b Wakil rakyat yang terpilih cenderung merasa lebih dekat dengan dan terkait dengan
kepentingan partai politik daripada kepentingan rakyat yang diwakilinya. c
Banyaknya partai politik mempersulit terbentuknya pemerintahan yang stabil. Karena, semakin banyaknya jumlah partai, pembentukan pemerintahan semakin tergantung
kepada jumlah koalisi antar partai yang dapat diajak bekerja sama atas dasar kepentingan kekuasaan.
3. Pengaruh Putusan
Mahkamah Konstitusi Nomor Putusan Nomor 22-24PUU-
VI2008 Tentang Pengujian Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah,
dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah terhadap Sistem Pemilu Indonesia.
Pemilihan umum anggota DPR dan DPRD menganut sistem pemilu yang pada pokoknya adalah sistem proporsional dengan variasi list system yang terbuka secara terbatas
sebagaimana tertuang dalam Pasal 5 ayat 1 Undang-undang Nomor 10 Tahun 2008 menyatakan “Pemilu untuk memilih anggota DPR, DPRD provinsi, dan DPRD
kabupatenkota dilaksanakan dengan sistem proporsional terbuka.” Dikatakan pada pokoknya adalah sistem proporsional karena: i peserta pemilu adalah partai politik yang
dilakukan dengan cara memilih tanda gambar partai politik; namun ii para pemilih dapat juga langsung dengan cara memilih foto calon yang bersangkutan atau daftar nama yang
disediakan dalam surat suara.
100
Hal ini tergambar melalui ketentuan Pasal 55 UU No.10 Tahun 2008 Tentang Pemilu DPR, DPRD, dan DPD yang menyebutkan bahwa daftar nama
calon anggota legislatif itu disusun berdasarkan nomor urut yang tentunya ditentukan oleh partai politik dimana calon tersebut berasal.
101
Apabila kemudian pemilih tidak memilih daftar nama calon berdasarkan nomor urut tersebut melainkan memilih gambar partai politik
100
Jimly Asshiddiqie, Pokok-Pokok…, Op.Cit., hlm. 774.
101
Pasal 55 UU No.10 Tahun 2008 Tentang Pemilu DPR, DPRD, dan DPD.
Universitas Sumatera Utara
saja maka berlakulah penetapan nomor urut dari calon wakil rakyat apabila para calon yang dipilih tidak mencukupi Bilangan Pembagi Pemilihan yang merupakan hasil bagi dari jumlah
suara sah partai politik pada suatu daerah pemilihan dengan jumlah kursi yang disediakan untuk daerah pemilihan tersebut. Ketentuan ini dapat kita lihat berdasarkan Pasal 214 huruf e
UU No. 10 Tahun 2008 tentang Pemilu yang menyatakan bahwa dalam hal tidak ada calon yang memperoleh suara sekurang-kurangnya 30 tiga puluh perseratus dari BPP, maka
calon terpilih ditetapkan berdasarkan nomor urut.
102
Melalui putusannya dengan perkara Nomor 22-24PUU-VI2008, Mahkamah Konstitusi kemudian dipandang melakukan suatu terobosan penting dalam pelaksanan pemilihan umum
yang berkedaulatan rakyat di Indonesia. Mahkamah Konstitusi dalam amar putusannya kemudian membatalkan ketentuan Pasal 214 UU No.10 Tahun 2008 tentang Pemilu tersebut
dan menetapkan bahwa sistem suara terbanyaklah yang dipakai untuk menentukan keterpilihah sesorang sebagai wakil rakyat bukan nomor urut yang ditentukan oleh partai
politik yang bersangkutan karena hal tersebut menciderai aspek kedaulatan rakyat. Lebih jelasnya dalam pendapatnya Mahkamah menyatakan:
“Ketentuan Pasal 214 huruf a, huruf b, huruf c, huruf d, dan huruf e UU 102008 yang menentukan bahwa calon terpilih adalah calon yang mendapat di atas 30 tiga
puluh per seratus dari BPP, atau menempati nomor urut lebih kecil, jika tidak ada yang memperoleh 30 tiga puluh per seratus dari BPP, atau yang menempati nomor urut
lebih kecil jika yang memperoleh 30 tiga puluh per seratus dari BPP lebih dari jumlah kursi proporsional yang diperoleh suatu partai politik peserta Pemilu adalah
inkonstitusional. Inkonstitusional karena bertentangan dengan makna substantif kedaulatan rakyat sebagaimana telah diuraikan di atas dan dikualifisir bertentangan
dengan prinsip keadilan sebagaimana diatur dalam Pasal 28D ayat 1 UUD 1945. Hal tersebut merupakan pelanggaran atas kedaulatan rakyat jika kehendak rakyat yang
tergambar dari pilihan mereka tidak diindahkan dalam penetapan anggota legislatif akan benar-benar melanggar kedaulatan rakyat dan keadilan, jika ada dua orang calon yang
mendapatkan suara yang jauh berbeda secara ekstrem terpaksa calon yang mendapat
102
Pasal 214 huruf e UU No.10 Tahun 2008 Tentang Pemilu DPR, DPRD, dan DPD.
Universitas Sumatera Utara
suara banyak dikalahkan oleh calon yang mendapat suara kecil, karena yang mendapat suara kecil nomor urutnya lebih kecil”
103
Jadi melalui putusan Mahkamah Konstitusi ini paradigma sistem pemilu di Indonesia kemudian berubah, nomor urut seorang calon wakil rakyat tidaklah kemudian berpengaruh
sangat signifikan dalam penentuan keanggotaan pada lembaga perwakilan rakyat. Pasal 1 ayat 2 UUD 1945 yang menyatakan bahwa kedaulatan berada ditangan rakyat dan
dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar 1945 ditafsirkan Mahkamah Konstitusi bahwa kedaulatan tertinggi berada di tangan rakyat, sehingga dalam kegiatan pemilihan umum,
rakyat langsung memilih siapa yang dikehendakinya. Pendapat Mahkmah Konstitusi ini menepis pendapat yang menyatakan bahwa DPR sebagai pembuat undang-undang melalui
kebijaksanaannya bebas untuk menentukan suatu sistem pemilu yang digunakan karena diberi kewenangan untuk itu dengan memasukkannya dalam ketentuan undang-undang. Namun
menurut Mahkamah Konstitusi hal ini memang benar adanya namun bukan berarti kewenangan tersebut kemudian menyimpangi atau menciderai prinsip-prinsip kedaulatan
rakyat yang terdapat dalam UUD 1945.
Putusan Mahkamah Konstitusi ini kemudian menggeser peran besar partai politik dan mengembalikan bandul peranan penting rakyat sebagai pemegang kedaulatan dalam memilih
wakil-wakil mereka yang duduk di lembaga perwakilan rakyat. Sistem penetapan suara terbanyak dapat dipandang memberi kemudahan bagi para peserta pemilu dam masyarakat
karena baik peserta pemilu maupun masyarakat menjadi bebas menentukan hak pilihnya.
104
Selain itu penetapan suara terbanyak memberikan keadilan yang substantif dimana seorang calon wakil rakyat memang benar-benar dipilih berdasarkan dukungan rakyat bukan karena
campur tangan partai politik yang bersangkutan sehingga prinsip pertanggungjawaban dari
103
Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 22-24PUU-VI2008 tentang Pengujian Undang-Undang PUU UU No. 10 Tahun 2008 tentang Pemilu.
104
Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 22-24PUU-VI2008 tentang Pengujian Undang-Undang PUU UU No. 10 Tahun 2008 tentang Pemilu.
Universitas Sumatera Utara
calon yang terpilih semakin mengikat kuat secara moral kepada para konstituennya. Putusan Mahkamah Konstitusi ini merupakan perkembangan signifikan terhadap pelaksanaan
demokrasi di Indonesia.
105
105
Saldi Isra dalam Suara Rakyat Dihormati, Harian Kompas, 24 Desember 2008, hlm. 1.
Universitas Sumatera Utara
DAFTAR PUSTAKA
Asshiddiqie, Jimly. 2006. Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara, Jakarta: Sekertariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi.
Asshiddiqie, Jimly. 2007. Pokok-Pokok Hukum Tata Negara Indonesia Pasca Reformasi, Jakarta: BIP.
Asshiddiqie, Jimly. 2007. Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara, Jakarta: Rajawali Pers.
Asshiddiqie, Jimly. 2010. Konstitusi dan Konstitusionalisme, Jakarta: Sinar Grafika.
Amiruddin Zainal Asikin. 2006. Pengantar Metode Penelitian Hukum, Jakarta: Kencana.
Budiardjo, Miriam. 1992. Dasar-dasar Ilmu Politik, Cetakan ke-14, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
Gafar, Affan. 2000. Politik Indonesia: Transisi Menuju Demokrasi, Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Huda, Ni’matul. 2006. Hukum Tata Negara Indonesia .Jakarta: P.T. RajaGrafindo Persada.
Huntington, Samuel P. Joan Nelson. 1990. Partisipasi Politik Di Negara Berkembang, Jakarta: Rineka Cipta.
Ibrahim, Jhony. 2007. Teori dan Metodoligi Penelitian Hukum Normatif, Malanh: UMM Press.
Isra, Saldi. 2010. Pergeseran Fungsi Legislasi: Menguatnya Model Legislasi Parlementer dalam Sistem Presidensial Indonesia, Jakarta: Rajawali Pers.
Kelsen, Hans. 2009. Dasar-Dasar Hukum Normatif, Bandung: Nusamedia.
Kelsen, Hans. 2011. Teori Umum Tentang Hukum dan Negara, Bandung: Nusamedia.
Universitas Sumatera Utara
Kusnardi, Moh. Harmaily Ibrahim. 1983. Hukum Tata Negara Indonesia, Jakarta: PS HTN Universitas Indonesia.
Latif, Yudi. Negara Paripurna: Historitas, Rasionalitas, dan Aktualitas Pancasila, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
Mahfud MD, Moh. 2010. Perdebatan Hukum Tata Negara Pasca Amandemen Konstitusi, Jakarta: Rajawali Pers, Jakarta.
Mahendra, Yusril Ihza. 1996. Dinamika Tata Negara Indonesia: Kompilasi Aktual Masalah Konstitusi Dewan Perwakilan Dan Sistem Kepartaian, Jakarta: Gema Insani Press.
Malaka, Tan. 2005. Merdeka 100, Tangerang: Marjin Kiri.
Mulyosudarmo, Soewoto. 2004. Pembaharuan Ketatanegaraan Melalui Perubahan Konstitusi, Malang: Asosiasi Pengajar HTN dan HAN dan In-TRANS.
Mertokusumo, Soedikno. 1988. Mengenal Hukum Suatu Pengantar, Yogyakarta: Liberty.
Montesquieu. 2007. The Spirit of Laws, Bandung: Nusamedia.
Purnama, Eddy. 2007. Negara Kedaulatan Rakyat: Analisis Terhadap Sistem Pemerintahan Indonesia dan Perbandingannya dengan Negara Lain, Cetakan I, Bandung:
Nusamedia.
Rousseau, Jean Jacques. 2009. Du Contract Social Perjanjian Sosial, Jakarta: Visimedia.
Samidjo. 1986. Ilmu Negara, Bandung: C.V. Armico.
Soekarno. 2005. Revolusi Belum Selesai: Kumpulan Pidato Presiden Soekarno, 30 Sepetember 1965, Pelengkap Nawaksara, Yogyakarta: Ombak.
Universitas Sumatera Utara
Soekanto, Soerjono Sri Mamudji. 2006. Penelitian Hukum Normatif Suatu Tujuan Singkat, Jakarta: Rajawali Pers.
Soekanto, Soerjono. 2006. Pengantar Penelitian Hukum, Jakarta: UI Press.
Soehino. 2010. Hukum Tata Negara: Perkembangan Pengaturan dan Pelaksanaan Pemilihan Umum di Indonesia, Yogyakarta: BPFE-Yogyakarta.
Soemitro, Roni Hanitjo. 1998. Metode Penelitian Hukum Dan Jurimetri, Jakarta: Ghalia Indonesia.
Soemitro, Roni Hanitijo. 1990. Metodoligi Penelitian Hukum dan Jurimetri, Jakarta: Ghalia Indonesia.
Strong, C.F., Konstitusi-Konstitusi Politik Modern, Bandung: Nusamedia.
Supranto, J. 2003. Metode Penelitian Hukum dan Statistik, Jakarta: Rajagrafindo Persada. Sunggono, Bambang. 1997. Metodologi Penelitian Hukum, Jakarta: Rajagrafindo Persada.
Yuhana, Abdy. 2009. Sistem Ketatanegaraan Indonesia Pasca Perubahan UUD 1945, Bandung: Fokusmedia.
Disertasi
Asshiddiqie, Jimly. 1993. Gagasan Kedaulatan Rakyat dalam Konstitusi Dan Pelaksanaannya Di Indonesia: Pergeseran Keseimbangan Antara Individualisme Dan Kolektivisme
Dalam Kebijakan Demokrasi Politik Dan Demokrasi Ekonomi Selama Tiga Masa Demokrasi,1945-1980-an, Disertasi, Fakultas Pasca Sarjana Universitas Indonesia,
Jakarta.
Jurnal
Kusuma, R.M. Ananda B. 2006. Tentang “Recall”, Jurnal Konstitusi, Volume 3 Nomor 4, Jakarta, Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi.
Universitas Sumatera Utara
Shubhan, M. Hadi. 2006. Recall: Antara Hak Partai Politik dan Hak Berpolitik Anggota Parpol, Jurnal Konstitusi, Volume 3 Nomor 4, Jakarta, Sekretariat Jenderal dan
Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi.
Fahmi, Khairul. 2010. Prinsip Kedaulatan Rakyat dalam Penentuan Sistem Pemilihan Umum Anggota Legislatif, Jurnal Konstitusi, Volume 7 Nomor 3, Sekretariat Jenderal dan
Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi.
Makalah
Asshiddiqie, Jimly. 2005. Implikasi Perubahan UUD 1945 Terhadap Pembangunan Hukum Nasional, Sambutan Pada Seminar Pengkajian Hukum Nasional SPHN Oleh Komisi
Hukum Nasional KHN Republik Indonesia, Jakarta.
Asshiddiqie, Jimly. 1997. Pergumulan Peran Pemerintah dan Parlemen dalam Sejarah, UI- Press, Jakarta.
Koran
Isra, Saldi. 2008. Suara Rakyat Dihormati, dalam Harian Kompas, 24 Desember, Jakarta.
Situs
http:ulum.blog.comindex.phpopinimeninjau-keberadaan-recall.html diakses pada 19 Juli
2011 Pukul 18.15 WIB.
http:www.uii.ac.idcontentview1360257 diakses pada 19 Juli 2011.
http:www.fh.unsri.ac.idindex.phpposting43 diakses pada 19 Juli 2011.
Putusan
Universitas Sumatera Utara
Putusan Nomor 22-24PUU-VI2008 Tentang Pengujian Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan
Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah.
Undang-Undang
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
UU No. 31 Tahun 2002 tentang Partai Politik Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2002 Nomor 138.
UU No. 22 Tahun 2003 tentang Susunan Kedudukan MPR, DPR. DPD, dan DPRD Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 92.
UU No. 2 Tahun 2008 Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 2 jo. UU No. 2 Tahun 2011Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 8
tentang Partai Politik.
UU No. 10 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 51. .
UU No. 27 Tahun 2009 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 123.
Universitas Sumatera Utara
BAB III
DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DAN PARTAI POLITIK
A. DPR SEBAGAI PERLEMBAGAAN KEDAULATAN RAKYAT
Sebagaimana telah dikemukakan dalam pokok bahasan sebelumnya bahwa gagasan kedaulatan rakyat itu dapat disalurkan secara langsung maupun tidak langsung. Dalam
kondisi masyarakat yang masih sederhana mungkin saja untuk melaksanakan demokrasi langsung seperti yang dipraktikkan pada masa Yunani kuno dalam konsep city state atau
negara kota. Namun dalam kondisi masyarakat yang serba kompleks dan dengan jumlah penduduk yang besar serta wilayah yang cukup luas maka pelaksanaan demokrasi atau
kedaulatan rakyat tidak mungkin hanya diselenggarakan secara langsung saja, dibutuhkan suatu mekanisme yang bersifat tidak langsung. Untuk itulah dalam perkembangannya
manusia menyadari keniscayaan keberadaan suatu lembaga perwakilan rakyat atau biasa juga disebut sebagai parlemen.
106
Cabang kekuasaan legislatif adalah atau lembaga perrwakilan rakyat adalah cabang kekuasaan yang pertama-tama mencerminkan kedaulatan rakyat.
107
Gagasan kedaulatan rakyat itu sendiri merupakan gagasan yang melaksanakan prinsip dari rakyat, untuk rakyat,
oleh rakyat, dan bersama rakyat. Tentunya apabila gagasan ini dilaksanakan maka demokrasi langsunglah yang menjadi pilihan utama, namun karena pertimbangan di atas maka model ini
tidak dapat berjalan sendiri. Kemudian karena kebutuhan yang bersifat praktis, gagasan
106
Jimly Asshiddiqie, Pokok-Pokok…, Op.Cit., hlm. 153.
107
Jimly Asshiddiqie, Pengantar Hukum Tata…, Op.Cit., hlm. 298.
Universitas Sumatera Utara
demokrasi ini dianggap perlu dilakukan melalui prosedur perwakilan representative democracy sehingga menghadirkan lembaga perwakilan rakyat tersebut.
Dewasa ini, dimana kedulatan rakyat harus sesuai dengan hakikatnya, tidaklah berkurang sedikitpun dengan kehadiran lembaga perwakilan rakyat. Badan-badan itu
hanyalah sarana bagi rakyat untuk menyalurkan aspirasinya sebagai pelaksanaan kedaulatannya.
108
Dalam konsep demokrasi, pemerintahan suatu negara merupakan pemerintahan oleh rakyat
109
. Hanya saja, dalam pengertian zaman sekarang, pengertia pemerintahan di sini tidak lagi diharuskan bersifat langsung melainkan dapat pula bersifat
tidak langsung atau perwakilan. Kedaulatan rakyat yang bersifat perwakilan kemudian di lembagakan dalam suatu lembaga perwakilan rakyat yang bertindak sebagai wakil-wakil
rakyat yang menyalurkan aspirasi rakyat. Secara umum,
110
lembaga perwakilan rakyat itu pada mulanya dianggap sebagai representasi mutlak warga negara dalam menjalankan
pemerintahan.
Di Indonesia, lembaga perwakilan rakyat sebagai repersentasi rakyat dihadirkan melalui keberadaan Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, dan Dewan
Perwakilan Daerah. Majelis Permusyawaratan Rakyat merupakan lembaga pemusyawaratan rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat merupakan lembaga perwakilan rakyat, dan Dewan
Perwakilan Daerah sesndiri merupakan lembaga perwakilan daerah. Akan tetapi, secara teoritis sebetulnya ketiga lembaga ini, MPR, DPR, dan DPD mencerminkan struktur
parlemen Indonesia yang khas dan berbeda dari negara-negara lain di dunia.
Tidak ada negara di dunia yang memiliki tiga lembaga yang terpisah seperti DPR, DPD, dan MPR dalam cabang kekuasaaan legislatif dalam arti luas. Dalam arti sempit, MPR
108
Jimly Asshiqqiqie, Konstitusi dan Konstitusionalisme…, Op.Cit., hlm. 119.
109
Miriam Budiardjo dalam Jimly Asshiqqiqie, Konstitusi dan Konstitusionalisme…, Op.Cit., hlm. 120.
110
Jimly Asshiddiqie, Pokok-Pokok…, Op.Cit., hlm. 153.
Universitas Sumatera Utara
memang dipandang tidak melaksanakan fungsi legislatif karena ketidakterlibatannya dalam pembentukan undang-undang. Namun dalam arti luas, fungsi konstituante yang dimilikinya
yaitu membentuk peraturan dasar atau norma dasar berupa perubahan undang-undang dasar juga berada dalam ranah legislatif, sehingga dapat dipandang juga sebagai pelaksanaan fungsi
legislatif. Jimly Asshiddiqie menamakan struktur parlemen yang seperti ini sebagai sistem trikameral tricameral parliament sebagai satu-satunya di dunia dewasa ini.
111
Namun perlu ditegaskan lagi bahwa fokus yang menjadi bahasan utama tentunya adalah lembaga DPR yang merupakan representasi rakyat itu sendiri. Ini terlihat dari nomenclature
“Perwakilan Rakyat” pada DPR. Dalam konsep demokrasi perwakilan di Indonesia, kedaulatan rakyat kemudian di lembagakan dalam lembaga perwakilan rakyat yang
dinamakan Dewan Perwakilan Rakyat atau DPR. DPR yang dibentuk oleh rakyat lewat partai politik adalah lembaga yang amat penting untuk demokrasi, karena mereka yang menempati
kursi di lembaga tersebut adalah wakil-wakil rakyat. Pekerjaan utama mereka adalah memikirkan kepentingan dan kebutuhan rakyat yang mereka wakili, mengidentifikasi
masalah-samlah yang dihadapi rakyat, dan seterusnya menyusun undang-undang yang menjamin terwujudnya kepentingan dimaksud sebagai pengejawantahan prinsip kedaulatan
tersebut.
112
B. SISTEM PERWAKILAN PADA DEWAN PERWAKILAN RAKYAT
Secara umum ada tiga prinsip perwakilan yang dikenal dunia, yaitu :
i Reperesentasi politik political representation
111
Jimly Asshiddiqie, Pokok-Pokok…, Op.Cit., hlm. 159.
112
Eddy Purnama, Negara Kedaulatan Rakyat…, Op.Cit., hlm. 248.
Universitas Sumatera Utara
ii Representasi teritorial territorial representation
iiiRepresentasi fungsional functional representation
Yang pertama merupakan perwakilan melalui prosedur partai politik sebagai salah satu pilar demokrasi modern. Namun pilar partai politik ini dipandang tidak sempurna jika tidak
dilengkapi dengan sistem “double-check” sehingga aspirasi rakyat benar-benar dapat disalurkan dengan baik. Karena itu diciptakan pula adanya mekanisme perwakilan daerah
regional representation atau perwakilan teritorial teritorial representation. Bagi negara- negara besar dan kompleks, apalagi negara-negara yang berbentuk federal, sistem double-
checks ini dianggap lebih ideal. Karena itu, banyak di antaranya mengadopsi keduanya dengan membentuk struktur parlemen bikameral atau dua kamar.
113
Namun pertimbangan dibentuknya dua kamar atau dua institusi parlemen itu sesuai dengan pengalaman sejarah di masing-masing negara, terkadang tidak didasarkan atas
pertimbangan territorial, melainkan didasarkan atas pertimbangan fungsional. Sebagai contoh, di Inggris majelis tinggi yang disebut House of Lords dibedakan dari majelis rendah
yang disebut House of Commons bukan berdasarkan representasi politik dan representasi teritorial melainkan berdasarkan prinsip representasi politik dan representasi fungsional.
House of Lords mencerminkan keterwakilan fungsional, yaitu kelompok-kelompok tuan tanah dan para bangsawan Inggris yang dulunya berkuasa mutlak, yang selanjutnya di
tampung kepentingannya dalam wadah House of Lords. Sedangkan House of Commons merupakan cerminan keterwakilan rakyat secara politik melalui peranan partai politik sebagai
pilar demokrasi.
114
Di Amerika Serikat, yang merupakan tempat kelahiran sistem presidensial, penyelenggaraan kedaulatan rakyat melalui perwakilan dilakukan dengan sistem
dua kamar yang berbeda dari Inggris. Lembaga perwakilan rakyat Amerika Serikat yang
113
Jimly Asshiddiqie, Pokok-Pokok…, Op.Cit., hlm. 154.
114
Jimly Asshiddiqie, Pokok-Pokok…, Op.Cit., hlm. 155.
Universitas Sumatera Utara
dinamakan Kongres Congress terdiri atas Senat Senate dan Dewan Perwakilan Rakyat House of Representative. Kamar Senat diisi oleh wakil-wakil negara bagian Teritorial
Representation, masing-masing dua orang yang dipilih oleh lembaga legislatifnya. Sedangkan Dewan Perwakilan Rakyat anggotanya dipilih langsung melalui pemilihan umum
Political Representation.
115
Realisasi demokrasi tidak langsung melalui lembaga perwakilan rakyat di setiap negara tidaklah sama. Hal ini tergantung kepada latar belakang sejarah dan juga kebutuhan dari
negara yang bersangkutan.
116
Oleh sebab itu, pembentukan lembaga perwakilan rakyat dapat dipandang sebagai upaya pelembagaan hubungan antarmanusia yang berupa hubungan antara
suprastruktur politik dengan infrastruktur politik.
117
Adapun perbedaan dalam hal terbentuknya lembaga perwakilan rakyat pada setiap negara menimbulkan praktik
penyelenggaraan yang berbeda pula, walaupun sistem perwakilan rakyat yang digunkan adalah sama. Menurut Arend Lijphart
118
kedua kamar dalam sistem bikameral cenderung untuk berbeda dalam beberapa hal. Dalam konteks yang sebenarnya, fungsi yang terpenting
dari Kamar Kedua, atau umumnya dikenal dengan upper house yang dipilih berdasarkan hak suara yang terbatas adalah berperan semacam rem konservatif bagi Kamar lain yang dipiliha
secara demokratis melalui peran partai politik yang biasa disebut lower house. Oleh karena itu pula Lijphart mengadakan penggolongan bikameral menjadi tiga kelompok, yaitu: Strong
Bicameralism, Weak Bicameralism, dan Insignificant Bicameralism. Penggolongan ini didasarkan pada kesimetrisan atau keasimetrisan kedua kamar yang ada di dalam sistem
bikameral tersebut.
119
Dalam praktiknya, kamar pertama lower house merupakan wakil- wakil rakyat yang dipilih langsung oleh rakyat melalui pemilihan umum dengan perantaraan
115
Eddy Purnama, Negara Kedaulatan Rakyat…, Op.Cit., hlm. 16-17.
116
Bagir Manan dalam Eddy Purnama, Negara Kedaulatan Rakyat…, Op.Cit., hlm. 15.
117
Sri Soemantri dalam Eddy Purnama, Negara Kedaulatan Rakyat…, Op.Cit., hlm. 16.
118
Arend Lijphart dalam Eddy Purnama, Negara Kedaulatan Rakyat…, Op.Cit., hlm. 17.
119
Arend Lijphart dalam Eddy Purnama, Negara Kedaulatan Rakyat…, Loc.Cit.
Universitas Sumatera Utara
partai politik political representation sedangkan kamar lainnya upper house merupakan wakil-wakil rakyat yang dipilih mewakili teritorial atau suatu wilayah territorial
representation maupun dipilih berdasarkan perwakilan fungsional functional representative yang mekanisme pemilihannya tergantung kepeda ketentuan masing-masing
negara yang memakai sistem perwakilan dua kamar atau bikameral ini.
Secara umum sistem lembaga perwakilan rakyat ada dua macam, yaitu sistem lembaga perwakilan rakyat dengan satu kamar Unicameral System dan sistem perwakilan rakyat
dengan dua kamar Bicameral System. Tetapi tidak menutupi juga kemungkinan kehadiran sistem perwakilan rakyat yang diselenggarakan melalui lebih dari dua kamar
120
Multycameral System. Variasi penyusunan lembaga perwakilan rakyat yang demikian pada dasarnya lahir dengan tiga macam proses. Pertama, melalui perjalanan sejarah yang panjang
dari kehidupan suatu negara. Kedua sebagai hasil pemikiran para pakar yang diadopsikan untuk kemudian dipraktikkan. Ketiga kombinasi dari keduanya yakni kombinasi dari latar
belakang sejarah suatu negara yang bersangkutan dengan hasil pemikiran para pakar.
121
Menyangkut dua macam sistem perwakilan yang dianut oleh negara-negara tidak ditemukan keseragaman di antara para pemikir. Ada yang beranggapan bahwa satu kamar
lebih baik daripada dua kamar sebaliknya ada pula yang beranggapapan bahwa dua kamar lebih baik daripada satu kamar. Menurut Hans Kelsen sistem satu kamar dianggap lebih baik
dan tampak berhubungan sangat erat dengan demokrasi. Karena pada prinsipnya semua norma umum dibuat oleh lembaga perwakilan yang dipilih oleh rakyat. Sedangkan sistem dua
kamar dibentuk menurut prinsip yang berbeda, di mana salah satu kamar akan ditemukan
120
Jimly Asshiddiqie menyatakan bahwa sistem perwakilan Indonesia merupakan sistem yang terdiri lebih dari dua kamar. Lebih lanjut beliau menegaskan bahwa sistem perwakilan di Indonesia adalh sistem perwakilan tiga
kamar trikameral system.
121
Eddy Purnama, Negara Kedaulatan Rakyat…, Op.Cit., hlm. 79.
Universitas Sumatera Utara
kurang memiliki karakter demokratis. Juga sistem dua kamar ini merupakan ciri khas dari negara yang berbentuk federasi dan monarki konstitusional.
122
Untuk hal ini Abbe Sieyes mengemukakan suatu pendapat yang palin extreme, sebagai berikut: “if a Second Chamber is in agreement with the first, it is superfluous, and if is not in
agreement with it, it is pernicious”.
123
Menurutnya, dalam sistem dua kamar akan terjadi hal yan berlebihan jika salah satu kamar hanya menyetujui kehendak kamar lainnya. Tetapi jika
tidak menyetujui, hal ini akan menjadi rintangan bagi kamar yang lain sehingga akan merugikan bahkan merusak.
Melihat pada proses penyelenggaraan memang dalam sistem dua kamar membutuhkan waktu relative lama, perubahan masyarakat saat ini yang sangat cepat dan begitu dinamis
dalam kondisi kompleks haruslah diimbangi oleh produk hukum yang cepat dan dinamis pula. Oleh sebab itu semacam keraguan bahwa sistem dua kamar tidak mampu memenuhi
ketentuan seperti itu. Namun demikian juga harus kita sadari keberadaan sistem bikameral sekurang-kurangnya akan dapat mencegah terjadinya kesewenang-wenangan yang mungkin
dilakukan oleh lembaga perwakilan rakyat yang hanya terdiri hanya satu kamar saja bersifat tunggal. Selain itu sistem dua kamar akan juga dapat mencegah keluarnya produk undang-
undang yang serampangan atau dibuat secara tergesa-gesa sehingga ketentuan undang- undang tersebut tidak dapat memenuhi tujuan yang sebenarnya.
Lantas bagaimanakah dengan Indonesia khususnya Dewan Perwakilan Rakyat, dalam kaitannya dengan ini Bagir Manan
124
mengungkapkan bahwa bagi Indonesia, ada beberapa pertimbangan menuju sistem dua kamar, yaitu:
122
Hans Kelsen, Teori Umum Tentang Hukum dan Negara, Nusamedia, Bandung, 2011, hlm. 420.
123
Abbe Sieyes dalam Eddy Purnama, Negara Kedaulatan Rakyat…, Op.Cit., hlm. 79.
124
Bagir Manan dalam Eddy Purnama, Negara Kedaulatan Rakyat…, Op.Cit., hlm. 17.
Universitas Sumatera Utara
1. Seperti diuraikan Montesquieu, sistem dua kamar merupakan mekanisme “cheks and
balances” antara kamar-kamar dalam suatu lembaga perwakilan. 2.
Penyederhanaan sistem lembaga perwakilan. Hanya ada satu lembaga perwakilan tingkat pusat yang terdiri dari dua unsur yaitu unsur yang mewakili seluruh rakyat dan
unsur yang mewakili daerah. Tidak diperlukan utusan golongan. Kepentingan diwakili dan disalurkan melalui unsur yang langsung mewakili seluruh rakyat.
3. Wakil daerah menjadi bagian dari pelaksanaan fungsi lembaga perwakilan membentuk
undang-undang, mengawasi jalannya pemerintahan, menetapkan APBN, dan lain-lain. Dengan demikian segala kepentingan daerah dapat terintegrasi dan dapat dilaksanakan
sehari-hari dalam kegiatan lembaga perwakilan. Hal ini merupakan salah satu faktor untuk menguatkan persatuan, menghindari disintegrasi.
4. Sistem dua kamar akan lebih produktif. Segala tugas dan wewenang dapat dilakukan
setiap unsur. Tidak perlu bergantung atau menunggu pada suatu badan seperti DPR.
Apabila kita melihat praktik sistem perwakilan yang terjadi di Indonesia yang dihubungkan dengan sistem presidensial maka akan kita temukan tiga lembaga yang
menyelenggarakan cabang kekuasaan legislatif secara luas, yaitu MPR, DPR, dan DPD. MPR meskipun tidak terlibat dalam pembentukan undang-undang namun apabila mengambil sudut
pandang fungsi legislatif dalam arti luas, maka wewenang MPR dalam melakukan perubahan undang-undang dasar dapat diklasifikasikan ke dalam fungsi legislasi. Khusus kepada Dewan
Perwakilan Rakyat DPR diklasifikasikan sebagai suatu perwakilan politik political representation. Dewan Perwakilan Daerah DPD merupakan konsep perwakilan yang
bersifat teritorial territorial representation. Sedangkan Majelis Permusyawaratan Rakyat MPR tmerupakan konsep perwakilan yang menggabungkan kedua konsep perwakilan
Universitas Sumatera Utara
teritorial dan perwakilan politik. Oleh Jimly Asshiddiqie,
125
MPR dikategorikan sebagai Kamar Ketiga dalam sistem perwakilan di Indonesia karena memiliki kewenangan dan
memiliki susunan serta kedudukan sendiri berdasarkan undang-undang.
126
1. Hubungan