,00 dua ratus juta rupiah dan paling banyak Rp. 1.000.000.000,00 satu miliar rupiah. 2 Dalam hal tindak pidana korupsi sebagaimana dimaksud dalam ayat 1 dilakukan dalam keadaan tertentu, pidana mati dapat dijatuhkan. Rumusan tindak pidana korupsi pada pasal 2 ayat 1 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 ini bila dirincikan, terdapat unsur-unsur: 1. secara melawan hukum atau wederrechtelijk; 2. memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi; 3. dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara. Penjelasan Pasal 2 ayat 1 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 menyebutkan: 96 Ermansjah Djaja, Memberantas Korupsi Bersama KPK Komisi Pemberantasan Korupsi, Edisi Kedua, Jakarta : Sinar Grafika, 2010, hal. 63. Universitas Sumatera Utara Yang dimaksud dengan ”secara melawan hukum” dalam pasal ini mencakup perbuatan melawan hukum dalam arti formil maupun dalam arti materiil, yakni meskipun perbuatan tersebut tidak diatur dalam peraturan perundang-undangan, namun apabila perbuatan tersebut dianggap tercela karena tidak sesuai dengan rasa keadilan atau norma-norma kehidupan sosial dalam masyarakat, 97 maka perbuatan tersebut dapat dipidana. Dalam ketentuan ini, kata “dapat” sebelum frasa “merugikan keuangan atau perekonomian negara” menunjukkan bahwa tindak pidana korupsi merupakan delik formil, yaitu adanya tindak pidana korupsi cukup dengan dipenuhinya unsur-unsur perbuatan yang sudah dirumuskan dengan timbulnya akibat. Dengan adanya kata “maupun” dalam penjelasan tersebut, dapat diketahui bahwa Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 mengikuti 2 dua ajaran sifat melawan hukum secara alternatif, yaitu a. ajaran sifat melawan hukum formil, atau b. ajaran sifat melawan hukum materiil. Roeslan saleh mengemukakan : menurut ajaran melawan hukum, yang disebut melawan hukum materiil tidaklah hanya sekedar bertentangan dengan hukum tertulis, tetapi juga bertentangan dengan hukum tidak tertulis. Sebaliknya, ajaran melawan hukum formil berpendapat bahwa melawan hukum adalah bertentangan dengan hukum tertulis saja. Jadi menurut ajaran materiil, disamping memenuhi syarat-syarat formil, yaitu memenuhi semua unsur yang disebut dalam rumusan delik, perbuatan harus benar-benar dirasakan masyarakat sebagai tidak boleh atau tidak patut. 98 97 Lihat Andi Hamzah, Pemberantasan Korupsi Melalui Hukum Pidana Nasional Dan Internasional, Edisi Revisi, Jakarta : PT RajaGrafindo Persada, 2006, hal. 123-124, penerapan unsur melawan hukum secara materil berarti asas legalitas di dalam Pasal 1 ayat 1 KUHP disingkirkan. Dengan adanya kata-kata “tidak sesuai dengan rasa keadilan” dan seterusnya, hal ini menjadi sangat luas sehingga sangat sulit bagaimana hakim dapat menyatakan bahwa unsur rasa keadilan masyarakat itu terbukti. Dapatkah dikatakan jika ada demonstrasi menuntut seseorang sebagai koruptor merupakan manifestasi rasa keadilan masyarakat? Jika demikian halnya orang dapat mengumpulkan seribu orang dengan bayaran untuk berdemonstrasi menuntut seseorang sebagai koruptor, misalnya dengan motif politik. Gejala seperti ini sangat berbahaya bagi kepastian hukum dan telah terlihat pada beberapa kasus Pilkada. Mencantumkan kata-kata frasa “rasa keadilan masyarakat” sangat bersifat karet, dan menjadi sama dengan penyingkiran asas legalitas zaman Jerman Nazi dengan kata-kata yang sama, yaitu “rasa keadilan masyarakat” the sound sense of justice of the people menuntut agar seseorang dipidana maka orang itu harus dipidana, walaupun tidak tercantum di dalam undang-undang. Setiap orang dapat mengatasnamakan masyarakat untuk menuduh orang telah melakukan korupsi. 98 R. Wiyono, Pembahasan Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, Edisi Kedua, Jakarta : Sinar Grafika, 2009, hal. 32. Universitas Sumatera Utara Dalam kepustakaan hukum pidana, terdapat 2 dua fungsi dari ajaran sifat melawan hukum materiil, yaitu : a. ajaran sifat melawan hukum materiil dalam fungsinya yang positif, yaitu suatu perbuatan, meskipun oleh peraturan perundang-undangan tidak ditentukan sebagai melawan hukum, tetapi jika menurut penilaian masyarakat perbuatan tersebut bersifat melawan hukum, perbuatan dimaksud tetap merupakan perbuatan yang bersifat melawan hukum. b. ajaran sifat melawan hukum materiil dalam fungsinya yang negatif, yaitu suatu perbuatan, meskipun menurut peraturan perundang-undangan merupakan perbuatan yang bersifat melawan hukum, tetapi jika menurut penilaian masyarakat perbuatan tersebut tidak bersifat melawan hukum, perbuatan yang dimaksud adalah perbuatan yang tidak bersifat melawan hukum. 99 Menurut Indrianto Seno Adji, penerapan ajaran sifat melawan hukum materiil dalam fungsinya yang positif memerlukan syarat, alasan dan kriteria yang tegas dengan segala pertimbangan kondisi yang situasional dan kasuistis. Oleh Indrianto Seno Adji dikemukakan bahwa kriteria yang menentukan asalan-alasan yang mendasari diimplementasikannya ajaran perbuatan melawan hukum materiil dalam fungsi yang positif antara lain sebagai berikut: a. Perbuatan pelaku yang tidak termasuk atau tidak memenuhi rumusan delik, dipandang dengan kepentingan hukum, ternyata menimbulkan kerugian yang jauh tidak seimbang bagi masyarakat atau negara dibandingkan dengan keuntungan yang disebabkan oleh perbuatannya yang tidak melanggar peraturan perundang- undangan. 99 Ibid. Universitas Sumatera Utara b. Menimbulkan kerugian yang jauh tidak seimbang bagi masyarakatnegara apabila seorang pegawai negeri atau penyelenggara negara, meskipun tidak melakukan pelanggaran peraturan yang ada sanksi pidananya, tetapi menerima fasilitas yang berlebihan serta keutungan lainnya dari seseorang korporasibadan hukum dengan maksud agar pegawai negeri atau penyelenggara negara itu menggunakan kekuasaan atau wewenang yang melekat pada jabatannya secara berlebihan atau menyimpang. 100 Menurut Adami Chazawi, atas dasar dapat tidaknya merugikan keuangan negara dan atau perekonomian negara dapat dibedakan menjadi dua kelompok, yaitu: a tindak pidana korupsi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara dan b tindak pidana korupsi yang tidak mensyaratkan dapat menimbulkan kerugian negara atau perekonomian negara. Haruslah dipahami bahwa tindak pidana korupsi yang dapat membawa kerugian negara pada sub a tersebut bukanlah tindak pidana materiil, melainkan tindak pidana formil. Terjadinya tindak pidana korupsi secara sempurna tidak perlu menunggu timbulnya kerugian negara. Asalkan dapat ditafsirkan menurut akal sehat bahwa suatu perbuatan dapat menimbulkan kerugian bagi negara, maka perbuatan tersebut sudah dapat dikategorikan sebagai tindak pidana korupsi. Bentuk-bentuk tindak pidana korupsi baik sub a maupun sub b dirumuskan secara formil atau merupakan tindak pidana formil dan tidak ada yang dirumuskan secara materiil, atau berupa tindak pidana materill. 101 Pendapat Mahkamah Konstitusi tentang kata “dapat”, persoalan pokok yang harus dijawab adalah 102 : 1. apakah pengertian kata “dapat” dalam pasal 2 ayat 1 yang dijelaskan dalam Penjelasan pasal 2 ayat 1, dengan penambahan kata “dapat” tersebut menjadikan tindak pidana korupsi dalam pasal 2 ayat 1 menjadi rumusan delik formil? 2. apakah dengan pengertian sebagaimana dijelaskan pada butir 1 tersebut di atas, frasa “dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara”, yang diartikan baik kerugian yang nyata actual loss maupun hanya yang bersifat potensial atau berupa kemungkinan kerugian potential loss, merupakan unsur yang tidak perlu dibuktikan atau harus dibuktikan? 100 Ibid., hal. 34. 101 Adami Chazawi, Hukum Pidana Materill Dan Formil Korupsi Di Indonesia, Malang : Bayumedia, 2005, hal. 30. 102 Theodorus M. Tuanakotta, Menghitung Kerugian Keuangan Negara Dalam Tindak Pidana Korupsi, Jakarta : Salemba Empat, 2009, hal. 87. Universitas Sumatera Utara Mahkamah berpendapat, kerugian yang terjadi dalam tindak pidana korupsi, terutama yang berskala besar, sangatlah sulit untuk dibuktikan secara tepat dan akurat. Ketepatan yang dituntut sedemikian rupa, akan menimbulkan keraguan, apakah jika satu angka jumlah kerugian diajukan dan tidak selalu dapat dibuktikan secara akurat, namun kerugian telah terjadi, akan berakibat pada terbukti tidaknya perbuatan yang didakwakan. Hal demikian telah mendorong antisipasi atas akurasi kesempurnaan pembuktian, sehingga menyebabkan dianggap perlu mempermudah beban pembuktian tersebut. Dalam hal tidak dapat diajukan bukti akurat atas jumlah kerugian nyata atau perbuatan yang dilakukan adalah sedemikian rupa bahwa kerugian negara dapat terjadi, telah dipandang cukup untuk menuntut dan memidana pelaku, sepanjang unsur dakwaan lain berupa unsur memperkaya diri atau orang lain atua suatu korporasi dengan cara melawan hukum wederrechtelijk telah terbukti. Tindak pidana korupsi digolongkan oleh undang-undang sebagai delik formil. Dengan demikian, kategori tindak pidana korupsi digolongkan sebagai delik formil, di mana unsur-unsur perbuatan harus telah dipenuhi, dan bukan sebagai delik materil, yang mensyaratkan akibat perbuatan berupa kerugian yang timbul tersebut harus nyata terjadi. 103 Perampasan adalah upaya paksa pengambilalihan hak atas kekayaan atau keuntungan yang telah diperoleh, atau mungkin telah diperoleh oleh orang dari tindak pidana yang dilakukannya, berdasarkan putusan pengadilan di Indonesia atau negara asing. 104 Tindakan untuk merampas harta kekayaan aset yang diduga merupakan hasil dari suatu kejahatan atau tindak pidana merupakan langkah antisipatif dalam menyelamatkan dan atau mencegah larinya harta kekayaan yang merupakan salah satu langkah represif. Apabila telah terjadi suatu tindak pidana atau kejahatan maka dalam hal ini aparat penegak hukum harus berpikir tidak hanya bagaimana mempidanakan pelakunya ke penjara akan tetapi harus pula memikirkan dan mempertimbangkan apakah ada harta hasil tindak pidana dari perbuatan pelaku 103 Ibid. 104 Pasal 1 angka 5 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2006 Tentang Bantuan Timbal Balik Dalam Masalah Pidana. Universitas Sumatera Utara tersebut dan apabila terindikasi adanya harta hasil tindak pidana maka patut dipikirkan dasar hukum dan langkah apa saja yang harus diambil untuk memulihkan kembali harta hasil tindak pidana. Dalam upaya pemulihan harta hasil kejahatan atau tindak pidana korupsi, adalah dengan tindakan perampasan sebagai pidana tambahan pada putusan pengadilan pidana oleh hakim terhadap harta kekayaan yang dimiliki oleh terpidana tindak pidana korupsi, dimana harta kekayaan tersebut merupakan hasil dari tindak pidana korupsi dan atau harta kekayaan tersebut digunakan sebagai sarana atau prasarana melakukan tindak pidana korupsi. Pidana Perampasan barang bergerak yang berwujud atau yang tidak berwujud atau barang tidak bergerak yang digunakan untuk atau yang diperoleh dari tindak pidana korupsi diatur dalam Pasal 18 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 : 1 Selain pidana tambahan sebagaimana dimaksud dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, sebagai pidana tambahan adalah: a. perampasan barang bergerak yang berwujud atau yang tidak berwujud atau barang tidak bergerak yang digunakan untuk atau yang diperoleh dari tindak pidana korupsi, termasuk perusahaan milik terpidana di mana tindak pidana korupsi dilakukan, begitu pula harga dari barang yang menggantikan barang- barang tersebut; b. pembayaran uang pengganti yang jumlahnya sebanyak-banyaknya sama dengan harta benda yang diperleh dari tindak pidana korupsi; c. penutupan seluruh atau sebagian perusahaan untuk waktu paling lama 1 satu tahun; d. pencabutan seluruh atau sebagian hak-hak tertentu atau penghapusan seluruh atau sebagian keuntungan tertentu, yang telah atau dapat diberikan oleh pemerintah kepada terpidana. 2 Jika terpidana tidak membayar uang pengganti sebagaimana dimaksud dalam ayat 1 huruf b paling lama dalam waktu 1 satu bulan sesudah putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, maka harta bendanya dapat disita oleh jaksa dan dilelang untuk menutupi uang pengganti tersebut. Universitas Sumatera Utara 3 Dalam hal terpidana tidak mempunyai harta benda yang mencukupi untuk membayar uang pengganti sebagaimana dimaksud dalam ayat 1 huruf b, maka dipidana dengan pidana penjara yang lamanya tidak melebihi ancaman maksimum dari pidana pokoknya sesuai dengan ketentuan dalam undang-undang ini dan lamanya pidana tersebut sudah ditentukan dalam putusan pengadilan. Menurut Adami Chazawi, sebagaimana prinsip umum pidana tambahan, maka pidana perampasan barang tertentu adalah bersifat fakultatif, tidak merupakan keharusan imperative untuk dijatuhkan. 105 P.A.F. Lamintang menyebutkan, bahwa mengenai keputusan apakah perlu atau tidaknya dijatuhkan suatu pidana tambahan, selain dari menjatuhkan suatu pidana pokok kepada seorang terdakwa, hal ini sepenuhnya diserahkan kepada pertimbangan hakim. 106 Adapun perbedaan antara pidana pokok dengan pidana tambahan adalah sebagai berikut: 1. Penjatuhan salah satu jenis pidana pokok bersifat keharusan imperatif sedangkan penjatuhan pidana tambahan sifatnya fakultatif. Menjatuhkan salah satu jenis pidana pokok sesuai dengan yang diancamkan pada tindak pidana yang dianggap terbukti adalah suatu keharusan, artinya imperatif, sedangkan penjatuhan jenis pidana tambahan bersifat fakultatif, artinya bukan merupakan suatu keharusan. 2. Penjatuhan jenis pidana pokok tidak harus dengan demikian menjatuhkan jenis pidana tambahan berdiri sendiri, tetapi menjatuhkan jenis pidana tambahan tidak boleh tanpa dengan menjatuhkan jenis pidana pokok. Penjatuhan jenis pidana tambahan tidak dapat berdiri sendiri lepas dari pidana pokok, melainkan hanya dapat dijatuhkan oleh hakim, apabila dalam suatu putusannya itu telah menjatuhkan salah satu jenis pidana pokok sesuai dengan yang diancamkan pada tindak pidana yang bersangkutan. Sedangkan menjatuhkan jenis pidana pokok adalah dapat berdiri sendiri, tanpa harus dengan menjatuhkan jenis pidana tambahan. 105 Mohammad Ekaputra, Op.cit., hal. 158. 106 Ibid., hal. 123. Universitas Sumatera Utara 3. Jenis pidana pokok yang dijatuhkan, bila telah mempunyai kekuatan hukum tetap in kracht van gewijsde zaak diperlukan suatu tindakan pelaksanaan 107 executie. Terhadap ketentuan tentang pidana tambahan seperti yang terdapat dalam pasal 18 ayat 1 tersebut, dapat diberikan beberapa penjelasan dan catatan sebagai berikut: a. Untuk menjatuhkan pidana tambahan berupa perampasan barang-barang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 39 ayat 1 KUHP, barang-barang tersebut harus kepunyaan terpidana. Pidana tambahan berupa perampasan barang- barang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 39 ayat 1 KUHP tidak dapat dilakukan terhadap barang yang tidak berwujud, karena yang dimaksud dengan “barang” dalam Pasal 39 ayat 1 KUHP adalah hanya barang berwujud, sedangkan perampasan barang-barang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 ayat 1 huruf a dapat dilakukan terhadap barang-barang yang tidak berwujud. 109 b. Perlu adanya alat-alat bukti antara keterangan ahli Pasal 184 ayat 1 huruf b KUHAP yang dapat menentukan dan membuktikan berapa sebenarnya jumlah “harta benda yang diperoleh terpidana dari tindak pidana korupsi” karena pelaksanaan pidana tambahan berupa pembayaran uang pengganti hanya terbatas sampai “sebanyak-banyaknya sama” dengan harta yang diperoleh terpidana dari hasil tindak pidana korupsi. Yang dimaksud dengan “harta benda yang diperoleh dari tindak pidana korupsi” dalam pasal 18 ayat 1 huruf b tersebut, jangan hanya 108 107 Ibid., hal. 134-135. 108 R. Wiyono, Op.cit., hal. 142. 109 Ermansjah Djaja, Op.cit., hal. 78. Universitas Sumatera Utara ditafsirkan harta benda yang diperoleh dari hasil tindak pidana korupsi yang “masih dikuasai” oleh terpidana pada waktu pengadilan menjatuhkan putusannya, tetapi ditafsirkan termasuk pula harta benda yang diperoleh dari hasil tindak pidana korupsi, yang pada waktu pengadilan menjatuhkan putusannya, harta benda tersebut oleh terdakwa sudah dialihkan kepada orang lain. 110 c. Yang dimaksud pidana tambahan berupa penutupan seluruh atau sebagian perusahaan, oleh penjelasan pasal 18 ayat 1 huruf c disebutkan: pencabutan izin usaha atau penghentian kegiatan untuk sementara waktu sesuai dengan putusan pengadilan. Di dalam ketentuan pasal 18 ayat 1 huruf c tersebut tidak dijelaskan apakah perusahaan yang dimaksud adalah perusahaan kepunyaan terpidana, atau apakah tindak pidana korupsi yang dilakukan terpidana harus dibuktikan di dalam lingkungan usaha dari perusahaan yang ditutup. 111 Untuk dapat menjatuhkan pidana tambahan berupa penutupan perusahaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 ayat 1 huruf c, tidak perlu perusahaan yang dimaksud adalah kepunyaan terpidana, cukup dengan syarat asal tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh terpidana masih di dalam lingkungan usaha dari perusahaan yang ditutup. Sehubungan dengan dicantumkan atau disebutnya tenggang waktu, baik di dalam pasal 18 ayat 1 huruf c maupun di dalam penjelasan pasal 18 ayat 1 huruf c, maka kepada pengadilan yang akan menjatuhkan putusan tentang pidana tambahan yang berupa penutupan perusahaan, agar mencantumkan di dalam 110 R. Wiyono, Op.cit., hal. 142-143. 111 Ermansjah Djaja, Op.cit., hal. 79. Universitas Sumatera Utara putusannya tenggang waktu lamanya penutupan perusahaan berlangsung dan yang jelas jangan sampai melewati wakti 1 satu tahun. 112 d. Yang dimaksud dengan “hak-hak tertentu” dalam pasal 18 ayat 1 huruf d, bukan hanya hak-hak sebagaimana dimaksud dalam pasal 35 ayat 1 KUHP, karena jika tidak demikian, tentunya tidak perlu adanya ketentuan seperti pasal 18 ayat 1 huruf d. Dengan demikian, yang dimaksud dengan “hak-hak tertentu” dalam pasal 18 ayat 1 huruf d adalah termasuk hak-hak yang telah atau dapat diberikan oleh pemerintah kepada terdakwa, yang tidak termasuk hak-hak sebagaimana dimaksud dalam pasal 35 ayat 1 KUHP, misalnya hak untuk mengekspor barang-barang tertentu atau hak untuk mengembangkan suatu kawasan tertentu. 113 e. Pidana tambahan sebagaimana dimaksud dalam pasal 18 ayat 1 huruf c dan pasal 18 ayat 1 huruf d, pada hakikatnya merupakan pidana tambahan yang berupa pencabutan hak sebagaimana dimaksud dalam pasal 10 huruf b angka 1 KUHP. Oleh karena merupakan pidana tambahan, ketentuan yang terdapat di dalam Pasal 38 ayat 2 KUHP berlaku juga untuk ketentuan yang terdapat di dalam Pasal 18 ayat 1 huruf c dan Pasal 18 ayat 1 huruf d, artinya pidana tambahan yang berupa penutupan perusahaan, pencabutan hak-hak tertentu dan penghapusan keuntungan tertentu tersebut mulai berlaku pada hari putusan pidana tambahan tersebut dapat dijalankan dan bukan mulai berlaku pada hari mulai terpidana menjalani pidana tambahan. Dengan demikian, pelaksanaan eksekusi 112 R. Wiyono, Op.cit., hal. 143. 113 Ibid. Universitas Sumatera Utara pidana tambahan sebagaimana dimaksud dalam pasal 18 ayat 1 huruf c dan pasal 18 ayat 1 huruf d tidak diperlukan. 114 Jika pengadilan telah menjatuhkan putusan mengenai pembayaran uang pengganti sebagaimana dimaksud Pasal 18 ayat 1 huruf b Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999, maka bagi terpidana diberi batas waktu untuk membayar uang pengganti sebagaimana ditentukan dalam Pasal 18 ayat 2 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 yaitu “... paling lama dalam waktu 1 satu bulan sesudah putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, ... ” inkracht. 115 Terhadap tenggang waktu tersebut, jaksa sebagai pelaksana dari putusan pengadilan Pasal 270 KUHAP, tidak dapat memperpanjang tenggang waktu pembayaran uang pengganti, tidak seperti halnya jaksa dapat memperpanjang tenggang waktu pembayaran denda, yaitu yang ditentukan dalam Pasal 273 ayat 2 KUHAP, karena pembayaran uang pengganti berbeda dengan pembayaran denda. 116 Pidana tambahan berupa pembayaran uang pengganti adalah merupakan pidana tambahan, sedangkan pidana denda merupakan pidana pokok, sehingga akibatnya ketentuan-ketentuan mengenai pidana denda yang antara lain terdapat dalam Pasal 273 ayat 2 KUHAP tidak dapat serta merta diberlakukan untuk pembayaran uang pengganti. Jika tenggang waktu untuk pembayaran uang pengganti sudah lewat dan terpidana ternyata tidak membayar uang pengganti, tindak lanjutnya 114 Ibid. hal. 144. 115 Ermansjah Djaja, Op.cit., hal. 80. 116 R. Wiyono, Op.cit., hal. 145. Universitas Sumatera Utara adalah seperti yang ditentukan dalam pasal 18 ayat 2, yaitu “... maka harta bendanya dapat disita oleh jaksa dan dilelang untuk menutupi uang pengganti tersebut”. 117 Ketentuan yang merupakan tindak lanjut dari akibat terpidana tidak membayar uang pengganti tersebut, perlu diberikan penjelasan yaitu mengenai apa yang dimaksud dengan kalimat “harta bendanya” dan kalimat “dapat disita” dalam Pasal 18 ayat 2 tersebut. Yang dimaksud dengan “harta bendanya” dalam pasal 18 ayat 2 adalah harta benda kepunyaan terpidana yang bukan merupakan harta benda hasil dari tindak pidana korupsi danatau harta benda kepunyaan terpidana yang bukan dipergunakan untuk melakukan tindak pidana korupsi, karena jika memang terbukti di sidang pengadilan, bahwa harta benda kepunyaan terpidana tersebut merupakan harta benda hasil tindak pidana korupsi danatau dipergunakan untuk melakukan tindak pidana korupsi maka pengadilan sudah tentu akan menjatuhkan pidana tambahan berupa perampasan barang-barang sebagaimana dimaksud dalam pasal 39 ayat 1 KUHP atau pasal 18 ayat 1 huruf b, sehingga jaksa tidak perlu sampai melakukan penyitaan terhadap barang-barang yang dimaksud dan dilelang untuk menutupi uang pengganti tersebut. Yang dimaksud dengan “dapat disita” dalam pasal 18 ayat 2 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 adalah penyitaan yang dilakukan oleh jaksa terhadap harta benda kepunyaan terpidana tindak pidana korupsi bersifat fakultatif, karena penyitaan terhadap harta benda kepunyaan terpidana dan kemudian harta benda tersebut dilelang, baru dilakukan oleh jaksa sebagai eksekutorpelaksana 117 Ermansjah Djaja, Op.cit., hal. 80. Universitas Sumatera Utara putusan pengadilan sebagaimana diatur dalam pasal 270 KUHAP 118 , jika terpidana tidak membayar uang pengganti sebagaimana dimaksud dalam ayat 1 huruf b paling lama waktu 1 satu bulan sesudah putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap,...”Pasal 18 ayat 2 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999. 119 Perampasan pidana merupakan sistem yang didasari atas unsur objektif, yang dalam hal ini keweanangan jaksa harus membuktikan bahwa aset yang dimaksud merupakan suatu hasil atau sarana kejahatan yang telah selesai atau dalam proses kejadiannya. Perampasan aset pidana tunduk pada semua perlindungan prosedural konstitusional dan peraturan yang tersedia di bawah naungan hukum pidana. Penerapan tindak perampasan harus disertakan dalam dakwaan yang diajukan oleh pihak jaksa penuntut umum. Ketentuan mengenai perampasan aset hasil kejahatan diatur dalam Rancangan Undang-Undang Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Tahun 2010 120 : pasal 6 : Pejabat Publik yang memperkaya diri berupa peningkatan jumlah kekayaannya secara signifikan dan tidak dapat membuktikan peningkatan tersebut diperoleh secara sah, dipidana dengan Perampasan Kekayaan tersebut. 118 Pasal 270 KUHAP: Pelaksana putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap dilakukan oleh jaksa, yang untuk itu panitera mengirimkan salinan surat putusan kepadanya. 119 Ermansjah Djaja, Op.cit., hal. 81. 120 Rancangan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor ... Tahun ... Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, http:www.djpp.depkumham.go.idpembahasan-ruu80-ruu- yang-di-bahas607-ruu-tentang-pemberantasan-tindak-pidana-korupsi.html , diakses terakhir tanggal 9 April 2011. Universitas Sumatera Utara pasal 20 : Setiap orang yang menghalang-halangi Penyitaan atau Perampasan barang atau uang yang diduga keras berasal dari tindak pidana korupsi, dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 dua tahun. pasal 21 : Setiap orang yang menjual atau mengalihkan barang yang telah disita atau dirampas dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 tiga tahun. pasal 22 : 1 Pejabat Publik yang dengan sengaja melaporkan harta bendanya yang tidak benar, diancam dengan pidana penjara paling lama 2 dua tahun atau denda paling banyak Rp100.000.000,00 seratus juta rupiah. 2 Pejabat Publik yang pada waktu melaporkan harta bendanya mengajukan buktibukti palsu tentang perolehan harta benda tersebut, diancam dengan pidana penjara paling lama 3 tiga tahun atau denda paling banyak Rp150.000.000,00 seratus lima puluh juta rupiah. pasal 23 : 1 Permohonan Perampasan aset untuk menyatakan suatu aset dirampas menjadi milik negara terhadap: a. milik tersangkaterdakwa yang telah meninggal dunia yang diduga keras diperoleh dari tindak pidana korupsi; b. milik tersangka yang tidak dikenal yang diduga keras diperoleh dari tindak pidana korupsi; c. milik tersangkaterdakwa yang melarikan diri ke luar negeri yang diduga. d. kekayaan yang tidak dapat dibuktikan sebagaimana dimaksud dalam pasal 6. 2 Permohonan Perampasan aset sebagaimana dimaksud pada ayat 1 dilakukan oleh jaksa. 3 Sebelum diajukan permohonan, penyidik atau penuntut umum sesuai dengan kewenangannya dapat melakukan penyitaan atas aset sebagaimana dimaksud pada ayat 1. pasal 24 : 1 Permohonan Perampasan aset sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 diajukan kepada pengadilan negeri yang wilayah hukumnya meliputi tempat aset tersebut berada. 2 Pemeriksaan permohonan Perampasan aset sebagaimana dimaksud pada ayat 1 dilakukan oleh hakim tunggal dengan acara singkat. 3 Putusan yang menyatakan suatu aset sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 ayat 1 huruf a, huruf b, dan huruf c menjadi milik negara adalah Putusan pertama dan terakhir. 4 Putusan hakim terhadap permohonan Perampasan aset yang berasal dari Kekayaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 ayat 1 huruf d dapat dimintakan banding dan kasasi. Universitas Sumatera Utara 5 Putusan terhadap permohonan Perampasan aset harus dibacakan pada sidang yang terbuka untuk umum dan wajib diumumkan. 6 Pihak lain yang berkepentingan yang beritikad baik dapat mengajukan perlawanan terhadap penetapan Perampasan aset dalam jangka waktu 90 sembilan puluh hari setelah Putusan diucapkan. 7 Dalam hal hakim menganggap alasan yang dikemukakan oleh pihak berkepentingan dapat diterima maka hakim mengembalikan aset tersebut seluruhnya atau sebagian kepadanya. pasal 25 : 1 Penetapan hakim untuk menyatakan suatu aset menjadi milik negara harus dijatuhkan dalam jangka waktu paling lama 3 tiga hari kerja setelah permohonan diajukan. 2 Biaya perkara pemeriksaan permohonan Perampasan aset ditanggung oleh negara. pasal 45 : 1 Terdakwa wajib memberikan keterangan tentang seluruh Kekayaannya dan Kekayaan istri atau suami, anak, dan Kekayaan setiap orang atau Korporasi yang diduga mempunyai hubungan dengan perkara yang didakwakan. 2 Dalam hal terdakwa tidak dapat membuktikan tentang Kekayaan yang tidak seimbang dengan penghasilannya atau sumber penambahan Kekayaannya maka keterangan sebagaimana dimaksud pada ayat 1 digunakan untuk memperkuat alat bukti yang sudah ada bahwa terdakwa telah melakukan tindak pidana korupsi. pasal 47 : 1 Setiap orang yang didakwa melakukan salah satu tindak pidana korupsi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 sampai dengan Pasal 12, wajib membuktikan sebaliknya terhadap Kekayaan miliknya yang belum didakwakan, tetapi juga diduga berasal dari tindak pidana korupsi. 2 Dalam hal terdakwa tidak dapat membuktikan bahwa Kekayaan sebagaimana dimaksud pada ayat 1 diperoleh bukan karena tindak pidana korupsi, Kekayaan tersebut dianggap diperoleh juga dari tindak pidana korupsi dan hakim berwenang memutuskan seluruh atau sebagian Kekayaan tersebut dirampas untuk negara. 3 Tuntutan Perampasan Kekayaan sebagaimana dimaksud pada ayat 2 diajukan oleh penuntut umum pada saat membacakan tuntutannya pada perkara pokok. 4 Pembuktian bahwa Kekayaan sebagaimana dimaksud pada ayat 1 bukan berasal dari tindak pidana korupsi diajukan oleh terdakwa pada saat membacakan pembelaannya dalam perkara pokok dan dapat diulangi pada memori banding dan memori kasasi. Universitas Sumatera Utara 5 Hakim wajib membuka persidangan yang khusus untuk memeriksa pembuktian yang diajukan terdakwa sebagaimana dimaksud pada ayat 4. 6 Dalam hal terdakwa dibebaskan atau dinyatakan lepas dari segala tuntutan hukum dari perkara pokok maka tuntutan Perampasan Kekayaan sebagaimana dimaksud pada ayat 1 dan ayat 2 harus ditolak oleh hakim. Pengaturan mengenai perampasan aset selain belum diatur secara khusus dalam peraturan perundang-undangan di Indonesia. Ketentuan yang sudah ada memiliki kelemahan, yaitu upaya untuk merampas aset hasil tindak pidana umumnya hanya dapat dilaksaksanakan jika pelaku kejahatan oleh pengadilan telah dinyatakan terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana. 121 Mekanisme ini selain seringkali sulit diterapkan akibat adanya berbagai halangan yang mengakibatkan pelaku kejahatan tidak bisa menjalani pemeriksaan di sidang pengadilan, juga tidak tertutup kemungkinan tidak dapat diterapkan karena tidak ditemukan bukti yang cukup untuk mengajukan tuntutan ke pengadilan dan sebagainya. Aset kejahatan seringkali dengan mudah dialihkan atau bahkan dilarikan ke luar negeri. Selain juga belum mengatur secara komprehensif langkah-langkah untuk meminimalkan kerugian negara tersebut yang harus dilakukan sejak awal penanganan perkara, yaitu dengan dilakukan pemblokiran dan penyitaan baik terhadap harta kekayaan di dalam negeri maupun harta kekayaan tersangka di luar negeri. Secara umum, perbedaan antara ketentuan-ketentuan hukum yang berlaku di Indonesia dan perkembangan terakhir di dunia internasional menyangkut penyitaan 121 Yunus Husein, Perampasan Aset Hasil Tindak Pidana Di Indonesia Asset Forfeiture Of Crime In Indonesia, jurnal.pdii.lipi.go.idadminjurnal7410563576.pdf, diakses terakhir tanggal 16 Mei 2011. Universitas Sumatera Utara dan perampasan hasil dan instrumen tindak pidana menunjukkan perlunya perluasan, penambahan dan penyesuaian terhadap ketentuan-ketentuan hukum yang berlaku saat ini di Indonesia. 122 Tujuan utama dari penyusunan undang-undang perampasan hasil tindak pidana yaitu untuk menekan tingkat kejahatan dan meletakkan keadilan di dalam masyarakat di Indonesia melalui penyitaan dan perampasan hasil dan instrumen tindak pidana. Perampasan hasil dan instrumen tindak pidana diharapkan akan mengurangi atau bahkan menghilangkan salah satu motif dasar perilaku atau calon pelaku tindak pidana yaitu medapatkan keuntungan ekonomis. Selain pengenaan sanksi pidana, harta kekayaan yang dihasilkan dari tindak pidana dan juga sarana yang digunakan untuk memfasilitasi tindak pidana akan dirampas oleh negara. Dengan berkurang atau hilangnya salah satu motif untuk melakukan tindak pidana diharapkan dapat menekan tingkat kejahatan. 123 Perampasan hasil dan instrumen tindak pidana juga menunjukkan bahwa harta kekayaan yang diperoleh secara melawan hukum dan sarana yang diperoleh secara melawan hukum dan sarana yang memungkinkan perolehan harta tersebut akan dirampas dan dikembalikan kepada masyarakat. Dengan kata lain, perampasan hasil tindak pidana akan menunjukkan bahwa bagi pelaku tindak pidana “crime doesn’t pay”. Hal seperti ini memberikan pesan kuat bahwa keadilan, yang sempat terganggu dengan adanya tindak pidana dikembalikan kepada masyarakat. Kegunaan dari 122 Ibid. 123 Romli Atmasasmita, Op.cit., hal. 117. Universitas Sumatera Utara penyusunan undang-undang yang mengatur penyitaan dan perampasan hasil dan instrumen tindak pidana mempunyai beberapa kegunaan, yaitu: 1. menyediakan ketentuan hukum yang bersifat komprehensif yang dapat digunakan oleh aparat penegak hukum dan aparat pemerintah lainnya dalam melaksanakan penyitaan dan perampasan hasil dan istrumen tindak pidana. 2. mendorong agar pengembalian hasil tindak pidana dapat dilaksanakan secara optimal melalui mekanisme yang efektif, dalam waktu yang singkat dan sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku. 3. mengimbangi perkembangan di dunia internasional di bidang penegakan hukum khususnya dalam rangka pengembalian hasil dan instrumen tindak pidana atau asset recovery antarnegara. 124

C. Pengembalian Aset Melalui Jalur Pidana