Kedudukan Fatwa tesis rusmidah lubis

Menurut pedoman dasarnya. Majelis Ulama Indonesia adalah wadah musyawarah para ulama Zu’ama, pemimpin organisasi Islam dan cendikiawan muslim. Usahanya memberi nasihat kepada pemerintah dan masyarakat, bekerja sama dengan organisasi-organisasi Islam dalam memberikan bimbingan dan tuntunan kepada umat, memperkokoh ukhuwah Islamiyah dan memantapkan kerukunan antar umat beragama, serta mengkoordinasikan dan memberikan bimbingan kepada Majelis Ulama Indonesia daerah tingkat II. Koordinasi dan bimbingan di sini tidaklah seperti yang dikerjakan oleh suatu pengurus besar Organisasi Islam kepada cabang-cabangnya, karena Majelis Ulama Indonesia daerah tingkat I dan daerah tingkat II itu berdiri sendiri, dan dalam pembentukan dewan pimpinan tidak ada pengesahan dari Majelis Ulama Indonesia pusat. 94

2. Kedudukan Fatwa

Fatwa mempunyai kedudukan yang tinggi dalam agama Islam. Fatwa dipandang menjadi salah satu alternatif yang bisa memecahkan kebekuan dalam perkembangan hukum Islam. Hukum Islam yang dalam penetapannya tidak bisa terlepas dari dalil-dalil keagamaan menghadapi persoalan serius ketika berhadapan dengan permasalahan yang semakin berkembang yang tidak tercover dalam nash-nash keagamaan. Nash-nash keagaam telah berhenti secara kuantitasnya, akan tetapi secara diametral permasalahan dan kasus semakin berkembang pesat seiring dengan perkembangan zaman. Dalam kondisi inilah fatwa menjadi salah satu alternatif jalan keluar mengurai permasalahan dan peristiwa yang muncul tersebut. Namun, kata fatwa seringkali disalah pahami. Ada yang menyangka bahwa fatwa adalah sejenis dogma yang memiliki daya ikat yang kuat seperti ini sangat keliru, sebab fatwa pada hakikatnya tidak lebih dari sebuah petuah, nasihat atau jawaban dari pertanyaan hukum dari individu ulama atau institusi keulamaan yang boleh diikuti 94 Tim Penyunting, 15 Tahun Majelis Ulama Indonesia Jakarta: sekretariat Majelis Ulama Indonesia Masjid Istiqlal, 1990, h. 38. oleh siapapun atau justri diabaikan sama sekali. Fatwa seorang mufti tidak mengikat siapapun, karena betapapun kesungguhannya bersifat ibjektif, ia tidak dapat lepas dari unsur objektivitas tanpa kecenderungan pribadi dan kemampuan daya nalarnya. Singkatnya fatwa bersifat ghairi mulzim tidak mengikat. 95 Berbicara tentang fatwa tidak akan terlepas dari bahasan mengenai masalah ijtihad dengan segala perangkatnya. Sebab fatwa itu dikeluarkan kepada masyarakat umum setelah memenuhi syarat-syarat tertentu. Fatwa merupakan kumpulan nasihat atau wejangan berharga untuk kemaslahatan umat, sebagaimana yang telah termakjub dalah penghujung ayat terakhir dari Q.S al-Ashr ayat 1-3 yang artinya “kita hendaknya saling berwasiat dalam hal kebenaran dan saling berwasiat da lam kesabaran.”. Sebagaimana firman Allah berikut ini:                  Artinya:1. Demi masa. 2. Sesungguhnya manusia itu benar-benar dalam kerugian, 3. kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh dan nasehat menasehati supaya mentaati kebenaran dan nasehat menasehati supaya menetapi kesabaran. 96 Ayat tersebut memberikan pengertian yang amat luas, betapa pentingnya fatwa dalam kehidupan masyarakat muslim sejati. Korelasi antara fatwa dengan ijtihad memberikan gambaran konkret bahwa persyaratan menjadi seorang mufhi juga tidak jauh berbeda dengan persyaratan menjadi seorang mujtaahid. Seorang mufhi harus memiliki pengetahuan yang luas dan mempunyai pola pikir yang integral dalam memahami dan mengupas ajaran-ajaran Islam secara mendetail. Syariat Islam tidak mengalami perkembangan yang pesat manakala tidak ditopang oleh fatwa-fatwa yang mantap dan valid. 95 M. Quraisy Shihab, fatwa-fatwa seputar ibadah mahdah Jakarta: Mizan, 1999, h. Ix. 96 Depag RI, Alquran dan Terjemahan Jakarta: Departemen Agama, 1984, h. 604. Fatwa memiliki kedudukan penting di dalam agama Islam ia tidak boleh diremehkan dan dibebankan kepada orang yang tidak memiliki kafabilitas. Baik dari segi fiqih, pemikiran, agama dan akhlak. Para ulama salaf tidak pernah meminta fatwa kepada orang yang tidak kafabel. Karena bagi mereka hal tersebut adalah sebuah kemungkaran yang besar. Kewajiban orang yang tidak memiliki kemampuan berijtihad ketika menghadapi masalah hukum ialah bertanya kepada orang –orang yang mengetahui meminta fatwa atau orang yang memiliki kemampuan untuk mengetahui. Allah SWT berfirman Q.S an-Nahl                          Artinya: Barangsiapa yang berbuat sesuai dengan hidayah Allah, Maka Sesungguhnya Dia berbuat itu untuk keselamatan dirinya sendiri; dan Barangsiapa yang sesat Maka Sesungguhnya Dia tersesat bagi kerugian dirinya sendiri. dan seorang yang berdosa tidak dapat memikul dosa orang lain, dan Kami tidak akan mengazab sebelum Kami mengutus seorang rasul. 97 Dari ayat di atas secara implisit dapat dipahami bahwa otoritas fatwa berada di tangan individual ulama. Ulama yang dimaksud dituntut berkualifikiasi sebagai mujtahid . eksistensi kualifikasi ini sangat signifikan, mengingat ijtihad yang menjadi penopang fatwa, pada hakikatnya ialah merumuskan atau menyimpulkan “hukum Allah” yang erkaitan dengan aktifitas para mukallaf melalui penafsiran yang sistematis terhadap nas-nas alquran maupun hadis dengan metode dan kaidah-kaidah tertentu, kualifikasi tersebut sekaligus menetralisir kelitu yang tetap terpeluang untuk terjadi meskipun kecil.

3. Sifat-sifat Fatwa Majelis Ulama Indonesia