Sudarmin mencari Dinarsih ke rumah Ibunya Dinarsih, bukan Dinarsih yang didapat melainkan hanya rasa tidak peduli dan celaan yang
dia dapat. “Kowe rak wis tau ora bisa nanggung uripe anakku Dinarsih ta?”
Sudarmin lagi wiwit ngerti. “Jeneh pancen alangan sakit Mbok….”
“Kuwi aku ora perduli, piye rekane wong lanang” WWD hlm:51 “Kamu tidak pernah menanggung hidup anakku Dinarsih kan?”
Sudarmin baru mengetahui itu. “Itu karena aku sedang sakit Bu…”
“Itu aku tidak peduli, bagaimana tanggung jawab seorang laki-laki” WWD hlm:51
4. Tahap klimaks tahap climax
Penderitaan Dinarsih semakin menjadi-jadi setelah Sudarmin berhasil menemukannya di Warung Ayu. Sudarmin kesal pada Dinarsih.
terlihat pada kutipan berikut. “Jajal saurana Nar, kowe kok keplantrang neng warung wedok
rucah ngana kae, niyate atimu kepriye? Wis ta kandhaa apa lan sing ngakon? Lan apa ana sing nuntun? Omonga satemene, aku ora arep
muring karo kowe anggere kowe gelem kandha apa nyatane. Wis ta aja wedi, aku ora apa-
apa….” WWD hlm:90 “Jawab pertanyaanku Nar, kamu sampai di warung remang-remang
seperti itu, bagaimana niat hatimu? Sudah bicara saja apa dan apa ada yang menyuruhmu? Dan ada yang menuntunmu? Bicara
sebenarnya, aku tidak akan marah dengan kamu asalkan kamu mau memberitahuku apa adanya. Sudah jangan takut, aku tidak apa-
apa…” WWD hlm:90 Kelakuan Sudarmin semakin menjadi-jadi ketika Dinarsih menolak
niatnya untuk kembali memulai hidup bersama Sudarmin.
“Kowe getun metu saka warung blecekan kuwi? Jajal saurana pitakonku iki, saurana.”
“Getun” “Apane sing kok getuni”
“Apa arep balik dadi kere maneh?” WWD hlm:90-91 “Kamu kecewa keluar dari warung itu? Jawab pertanyaanku, jawab.”
“Kecewa” “Apa yang membuat kamu kecewa?”
“Apa mau kembali jadi orang miskin lagi?” WWD hlm:90-91 Dinarsih menjadi istri yang durhaka dan berani melawan suaminya.
Dia bahkan berubah menjadi seorang wanita yang tidak bisa menghargai serta menghormati orang lain.
“Pumpung isih enom Pokoke saiki aku wegah, besuk aku ya wegah. Timbang manut karo Darmin dadi kere, aluwung manut krenahe
simbok….” “Piye krenahe embokmu?”
“Ya ngene iki….” “Dadi wong playahan?”
“Embuh wong ngrani…” WWD hlm:91 “Mumpung masih muda Pokoknya sekarang aku tidak mau, besok
juga tidak mau. Daripada aku ikut Darmin menjadi miskin, lebih baik ikut apa yang Ibu inginkan…”
“Bagaimana keinginan Ibu?” “Ya seperti ini…”
“Dadi pelacur?” “Tidak tahu orang mengatakan apa…” WWD hlm:91
Konflik semakin meningkat saat Dinarsih bersikukuh tidak mau meninggalkan pekerjaannya tersebut. Kesabaran Sudarmin sudah habis
hingga membuat mereka keluar dari truk Dulrakim. Terkutip pada penggalan berikut.
“Apa wong lanang bubrah arep bisa dandan-dandan? Ben, arepa kepriye aku wegah ninggalake penggaweyanku….”
“Penggaweyan nggilani… cuh….” Darmin ngidu ing lemah.
“Ben kowe gila karo aku, aku ya gila karo kowe wong lanang ora pakra…huwwwwoooeeeeeekkk… cuh”
Sudarmin wis ora sabar maneh. Dinar sing gondhelan setir prahoto kuwi digeret mudhun. Tiba ing watu-watu tengah rattan, krekel-
krekel arep munggah maneh, nanging terus dijambak rambute. Dinarsih mringis-mringis kelaran, nganti katon gilape patik loro ing
untu sing winengku lambe abang kuwi. WWD hlm:93-94
“Apa laki-laki bubrah bisa memperbaiki hidup? Terserah aku, walau bagaimanapun aku tidak akan pernah meninggalkan pekerjaannku
ini…” “Pekerjaan menjijikan… cuh… “ darmin berludah di tanah.
“Terserah kamu jijik pada aku, aku juga jijik dengan kamu laki-laki yang tidak baik… huwwwwoooeeeeeekkk… cuh”
Sudarmin sudah tidak sabar lagi. Dinar yang memegang setir itu digeret turun. Jatuh di bebatuan tengah hutan, krikil-krikil akan naik
lagi, tapi terus dijambak rambutnya. Dinarsih kesakitan, sampai
terlihat kilap dua gigi emas yang tertutup bibir merah itu.” WWD hlm:93-94
Puncak penderitaan Dinarsih terjadi saat dia mengingkari janjinya.
Pada saat Sudarmin hendak membunuhnya Dinarsih berjanji akan kembali lagi memulai hidup dengan Sudarmin. Akan tetapi setelah sampai pada
keramaian Dinarsih mengingkari janjinya. Dinarsih pun dibunuh oleh Sudarmin yang sudah hilang kesabaran. Terlihat pada kutipan berikut.
“Aku arep kokkapakake Kang?” “Dak pateni Kowe wis ora kena diapura, sida dak pateni….”
Dinarsih ditekek gulune terus dibanting sakayange. Ora lawan- lawan, centhinge ijo didudut kanthi kasar nganti sing nganggo
munyer glundhung-glundhung ing dalan blabagan kayu. Sudarmin saiki kaya dudu Sudarmin wingi sore. Tandange kaya dudu karepe
dhewe, kaya wong kesurupan. Dinarsih si bojo jaka-lara sing lagi ngglethak klenger kuwi banjur dijambak rambute, gulune diubeti
centhing ijo. Didudut, disiseti WWD hlm: 99
“Aku mau kamu apakan Mas?” “Aku bunuh Kamu sudah tidak bisa lagi dimaafkan, jadi akan aku
bunuh…”
Dinarsih dicekek lehernya dan dibanting. Selendang hijau dicabut dengan kasar sampai yang memakainya itu menggelundhung di jalan
kayu. Sudarmin yang sekarang berbeda dengan kemarin sore. Apa yang dilakukan tidak seperti maunya sendiri, seperti orang
kesurupan. Dinarsih istrinya yang pingsan itu dijambak rambutnya,
lehernya digubet selendang hijau. Dicabut dan disoboki” WWD hlm:99
Tidak hanya sampai disitu, mayat Dinarsih dibuang di sebuah
terowongan sungai. “Alon-alon mayit sing ana rangkulane dislorogake mlebu lambe
growongan sing madhep menyang raen banyu. Tangane Sudarmin ranggeh-ranggeh resek lan suket-suket kleweran ing cedhak kono
banjur disesel-seselake ing bolongan kanggo tutup.
” WWD hlm:103
“Pelan-pelan mayat yang berada di rangkulannya itu dibawa masuk terowongan yang menghadap ke air. Tangannya Sudarmin
mengambil sampah dan rumput yang ada di dekat situ dan dimasukan ke lubang itu untuk me
nutupinya.” WWD hlm:103
5. Tahap penyelesaian tahap end