Bab ini membahas hal-hal yang berkaitan dengan kasus posisi tindak pidana korupsi oleh Pegawai Negeri Sipil Dirjen Pajak Gayus Halomoan P Tambunan
dan analisis kasus tindak pidana korupsi oleh Pegawai Negeri Sipil Dirjen Pajak dalam perspektif hukum pidana Indonesia, serta penjatuhan sanksi
dalam tindak memberantas tindak pidana perpajakan.
Bab V Kesimpulan dan Saran
Bab ini merupakan bab terakhir yang berisi kesimpulan dari masalah-masalah yang telah dibahas pada bab-bab terdahulu dan saran yang berguna bagi semua
pihak untuk mengantisipasi perkembangan tindak pidana korupsi dalam bidang perpajakan yang cenderung meningkat saat ini.
BAB II HUBUNGAN TINDAK PIDANA PERPAJAKAN, TINDAK PIDANA KORUPSI
DALAM PENERAPAN
A. Ketentuan Tindak Pidana Perpajakan
1. Undang-undang Republik Indonesia Nomor 28 Tahun 2007 Tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan yang merupakan perubahan ketiga Undang-Undang Nomor 6 Tahun
1983. Undang-Undang Tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan merupakan aturan fundamental dalam mengelola dan mengatur hubungan antara aparat pajak dan wajib
pajak. 2. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 66PMK. 032008 Tentang Tata Cara Penyampaian
atau Pembetulan Surat Pemberitahuan, dan persyaratan wajib pajak yang dapat diberikan penghapusan sanksi administrasi dalam rangka penerapan Pasal 37A Undang-Undang Nomor
28 Tahun 2007. 3. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 12PMK. 032009 Tentang Perubahan atas Peraturan
Menteri Keuangan Nomor 66PMK. 032008 Tentang Tata Cara Penyampaian atau
Bab ini membahas hal-hal yang berkaitan dengan kasus posisi tindak pidana korupsi oleh Pegawai Negeri Sipil Dirjen Pajak Gayus Halomoan P Tambunan
dan analisis kasus tindak pidana korupsi oleh Pegawai Negeri Sipil Dirjen Pajak dalam perspektif hukum pidana Indonesia, serta penjatuhan sanksi
dalam tindak memberantas tindak pidana perpajakan.
Bab V Kesimpulan dan Saran
Bab ini merupakan bab terakhir yang berisi kesimpulan dari masalah-masalah yang telah dibahas pada bab-bab terdahulu dan saran yang berguna bagi semua
pihak untuk mengantisipasi perkembangan tindak pidana korupsi dalam bidang perpajakan yang cenderung meningkat saat ini.
BAB II HUBUNGAN TINDAK PIDANA PERPAJAKAN, TINDAK PIDANA KORUPSI
DALAM PENERAPAN
A. Ketentuan Tindak Pidana Perpajakan
1. Undang-undang Republik Indonesia Nomor 28 Tahun 2007 Tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan yang merupakan perubahan ketiga Undang-Undang Nomor 6 Tahun
1983. Undang-Undang Tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan merupakan aturan fundamental dalam mengelola dan mengatur hubungan antara aparat pajak dan wajib
pajak. 2. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 66PMK. 032008 Tentang Tata Cara Penyampaian
atau Pembetulan Surat Pemberitahuan, dan persyaratan wajib pajak yang dapat diberikan penghapusan sanksi administrasi dalam rangka penerapan Pasal 37A Undang-Undang Nomor
28 Tahun 2007. 3. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 12PMK. 032009 Tentang Perubahan atas Peraturan
Menteri Keuangan Nomor 66PMK. 032008 Tentang Tata Cara Penyampaian atau
Pembetulan Surat Pemberitahuan, dan persyaratan wajib pajak yang dapat diberikan penghapusan sanksi administrasi dalam rangka penerapan Pasal 37A Undang-Undang Nomor
28 Tahun 2007.
1. Kejahatan di Bidang Perpajakan
Perkembngan pergaulan dalam bernegara tidak hanya menimbulkan pengaruh yang bersifat positif, tetapi termasuk pengaruh yan besifat negatif. Kedua pengaruh ini harus
dihadapi dan bahkan memerlukan pencegahan atau penanggulangan melalui isntrumen hukum. Pengaruh yang bersifat positif sangant menunjangkelangsungan pemerintah negara
untuk mensejahterakan warganya sebagaimana yang diamanatkan dalam pembuknaan Undang-Undang Dasar 1945 UUD 1945
36
Kejahatan di bidang perpajakan berada dala aspek kehidupan berbangsa dan bernegara . kejahatan di bidang perpajakan sangat terkait dengan penerapan hukum pajak yang
mengararahkan pegawai pajak, waib pajak, pejabat pajak, atau pidhak lain agar menaati ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan. Hal ini didasarkan bahwa hukum pajak
tidak dapat memberikan suatu kegunaan kemanfaatan bila pihak-pihak dalam kedudukan sebagai stakeholder tidak memeliki rasa keadilan dalam menunaikan atau melaksanakan
tugas maupun kewajiban hukum masing-masing. . Pengaruh yang bersifat negatif merupakan
hambatan atau kendala yang dihadapi oleh negara untuk mencapai tujuananya. Misalnya, kejahatan di bidang perpjakan yang dapat memperngaruhi kelangsungan pembiayaan negara
sehingga negara tidak mampu menciptakan kesejahteraan.
37
Ketika Kejahatan di bidang perpajakan telah memenuhi unsur-unsur delik pajak, berarti pelaku kejahatan wajib dikenakan sanksi pidana sebagaimana ditentukan dalam kaidah
hukum pajak.
38
36
Muhammad Djafar Saidi, Kejahatan Di Bidang Perpajakan, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2011, hlm. 1.
37
Ibid, hlm. 2.
38
Ibid
Apabila ditelusuri sanksi pidana sebagai suatu ancaman hukuman yang
ditujukan kepada pelaku kejahatan yang memenuhi rumusan kaidah hukum pajak, hanya berupa hukuman penjara, hukuman kurungan dan hukuman denda.
39
Ketiga jnis hukuman ini berada pada tataran hukuman pokok. Dalam arti ketika ditelusuri ancaman hukuman yang
boleh dikenakan kepada pelaku kejahatan di bidang perpajakan, ternyata tidak mengaitkan hukuman tambahan sebagaimana dikenal pada Pasal 10 Kitab Undang-Undang Hukum
Pidana KUHP.
40
1. Pidana Pokok, terdiri dari: Adapun jenis hukuman yang diatur pada Pasal 10 KUHP, adalah sebagai berukut:
41
2. Pidana Tambahan, terdiri dari: a. pidana mati;
b. pidana penjara; c. pidana kurungan; dan
d. denda.
42
Lain lagi halnya, bila pelaku kejahatan di bidang perpajakan berstatus atau berkedudukan sebagai pewagai negari sipil, seperti pegawia pajak dapa dikenakan hukuman
disiplin pegawai negeri sipil. Karena, ketentuan yang berlaku bginya dibolehkan berdasarkan Pasal 36 ayat 2 UUKUP.
a. pencabutan hak-hak tertentu; b. perampasan barang-barang tertentu; dan
c. pengumuman putusan hakim.
43
39
Ibid
40
Ibid, hlm. 4.
41
Ibid, hlm. 5.
42
Ibid
43
Ibid
Hal itu pun, terlebih dahulu harus diadukankepada lembaga yang khusus diadakan pada kementrian keuangan untuk pengenaan hukuman disiplin
berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 53 Tahun 2010 tentang Disiplin Pegawai Negeri Sipil PP NO. 5 Taun 2010.
44
1. Hukuman disiplim ringan, terdiri dari: Adapun tingkat dan jenis hukuman didipli pegawai negeri sipil sebagaimana ditentukan
dalam PP NO. 53 Tahun 2010, adalah sebagai berikut.
45
2. Hukuman disiplin sedang, terdiri dari: a. teguran lisan;
b. teguran tertulis; dan c. pernyataan tidak puas secara tertulis.
46
3. Hukuman disiplin, berat terdiri dari: a. penundaan kenaikan gaji berkala selama satu tahun;
b. penundaan kenaikan pangkat selama 1 satu tahun; dan c. penurunan pangkat setingkat lebih rendah selama 1 satu tahun.
47
Begitu pula, ketika pelaku kejahatan di bidang perpajakan dilakukan oleh wajib pajak orang pribadi dengan kedudukan sebagai pegawai negeri sipil, hanya boleh dikenakan
hukuman berdasarkan kaidah hukum pajak yang berlaku baginya berupa hukuman pokok. Sementara hukuman tambahan sebagaimana ditentukan pada Pasal 10 KUHP tidak boleh
a. penurunan pangkat setingkat lebih rendah salam 3 tiga tahun; b. pemindaan dalam rangka penurunan jabatan setingkat lebih rendah;
c. pembebasan dari jabatan; d. pemberhentian dengan hormat tidak atas permintaan sendiri sebagai pegawai negeri
sipil; dan e. pemberhentian tidak dengan hormat sebagai pewagai negeri sipil.
44
Ibid
45
Ibid
46
Ibid, hlm. 6.
47
Ibid
dikenakan karena tidak ditentukan dalam UUKUP. Namun, hukuman disiplin sebagaimana diatur dalam PP No. 53 Tahun 2010 boleh dikenakan terhadap wajib pajak orang pribadi
dalam kedudukan sebagai pegawai negeri sipil berdasarkan pertimbangan bahwa telah melanggar sumpahjanji sebagai pegawai negeri sipil.
48
Tindak pidana itu meliputi: Perundang-undangan perpajkan dengan jelas menyebutkan perbuatan pidana di
bidang perpajakan dengan istilah “Tindak Pidana Perpajakan”.
49
Tindak Pidana di bidan perpajakan atau dalam peristilah lain disebut tindak Pidana Fiskal antara lain:
a. Tindak Pidana Surat Pemberitahuan SPT; b. Tindak Pidana NPWP Nomor Pokok Wajib Pajak;
c. Tindak Pidana Pembukuan; d. Tindak Pidana tidak Menyetorkan Pajak yang telah dipotong atau dipungut;
e. Tindak Pidana Pembocoran Rahasia;
50
Hukum pajak sebagai hukum positif merupakan bagian tak terpisahkan dari hukum publik. Substansi hukum pajak memuat kaidah hukum tertulis karena dalam kenyataannya
a. Perbuatan yang dilakukan oleh orang atau oleh badan melalui orang; b. yang memenui perumusan Undang-Undang;
c. yang oleh Undang-Undang diancam dengan pidana; d. yang melaan atau bertentangan dengan hukum;
e. yang merugikan masyarakat oarang f. yang dilakukan dibidang perpajakan
2. Kaidah Hukum Pajak
48
Ibid
49
Bambang Waluyo, Tindak Pidana Perpajakan, Jakarta: Pradnya Paramita, 1989, hlm. 95
50
Ibid
bahwa kelahirannya didasarkan pada Undang-Undang Pajak sebagai produk politik dari Dean Perwakilan Rakyat bersama dengan Presiden. Ketentuan ini tersebar dalam berbagai Undang-
Undang pajak yang bersifat formal maupun bersifat materiil. Hal ini bertujuan untuk mengingatkan kepada pihak-pihak yang terkait dengan hukum pajak agar memahami kaidah
hukum pajak dalam pelaksanaan dan penegakannya, baik diluar maupun dilembaga peradilan pajak, dengan demikian hukum pajak tidak mengenal keberadaan kaidah hukum pajak tidak
tertulis karena kelahirannya tidak dilandasi dengan praktik perpajakan didalam masyarakat.
51
Di samping itu, dikenal pula kaidah hukum pajak yang bersifat umum maupun bersifat abstrak dan terarah kepada pihak-pihak yang diharapkan menaati hukum pajak.
Sehingga menurut Jimly Asshiddiqie karena ditujukan kepada semua subjek yang terkait tanpa menunjuk atau mengaitkannya dengan subjek konkret, pihak atau individu tertentu.
52
Munculnya kejahatan di bidang perpajakan, didasarkan pada kaidah hukum pajak yang berupaya membedakan dalam bentuk seperti “karena kelalaian” atau “dengan
kesengajaan”. Kaida hukum yang bersifat umum maupun bersifat abstrak, inilah yang biasanya menjadi
materi peraturan hukum yang berlaku bagi setiap orang atau siapa saja yang dikenai perumusan kaidah ukum yang tertuang dalam peraturan perundang-undangan yang terkait.
53
Adanaya perbedaan itu tergantung pada niat dari pelaku untuk mewujudkan perbuatannya yang terjaring dalam kaida hukum pajak. Sebenarnya kejahatan dibidang
perpajakan muncul karena didasarkan pada niat pelakunya saat melaksanakan tugas dan kewajiban masing-masing.
54
Kejahatan yang terkait dalam pelaksanaan hukum pajak memiliki keanekaragaman, karena didasarkan pada berbagai kepentingan yang hendak dilindungi terutama kepentingan terhadap
3. Jenis Kejahatan di Bidang Perpajakan
51
Muhammad Djafar Saidi, Eka Merdekawati Djafar, Kejahatan Di Bidang Perpajakan, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2011, hlm. 7.
52
Ibid
53
Ibid
54
Ibid
pendapatan negara. Keanekaragaman kejahatan dibidang perpajakan sangat terkait dengan kaidah hukum pajak yang wajib dilaksanakan oleh pihak-pihak berdasarkan tugas da
kewajiban di bidang perpajakan.
55
Kaidah hukum pajak yang memiliki keterkaitan dengan pelaksanaan tugas merupakan tanggung jawab pegawai pajak maupun pejabat pajak.
Sementara itu, kaidah hukum pajak yang terkait dengan pemenuhan kewajiban merupakan tanggung jawab wajib pajak dan pihak lain.
56
Kejahatan dibidang perpajakan tidak boleh digolongkan kedalam kejahatan yang bersifat menimnulkan kerugian pada keuangan negara dan perekonomian negara.
57
Oleh karena itu unsur, unsur kerugian dan keuangan negara atau pereonomian negara merupakan
salah satu unsur delik korupsi, sebaliknya kejahatandi bidang perpajakan memiliki unsur “dapat menimbulkan kerugian pada pendatapan negara”.
58
Dalam arti delik pajak memiliki unsur kerugian yang berbeda dengan usnur kerugian pada delik korupsi. Walaupun demikian,
baik delikpajaknmaupun delik korupsi, keduanya merupakan kejahatan yang berada diluar jangkauan KUHP kerena diatur secara tersendiri dalam Undang-Undang yang berbeda.
59
Pertimbangannya adalah pada adanya asas hukum “lex specialis derogat legi generali”. Misalnya, delik pajak telah diatur dalam hukum pajak, khususnya dalam UUKUP, sementara
itu delik korupsi telah diatur dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak
Pidana Korupsi. Kedua jenis delik ini diatur dalam peraturan hukum yang berbeda sehingga tida boleh disamakan antara delik pajak dan delik korupsi, walaupun salah satu unsur delik
hampir sama, tetapi tetap memiliki perbedaan substansif.
60
55
Ibid, hlm. 8
56
Ibid
57
Ibid
58
Ibid
59
Ibid
60
Ibid
Kejahatan di bidang perpajakan merupakan awal dari delik pajak yang terkait dengan pelaksanaan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan. Adapun jenis kejahatan
dibidang perpajakan, antara lain sebagai berikut:
61
61
Ibid, hlm. 10.
1. Menghitung atau menetapkan pajak; 2. Bertindak diluar kewenangan;
3. Melakukan pemerasan dan pengancaman; 4. Penyalahgunaan kekuasaan;
5. Tidak mendaftarkan diri tau melaporkan usahanya; 6. Tidak menyampaikan surat pemberitahuan;
7. Pemalsuan suart pemberitahuan; 8. Menyalahgunakan nomor pokok wajib pajak;
9. Menggunakan tanpa hak nomor pokok wajib pajak; 10. Menyalahgunakan pengukuhan pengusaha kena pajak;
12. Menolak untuk diperiksa; 13. Pemalsuan pembukuan, pencatatan, atau dokumen lain;
14. Tidak menyelenggarakan pembukuan atau pencatatan di Indonesia, tidak memperlihatkan pembukuan atau pencatatan di Indonesia, tidak memperlihatkan atau tidak meminjamkan
buku, catatan, atau dokumen lain; 15. Tidak menyimpan buku, catatan atau dokumen yang menjadi dasar pembukuan atau
pencatatan; 16. Tidak menyetor pajak yang telah dipotong atau dipungut;
17. Menerbitkan danatau menggunakan faktur pajak, bukti pemungutan pajak, bukti pemotongan pajak, danatau bukti setoran pajak;
18. Menerbitkan faktur pajak tetapi belum dikukuhkan sebagai pengusaha kena pajak;
19. Tidak memberikan keterangan atau bukti; 20. Menghalangi atau mempersulit penyidikan delik pajak; dan
21. Tidak memenuhi kewajiban memberikan data atau informasi; 22. Tidak terpenuhi kewajiban pejabat pajak dan pihak lain;
23. Tidak memberikan data dan informasi perpajakan; 24. Menyalahgunakan data dan informasi perpajakan;
25. Tidak memenuhi kewajiban merahasiakan rahasia wajib pajak; 26. Tidak dipenuhi kewajiban merahasiakan wajib pajak;
Upaya untuk menghindari agar tidak terjadi kejahatan dibidang perpajakan tergantung kepada perilaku dan kepatuhan untuk melaksanakan tugas, kewajiban, dan larangan.
Penghindaran untuk tidak melakukan kejahatan merupakan tindakan atau perbuatan hukum yang dihararapkan menjadi dasar panutan agar tidak dapat menimbulkan kerugian pada
pendapatan negara.
62
Inilah yang merupakan substansi hukum pajak berupa terwujudnya keadilan, kemanfaatan, dan kepastian hukum dalam berbangsa dan bernegara.
63
Kalau dicermati secara seksama, berbagai kejahatan di bidang perpajakan karena pelaksanaan hukum pajak, korbannya lebih banyak terarah kepada negara dibandingkan
kepada wajib pajak. Keberadaan hukum pajak sebagai hukum positif pada hakikatnya bertujuan untuk melindungi kepentingan negara dengan tidak mengabaikan kepentingan
wajib pajak.
64
62
Ibid, hlm. 11
63
Ibid
64
Ibid, hlm. 12.
Perlindungan kepada negara selalu mengarah kepada penerapan sanksi pidana maupun sanksi disiplin terhadap kejahatan yang dapat menimbulkan kerugian pada negara.
B. Ketentuan Tindak Pidana Korupsi 1. Undang-Undang Korupsi dalam Ruang Lingkup Perpajakan
1. Undang-Undang Nomor 24 Tahun 1960 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
2. Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1971 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. 3. Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
4. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Perubahan Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
UU. No. 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, UU ini sebagai pengganti
dari UU No. 24 Prp. Tahun 1960 tentang Pengusutan, Penuntutan, dan Pemeriksaan Tindak Pidana korupsi. Adapun tujuan dengan di Undangkannya Undang-Undang Korupsi ini
diharapkan dapat memenuhi dan mengantisipasi perkembangan dan kebutuhan hukum bagi masyarakat dalam rangka mencegah dan memberantas secara lebih efektif setiap tindak
pidana korupsi yang sangat merugikan keuangan, perekonomian negara pada khususnya serta masyarakat pada umumnya.
65
•
Setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara
atau perekonomian negara. Di dalam Undang-Undang Tidak Pidana Korupsi terdapat 3 istilah hukum yang perlu
diperjelas, yaitu istilah tindak pidana korupsi, keuangan negara dan perekonomian negara. Yang dimaksud dengan Tindak Pidana Korupsi adalah:
•
Setiap orang yang dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada
padanya karena jabatan atau kedudukan yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara sesuai Pasal 2 dan 3 UU No. 31 tahun 1999
Sedangkan pengertian Keuangan Negara dalam undang-undang ini adalah Seluruh kekayaan negara dalam bentuk apapun baik yang dipisahkan maupun yang tidak dipisahkan,
65
R. Wiyono, Pembahasan Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidaan Korupsi, Jakarta: Sinar Grafika, 2005, hlm. 18.
termasuk didalamnya segala bagian kekayaan negara dan segala hak dan kewajiban yang timbul karenanya :
66
•
berada dalam penguasaan, pengurusan, dan pertanggungjawaban pejabat lembaga Negara, baik ditingkat pusat maupun ditingkat Daerah.
•
berada dalam penguasaan, pengurusan, dan pertanggungjawaban Badan Usaha Milik NegaraBadan Usaha Milik Daerah, Yayasan, Badan Hukum, dan Perusahaan yang
menyertakan Modal Negara, atau perusahaan yang menyertakan pihak ketiga berdasarkan perjanjian dengan Negara.
Batasan mengenai Perekonomian Negara menurut UU tersebut sebagai berikut: kehidupan perekonomian yang disusun sebagai usaha bersama berdasarkan asas kekeluargaan
atau usaha masyarakat secara mandiri yang didasarkan pada kebijakan Pemerintah, baik ditingkat pusat maupun ditingkat Daerah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-
undangan yang berlaku yang bertujuan memberikan manfaat, kemakmuran dan kesejahteraan kepada seluruh kehidupan rakyat. sesuai dengan Perekonomian Negara dalam Pasal 2 dan
Pasal 3 . Undang-Undang bermaksud mengantisipasi atas penyimpangan keuangan atau
perekonomian negara yang dirasa semakin canggih dan rumit. Oleh karenanya tindak pidana korupsi yang diatur dalam Undang-undang ini dirumuskan seluas-luasnya sehingga meliputi
perbuatan-perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi secara melawan hukum. Dengan rumusan tersebut, pengertian melawan hukum dalam tindak pidana
korupsi dapat pula mencakup perbuatan-perbuatan tercela yang menurut perasaan keadilan masyarakat harus dituntut dan dipidana.
67
Perbuatan melawan hukum disini mencakup perbuatan melawan hukum dalam arti formil maupun materiil yakni meskipun perbuatan tersebut tidak diatur dalam peraturan
66
Ibid, hlm. 20
67
Ibid, hlm. 20
perundang-undangan, namun apabila perbuatan tersebut dianggap tercela karena tidak sesuai dengan rasa keadilan atau norma-norma kehidupan sosial dalam masyarakat, maka perbuatan
tersebut dapat dipidana sesuai Pasal 2 ayat 1.
68
Selanjutnya Tindak pidana korupsi dalam Undang-Undang ini dirumuskan secara tegas sebagai tindak pidana formil, hal ini sangat penting untuk pembuktian. Dengan rumusan
formil yang dianut dalam undang-undang ini berarti meskipun hasil korupsi telah dikembalikan kepada negara, pelaku tindak pidana korupsi tetap diajukan ke Pengadilan dan
tetap dipidana sesuai dengan Pasal 4 Yang berbunyi sebagai berikut:
69
•
Pengembalian kerugian keuangan negara atau perekonomian negara tidak menghapuskan dipidananya pelaku tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal
2 dan Pasal 3. Penjelasan dari pasal tersebut adalah dalam hal pelaku tindak pidana korupsi, melakukan
perbuatan yang memenuhi unsur -unsur pasal dimaksud, dimana pengembalian kerugian negara atau perekonomian negara, yang telah dilakukan tidak menghapuskan pidana si pelaku
tindak pidana tersebut. Pengembalian kerugian negara atau perekonomian negara tersebut hanya merupakan salah satu faktor yang meringankan pidana bagi pelakunya.
70
Dalam undang-undang ini juga diatur perihal korporasi sebagai subyek tindak pidana korupsi yang dapat dikenakan sanksi pidana dimana hal ini tidak diatur sebelumnya yakni
dalam undang-undang tindak pidana korupsi yaitu undang-undang no. 3 Tahun 1971.
71
Undang-undang ini bertujuan dalam memberantas tindak pidana korupsi memuat ketentuan-ketentuan pidana yang berbeda dengan undang-undang sebelumnya, yaitu
menentukan ancaman pidana minimum khusus, pidana denda yang lebih tinggi, dan ancaman pidana mati yang merupakan pemberatan pidana. Selain itu undang-undang ini memuat juga
68
Ibid
69
Ibid, hlm 21
70
Ibid, hlm. 22
71
Ibid
pidana penjara bagi pelaku tindak pidana korupsi yang tidak membayar pidana tambahan berupa uang pengganti kerugian negara sesuai dengan Pasal 18.
72
Pengertian Pegawai Negeri dalam undang-undang ini juga disebutkan yaitu orang yang menerima gaji atau upah dari korporasi yang mempergunakan modal atau fasilitas dari negara
atau masyarakat. Fasilitas yang dimaksud adalah perlakuan istimewa yang diberikan dalam berbagai bentuk, misalnya bunga pinjaman yang tidak wajar, harga yang tidak wajar,
pemberian izin yang eksklusif, termasuk keringanan bea masuk atau pajak yang bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku sebagaimana dijelaskan dalam Pasal 1
ayat 2.
73
Kemudian apabila terjadi tindak pidana korupsi yang sulit pembuktiannya, maka dibentuk tim gabungan yang dikoordinasikan oleh Jaksa Agung RI. sedangkan proses
penyidikannya dan penuntutannya dilaksanakan sesuai dengan peraturan perundang- undangan yang berlaku. Hal ini dimaksudkan dalam rangka meningkatkan efisiensi waktu
penanganan tindak pidana korupsi dan sekaligus perlindungan hak asasi manusia dari tersangka atau terdakwa. sesuai dengan Pasal 26 dan Pasal 27.
74
Pembuktian Terbalik:
75
72
Ibid
73
Ibid
74
Ibid, hlm. 23
75
Ibid, hlm. 26
Undang-undang ini juga mengatur penerapan pembuktian terbalik yang bersifat terbatas atau berimbang. Yakni terdakwa mempunyai hak untuk membuktikan bahwa apabila
terdakwa tidak melakukan tindak pidana korupsi dan wajib memberikan keterangan tentang seluruh harta bendanya dan harta benda istrinya atau suaminya, anak, dan harta benda setiap
orang atau korporasi yang diduga mempunyai hubungan dengan perkara yang bersangkutan dan penuntut umum tetap berkewajiban membuktikan dakwaannya. sesuai dengan pasal 28
dan Pasal 37.
Peran Serta Masyarakat:
76
Adapun bentuk-bentuk dari korupsi adalah sebagai berikut: Undang-undang ini juga memberikan peran serta masyarakat dan kesempatan yang
seluas-luasnya dalam membantu upaya pencegahan dan pemberantasan tindak pidana korupsi, dan terhadap anggota masyarakat yang berperan serta diberikan perlindungan hukum
dan penghargaan setinggi-tingginya oleh Pemerintah sesuai ketentuan Pasal 41 UU ini dan Pasal 102, 103 KUHAP.
B. Bentuk-Bentuk Korupsi