Fatwa  memiliki  kedudukan  penting  di  dalam  agama  Islam  ia  tidak  boleh diremehkan  dan  dibebankan  kepada  orang  yang  tidak  memiliki  kafabilitas.  Baik
dari  segi  fiqih,  pemikiran,  agama  dan  akhlak.  Para  ulama  salaf  tidak  pernah meminta fatwa kepada orang yang  tidak kafabel. Karena bagi mereka hal tersebut
adalah  sebuah  kemungkaran  yang  besar.  Kewajiban  orang  yang  tidak  memiliki kemampuan berijtihad ketika menghadapi masalah hukum ialah bertanya kepada
orang –orang  yang  mengetahui  meminta  fatwa  atau  orang  yang  memiliki
kemampuan untuk mengetahui. Allah SWT berfirman Q.S an-Nahl
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
Artinya:  Barangsiapa  yang  berbuat  sesuai  dengan  hidayah  Allah,  Maka Sesungguhnya Dia berbuat itu untuk keselamatan dirinya sendiri; dan
Barangsiapa  yang  sesat  Maka  Sesungguhnya  Dia  tersesat  bagi kerugian  dirinya  sendiri.  dan  seorang  yang  berdosa  tidak  dapat
memikul  dosa  orang  lain,  dan  Kami  tidak  akan  mengazab  sebelum Kami mengutus seorang rasul.
97
Dari  ayat  di  atas  secara  implisit  dapat  dipahami  bahwa  otoritas  fatwa berada di tangan individual ulama. Ulama yang dimaksud dituntut  berkualifikiasi
sebagai  mujtahid  .  eksistensi  kualifikasi  ini  sangat  signifikan,  mengingat  ijtihad yang  menjadi  penopang    fatwa,  pada  hakikatnya  ialah  merumuskan  atau
menyimpulkan  “hukum  Allah”  yang  erkaitan  dengan  aktifitas  para  mukallaf melalui penafsiran yang sistematis terhadap nas-nas alquran maupun hadis dengan
metode  dan  kaidah-kaidah  tertentu,  kualifikasi  tersebut  sekaligus  menetralisir kelitu yang tetap terpeluang untuk terjadi meskipun kecil.
3. Sifat-sifat Fatwa Majelis Ulama Indonesia
Mengkaji  fatwa  Majelis  Ulama  Indonesia  dalam  perspektif  sifatnya menjadi  bagian  penting  dalam  penelitian  ini.  Disini  akan  mencoba  melihat
97
Depag RI, Alquran dan Terjemahan Jakarta: Departemen Agama, 1984, h. 281.
sejauhmana  sifat  dan  karakter    fatwa-fatwa  Majelis  Ulama  Indonesia  dalam merespon  berbagai  persoalan.  Diantara  ciri  fatwa  ulama,  termasuk  di  dalamnya
fatwa  yang  dijelaskan  Majelis  Ulama  Indonesia  adalah  bersifat  kasuistik  karena merupakan  respon  atau  jawaban  dari  pertanyaan  yang  diajukan  oleh  peminta
fatwa. Berbeda denga  keputusan pengadilan agama, patwa tidak mempunyai daya ikat dalam arti bahwa peminta fatwa tidak harus mengikuti fatwa  yang diberikan
kepadanya.
98
Demikian pula masyarakat luas juga tidak harus terikat dengan fatwa itu, karena fatwa seorang ulama disuatu tempat bisa saja berbeda dengan fatwa ulama
lain  ditempat  yang  sama.  Fatwa  biasanya  cenderung  bersifat  dinamis  karena merupakan  respons  terhadap  perkembangan  baru  yang  sedang  dihadapi
masyarakat  peminta  fatwa,  isi  fatwa  itu  sendiri  belum  tentu  dinamis.  Meskipun fatwa itu dikeluarkan satu persatu secara kasuistik, sejumlah fatwa dari berbagai
ulama besar juga akhirnya dibukukan, tetapi sistematikanya tetap berbeda dengan sistematikanya kitab fiqih.
Bila dilihat di dalam dasar umum dan sifat fatwa Majelis Ulama Indonesia jelas  sekali  disebutkan  dalam  tiga  hal  yaitu  a  penetapan  fatwa  didasarkan  pada
alquran  dan  sunnah,  b  aktivitas  penetapan  fatwa  dilakukan  secara  kolektif  oleh suatu  lembaga  yang  dinamakan  komisi  fatwa  dan  cpenetapan  fatwa  bersifat
responsif, proaktif dan antisifatif.
99
98
Bila
dilihat dari segi makna dan pengertian fatwa sebagaimana dicatat Ma’ruf Amin  ketua  Fatwa  Majelis  Ulama  Indonesia  setidaknya  ada  dua  yang  dapat  ditarik
maknanya,  pertama,  bahwa  fatwa  bersifat  responsif  sebagai  jawaban  hukum  legal opinion
yang dikeluarkan setelah adanya permintaan fatwa based on demand. Kedua, sebagai  kepastian  bahwa  fatwa  dari  segi  kekuatannya  tidak  bersifat  mengikat,  baik
perorangan lembaga, maupun masyarakat luas tidak harus mengikuti isi atau hukum yang diberikan kepadanya. Tidak demikian halnya dengan keputusan pengadilan qadha yang
bersifat mengikat. Namun bila sebuah fatwa sudah diadopsi oleh hakim maka ia menjadi kekuatan yang mengikat. Amin, Fatwa, h. 20-22.
99
Ma’ruf Amin, dkk, Himpunan Fatwa Majelis Ulama Indonesia Sejak 1975 Jakarta: Hijrah Saputra, 2011, h. 5.
4. Latar  Belakang  Munculnya  Fatwa  Majelis  Ulama  Indonesia  tentang