Pembatalan Akte Perjanjian Yang Dibuat Notaris Kaitannya Dengan Desain Industri (Studi Kasus tentang Putusan Mahkamah Agung antara PT. Antara Kusuma dengan PT. Sun Industri)

(1)

DAFTAR PUSTAKA

A. BUKU/MAKALAH/ARTIKEL

Darus, Mariam, Badrulzaman, Komplikasi Hukum Perikatan, Cet I, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2001.

Djodjodirdjo, M.A. Moegini, Perbuatan Melawan Hukum, Alumni, Bandung, 2002. Hassanah, Hetty, Metode Alternatif penyelesaian Sengketa, Materi Perkuliahan, Unikom, Bandung, 2005.

Harahap, M. Yahya, Segi-Segi Hukum Perjanjian, Cet. II, Alumni, Bandung, 1986. H.S, Salim, Perkembangan Hukum Kontrak Innominaat di Indonesia, Cet. 1, Sinar

Grafika, Jakarta, 2003.

---, Hukum Kontrak: Teori & Teknik Penyusunan Kontrak, Cet. II, Sinar Grafika, Jakarta, 2004.

Ismamulhadi, Penyelesaian sengketa dalam Perdagangan secara Elektronik, Cyberlaw : Suatu Pengantar, Pusat Studi Cyberlaw, UNPAD, Bandung, 2002.

Latifulhayat, Atif, Hukum Siber, Urgensi dan Permasalanya, artikel dimuat di dalam Jurnal KEADILAN, Vol. 1 No. 3, September 2001.

Makarim, Edmon, Kerangka Hukum Digital Signature dalam Electronic Commerce, Makalah dipresentasikan di hadapan Masyarakat Telekomunikasi Indonesia pada bulan Juni 1999 di Pusat Ilmu Komputer Universitas Indonesia, Depok, Jawa Barat.

Makarim, Edmon, Kompilasi Hukum Telematika, PT.Gravindo Persada, Jakarta, 2000. Muhammad, Abdulkadir, Hukum Perjanjian, Cet. II, Alumni, Bandung, 1986.

Munir Fuady, Hukum Kontrak (Dari Sudut Pandang Hukum Bisnis), Cet. II, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2001.

Prodjodikoro, Wirjono, Asas-Asas Hukum Pidana di Indonesia, Eresco, Bandung, 1986.

Sjahdeini, Sutan, Remy, E-Commerce dalam Persfektif Hukum, Jurnal Keadilan, Vol. 1 No. 3 September 2001.

Soepraptomo, Heru, Kejahatan Komputer dan Siber Serta Antisipasi Pengaturan, Badan Pencegahannya di Indonesia, Makalah dalam Seminar Antisipasi Hukum Cyber terhadap Kejahatan E-Commerce Penelitian dan Pengembangan Daerah Propinsi Sumatera Utara, Medan, 20 Desember 2002.


(2)

Subekti, R, Pokok-Pokok Hukum Perdata, Intermasa, Jakarta, 1979. ---, Aneka Perjanjian, Cet.VII, Bandung:Alumni, 1985.

---, Hukum Perjanjian, Cet. XII, PT. Intermasa, Jakarta, 1990.

Subekti, R, dan R. Tjitrosudibio, Kitab Undang-undang Hukum Perdata=Burgerlijk Wetboek (terjemahan), Cet. 28, PT. Pradnya Paramita, Jakarta, 1996.

Sunggono, Bambang, Metodologi Penelitan Hukum, Ghalia Indonesia, Jakrta 1998, hal. 195, sebagaimana dikutip dari Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif suatu Tinjauan Singkat, Rajawali Pers, Jakarta, 1990

Sutantio, Retnowulan, dan Iskandar Oerip, Hukum Acara Perdata Dalam Teori dan Praktek, Alumni, Bandung, 2000.

Syahmin, Hukum Kontrak Internasional, Cet. 1, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2006.

Syahrani, Riduan, Seluk-Beluk Dan Asas-Asas Hukum Perdata, Bandung:Alumni, 1992.

Syamsuddin, Amir, Hukum Siber, Jurnal Keadilan, Vol. 1. No. 3, September 2001, Penerbit Pusat Kajian Hukum dan Keadilan.

Tim Naskah Akademis BPHN, Naskah Akademis Lokakarya Hukum Perikatan, Badan Pembinaan Hukum Nasional, Jakarta, 1985.

B. INTERNET

Lestari, Dewi, Konsumen, E-Commerce dan Permasalahannya, diakses dari situs :

e-Commerce -

Februari 2008.

Maghfirah, Dwi, Esther, Perlindungan Konsumen dalam E-Commerce, diakses dari situs : konsumen dalam E-Commerse, tanggal 15 Agustus 2010.

Makarim, Edmon, Apakah Transaksi Secara Elektronik Mempunyai Kekuatan Pembuktian, diakses dari situs : e-Commerce -

tanggal 4 April 2008.

Saat, Redynal, Electronic Commerce, Peluang dan Kendala, diakes dari situs :

e-Commerce -


(3)

Sari, Asrini, Juwita, Tanggapan atas UU No. 11 Tahu n2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik, diakses dari situs : 12 Agustus 2010.

Uncitral Model Law on Electronic Commerce,diakses dari situs : Model Law.com. Rabu, 14 Juni 2006

C. PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN Kitab Undang-Undang Hukum Dagang (KUHD) Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata) UU No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen


(4)

BAB III

TINJAUAN TENTANG HUKUM DESAIN INDUSTRI

A. Pengertian Desain Industri

Revolusi industri di Inggris pada sekitar abad 18 telah mengubah dunia secara drastis. Teknologi telah mengambil alih peran manusia dalam memenuhi kebutuhan hidupnya terutama dalam hal mengatasi ruang dan waktu. Temuan-temuan besar seperti mesin uap, mesin cetak dan lain-lain membuat para inventor dan perusahaan besar mulai sering memamerkan hasil-hasil temuan mereka. Namun, bersamaan dengan ditemukannya teknologi industri timbul kekhawatiran bahwa ada kemungkinan ide atau gagasan-gagasan mereka dicuri oleh pesaing-pesaing bisnis mereka atau orang yang akan menggunakannya tanpa ijin dan mengambil keuntungan pribadi, tanpa memperhatikan hak-hak penemu, sehingga mereka enggan ikut dalam pameran-pameran internasional (world fair) . Sejak saat ini dia antara mereka timbul kebutuhan perlindungan hak hasil kekayaan intelektual. Kebutuhan perlindungan atas suatu desain industri mulai dikenal sekitar abad ke 18. Kebutuhan perlindungan hukum ini dimotori sekelompok profesional, Patent Lawyers yang sedang berkumpul di Vienna, Austria dalam suasana Vienna World Fair pada tahun 1873. Pada 1883 mereka mengadakan konvensi di Paris yang kemudian dikenal dengan The Paris Convention for the Protection of Industrial Property. Saat ini Paris Convention mengakomodasi perlindungan penemuan-penemuan di bidang industri seperti hak atas paten, merek, rahasia dagang, desain tata letak sirkuit terpadu, indikasi geografis, varietas tanaman termasuk desain industri.23

23


(5)

Dalam pertemuan Putaran Uruguay di Marrakes, Maroko 1994, Indonesia hadir dan menandatangani The Final Act Embodying the Results of The Uruguay Round of Multilateral Trade Negotiations yang menghasilan dibentuknya organisasi perdagangan dunia (World Trade Organization). Moment ini mempunyai arti yang luas dan dalam bagi Indonesia, baik secara politis, ekonomi dan hukum. Selain menjadi anggota WTO yang mempunyai hak-hak sebagai anggota juga kewajiban-kewajiban antara lain mentaati seluruh keputusan-keputusan yang diambil organisasi ini. Di dalam lampiran The Final Act terdapat lampiran Trade Releated Aspect of Intellectual Property (Aspek-aspek dagangan kekayaan intelektual). Dampak dari hal itu ada kewajiban bagi negara anggota untuk melakukan harmonisasi peraturan-peraturan termasuk peraturan-peraturan kekayaan intelektual. Maka, pada tahun 2000, pemerintah Indonesia menerbitkan beberapa peraturan HKI, yaitu Undang-Undang No. 29 tahun Tentang Varietas Tanaman; Undang-Undang No. 30 Tahun 2000 Tentang Rahasia Dagang; Undang-Undang No. 31 Tahun 2000 Tentang Desain Industri; Undang-Undang No. 32 Tahun 2000 Tentang Desain Tata Letak Sirkuit Terpadu.

Menurut David I. Brainbridge, desain adalah aspek dari gambaran suatu benda. Dalam Hak Atas Kekayaan Intelekrtual, desain bukanlah benda itu sendiri. Desain memiliki arti yang lebih sempit. Arti kata desain mengacu pada gambaran suatu bentuk atau gambar yang menunjukkan susunan suatu benda. Kemungkinan lain yang dapat terjadi adalah desain dengan pola dekoratif, tetapi dalam istilah hukumnya David I. Brainbridge menyatakan: 24

24

David I. Brainbridge, Intellectual Property, Third Edition, Pitman Publishing, London,


(6)

“Design is definite based on the reference to the rules that is applied on the registered design or the right of design.”

Jeremy Philips and Alison Firth berpendapat bahwa desain mencakup segala aspek tentang bentuk atau konfigurasi baik internal maupun eksternal baik yang merupakan bagian maupun keseluruhan dari sebuah benda. Dekorasi permukaan dikesampingkan dan suatu desain harus spesifik. Lebih jauh mereka memberikan pendapat :25

Black’s Law Dictionary mendefinisikan desain industri sebagai berikut:

“A design is not, therefore, a product or a means by which a product is made, it is the aesthetic feature which appeals to the eye and thus gives an attractive or distinctive quality to the goods to which it is applied. The meaning of ‘shape’, ‘configuration’, ‘pattern’ and ‘ornament’ are not defined by statute and could, it is submitted, have been left out of the definition of design without any loss meaning-unless there is a feature which, in the finished article, appeals to and is judged solely by the eye, and which is not a shape, configuration, pattern or ornament.”

Dengan demikian desain merupakan gambaran keindahan yang memberikan daya tarik atau kualitas khusus untuk barang-barang yang diterapkan.

26

25

Jeremy Philips and Alison Firth, Introduction to Intellectual Property Law, Third Edition, Butterworth, London, 1999,hal. 317

26

Bryan A. Garner, et, al, Black’s Law Dictionary, Eighth Edition, West Publishing Co, St. Paul, Minh, 2004, hal. 791

“Desain industri adalah bentuk, konfigurasi, pola atau ornament yang digunakan dalam proses industri, dan sering digunakan sebagai penciri penampilan suatu produk.”


(7)

Sebagaimana telah dikemukakan di atas, dalam hukum positif Indonesia, desain industri diatur dalam UU No. 31 Tahun 2000. Pasal 1 ayat (1) UU No. 31 Tahun 2000 merumuskan desain industri sebagai berikut:

“Desain industri adalah suatu kreasi tentang bentuk, konfigurasi, atau komposisi garis atau warna , atau garis dan warna, atau gabungan daripadanya yang berbentuk tiga dimensi atau dua dimensi yang memberikan kesan estetis serta dapat dipakai untuk menghasilkan suatu produk, barang, komoditas industri, atau kerajinan tangan.,”

World Intellectual Property Organization (WIPO) memberikan definisi yang terperinci mengenai desain industri sebagai berikut:

“Any composition of lines or colors or any three dimensional form, whether or not associated with lines or colors, is deemed to be an industrial design, provided that such composition or forms gives a special appearance to a product of industry or handycraft and can serve as a pattern for a product of industry or handicraft.”

Berdasarkan definisi di atas dapat disimpulkan bahwa desain industri meliputi pula pola untuk barang kerajinan, selain untuk barang industri.

Desain industri adalah “pola” yang digunakan dalam proses pembuatan barang baik secara komersial dan berulang-ulang. Karakter penggunaan berulang adalah suatu pembeda dari kreasi dalam hak cipta. Karakter yang lain sebuah desain industri adalah adanya hubungan dengan estetika, keamanan, dan kenyamanan dalam penggunaan suatu produk, sehingga mendukung dalam pemasarannya.

Perlindungan desain industri berbeda dengan hak cipta. Dalam desain industri perlindungan desain industri diberikan pada produk yang baru atau original. Sebuah desain dinyatakan baru atau original apabila memiliki perbedaan dari desain yang


(8)

sebelumnya atau modifikasi dari desain itu. Singkatnya, desain lebih menekankan pada segi estetisnya.

B. Subjek dan Objek Desain Industri

Subyek Pendesain adalah seorang atau beberapa orang yang menghasilkan desain industri. Dalam hal pendesain terdiri dari beberapa orang, maka hak diberikan pada beberapa orang tersebut secara bersama kecuali diperjanjikan lain. Dalam hal desain industri dibuat dalam hubungan dinas/ kerja, dibuat atas pesanan maka pemegang hak desain industri adalah yang memberi pekerjaan atau memberi pesanan (disini memberi pekerjaan–pemesanan adalah Instansi Pemerintah). Dalam hal memberi kerja atau pemesan adalah pihak swasta/ orang swasta maka orang yang membuat desain industri itu dianggap sebagai pendesain dan pemegang hak desain industri kecuali diperjanjiakan lain. Pendesain mempunyai hak untuk tetap namanya dicantumkan pada sertifikat desain indusri sebagai penciptanya.

Undang-Undang Desain Industri tidak secara jelas dan tegas mengatur mengenai hal kreasi bentuk yang harus memberikan kesan estetis. Akibatnya, kreasi bentuk apa saja yang dianggap “unik dan aneh” dapat didaftarkan. Hal ini disebabkan terminologi hukum tentang nilai estetik tidak memiliki batasan yang jelas. Secara psikologis suatu desain bisa mempengaruhi daya saing dan menaikkan nilai komersialnya.

Hak desain industri diberikan untuk desain industri yang baru. Desain Industri dianggap baru apabila pada tanggal penerimaan permohonan pendaftaran oleh Direktorat Jenderal Hak Kekayaan Intelektual, desain industri tersebut tidak sama dengan pengungkapan yang telah ada sebelumnya. Sedangkan yang dimaksud dengan pengungkapan sebelumnya adalah pengungkapan desain industri sebelum :


(9)

1) Tanggal penerimaan permohonan;

2) Tanggal prioritas, dalam hal permohonan diajukan dengan hak prioritas; 3) Telah diumumkan atau digunakan di Indonesia atau diluar Indonesia.

Contoh karya-karya yang mendapat perlindungan desain industri misalnya, desain bentuk furniture meja, kursi, botol gallon, desain pakaian, desain barang kerajinan tangan, seperangkat cangkir dengan teko dan kelengkapannya.

Pemegang hak desain industri memiliki hak ekslusif untuk melaksankan hak desain industri yang dimilikinya dan untuk melarang orang lain yang tanpa persetujuannya membuat, memakai, menjual dan mengimport, mengeksport dan/atau mengedarkan barang yang diberi hak desain industri. Hak ekslusif adalah hak yang hanya diberikan kepada pemegang hak desain industri untuk dalam jangka waktu tertentu melaksankan sendiri atau memberikan izin kepada pihak lain. Dengan demikian, sesuai dengan Pasal 9 ayat (1) UU No. 31 Tahun 2000 tentang desain industri, pihak lain dilarang melaksanakan hak desain industri tersebut tanpa persetujuan pemegangnya. Pemberian hak kepada pihak lian dapat dilakukan melalui pewarisan, hibah, wasiat, perjanjian atau sebab-sebab lain.27

Hak ekslusif yang dimiliki pemegang hak desain industri tidak berlaku terhadap pemakaian desain industri khusus untuk kepentingan pendidikan, penelitian, dan pengembangan sepanjang tidak merugikan kepentingan yang wajar dari pemegang hak desain industri . Kriteria ”kepentingan yang wajar” tidak semata-mata diukur dari ada tidaknya unsur komersial, tetapi juga dari kuantitas penggunaan desain industri tersebut. Penggunaan desain industri, walaupun memiliki misi sosial, tetapi harus mendatangkan keuntungan ekonomis bagi pendesain agar mereka tetap bersemangat merancang desain-desain yang baru bagi kemajuan masyarakat.

27


(10)

C. Asas Hukum Perlindungan Desain Industri

Suatu hasil kreatifitas intelektual dapat dilindungi dengan beberapa undang-undang HKI sekaligus, misalnya hak cipta dan hak atas desain industri. Suatu desain (baru) dalam bentuk cetak biru (blue print) yang dianggap sebagai suatu karya seni dapat dilindungi dengan hak cipta. Hak cipta yang melindungi suatu karya seni terapan (applied art). Hasil karya seni yang bertujuan untuk dapat digunakan secara praktis dalam kehidupan sehari-hari. Hasil kreasi desain yang dilindungi dengan hak cipta harus orisinil dan ada dalam lingkup karya seni (sastra dan/atau ilmu pengetahuan termasuk hak terkait). Syarat orisinil orisinil dalam hak cipta berarti suatu kreatifitas langsung diungkapkan oleh pencipta dan dapat membuktikan sumber aslinya. Bentuk suatu desain dalam rupa cetak biru adalah suatu karya seni. Karya seni yang tidak hanya berupa obyek-obyek estetik (indah), tetapi berbagai perwujudan dari ungkapan perasaan yang memiliki nilai-nilai seni. Perlindungan hak cipta (copy rights) yang diberikan kepada pencipta secara otomatis setelah ide atau gagasannya diberi wujud konkrit, adalah hak untuk menggandakan. Ini berarti seorang pendesain juga mempunyai eksklusif untuk membuat karyanya tersebut menjadi tiga dimensi. Karena hak yang diberikan adalah hak menggandakan (memperbanyak) dan mengumumkan, maka suatu hasil karya seni tidaklah mungkin diproduksi dalam bentuk masal. Karena hak ini diberikan kepada pencipta secara otomatis, maka tidak diperlukan pendaftaran. Atau seandainya didaftar tidak diperlukan pemeriksaan oleh Pemeriksa di Direktorat Jendral HKI Departemen Hukum dan HAM.

Sebaliknya dengan hak atas desain industri, pendaftaran sangat diperlukan untuk perlindungan hak. Dalam pemeriksaan permohonan hak atas desain industri dianut asas kebaruan dan pengajuan pendaftaran pertama. Asas kebaruan dalam


(11)

desain industri berbeda dengan asas orisinil pada hak cipta. Asas kebaruan disini berarti ketika didaftar tidak ada pihak lain yang dapat membuktikan bahwa pendaftar tersebut tidak baru atau telah ada publikasi sebelumnya baik tertulis atau tidak tertulis. Pendaftar pertama, adalah yang akan mendapat perlindungan hukum dan bukan berdasarkan atas asas orang pertama yang mendesain. Hak Cipta secara umum diberikan seumur hidup pencipta dan ditambah 50 tahun sesudah ia meninggal. Sedangkan desain industri hanya diberikan perlindungan setelah didaftar dan hanya 10 tahun, Waktu perlindungan ini tidak dapat diperpanjang. Perlindungan Desain industri lebih mengarah pada bentuk desain dan nilai estetik.

Mengapa orang lebih memilih perlindungan suatu desain dengan hak atas desain industri ketimbang hak cipta. Ketika seorang pendesain mendisain suatu kursi baru pada kertas atau cetak biru (blue print) sebagai penampilan suatu produk, karya ini bisa dianggap suatu hasil kreativitas di bidang seni dan akan dilindungi oleh hak cipta. Ketika cetak biru ini diberi bentuk tiga dimensi dan hanya diproduksi satu buah dan penekanannya pada seni, maka akan dilindungi dengan hak cipta. Kalau, bentuk desainnya mempunyai nilai estetika serta diproduksi masal, desain ini dilindungi oleh hak atas desain industri. Hak Desain industri adalah perlindungan yang diberikan pada hasil karya yang diproduksi secara masal. Di Australia suatu karya seni dilindungi dengan hak atas desain diberi batasan jumlah, yaitu lebih dari 50 buah.

Seorang pendesain mempunyai hak cipta atas hasil kreativitasnya yang berupa cetak biru dan mempunyai hak eksklusif untuk membuat karya seni itu menjadi tiga atau dua dimensi. Undang-undang desain industri diarahkan untuk melindungi barang-barang yang diproduk secara masal. Orang lebih memilih perlindungan dengan hak atas desain industri, yang hanya dilindungi selama 10 tahun. Hal ini disebabkan suatu desain sangat mudah dan cepat ditiru oleh masyarakat umum. Bila


(12)

dilindungi dengan hak cipta, menjadi tidak efektif dan mubasir. Hak cipta tidak melindungi produk masal.

Disamping berlakuya asas-asas (prinsip hukum) hukum benda terhadap hak atas desain industri, asas hukum yang mendasari hak ini adalah :28

1. Asas publisitas

2. Asas kemanunggalan (kesatuan) 3. Asas kebaruan (Novelty)

Asas publisitas bermakna bahwa adanya hak tersebut didasarkan pada pengumuman atau publikasi di mana masyarakat umum dapat mengetahui keberadaan tersebut. Untuk itu hak atas desain industri itu diberikan oleh Negara setelah hak tersebut terdaftar dalam berita resmi Negara. Di sini perbedaan yang mendasar dengan hak cipta, yang menyangkut system pendaftaran deklaratif, sedangkan hak atas desain menganut sistem pendaftaran konstitutif, jadi ada persamaanya dengan paten.

Untuk pemenuhan asas publisitas inilah diperlukan ada pemeriksaan oleh badan yang menyelenggarakan pendaftaran.

Pemeriksaan terhadap permohonan hak atas desain industri mencakup dua hal sebagai berikut:

1. Administratif

2. pemeriksaan substantif

Tentang langkah-langkah pemeriksaan administratif, prosedur yang dilalui adalah sebagai berikut:

1. Di Indonesia badan yang melakukan pemeriksaan terhadap permohonan hak atas desain industri adalah Direktorat Jenderal HAKI yang berada di bawah Department Hukum dan Hak Asasi Manusia.

28


(13)

2. Apabila hak atas desain industri itu bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku, ketertiban umum, agama, dan kesusilaan atau apabila ternyata terdapat kekurangan dalam pemenuhan persyaratan atau juga permohonan dianggap telah ditarik kembali maka Direktorat Jenderal akan menerbitkan keputusan penolakan atas permohonan hak tersebut

3. Pemohon atau kuasanya diberi kesempatan untuk mengajukan keberatan atau keputusan penolakan atau anggapan penarikan kembali permohonan tersebut dalam waktu paling lama 30 hari terhitung sejak tanggal diterimanya surat penolakan atau pemberitahuan penarikan kembali permohonan tersebut.

4. Dalam hal pemohon tidak mengajukan keberatan, keputusan penolakan atau penarikan kembali oleh Direktorat Jenderal menjadi keputusan yang bersifat tetap.

5. Terhadap keputusan penolakan atau penarikan kembali oleh Direktorat Jenderal, pemohon atau kuasanya dapat mengajukan gugatan melalu Pengadilan Niaga dengan tata cara sebagaimana diatur dalam UU No. 31 Tahun 2000.

Permohonan yang telah memenuhi persyaratan akan diumumkan oleh Direktorat Jenderal dengan cara menempatkannya pada sarana yang khusus untuk itu yang dapat dengan mudah serta jelas dilihat oleh masyarakat, paling lama 3 bulan terhitung sejak tanggal penerimaan.

Pengumuman tersebut memuat :29 1. nama dan alamat lengkap pemohon

2. nama dan alamat lengkap kuasa dalam hal permohonan diajukan melalui kuasa 3. tanggal dan nomor penerimaan permohonan


(14)

4. nama negara dan tanggal penerimaan permohonan yang pertama kali apabila permohonan diajukan dengan menggunakan hak prioritas

5. judul desain industri

6. gambar atau foto desain industri

Asas kemanunggalan bermakna bahwa hak atas desain industri tidak boleh dipisah-pisahkan dalam satu kesatuan yang utuh untuk satu komponen desain. Misalnya kalau desain itu berupa sepatu, maka harus sepatu yang utuh, tidak boleh hanya desain telapaknya saja, berbeda jika dimaksudkan desain itu hanya berupa telapak saja, maka hak yang dilindungi hanya telapaknya saja. Demikian pula bila desain itu berupa botol berikut tutupnya, maka yang dilindungi dapat berupa botol dan tutupnya berupa satu kesatuan. Konsekuensinya jika ada pendesain baru mengubah bentuk tutupnya, maka pendesain pertama tidak dapat mengklaim. Oleh karena itu, jika botol dan tutupnya dapat dipisahkan, maka tutup botol satu kesatuan dan botolnya satu kesatuan jadi ada dua desain industri.

Oleh karena itu, asas kebaruan menjadi prinsip hukum yang juga perlu mendapat perhatian dalam perlindungan hak atas desain industri ini. Hanya desain yang benar-benar baru yang mendapatkan hak. Ukuran atau kriteria kebaruan itu adalah apabila desain industri yang akan didaftarkan itu tidak memiliki kesamaan dengan industri yang telah ada sebelumnya. Dan kebaruan itu sendiri dapat diputuskan berdasarkan batasan wilayah, waktu penemuan dan pemberitahuan kepada masyarakat. Kebaruan disini berarti tidak pernah diketahui oleh orang lain sebelumnya. Suatu nilai kebaruan dapat hilang apabila telah dipublikasikan, dengan berbagai macam cara dan dinegara manapun.30

30


(15)

D. Proses pengalihan hak desain industri.

Hak desain industri dapat beralih atau dialihkan dengan cara pewarisan, hibah, wasiat, perjanjian tertulis, atau sebab-sebab lain yang dibenarkan oleh peraturan perundang-undangan. Pengalihan hak desain industri tersebut harus disertai dengan dokumen tentang pengalihan hak dan wajib dicatat dalam daftar umum desain industri pada Ditjen HaKI dengan membayar biaya sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan.

Pengalihan hak desain industri yang tidak dicatatkan dalam daftar umum desain industri tidak berakibat hukum pada pihak ketiga. Pengalihan hak desain industri tersebut akan diumumkan dalam berita resmi desain industri. Jangka waktu perlindungan hak desain industri adalah 10 tahun terhitung sejak tanggal penerimaan. Desain industri yang tidak mendapat perlindungan hukum adalah bila (1) bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku, (2) melanggar ketertiban umum dan (3) kesusilaan. Asas dalam undang-undang desain Industri adalah asas kebaharuan. Desain industri dianggap baru apabila pada tanggal penerimaan desain industri tersebut tidak sama dengan pengungkapan sebelumnya. Yang dianggap pengungkapan sebelumnya adalah, sebagai berikut :31

31

Arif Syamsudin, Desain Tataletak Sirkuit Terpadu (DTLST) Sebagai Bagian Dari Hak

Kekayaan Intelektual, Makalah disampaikan pada Penataran dan Lokakarya Hak Kekayaan Intelektual

di Hotel Sahid Raya Bali tanggal 6-9 Agustus 2001.

(1) sebelum tanggal penerimaan

(2) sebelum tanggal prioritas apabila diajukan dengan permohonan dengan hak prioritas.


(16)

1) Mengajukan permohonan ke Ditjen HaKI secara tertulis dalam bahasa Indonesia dengan cara:

2) Mengisi formulir permohonan yang memuat: a. tanggal, bulan, dan tahun surat permohonan;

b. nama, alamat lengkap, dan kewarganegaraan pendesain; c. nama, alamat lengkap, dan kewarganegaraan pemohon;

d. nama dan alamat lengkap kuasa apabila permohonan diajukan melalui kuasa; dan

e. nama negara dan tanggal penerimaan permohonan yang pertama kali dalam hal permohonan diajukan dengan hak prioritas.

3) Permohonan ditandatangani oleh pemohon atau kuasanya, serta dilampiri:

a. contoh fisik atau gambar atau foto serta uraian dari desain industri yang dimohonkan pendaftarannya. (Untuk mempermudah proses pengumuman permohonan, sebaiknya bentuk gambar atau foto tersebut dapat di-scan, atau dalam bentuk disket atau floppy disk dengan program sesuai);

b. surat kuasa khusus, dalam hal Permohonan diajukan melalui kuasa;

c. surat pernyataan bahwa desain industri yang dimohonkan pendaftarannya adalah milik pemohon.

4) Dalam hal permohonan diajukan secara bersama-sama oleh lebih dari satu pemohon, permohonan tersebut ditandatangani oleh salah satu pemohon dengan dilampiri persetujuan tertulis dari para pemohon lain;

5) Dalam hal permohonan diajukan oleh bukan pendesain, permohonan harus disertai pernyataan yang dilengkapi dengan bukti yang cukup bahwa pemohon berhak atas desain industri yang bersangkutan;


(17)

E. Pembatalan pendaftaran desain Industri

Sesuai dengan ketentuan UU No. 31 Tahun 2000 tentang Desain Industri Pasal 38, bahwa Desain Industri terdaftar dapat dibatalkan oleh Direktorat Jenderal atas permintaan tertulis yang diajukan oleh pemegang Hak Desain Industri. Pembatalan Hak Desain Industri tidak dapat dilakukan apabila penerima Lisensi Hak Desain Industri yang tercatat dalam Daftar Umum Desain Industri tidak memberikan persetujuan secara tertulis, yang dilampirkan pada permohonan pembatalan pendaftaran tersebut. Kemudian keputusan pembatalan Hak Desain Industri diberitahukan secara tertulis oleh Direktorat Jenderal kepada:

a. pemegang Hak Desain Industri.

b. pemegang Lisensi jika telah dilisensikan sesuai dengan catatan dalam Daftar Umum Desain Industri.

c. pihak yang mengajukan pembatalan dengan menyebutkan bahwa Hak Desain Industri yang telah diberikan dinyatakan tidak berlaku lagi terhitung sejak tanggal keputusan pembatalan. Keputusan pembatalan pendaftaran nantinya akan dicatatkan dalam Daftar Umum Desain Industri dan diumumkan dalam Berita Resmi Desain Industri.

Dari Pasal 38 dalam Memori Penjelasan dianggap sudah jelas. Tentu setiap orang yang telah diberikan hak dapat meminta pembatalannya dengan menghapuskan pendapaftaran pada direktoral jenderal HAKI.

Hal ini tidak akan dilakukan jika penerima lisensi yang tercatat dalam Daftar Umun Desain Industri ini tidak memberikan persetujuan secara tertulis. Ini untuk melindungi pihak penerima lisensi. Dan persetujuan penghapusan hak desain indusri ini yang juga mempengaruhi hak si penerima lisensi jika dibatalkan.

Selanjutnya Pasal 39 ayat (3) mengatur bahwa pemberitahuan secara tertulis oleh Dirjen HAKI kepada orang-orang yang berkepentingan, yaitu si pemegang hak desain industri, penerima lisensi, pihak yang mengajukan pembatalan. Diberitahukan pula bahwa hak desain indusri yang telah diberikan itu dinyatakan tidak berlaku lagi dan ini terhitung sejak tanggal putusan pembatalan.32

32


(18)

Selanjutnya pembatalan pendaftaran juga dapat dilakukan dengan gugatan sebagaimana diatur dalam Pasal 39 yang berbunyi :

(ayat 1)

Gugatan pembatalan pendaftaran desain industri dapat diajukan oleh pihak yang berkepentingan dengna asalan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2) atau Pasal 4 melalui Pengadilan Niaga.

(ayat 2)

Putusan pengadilan niaga sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) tentang pembatalan pendaftaran hak desain industri segera disampaikan kepada Direktorat Jenderal.


(19)

BAB IV

KAJIAN HUKUM ATAS PUTUSAN MA TERHADAP PEMBATALAN AKTE PERJANJIAN KAITANNYA DENGAN DESAIN INDUSTRI

A. Deksripsi Kasus PT. Antara Kusuma dan PT. Sun Industri

Deskripsi kasus antara PT. Antara Kusuma dan PT. Sun Industri adalah sebagai berikut :

Bahwa telah terjadi sengketa di bidang desain industri antara PT. Sun Industri dengan PT. Antara Kusuma. PT. Sun Industri sebagai Penggugat yang telah menggugat Kasum Susanto sebagai Tergugat I, PT. Antara Kusuma sebagai Tergugat II, Hok Min sebagai Tergugat III dan Poeryanto Poedjiaty, Tergugat IV.

Penggugat dengan surat gugatannya tertanggal 03 Juli 2006 melalui kuasa hukumnya telah mengajukan gugatan dan telah didaftarkan di kepaniteraan pengadilan negeri Medan dengan nomor register 221/Pdt.G/2006/PN.Medan pada tanggal 03 Juli 2006.

Bahwa PT. Sun Industri adalah perusahaan dalam bidang industri dan perdagangan, sebagai mana surat keputusan Kepala Dinas Perindustrian dan Perdagangan Kabupaten Deli Serdang tetnang Izin Usaha Perdagangan No. IZ.536/IM-UIALK/068/V/2005 tanggal 20 Mei 2005 atas nama PT. Industri. Kemudian Kepala Dinas Perindustrian dan Perdagangan Kabupaten Deli Serdang memberi Surat Izin Usaha Perdagangan No. 0007/02.13/PB/IV/2005 tanggal 15 April 2005 atas nama PT. Sun Industri.

Bahwa setelah terbit surat-surat izin tersebut di atas, PT. Sun Industri memproduksi kereta sorong bermerek SUN sebagai barang industri dan perdagangan, namun Tergugat I melalui PT. Antara Kusuma keberatan atas produksi kereta sorong


(20)

merek SUN di atas dengan alasan bahwa Tergugat I adalah pendaftar dan pemilik pertama di Indonesia dari desain industri kereta sorong merek ARTCO yang terdaftar pada Direktorat Desain Industri, Tata Letak, Sirkuit Terpadu dan Rahasia Dagang Direktorat Jenderal Hak Kekayaan Intelektual RI dibawah sertifikat No. ID.O.002.193 atas nama Kasum Susanto.

Atas dasar hal tersebut di atas, antara Tergugat I dan II dan PT. Sun Industri membuat akta perjanjian di hadapan notaris Poeryanto Poedjiaty, SH No. 7 tanggal 19 Agustus 2005. Selanjutnya Tergugat I dan II dengan PT. Sun Industri membuat Akta Perdamaian dihadapan Notaris Poeryanto Poedjiaty, SH No. 8 tanggal 19 Agustus 2005. Berdasarkan Pasal 2 point (1) Akta Perjanjian No. 7, maka PT. Sun Industri harus membuat dan memasang pernyataan meminta maaf dan penyesalan kepada Tergugat I dan PT. Antara Kusuma di Harian Analisa dan Harian Waspada. Kemudian PT. Sun Industri juga wajib memusnahkan seluruh mal, percetakan kereta sorong/besi dan barang-barang jadi kereta sorong yang masih ada sesuai dengan Pasal 2 point 2 D Akta Perjanjian No. 7 tersebut.

Bahwa karean adanya penggantian pengurus PT. Sun Industri, maka pengurus PT. Sun Industri baru megnajukan gugatan terhdap Kasum Sutanso dan PT. Antara Kusuma serta Pemerintah RI cq. Departemen Kehakiman dan HAM RI c.q. Direktur Cipta, desain industri, desain tata letak terpadu dan rahasia dagang tentang pembatalan pendaftaran desain dindustri kereta dorong dengan sertifikat NO. ID.0.002193 atas nama Kasun Susanto melalui Pengadilan Niaga , karena ternyata pendaftaran desain industri atas nama Kasum Susanto tersebut bukanlah desain industri baru, melainkan telah menjadimilik umum (domain publik).

Bahwa pada pengadilan niaga pada pengadilan negeri Medan, mengabulkan gugatan penggugat termasuk menyatakan desain dindustri kereta dorong dengan


(21)

sertifikat NO. ID.0.002193 atas nama Kasun Susanto bukan desain industri baru dan telah menjadi domain public serta membatalkan dan menyatakan tidak sah kereta sorang yang telah terdaftar pada Direktorat Desain Industri, Tata Letak, Sirkuit Terpadu dan Rahasia Dagang Direktorat Jenderal Hak Kekayaan Intelektual RI dibawah sertifikat No. ID.O.002.193 atas nama Kasum Susanto.

Selanjutnya pengadilan niaga pada pengadilan negeri Medan juga menyatakan batal demi huku m :

1. Akta perjanjian No. 7 tanggal 19 Agustus 2005 yang dibuat dihadapan Notaris Peryanto Poedjiati, SH Notaris di Medan.

2. Akta Perdamaian No. 8 tanggal 19 Agustus 2005 yang dibuat dihadapan Notaris Peryanto Poedjiati, SH Notaris di Medan.

3. Berita Acara tanggal 27 Agustus 2005 tentang membuat dan memasng pernyataan maaf dan penyesalan di Harian Analisa dan Waspada.

4. Berita Acara tanggal 27 Agustus 2005 tentang telah dilaksanakan pemusnahan seluruh mal, pencetak kereta sorong dan barang-barang jadi kereta sorong/besi. 5. Berita Acara tanggal 30 Agustus 2005 tentang pencabutan atau pembatalan

permohonan /permintaan atas hak desain industri dan hak merek jenis-jenis barang kereta sorong merek SUN.

Bahwa PT. Antara Kusuma mengajukan banding ke pengadilan tinggi Sumatera Utara, hakim pengadilan tinggi kembali memenangkan PT. Sun Industri.

Bahwa PT. Antara Kusuma mengajukan kasasi ke Mahkamah Agung dan Mahkamah mengabulkan kasasi PT. Antara Kusuma yaitu mengenai keabsahan desain industri kereta sorong merek sun dan menyatakan sah dan berkekuatan hukum akte perjanjian No. 7 dan Akta Perdamaian No. 8 tanggal 19 Agustus 2005, dengan pertimbangan hukum sebagai berikut :


(22)

1. Salah menerapkan Pasal 1320, 1321 dan Pasal 1323 KUHPerdata. 2. menerapkan Pasal 1338 KUHPerdata

3. Salah menerapkan hukum formil terkait dengan pembuktian.

B. Analisis terhadap Akta Notaris tentang Pembatalan

Akta Notaris sebagai suatu akta otentik yang memiliki kekuatan bukti lengkap dan telah mencukupi batas minimal alat bukti yang sah tanpa lagi diperlukan alat bukti lain dalam suatu sengketa hukum perdata, dapat mengalami "degradasi kekuatan bukti" dari kekuatan bukti lengkap menjadi permulaan pembuktian dan dapat memiliki cacat yuridis yang menyebabkan kebatalan atau ketidakabsahan akta tersebut. Notaris wajib memenuhi semua ketentuan dalam UU Jabatan Notaris dan Peraturan Perundang-Undangan lainnya.

Notaris bukan menjadi juru tulis semata-mata, namun Notaris perlu mengkaji apakah yang diinginkan oleh penghadap untuk dinyatakan dalam akta otentik tersebut tidak bertentangan dengan UUJN dan peraturan hukum yang berlaku. Mengetahui dan memahami syarat-syarat otentisitas, keabsahan dan sebab-sebab kebatalan suatu akta Notaris, sangat penting untuk menghindari secara preventif adanya cacat yuridis akta Notaris yang dapat mengakibatkan hilangnya otentisitas dan batalnya akta Notaris tersebut.

Peran Notaris hanyalah media (alat) untuk lahirnya suatu akta otentik dan Notaris bukan pihak dalam akta yang dibuatnya, sehinga hak dan kewajiban hukum yang dilahirkan dari perbuatan hukum yang disebut dalam akta Notaris, hanya mengikat pihak-pihak dalam akta tersebut, dan jika terjadi sengketa mengenai isi perjanjian, maka Notaris tidak terlibat dalam pelaksanaan kewajiban dan dalam


(23)

menuntut suatu hak, karena Notaris berada diluar perbuatan hukum pihak-pihak tersebut. Memahami syarat-syarat keabsahan suatu akta Notaris, kekuatan bukti akta Notaris dan sebab-sebab kebatalan akta Notaris dan model-model kasus batalnya akta Notaris baik menurut Yurisprudensi, Doktrin dan pengalaman-pengalaman empirik dari praktik Notaris sehari-hari, dapat memudahkan setiap Notaris dalam membuat akta-akta Notaris sesuai dengan UUJN dan aturan-aturan hukum lainnya yang berlaku.

Pasal 1868 BW menyatakan bahwa "Akta otentik adalah akta yang di dalam bentuk yang ditentukan oleh undang-undang, dibuat oleh atau dihadapan pejabat umum yang berwenang untuk itu ditempat dimana akta itu dibuat".

Menurut Pasal 1868 BW, agar suatu akta memiliki stempel otentisitas haruslah dipenuhi persyaratan yang ditentukan dalam pasal ini, yaitu :

a. akta itu harus dibuat oleh atau dihadapan seorang Pejabat Umum

b. akta itu harus dibuat dalam bentuk yang ditentukan oleh undang-undang

c. pejabat umum oleh atau dihadapan siapa akta itu dibuat harus memiliki wewenang untuk membuat akta tersebut.

Pasal 1868 BW hanya merumuskan arti kata otentik dan tidak menyebutkan siapa pejabat umum itu, bagaimana bentuk aktanya dan kapan Pejabat Umum itu berwenang. Secara implisit Pasal ini menghendaki adanya suatu UU yang mengatur tentang Pejabat Umum dan bentuk aktanya. UU No. 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris merupakan satu-satunya UU organik yang mengatur Notaris sebagai Pejabat Umum dan Bentuk Akta Notaris. Penjabaran kewenangan Notaris selaku Pejabat Umum dimuat di dalam Pasal 15 ayat (1) UU Jabatan Notaris yang berbunyi bahwa; "Notaris berwenang membuat akta otentik mengenai semua perbuatan, perjanjian, dan ketetapan yang diharuskan oleh peraturan perundang-undangan dan atau yang


(24)

dikehendaki oleh yang berkepentingan untuk dinyatakan dalam akta otentik, menjamin kepastian tanggal pembuatan akta, menyimpan akta, memberikan Grosse, Salinan, dan Kutipan, semuanya itu sepanjang pembuatan akta-akta itu tidak juga ditugaskan atau dikecualikan kepada pejabat lain atau orang lain yang ditetapkan oleh uu".

Notaris memiliki kewajiban menciptakan otentisitas dari akta-akta yang dibuatnya oleh atau dihadapannya dan otentisitas aktanya hanya dapat tercipta jika syarat-syarat formal atau syarat-syarat bentuk (Gebruik in de vorm) yang ditentukan dalam UU Jabatan Notaris terpenuhi dan otentisitas ini tidak ditentukan oleh peraturan perundang-undangan lainnya.

Degradasi kekuatan bukti akta notaris dari otentik menjadi kekuatan bukti dibawah tangan, dan cacat yuridis akta notaris yang mengakibatkan akta notaris dapat dibatalkan atau batal demi hukum atau non existent, terjadi jika ada pelanggaran terhadap ketentuan perundang-undangan yaitu pada Pasal 1869 BW, Pasal 84 UU No. 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris.

Kedua sanksi pada Pasal 1869 BW dan Pasal 84 UU No. 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris tersebut memiliki pengertian dan akibat hukum terhadap aktanya yang berbeda dan bersifat alternatif, dimana untuk membedakan mana pasal-pasal yang terkena sanksi akta hanya mempunyai kekuatan bukti dibawah tangan, dan sanksi akta menjadi batal demi hukum, ada batasan dan kriterianya, yaitu :

a. Sanksi akta memiliki kekuatan bukti dibawah tangan, dicantumkan secara tegas dalam pasal-pasal tersebut dan pelanggaran terhadap bentuk atau syarat formal akta Notaris


(25)

b. Sanksi akta menjadi batal demi hukum, dikenakan terhadap pelanggaran yang tidak berkaitan dengan bentuk atau syarat formal akta notaris dan dalam pasal-pasal tersebut tidak dicantumkan secara tegas sanksi atas pelanggarannya.

Menurut Herlien Budiono sebab-sebab kebatalan mencakup ketidakcakapan, ketidakwenangan bentuk perjanjian yang dilanggar, isi perjanjian bertentangan dengan UU, pelaksanaan perjanjian bertentangan dengan uu, motivasi membuat perjanjian bertentangan dengan uu, perjanjian bertentangan dengan ketertiban umum dan kesusilaan baik, cacat kehendak, dan penyalahgunaan keadaan.

Otentisitas atau batalnya suatu akta notaris dapat menimbulkan akibat yang bervariasi kepada pihak yang ada didalamnya, yaitu :

a. hilangnya otentisitas akta (akta notaris ikut batal), dan tindakan hukum yang tertuang didalamnya ikut batal, hal ini terjadi pada perbuatan hukum yang oleh uu diharuskan dituangkan dalam suatu akta otentik, semisal akta pendirian PT.

b. akta notaris tidak ikut batal, atau perbuatan hukum yang tertuang didalamnya tidak ikut batal. Hal ini terjadi pada perbuatan hukum yang tidak diwajibkan oleh uu untuk dituangkan didalam suatu akta otentik, tetapi pihak-pihak yang menghendaki perbuatan hukum mereka dapat dibuktikan dengan suatu akta otentik, supaya dapat diperoleh suatu pembuktian yang kuat.

c. Akta tetap memiliki otentisitas atau tindakan hukum yang tertuang didalamnya batal. Hal ini terjadi jika syarat-syarat perjanjian tidak dipenuhi atau terjadinya cacat dasar hak yang menjadi obyek perjanjian, semisal jual beli yang dilakukan atas dasar bukti palsu.

Cacatnya Suatu akta Notaris dapat menimbulkan kebatalan bagi suatu akta notaris dan ditinjau dari sanksi atau akibat hukum dari kebatalan dapat dibedakan menjadi; batal demi hukum, dapat dibatalkan, dan non existent.


(26)

Akibat hukum dari suatu batalan pada prinsipnya sama antara batal demi hukum, dapat dibatalkan atau non existent yaitu ketiganya mengakibatkan perbuatan hukum tersebut menjadi tidak berlaku atau perbuatan hukum tersebut tidak memiliki akibat hukumnya. Titik perbedaannya pada waktu berlakunya kebatalan tersebut, yaitu :

a. Batal demi hukum, akibatnya perbuatan hukum yang dilakukan tidak memiliki akibat hukum sejak terjadinya perbuatan hukum tersebut atau berdaya surut (ex tunc), dalam praktik batal demi hukum didasarkan pada putusan pengadilan yang telah memiliki kekuatan hukum tetap;

b. Dapat dibatalkan, akibatnya perbuatan hukum yang dilakukan tidak memiliki akibat hukum sejak terjadinya pembatalan dan dimana pembatalan atau pengesahan perbuatan hukum tersebut tergantung pada pihak tertentu, yang menyebabkan perbuatan hukum tersebut dapat dibatalkan. Akta yang sanksinya dapat dibatalkan, tetap berlaku dan mengikat selama belum ada putusan pengadilan yang telah memiliki kekuatan hukum tetap yang membatalkan akta tersebut;

c. Non Existent, akibatnya perbuatan hukum yang dilakukan tidak ada atau non existent, yang disebabkan karena tidak dipenuhinya essensialia dari suatu perjanjian atau tidak memenuhi salah satu unsur atau semua unsur dalam suatu perbuatan hukum tertentu. Sanksi non existent secara dogmatis tidak diperlukan putusan pengadilan, namun dalam praktik tetap diperlukan putusan pengadilan yang memiliki kekuatan hukum tetap dam implikasinya sama dengan batal demi hukum.

Kebatalan diatur secara tidak lengkap dalam Pasal 1444 - 1456 BW dan dilengkapi dengan Yurisprudensi dan Doktrin sebagai sumber hukum lainnya, dimana kebatalan dapat disebabkan oleh :


(27)

1. Ketidakcakapan bertindak

2. Ketidakwenangan bertindak

3. Cacat kehendak

4. Bentuk perjanjian

5. Bertentangan dengan UU

6. Bertentangan dengan ketertiban umum dan kesusilaan baik

Terkait dengan kasus di atas, maka kekuatan dari suatu perdamaian berdasarkan Pasal 1858 KUHPerdata adalah sama dengan putusan hakim yang mempunyai kekuatan hukum tetap dan selanjutnya dalam Pasal 1858, ayat (2) KUHPerdata, secara tegas diatur bahwa perdamaian tidak dapat dibantah dengan alasan kekhilafan mengenai hukumanya atau diantah dengan alasan bahwa satu pihak yang dirugikan.

Bahwa Akta perjanjian No. 7 dan akta perdamaian No. 8 yang dilaksanakan dengan berita acara tanggal 27 Agustus 2005 telah dibuat di hadapan Notaris telah memenuhi ketetentuan Pasal 1851 ayat (2) jo Pasal 1868 KUHPerdata Jo Pasal 165/286 Rbg yaitu : “suatu akta autentik adalah yang dibuat dalam bentuk yang ditentukan oleh undang-undang oleh atau di hadapan pejabat umum yang berwenang untuk itu di tempat akte itu dibuat”.

Oleh karena itu akta perjanjian No. 7 dan akta perdamaian No. 8 tersebut telah dibuat sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku, maka perjanjian dan perdamaian tersebut adalah sah dan tidak dapat ditarik kembali selain dengan keseapakan kedua belah pihak atau karean alasan-alasan yang oleh undang-undang dinyatakan cukup untuk itu.


(28)

C. Analisis terhadap Putusan Mahkamah Agung tentang Izin Usaha Perdagangan No. IZ. 536/IM-UIALK/068/V/3005 tanggal 20 Mei 2005 atas Nama PT. Sun Industri

Putusan Mahkamah Agung tentang tentang Izin Usaha Perdagangan No. IZ. 536/IM-UIALK/068/V/3005 tanggal 20 Mei 2005 atas Nama PT. Sun Industri memuat dua hal, yaitu :

1. Menyatakan tidak sah mengenai pembatalan tentang Izin Usaha Perdagangan No. IZ. 536/IM-UIALK/068/V/3005 tanggal 20 Mei 2005 atas Nama PT. Sun Industri 2. Menyatakan sah dan berkekuatan hukum akta perjanjian dan perdamaian tanggal

19 Agustus 2005 dengan pertimbangan :

Terkait dengan kasus di atas, maka kekuatan dari suatu perdamaian berdasarkan Pasal 1858 KUHPerdata adalah sama dengan putusan hakim yang mempunyai kekuatan hukum tetap dan selanjutnya dalam Pasal 1858, ayat (2) KUHPerdata, secara tegas diatur bahwa perdamaian tidak dapat dibantah dengan alasan kekhilafan mengenai hukumanya atau diantah dengan alasan bahwa satu pihak yang dirugikan.

Bahwa Akta perjanjian No. 7 dan akta perdamaian No. 8 yang dilaksanakan dengan berita acara tanggal 27 Agustus 2005 telah dibuat di hadapan Notaris telah memenuhi ketetentuan Pasal 1851 ayat (2) jo Pasal 1868 KUHPerdata Jo Pasal 165/286 Rbg yaitu : “suatu akta autentik adalah yang dibuat dalam bentuk yang ditentukan oleh undang-undang oleh atau di hadapan pejabat umum yang berwenang untuk itu di tempat akte itu dibuat”.

Oleh karena itu akta perjanjian No. 7 dan akta perdamaian No. 8 tersebut telah dibuat sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku, maka perjanjian dan perdamaian tersebut adalah sah dan tidak dapat ditarik kembali selain dengan keseapakan kedua


(29)

belah pihak atau karean alasan-alasan yang oleh undang-undang dinyatakan cukup untuk itu.

4. Sikap hakim dalam perkara desain industri

Pelanggaran atau sengketa dibidang desain industri dapat terjadi dan diselesaikan secara pidana dan/atau perdata. Dalam hal pemegang desain industri telah mendaftarkan desain industri dan memperoleh Sertifikat Desain Industri, dan jika haknya dilanggar oleh pihak lain maka ia dapat menentukan penyelesaian pelanggaran haknya apakah akan dilakukan secara pidana atau perdata. Jika penyelesaian pelanggaran itu dilakukan secara pidana maka pemilik hak desain industri harus mengadukannya kepada polisi sebagai penyidik pada kepolisian daerah (Polda) jika pelanggaran itu berskala kecil dan terjadi di wilayah tersebut, atau mengadu pada markas besar kepolisian Republik Indonesia (Mabes Polri) jika pelanggaran desain industri berskala besar dan terjadi di beberapa wilayah Polda, atau bisa juga mengadu pada Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS) di Ditjen HaKI (vide Pasal 53 UUDI). Penyidik sebagaimana diatur dalam pasal 53 ayat (2) UUDI berwenang:

a. melakukan pemeriksaan atas kebenaran laporan atau keterangan berkenaan dengan tindak pidana di bidang Desain Industri;

b. melakukan pemeriksaan terhadap pihak yang melakukan tindak pidana di bidang HaKI di atas;

c. meminta keterangan dan bahan bukti dari pihak sehubungan dengan peristiwa tindak pidana di atas;

d. melakukan pemeriksaan atas pembukuan, pencatataan dan dokumen lain yang berkenaan dengan tindak pidana di atas;


(30)

e. melakukan pemeriksaan di tempat tertentu yang diduga terdapat barang bukti pembukuan, pencatatan dan dokumen lain;

f. melakukan penyitaan terhadap bahan dan barang hasil pelanggaran yang dapat dijadikan bukti dalam perkara tindak pidana di atas;

g. meminta bantuan ahli dalam rangka pelaksanaan tugas penyidikan tindak pidana di atas.

Disayangkan proses penyelesaian pelanggaran yang diadukan kepada lembaga di atas tidak ditentukan jangka waktu penyelesaiannya. Dari pengalaman dan informasi para pihak pemegang desain industri yang telah menjadi korban pelanggaran itu, proses pengaduan perkara di Kepolisian atau PPNS hingga berkas perkara itu disampaikan ke pengadilan negeri berlangsung lebih dari 6 (enam) bulan. Dan pihak terdakwa yang tidak puas terhadap putusan pengadilan negeri dapat mengajukan banding ke pengadilan tinggi, dan mengajukan kasasi ke Mahkamah Agung jika tidak puas pula terhadap putusan pengadilan negeri atau pengadilan tinggi. Jelas, proses penyelesaian secara pidana tidak memberikan kepastian waktu dan biaya. Seloroh yang menyatakan bahwa jika mengadukan ke polisi akan menimbulkan kerugian "seharga sapi" walau yang dilaporkan hanya kehilangan "seekor ayam" merupakan hal yang sulit dihindarkan.


(31)

BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN A. Kesimpulan

Kesimpulan yang dapat dikemukakan dalam skripsi ini, adalah sebagai berikut :

1. Perbuatan Melawan Hukum dalam Transaksi Jual Beli Melalui Internet (E-Commerce) adalah dapat terjadi dalam transaksi jual beli secara elektronik, asalkan memenuhi unsur-unsur, yaitu ada perbuatan melawan hukumnya, ada kesalahannya, ada kerugiannya, dan ada hubungan timbal balik antara unsur 1, 2 dan 3. Suatu perbuatan melawan hukum tersebut diatas. Apabila unsur-unsur diatas tidak terpenuhi seluruhnya, maka suatu perbuatan tidak dapat dikatakan sebagai perbuatan melawan hukum sebagaimana telah diatur dalam Pasal 1365 KUH Perdata. Perbuatan melawan hukum dianggap terjadi dengan melihat adanya perbuatan dari pelaku yang diperkirakan memang melanggar undang-undang, bertentangan dengan hak orang lain, beretentangan dengan kewajiban hukum pelaku, bertentangan dengan kesusilaan dan ketertiban umum, atau bertentangan dengan kepatutan dalam masyarakat baik terhadap diri sendiri maupun orang lain, namun demikian suatu perbuatan yang dianggap sebagai perbuatan melawan hukum ini tetap harus dapat dipertanggungjawabkan apakah mengandung unsur kesalahan atau tidak.

2. Penegakan hukum (enforcement) E-Commerce dalam transaksi Bisnis Internasional Berdasarkan UU No. 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik adalah : memang tidak menjelaskan sanksi yang diberikan seandainya pelaku usaha melakukan pelanggaran dengan memberikan informasi yang tidak benar atas barangnya. Akan tetapi bukan berarti pelaku usaha tersebut


(32)

tidak dapat dikenai sanksi dan lolos dari jeratan hukum apabila ternyata pembeli tersebut telah membeli barang dari pelaku usaha dan tidak sesuai dengan informasi yang diberikan pelaku usaha yang notabene-nya telah terjadi perjanjian jual beli diantara keduanya. Peraturan perundang-undangan hukum acara yang sudah lama berlaku masih dapat memidana pelaku usaha tersebut. Di dalam hukum acara pidana, pelaku usaha yang melakukan hal tersebut masih dapat dipidana dengan Pasal 378 KUHP mengenai penipuan. Demikian pula apabila seandainya pembeli yang mendapatkan informasi yang tidak benar masih dapat melakukan upaya hukum secara Perdata melalui gugatan perbuatan melawan berdasarkan Pasal 1365 Kitab Undang-undang Hukum Perdata, yang mengakibatkan pembatalan perjanjian yang telah terjadi. Akan tetapi hal itu dapat terjadi apabila ternyata di dalam Kontrak Elektronik tidak dimuat mengenai kewenangan pengadilan, lembaga penyelesaian sengketa apabila terjadi sengketa mengenai masalah tersebut. Hal yang perlu diingat bahwa di dalam undang-undang ini diberikan pilihan untuk memilih hukum yang berlaku bagi Transaksi Elektronik Internasional. Jika para pihak tidak memilih hukum yang berlaku maka hukum yang berlaku adalah hukum perdata internasional.

3. Penyelesaian Hukum terhadap Perbuatan Melawan Hukum dalam Perjanjian Jual Beli melalui internet (E-Commerce) dapat diterapkan ketentuan yang ada dan berlaku sesuai dengan hukum yang dipilih untuk digunakan, mengingat transaksi jual beli melalui internet ini tidak ada batas ruang, sehingga dimungkinkan orang Indonesia bermasalah dengan warga negara asing. Pilihan hukum yang dimaksud tersebut di atas juga ditentukan oleh isi perjanjian awal pada saat terjadi transaksi jual beli secara elektronik. Di Indonesia, ketentuan hukum yang dapat diterapkan atas perbuatan melawan hukum yang terjadi dalam transaksi jual beli secara


(33)

elektronik adalah ketentuan hukum yang termuat dalam KUH Perdata, antara lain Pasal 1365 KUH Perdata. Penerapan ketentuan pasal 1365 termaksud dilakukan dengan cara melakukan penafsiran hukum ekstensif yaitu memperluas arti kata perbuatan melawan hukum itu sendiri, tidak hanya yang terjadi dalam dunia nyata, tetapi juga dimungkinkan perbuatan melawan hukum yang terjadi di dunia maya, dalam hal ini pada transaksi jual beli secara elektronik. Selain itu, dapat pula diterapkan Pasal 1365 KUH Perdata dengan melakukan konstruksi hukum analogi yakni dengan cara membandingkan antara perbuatan melawan hukum yang dilakukan di dunia nyata dengan dunia maya, sehingga pada akhirnya unsur-unsur perbuatan melawan hukum sebagaimana disyaratkan tetap dapat terpenuhi. Walaupun pada prakteknya muncul kesulitan-kesulitan dalam penerapannya, namun tetap diharapkan perbuatan melawan hukum yang terjadi harus tetap mendapat sanksi secara hukum sehingga tidak ada kekosongan hukum.

B. Saran

Saran-saran yang dapat dikemukakan dalam penulisan skripsi ini, adalah : 1. Transaksi elektronik mungkin akan mengurangi beban waktu dan biaya, namun

bukan berarti mengurangi resiko keamanan dan kerugian yang sangat besar apabila tidak ada kepastian hukum yang mengatur mengenai transaksi secara on-line tersebut. Oleh sebab itu Pemerintah merumuskan aturan yang lebih tegas dan jelas mengenai transaksi bisnis melalui internet ini agar lebih mampu memberikan perlindungan dan jaminan kepastian hukum.

2. Baik penjual maupun pembeli harus benar-benar mengikuti prosedur operasi yang berlaku sebelum melakukan transaksi bisnis melalui intenet, hal ini untuk meminimalisir berbagai hal seperti penipuan, kecurangan maupun perbuatan melawan hukum lainnya.


(34)

BAB II

HUKUM PERJANJIAN

A. Pengertian Perjanjian

Dalam Burgerlijk Wetboek (BW) yang kemudian diterjemahkan oleh. R. Subekti, SH dan R. Tjitrosudibio menjadi Kitab Undang-Undang Hukum Perdata bahwa mengenai hukum perjanjian diatur dalam Buku III tentang Perikatan, dimana hal tersebut mengatur dan memuat tentang hukum kekayaan yang mengenai hak-hak dan kewajiban yang berlaku terhadap orang-orang atau pihak-pihak tertentu. Sedangkan menurut teori ilmu hukum, hukum perjanjian digolongkan kedalam Hukum tentang Diri Seseorang dan Hukum Kekayaan karena hal ini merupakan perpaduan antara kecakapan seseorang untuk bertindak serta berhubungan dengan hal-hal yang diatur dalam suatu perjanjian yang dapat berupa sesuatu yang dinilai dengan uang. 13

Dengan dipenuhinya empat syarat sahnya perjanjian tersebut, maka suatu perjanjian menjadi sah dan mengikat secara hukum bagi para pihak yang membuatnya.

Keberadaan suatu perjanjian atau yang saat ini lazim dikenal sebagai kontrak, tidak terlepas dari terpenuhinya syarat-syarat mengenai sahnya suatu perjanjian seperti yang tercantum dalam Pasal 1320 KUHPerdata, antara lain sebagai berikut : 1. Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya

2. Kecakapan untuk membuat suatu perikatan 3. Suatu hal tertentu

4. Suatu sebab yang halal.

13


(35)

Istilah hukum perjanjian merupakan terjemahan dari bahasa Inggris yaitu contract law, sedangkan dalam bahasa Belanda disebut dengan istilah overeenscomsrecht.14 Suatu perjanjian adalah suatu peristiwa dimana seseorang berjanji kepada seorang lain atau dimana dua orang itu saling berjanji untuk melaksanakan sesuatu hal.15

Perikatan adalah suatu perhubungan hukum anatara dua orang atau dua pihak, berdasarkan yang mana pihak yang satu berhak menunutut sesuatu hal dari pihak yang lain, dan pihak yang lain berkewajiban untuk memenuhi tuntutan itu. Maka hubungan hukum antara perikatan dan perjanjian adalah bahwa perjanjian itu menerbitkan perikatan. Perjanjian adalah sumber perikatan. Hubungan hukum adalah hubungan yang menimbulkan akibat hukum. Akibat hukum disebabkan karena timbulnya hak dan kewajiban, dimana hak merupakan suatu kenikmatan, sedangkan kewajiban merupakan beban. Adapun unsur-unsur yang tercantum dalam hukum perjanjian dapat dikemukakan sebagai berikut:

Dari peristiwa ini, timbullah suatu hubungan anatara dua orang tersebut yang dinamakan perikatan. Dengan demikian perjanjian itu menerbitkan suatu perikatan antara dua orang yang membuatnya. Dalam bentuknya, perjanjian itu berupa suatu rangkaian perkataan yang mengandung janji-janji atau kesanggupan yang diucapkan atau ditulis.

16

Kaidah dalam hukum perjanjian dapat terbagi menjadi dua macam, yakni tertulis dan tidak tertulis. Kaidah hukum perjanjian tertulis adalah kaidah-kaidah hukum yang terdapat di dalam peraturan perundang-undangan, traktat, dan yurisprudensi. Sedangkan kaidah hukum perjanjian tidak tertulis adalah kaidah-kaidah hukum 1. Adanya kaidah hukum

14

Salim H.S, Hukum Kontrak: Teori & Teknik Penyusunan Kontrak, Cet. II, Sinar Grafika, Jakarta, 2004, hal. 3,

15


(36)

yang timbul, tumbuh, dan hidup dalam masyarakat, seperti: jual beli lepas, jual beli tahunan, dan lain sebagainya. Konsep-konsep hukum ini berasal dari hukum adat.

2. Subyek hukum

Istilah lain dari subjek hukum adalah rechtperson. Rechtperson diartikan sebagai pendukung hak dan kewajiban. Dalam hal ini yang menjadi subjek hukum dalam hukum kontrak adalah kreditur dan debitur. Kreditur adalah orang yang berpiutang, sedangkan debitur adalah orang yang berutang.

3. Adanya Prestasi

Prestasi adalah apa yang menjadi hak kreditur dan kewajiban debitur. Suatu prestasi umumnya terdiri dari beberapa hal sebagai berikut:

a. memberikan sesuatu; b. berbuat sesuatu; c. tidak berbuat sesuatu. 4. Kata sepakat

Di dalam Pasal 1320 KUHPer ditentukan empat syarat sahnya perjanjian seperti dimaksud diatas, dimana salah satunya adalah kata sepakat (konsensus). Kesepakatan ialah persesuaian pernyataan kehendak antara para pihak..

5. Akibat hukum

Setiap Perjanjian yang dibuat oleh para pihak akan menimbulkan akibat hukum. Akibat hukum adalah timbulnya hak dan kewajiban.


(37)

B. Unsur Perjanjian

Unsur-unsur perjanjian, antara lain :

1. Unsur esensialia, unsur yang mutlak ada dalam suatu perjanjian (karena ditetapkan melalui UU yang bersifat memaksa). Contoh: “Sebab yang halal”

2. Unsur naturalia, unsur yang tidak mutlak ada (ditetapkan dalam UU yang bersifat mengatur; boleh disimpangi atas kesepakatan para pihak). Contoh: Menyimpang dari Pasal 1491 KUHPerdata, biaya pengiriman ditanggung oleh pembeli (bukan penjual).

3. Unsur aksidentalia, unsur yang tidak ditetapkan oleh UU; boleh ditambahkan atas kesepakatan para pihak. Contoh: Jual beli rumah mencakup AC yang sudah terpasang.

Ketentuan yang sangat penting dalam hubungan dengan perjanjian menurut KUHPerdata, anatara lain adalah Pasal 1320 dan Pasal 1338 ayat (1) KUHPerdata. Pentingnya Pasal 1320 KUHPerdata disebabkan dalam pasal tersebut diatur mengenai syarat sahnya suatu perjanjian, yaitu:

1. adanya kata sepakat; 2. adanya kecakapan;

3. terdapat objek tertentu; dan 4. terdapat klausa yang halal.

Pasal 1338 ayat (1) KUHPerdata yang merupakan tiangnya hukum perdata berkaitan dengan penjabaran dari asas kebebasan berkontrak, yaitu:

1. bebas membuat jenis perjanjian apa pun; 2. bebas mengatur isinya;


(38)

Kesemuanya dengan persyaratan tidak boleh bertentangan dengan Undang-Undang, kesusilaan, dan ketertiban umum. Timbul pertanyaan apakah perjanjian baku memenuhi asas konsensualisme dan asas kebebasan berkontrak seperti yang tertuang dalam Pasal 1320 dan 1338 ayat (1) KUHPerdata.

C. Persyaratan Membuat Perjanjian

Agar suatu perjanjian oleh hukum dianggap sah sehingga mengikat kedua belah pihak, maka perjanjian tersebut haruslah memenuhi syarat-syarat tertentu. Syarat-syarat sahnya perjanjian tersebut dapat digolongkan sebagai berikut :

a. Syarat sah yang umum, yang terdiri dari : 1). Syarat sah yang umum, yang terdiri dari :

a). Kesepakatan mereka yang mengikatkan dirinya. b). Kecakapan untuk membuat suatu perikatan. c). Suatu hal tertentu.

d). Suatu sebab yang halal.

Keempat syarat tersebut selanjutnya dalam doktrin ilmu hukum yang berkembang digolongkan ke dalam :

(1) dua unsur pokok yang menyangkut subjek yang mengadakan perjanjian (unsur subjektif).

(2) dua unsur lainnya yang berhubungan langsung dengan objek perjanjian (unsur objektif).

Unsur subjektif mencakup adanya kesepakatan secara bebas dari para pihak yang berjanji dan kecakapan dari para pihak yang melaksanakan perjanjian. Sedangkan unsur objektif meliputi keberadaan dari pokok persoalan yang merupakan objek yang diperjanjikan dan causa dari objek yang berupa prestasi


(39)

yang disepakati untuk dilaksanakan tersebut haruslah sesuatu yang tidak dilarang atau diperkenankan menurut hukum.

2). Syarat sah umum di luar Pasal 1338 dan 1339 KUHPerdata, yang terdiri dari : a). Syarat itikad baik.

b). Syarat sesuai dengan kebiasaan. c). Syarat sesuai dengan kepatutan.

d). Syarat sesuai dengan kepentingan umum. b. Syarat sah yang khusus, yang terdiri dari :

1). Syarat tertulis untuk perjanjian-perjanjian tertentu. 2). Syarat akta notaries untuk perjanjian-perjanjian tertentu.

3). Syarat akta pejabat tertentu yang bukan notaries untuk perjanjian-perjanjian tertentu.

4). Syarat izin dari yang berwenang.

Merupakan konsekuensi hukum dari tidak terpenuhinya salah satu atau lebih dari syarat-syarat sahnya perjanjian tersebut bervariasi mengikuti syarat mana yang dilanggar. Konsekuensi hukum tersebut adalah sebagai berikut :

a). Batal demi hukum (nietig, null and void)

Dilanggarnya syarat objektif dalam Pasal 1320 KUHPerdata Syarat objektif tersebut adalah suatu hal tertentu dan tentu sebab yang halal.

b). Dapat dibatalkan (vernietigbaar, voidable)

Dilanggarnya syarat subjektif dalam Pasal 1320 KUHPerdata. Syarat subjektif tersebut adalah kesepakatan mereka yang mengikatkan dirinya dan kecakapan untuk membuat suatu perikatan.


(40)

Perjanjian yang tidak dapat dilaksanakan adalah perjanjian yang tidak begitu saja batal tetapi tidak dapat dilaksanakan, melainkan masih mempunyai status hukum tertentu. Bedanya dengan perjanjian yang batal demi hukum adalah bahwa perjanjian yang tidak dapat dilaksanakan masih mungkin dikonversi menjadi perjanjian yang sah. Sedangkan bedanya dengan perjanjian yang dapat dibatalkan (voidable) adalah bahwa dalam perjanjian yang dapat dibatalkan, perjanjian tersebut sudah sah, mengikat dan dapat dilaksanakan sampai dengan dibatalkan kontrak tersebut, sementara perjanjian yang tidak dilaksanakan belum mempunyai kekuatan hukum sebelum dikonversi menjadi perjanjian yang sah. Contoh perjanjian yang tidak dapat dilaksanakan adalah perjanjian yang seharusnya dibuat secara tertulis, tetapi dibuat secara lisan, tetapi kemudian perjanjian tersebut ditulis oleh para pihak.

Suatu perjanjian merupakan suatu peristiwa, dimana para pihak saling berjanji untuk melakukan atau melaksanakan sesuatu hal. Hal yang akan dilaksanakan itu disebut prestasi. Inti dari suatu perjanjian adalah bahwa para pihak harus melaksanakan apa yang telah disetujui atau dijanjikan dengan tepat dan sesempurna mungkin. Tindakan yang bertentangan yang dibuat oleh salah satu pihak mengakibatkan pihak yang lain berhak meminta ganti rugi.

Sedangkan yang dimaksud dengan pelaksanaan disini adalah realisasi atau pemenuhan hak dan kewajiban yang telah diperjanjikan oleh pihak-pihak supaya perjanjian itu mencapai tujuan. Tujuan tidak akan tercapai tanpa adanya pelaksanaan perjanjian, dimana para pihak harus melaksanakan perjanjian dengan sempurna dan tepat seperti yang telah disepakati bersama.


(41)

Abdulkadir Muhammad, menyatakan bahwa : “ jika salah satu pihak telah melanggar kewajibannya itu bukanlah kesalahannya. Ia telah berjanjian untuk melaksanakan perjanjiannya, dan ia akan bertanggung jawab jika tidak melaksanakannya. Hanya jika ada sebab dari luar yang membuat pelaksanaan itu secara fisik, hukum dan perdagangan tidak mungkin dilakukan, sehingga kepadanya dapat dimaafkan karena tidak melaksanakan perjanjian itu. Kenyataan bahwa ia telah melakukan pemeliharaan secara layak, tidak dapat dijadikan alasan baginya untuk membela diri”.17

Sebenarnya suatu perjanjian akan menjadi persoalan manakala salah satu pihak melanggar/tidak mematuhi isi dari perjanjian yang telah mereka perbuat. Tentu dilihat alasan tidak dilaksanakannya isi perjanjian, apakah karena keadaan memaksa (overmacht) atau tidak. Bila ini terjadi karena keadaan memaksa harus juga dilihat Apa yang dikemukakan Abdulkadir Muhammad menunjukkan bahwa perjanjian antara pihak-pihak merupakan suatu hal yang tidak main-main atau dengan perkataan lain bahwa hak masing-masing pihak tetapi dijamin oleh undang-undang. Melihat macam-macam hal yang dijanjikan untuk dilaksanakan, maka perjanjian dibagi 3 (tiga), yaitu :

a. Perjanjian untuk memberikan/menyerahkan suatu barang. Contoh : jual beli, hibah, sewa-menyewa.

b. Perjanjian untuk berbuat sesuatu. Contoh : perjanjian perburuhan. c. Perjanjian untuk tidak berbuat sesuatu.


(42)

apakah keadaan itu memang betul-betul tidak dapat dielakkan atau bisa dilaksanakan namun dengan pengorbanan yang besar.

Untuk melaksanakan suatu perjanjian, lebih dahulu harus ditetapkan secara tegas dan cermat apa isinya, dengan perkataan lain apakah hak dan kewajiban masing-masing pihak. Menurut Pasal 1339 KUHPerdata, bahwa : “persetujuan tidak hanya mengikat untuk hal-hal yang dengan tegas dinyatakan di dalamnya, tetapi juga untuk segala sesuatu yang menurut sifat persetujuan, diharuskan oleh keputusan, kebiasaan atau undang-undang”. Dengan demikian, maka setiap perjanjian dilengkapi dengan aturan yang terdapat di dalam undang-undang, adat kebiasaan, sedangkan kewajiban-kewajiban yang diharuskan oleh kepatutan harus juga diindahkan. Jadi adat istiadat (kebiasaan) juga sebagai sumber norma di samping undang-undang untuk ikut menentukan hak-hak dan kewajiban-kewajiban dari kedua belah pihak dalam suatu persetujuan, tetapi kebiasaan ini tidak boleh menyimpang dari undang-undang.

D. Sistem dan Asas Perjanjian

Dalam Pasal 1338 KUHPerdata disebutkan bahwa semua persetujuan yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya. Persetujuan-persetujuan itu tidak dapat ditarik kembali selama dengan sepakat kedua belah pihak atau karena alasan-alasan yang oleh undang-undang dinyatakan cukup untuk itu.

Berdasarkan teori, di dalam suatu hukum kontrak terdapat 5 (lima) asas yang dikenal menurut ilmu hukum perdata. Kelima asas itu antara lain adalah: asas kebebasan berkontrak (freedom of contract), asas konsensualisme (concsensualism), asas kepastian hukum (pacta sunt servanda), asas itikad baik (good faith) dan asas


(43)

kepribadian (personality). Berikut ini adalah penjelasan mengenai asas-asas dimaksud.

1. Asas Kebebasan Berkontrak (freedom of contract)

Asas kebebasan berkontrak dapat dianalisis dari ketentuan Pasal 1338 ayat (1) KUHPer, yang berbunyi: “Semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya.”

Asas ini merupakan suatu asas yang memberikan kebebasan kepada para pihak untuk :

a. membuat atau tidak membuat perjanjian; b. mengadakan perjanjian dengan siapa pun;

c. menentukan isis perjanjian, pelaksanaan, dan persyaratannya, serta d. menentukan bentuk perjanjiannya apakah tertulis atau lisan.

Latar belakang lahirnya asas kebebasan berkontrak adalah adanya paham individualisme yang secara embrional lahir dalam zaman Yunani, yang diteruskan oleh kaum Epicuristen dan berkembang pesat dalam zaman renaissance melalui antara lain ajaran-ajaran Hugo de Grecht, Thomas Hobbes, John Locke dan J.J. Rosseau.18 Menurut paham individualisme, setiap orang bebas untuk memperoleh apa saja yang dikehendakinya. Dalam hukum kontrak asas ini diwujudkan dalam “kebebasan berkontrak”. Teori leisbet fair in menganggap bahwa the invisible hand akan menjamin kelangsungan jalannya persaingan bebas. Karena pemerintah sama sekali tidak boleh mengadakan intervensi didalam kehidupan sosial ekonomi masyarakat. Paham individualisme memberikan peluang yang luas kepada golongan kuat ekonomi untuk menguasai golongan lemah ekonomi. Pihak yang kuat


(44)

menentukan kedudukan pihak yang lemah. Pihak yang lemah berada dalam cengkeraman pihak yang kuat sperti yang diungkap dalam exploitation de homme par l’homme.

Pada akhir abad ke-19, akibat desakan paham etis dan sosialis, paham individualisme mulai pudar, terlebih-lebih sejak berakhirnya Perang Dunia II. Paham ini kemudian tidak mencerminkan keadilan. Masyarakat menginginkan pihak yang lemah lebih banyak mendapat perlindungan. Oleh karena itu, kehendak bebas tidak lagi diberi arti mutlak, akan tetapi diberi arti relatif dikaitkan selalu dengan kepentingan umum. Pengaturan substansi kontrak tidak semata-mata dibiarkan kepada para pihak namun perlu juga diawasi. Pemerintah sebagai pengemban kepentingan umum menjaga keseimbangan kepentingan individu dan kepentingan masyarakat. Melalui penerobosan hukum kontrak oleh pemerintah maka terjadi pergeseran hukum kontrak ke bidang hukum publik. Oleh karena itu, melalui intervensi pemerintah inilah terjadi pemasyarakatan (vermastchappelijking) hukum kontrak/perjanjian.

2. Asas Konsensualisme (concensualism)

Asas konsensualisme dapat disimpulkan dalam Pasal 1320 ayat (1) KUHPer. Pada pasal tersebut ditentukan bahwa salah satu syarat sahnya perjanjian adalah adanya kata kesepakatan antara kedua belah pihak. Asas ini merupakan asas yang menyatakan bahwa perjanjian pada umumnya tidak diadakan secara formal, melainkan cukup dengan adanya kesepakatan kedua belah pihak. Kesepakatan adalah persesuaian antara kehendak dan pernyataan yang dibuat oleh kedua belah pihak.Asas konsensualisme muncul diilhami dari hukum Romawi dan hukum Jerman. Didalam hukum Jerman tidak dikenal istilah asas konsensualisme, tetapi lebih dikenal dengan sebutan perjanjian riil dan perjanjian formal.


(45)

Perjanjian riil adalah suatu perjanjian yang dibuat dan dilaksanakan secara nyata (dalam hukum adat disebut secara kontan). Sedangkan perjanjian formal adalah suatu perjanjian yang telah ditentukan bentuknya, yaitu tertulis (baik berupa akta otentik maupun akta bawah tangan). Dalam hukum Romawi dikenal istilah contractus verbis literis dan contractus innominat. Yang artinya bahwa terjadinya perjanjian apabila memenuhi bentuk yang telah ditetapkan. Asas konsensualisme yang dikenal dalam KUHPer adalah berkaitan dengan bentuk perjanjian.

3. Asas Kepastian Hukum (pacta sunt servanda)

Asas kepastian hukum atau disebut juga dengan asas pacta sunt servanda merupakan asas yang berhubungan dengan akibat perjanjian. Asas pacta sunt servanda merupakan asas bahwa hakim atau pihak ketiga harus menghormati substansi kontrak yang dibuat oleh para pihak, sebagaimana layaknya sebuah undang-undang. Mereka tidak boleh melakukan intervensi terhadap substansi kontrak yang dibuat oleh para pihak. Asas pacta sunt servanda dapat disimpulkan dalam Pasal 1338 ayat (1) KUHPerdata. Asas ini pada mulanya dikenal dalam hukum gereja. Dalam hukum gereja itu disebutkan bahwa terjadinya suatu perjanjian bila ada kesepakatan antar pihak yang melakukannya dan dikuatkan dengan sumpah. Hal ini mengandung makna bahwa setiap perjanjian yang diadakan oleh kedua pihak merupakan perbuatan yang sakral dan dikaitkan dengan unsur keagamaan. Namun, dalam perkembangan selanjutnya asas pacta sunt servanda diberi arti sebagao pactum, yang berarti sepakat yang tidak perlu dikuatkan dengan sumpah dan tindakan formalitas lainnya. Sedangkan istilah nudus pactum sudah cukup dengan kata sepakat saja.


(46)

4. Asas Itikad Baik (good faith)

Asas itikad baik tercantum dalam Pasal 1338 ayat (3) KUHPer yang berbunyi: “Perjanjian harus dilaksanakan dengan itikad baik.” Asas ini merupakan asas bahwa para pihak, yaitu pihak kreditur dan debitur harus melaksanakan substansi kontrak berdasarkan kepercayaan atau keyakinan yang teguh maupun kemauan baik dari para pihak. Asas itikad baik terbagi menjadi dua macam, yakni itikad baik nisbi dan itikad baik mutlak. Pada itikad yang pertama, seseorang memperhatikan sikap dan tingkah laku yang nyata dari subjek. Pada itikad yang kedua, penilaian terletak pada akal sehat dan keadilan serta dibuat ukuran yang obyektif untuk menilai keadaan (penilaian tidak memihak) menurut norma-norma yang objektif.Berbagai putusan Hoge Raad (HR) yang erat kaitannya dengan penerapan asas itikad baik dapat diperhatikan dalam kasus-kasus posisi berikut ini. Kasus yang paling menonjol adalah kasus Sarong Arrest dan Mark Arrest. Kedua arrest ini berkaitan dengan turunnya nilai uang (devaluasi) Jerman setelah Perang Dunia I.19

Pembelaan yang penjual ajukan atas dasar Pasal 1338 ayat (3) KUHPerdata dikesampingkan oleh HR dalam arrest tersebut. Menurut putusan HR tidak mungkin Kasus Sarong Arrest: Pada tahun 1918 suatu firma Belanda memesan pada pengusaha Jerman sejumlah sarong dengan harga sebesar 100.000 gulden. Karena keadaan memaksa sementara, penjual dalam waktu tertentu tidak dapat menyerahkan pesanan. Setelah keadaan memaksa berakhir, pembeli menuntut pemenuhan prestasi. Tetapi sejak diadakan perjanjian keadaan sudah banyak berubah dan penjual bersedia memenuhi pesanan tetapi dengan harga yang lebih tinggi, sebab apabila harga tetap sama maka penjual akan menderita kerugian, yang berdasarkan itikad baik antara para pihak tidak dapat dituntut darinya.


(47)

satu pihak dari suatu perikatan atas dasar perubahan keadaan bagaimanapun sifatnya, berhak berpatokan pada itikad baik untuk mengingkari janjinya yang secara jelas dinyatakan HR masih memberi harapan tentang hal ini denga memformulasikan: mengubah inti perjanjian atau mengesampingkan secara keseluruhan. Dapatkah diharapkan suatu putusan yang lebih ringan, jika hal itu bukan merupakan perubahan inti atau mengesampingkan secara keseluruhan.

Putusan HR ini selalu berpatokan pada saat dibuatnya oleh para pihak Apabila pihak pemesan sarong sebanyak yang dipesan maka penjual harus melaksanakan isi perjanjian tersebut, karena didasarkan bahwa perjanjian harus dilaksanakan dengan itikad baik.

Kasus Mark Arrest: Sebelum Perang Dunia I, seorang warganegara Jerman memberi sejumlah pinjaman uang kepada seorang warganegara Belanda pada tahun 1924. dari jumlah tersebut masih ada sisa pinjaman tetapi karena sebagai akibat peperangan nilai Mark sangat menurun, maka dengan jumlah sisa tersebut hampir tidak cukup untuk membeli prangko sehingga dapat dimengerti kreditur meminta pembayaran jumlah yang lebih tinggi atas dasar devaluasi tersebut. Namun, Pasal 1757 KUHPerdata menyatakan “Jika saat pelunasan terjadi suatu kenakan atau kemunduran harga atau ada perubahan mengenai berlakunya mata uang maka pengembalian jumlah yang dipinjam harus dilakukan dalam mata uang yang berlaku pada saat itu.” Hoge Raad menimbang bahwa tidak nyata para pihak pada waktu mengadakan perjanjian bermaksud untuk mengesampingkan ketentuan yang bersifat menambah dan memutuskan bahwa orang Belanda cukup mengembalikan jumlah uang yang sangat kecil itu. Menurut Hakim pada badan peradilan tertinggi ini, tidak berwenang atas dasar itikad baik atau kepatutan mengambil tindakan terhadap undang-undang yang bersifat menambah.Putusan Mark Arrest ini sama dengan


(48)

Sarong Arrest bahwa hakim terikat pada asa itikad baik, artinya hakim dalam memutus perkara didasarkan pada saat terjadinya jual beli atau saat penjam-meminjam uang. Apabila orang Belanda penjam-meminjam uang sebanyak 1000 gulden, maka orang Belanda tersebut harus mengembalikan sebanyak jumlah uang diatas, walaupun dari pihak peminjam berpendapat bahwa telah terjadi devaluasi uang.Berbeda dengan kondisi di Indonesia pada tahun 1997 dimana kondisi negara pada saat itu mengalami krisis moneter dan ekonomi. Pihak perbankan telah mengadakan perubahan suku bunga bank secara sepihak tanpa diberitahu kepada nasabah. Pada saat perjanjian kredit dibuat, disepakati suku bunga bank sebesar 16 % per tahun, akan tetapi setelah terjadi krisis moneter, suku bunga bank naik menjadi 21-24 % per tahun. Hal ini menandakan bahwa pihak nasabah berada pada pihak yang dirugikan karena kedudukan nasabah berada pada posisi yang lemah (low bargaining posistion). Oleh karena itu, pada masa-masa yang akan datang pihak kreditur harus melaksanakan isi kontrak sesuai dengan yang telah disepakatinya, yang dilandasi pada asas itikad baik.

5. Asas Kepribadian (personality)

Asas kepribadian merupakan asas yang menentukan bahwa seseorang yang akan melakukan dan/atau membuat kontrak hanya untuk kepentingan perseorangan saja. Hal ini dapat dilihat dalam Pasal 1315 dan Pasal 1340 KUHPerdata. Pasal 1315 KUHPerdata menegaskan: “Pada umumnya seseorang tidak dapat mengadakan perikatan atau perjanjian selain untuk dirinya sendiri.” Inti ketentuan ini sudah jelas bahwa untuk mengadakan suatu perjanjian, orang tersebut harus untuk kepentingan dirinya sendiri. Pasal 1340 KUHPerdata berbunyi: “Perjanjian hanya berlaku antara pihak yang membuatnya.” Hal ini mengandung maksud bahwa perjanjian yang dibuat


(49)

oleh para pihak hanya berlaku bagi mereka yang membuatnya. Namun demikian, ketentuan itu terdapat pengecualiannya sebagaimana diintridusir dalam Pasal 1317 KUHPerdata yang menyatakan: “Dapat pula perjanjian diadakan untuk kepentingan pihak ketiga, bila suatu perjanjian yang dibuat untuk diri sendiri, atau suatu pemberian kepada orang lain, mengandung suatu syarat semacam itu.” Pasal ini mengkonstruksikan bahwa seseorang dapat mengadakan perjanjian/kontrak untuk kepentingan pihak ketiga, dengan adanya suatu syarat yang ditentukan. Sedangkan di dalam Pasal 1318 KUHPerdata, tidak hanya mengatur perjanjian untuk diri sendiri, melainkan juga untuk kepentingan ahli warisnya dan untuk orang-orang yang memperoleh hak daripadanya. Jika dibandingkan kedua pasal itu maka Pasal 1317 KUHPerdata mengatur tentang perjanjian untuk pihak ketiga, sedangkan dalam Pasal 1318 KUHPerdata untuk kepentingan dirinya sendiri, ahli warisnya dan orang-orang yang memperoleh hak dari yang membuatnya. Dengan demikian, Pasal 1317 KUHPerdata mengatur tentang pengecualiannya, sedangkan Pasal 1318 KUHPerdata memiliki ruang lingkup yang luas.

Disamping kelima asas yang telah diuraikan diatas, dalam Lokakarya Hukum Perikatan yang diselenggarakan oleh Badan Pembinaan Hukum Nasional (BPHN), Departemen Kehakiman RI pada tanggal 17 – 19 Desember 1985 telah berhasil dirumuskannya delapan asas hukum perikatan nasional. Kedelapan asas tersebut adalah sebagai berikut : 20

Asas kepercayaan mengandung pengertian bahwa setiap orang yang akan mengadakan perjanjian akan memenuhi setiap prestasi yang diadakan diantara mereka dibelakang hari.

1. Asas Kepercayaan

20


(50)

2. Asas Persamaan Hukum

Asas persamaan hukum mengandung maksud bahwa subjek hukum yang mengadakan perjanjian mempunyai kedudukan, hak dan kewajiban yang sama dalam hukum. Mereka tidak boleh dibeda-bedakan antara satu sama lainnya, walaupun subjek hukum itu berbeda warna kulit, agama, dan ras.

3. Asas Kesimbangan

Asas keseimbangan adalah asas yang menghendaki kedua belah pihak memenuhi dan melaksanakan perjanjian. Kreditur mempunyai kekuatan untuk menuntut prestasi dan jika diperlukan dapat menuntut pelunasan prestasi melalui kekayaan debitur, namun debitur memikul pula kewajiban untuk melaksanakan perjanjian itu dengan itikad baik.

4. Asas Kepastian Hukum

Perjanjian sebagai figur hukum mengandung kepastian hukum. Kepastian ini terungkap dari kekuatan mengikatnya perjanjian, yaitu sebagai undang-undang bagi yang membuatnya.

5. Asas Moralitas

Asas moral ini terikat dalam perikatan wajar, yaitu suatu perbuatan sukarela dari seseorang tidak dapat menuntut hak baginya untuk menggugat prestasi dari pihak debitur. Hal ini terlihat dalam zaakwarneming, yaitu seseorang melakukan perbuatan dengan sukarela (moral). Yang bersangkutan mempunyai kewajiban hukum untuk meneruskan dan menyelesaikan perbuatannya. Salah satu faktor yang memberikan motivasi pada yang bersangkutan melakukan perbuatan hukum itu adalah didasarkan pada kesusilaan (moral) sebagai panggilan hati nuraninya. 6. Asas Kepatutan


(51)

Asas kepatutan tertuang dalam Pasal 1339 KUHPer. Asas ini berkaitan dengan ketentuan mengenai isi perjanjian yang diharuskan oleh kepatutan berdasarkan sifat perjanjiannya.

7. Asas Kebiasaan

Asas ini dipandang sebagai bagian dari perjanjian. Suatu perjanjian tidak hanya mengikat untuk apa yang secara tegas diatur, akan tetapi juga hal-hal yang menurut kebiasaan lazim diikuti.

8. Asas Perlindungan

Asas perlindungan mengandung pengertian bahwa antara debitur dan kreditur harus dilindungi oleh hukum. Namun, yang perlu mendapat perlindungan itu adalah pihak debitur karena pihak ini berada pada posisi yang lemah.Asas-asas inilah yang menjadi dasar pijakan dari para pihak dalam menentukan dan membuat suatu kontrak/perjanjian dalam kegiatan hukum sehari-hari. Dengan demikian dapat dipahami bahwa keseluruhan asas diatas merupakan hal penting dan mutlak harus diperhatikan bagi pembuat kontrak/perjanjian sehingga tujuan akhir dari suatu kesepakatan dapat tercapai dan terlaksana sebagaimana diinginkan oleh para pihak

Selanjutnya dalam KUHPerdata dan menurut hukum perjanjian kita, hukum perjanjian bersifat obligatoir, maksudnya adalah setelah sahnya suatu kontrak, maka kontrak tersebut sudah mengikat, tetapi baru sebatas menimbulkan hak dan kewajiban di antara para pihak. Tetapi pada taraf tersebut hak milik belum berpindah ke pihak lain. Untuk dapat memindahkan hak milik diperlukan perjanjian lain yang disebut


(1)

PEMBATALAN AKTE PERJANJIAN YANG DIBUAT NOTARIS KAITANNYA DENGAN DESAIN INDUSTRI

(Studi Kasus tentang Putusan Mahkamah Agung antara PT. Antara Kusuma dengan PT. Sun Industri)

SKRIPSI

DIAJUKAN DALAM RANGKA MELENGKAPI TUGAS DAN MEMENUHI SYARAT MEMPEROLEH

GELAR SARJANA HUKUM

O L E H :

MAISARAH DINATA

NIM :

070200 293

DEPARTEMEN

:

HUKUM KEPERDATAAN

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA M E D A N


(2)

PEMBATALAN AKTE PERJANJIAN YANG DIBUAT NOTARIS KAITANNYA DENGAN DESAIN INDUSTRI

(Studi Kasus tentang Putusan Mahkamah Agung antara PT. Antara Kusuma dengan PT. Sun Industri)

SKRIPSI

DIAJUKAN DALAM RANGKA MELENGKAPI TUGAS DAN MEMENUHI SYARAT MEMPEROLEH

GELAR SARJANA HUKUM

O L E H :

MAISARAH DINATA

NIM :

070 – 200 - 293

DEPARTEMEN

:

HUKUM KEPERDATAAN

DISETUJUI OLEH :

KETUA DEPARTEMEN HUKUM PERDATA

NIP. 131 764 556

Prof. Dr. Tan Kamello, SH.MS

Pembimbing I

Pembimbing II

Prof. Dr. Tan Kamello, SH.MS

NIP.1962042119988031004 NIP. 1964021611989111001 Syamsul Rizal, SH.M.Hum

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA M E D A N


(3)

KATA PENGANTAR

Syukur alhamdulillah Penulis ucapkan ke Hadirat Allah SWT yang telah

memberikan karunia kesehatan dan kelapangan berpikir kepada Penulis sehingga

akhirnya tulisan ilmiah dalam bentuk skripsi ini dapat diselesaikan.

Shalawat beriring salam Penulis persembahkan ke haribaan Junjungan kita

Nabi Besar Muhammad SAW yang telah membawa nikmat Iman dan Islam kepada

kita semua.

Skripsi Penulis ini berjudul : PEMBATALAN AKTE PERJANJIAN

YANG DIBUAT NOTARIS KAITANNYA DENGAN DESAIN INDUSTRI (Studi Kasus tentang Putusan Mahkamah Agung antara PT. Antara Kusuma dengan PT. Sun Industri). Penulisan skripsi ini dimaksudkan dalam rangka

memenuhi persyaratan dalam mencapai gelar Sarjana Hukum di Fakultas Hukum

Universitas Sumatera Utara Departemen Hukum Keperdataan, Program Kekhususan

Hukum Perdata BW.

Dalam proses penulisan skripsi ini, penulis telah banyak mendapatkan

bantuan dari berbagai pihak, maka pada kesempatan ini Penulis menyampaikan

ucapan terima kasih yang sebesar-besarnya, kepada :

1. Bapak Prof. Dr. Runtung, SH. M.Hum. selaku Dekan Fakultas Hukum

Universitas Sumatera Utara.

2. Bapak Prof. Dr. Budiman Ginting, SH.M.Hum, selaku Pembantu Dekan I

Fakultas Hukum USU.

3. Bapak Syafruddin, SH.MH selaku Pembantu Dekan II Fakultas Hukum USU.

4. Bapak M. Husni, SH.M.Hum selaku Pembantu Dekan III Fakultas Hukum


(4)

5. Bapak Prof. Dr. Tan Kamello, SH.MS selaku Ketua Departemen Hukum

Keperdataan Fakultas Hukum USU, sekaligus sebagai Dosen Pembimbing I

yang telah banyak membimbing dan mengarahkan penulis selama proses

penulisan skripsi ini.

6. Bapak Syamsul Rizal, SH.M.Hum selaku Dosen Pembimbing II yang telah

banyak membimbing dan mengarahkan penulis selama proses penulisan skripsi

ini.

7. Bapak/Ibu para dosen dan seluruh staf administrasi Fakultas Hukum USU

dimana penulis menimba ilmu selama ini.

8. Rekan-rekan mahasiswa Program Reguler Fakultas Hukum USU yang tidak

dapat Penulis sebutkan satu-persatu. Semoga persahabatan kita tetap abadi.

Demikian Penulis sampaikan, kiranya skripsi ini dapat bermanfaat untuk

menambah dan memperluas cakrawala berpikir kita semua.

Medan, November 2010 Penulis,

Maisarah Dinata


(5)

ABSTRAK

Berdasarkan UU No. 31 Tahun 2000. Pasal 1 ayat (1) UU No. 31 Tahun 2000, desain industri adalah suatu kreasi tentang bentuk, konfigurasi, atau komposisi garis atau warna , atau garis dan warna, atau gabungan daripadanya yang berbentuk tiga dimensi atau dua dimensi yang memberikan kesan estetis serta dapat dipakai untuk menghasilkan suatu produk, barang, komoditas industri, atau kerajinan tangan.

Penelitian yang dilakukan adalah penelitian kepustakaan (Library Search). Langkah pertama dilakukan penelitian hukum normatif yang didasarkan pada bahan hukum skunder yaitu inventarisasi peraturan-peraturan yang berkaitan dengan desain industri berdasarkan UU No. 31 Tahun 2000 mengenai desain industri. Selain itu dipergunakan juga bahan-bahan tulisan yang berkaitan dengan persoalan ini. Penelitian bertujuan menemukan landasan hukum yang jelas dalam meletakkan persoalan ini dalam perspektif hukum Perdata khususnya yang berkaitan perlindungan hukum terhadap desain industri.

Masalah yang akan saya bahas di dalam skripsi ini adalah, sebagai berikut : 1. Bilakah hak desain industri memiliki kekuatan hukum bagi publik.

2. Apakah perjanjian yang dibuat dengan memiliki akte notaris dapat dimintai pembatalan.

3. Bagaimana sikap hakim dalam menyelesaikan pembatalan hak desain industri. Berdasarkan hasil penelitian, Hak desain industri memiliki kekuatan hukum bagi publik apabila telah didaftarkan ke Direktorat Jenderal HAKI Departemen Hukum dan HAM. Dalam pemeriksaan permohonan hak atas desain industri dianut asas kebaruan dan pengajuan pendaftaran pertama. Asas kebaruan dalam desain industri berbeda dengan asas orisinil pada hak cipta. Asas kebaruan disini berarti ketika didaftar tidak ada pihak lain yang dapat membuktikan bahwa pendaftar tersebut tidak baru atau telah ada publikasi sebelumnya baik tertulis atau tidak tertulis.

Selanjutnya terkait dengan perjanjian desain industri di hadapan notaris, akte notaris dapat dimintai pembatalan apabila tidak memenuhi syarat formil dan materil sebagaimana diatur dalam Pasal 1320 BW. Cacatnya Suatu akta Notaris dapat menimbulkan kebatalan bagi suatu akta notaris dan ditinjau dari sanksi atau akibat hukum dari kebatalan dapat dibedakan menjadi; batal demi hukum, dapat dibatalkan, dan non existent. Akibat hukum dari suatu batalan pada prinsipnya sama antara batal demi hukum, dapat dibatalkan atau non existent yaitu ketiganya mengakibatkan perbuatan hukum tersebut menjadi tidak berlaku atau perbuatan hukum tersebut tidak memiliki akibat hukumnya.

Sikap hakim dalam menyelesaikan pembatalan hak desain industri adalah seringkali hakim memiliki kepentingan-kepentingan tersendiri terhadap suatu perkara desain industri, sehingga seringkali suatu perkara desain industri berlarut-larut dan sangat panjang proses penyelesaiannya.


(6)

DAFTAR ISI

Abstrak

Kata Pengantar

Halaman

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang ………. 1

B. Rumusan Masalah………. 8

C. Manfaat dan Tujuan Penulisan……….. 8

D. Keaslian Penelitian……… 10

E. Tinjauan Kepustakaan………... 10

F. Metode Penelitian……….. 11

G. Sistematika Penulisan……… 17

BAB II HUKUM PERJANJIAN A. Pengertian Perjanjian………. 19

B. Unsur Perjanjian……… 22

C. Persyaratan Membuat Perjanjian………... 23

D. Sistem dan Asas Perjanjian……… 28

E. Jenis-Jenis Perjanjian………. 39

BAB III TINJAUAN TENTANG HUKUM DESAIN INDUSTRI A. Pengertian Desain Industri... 41

B. Subjek dan Objek Desain Industri ………. 45

C. Asas Hukum Perlindungan Desain Industri………... 47

D. Proses Pengalihan Hak Desain Industri………. 53

E. Pendaftaran Pembatalan Desain Industri……… 55

BAB IV KAJIAN HUKUM ATAS PUTUSAN MA TERHADAP PEMBATALAN AKTE PERJANJIAN KAITANNYA DENGAN DESAIN INDUSTRI A. Deksripsi Kasus PT. Antara Kusuma dan PT. Sun Industri... 58

B. Analisis terhadap Akta Notaris tentang Pembatalan... 61

C. Analisis terhadap Putusan Mahkamah Agung tentang Izin Usaha Perdagangan No. IZ. 536/IM-UIALK/068/V/3005 tanggal 20 e i 2005 atas Nama PT. Sun Industri... 68

D. Sikap hakim dalam perkara desain industri... 69

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN A. Kesimpulan... 73

B. Saran... 75


Dokumen yang terkait

Eksistensi Presidential Threshold Paska Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 14/Puu-Xi/2013

6 131 94

Penyelesaian Sengketa Perjanjian Pembangunan PLTM Silau 2 Simalungun antara PT. Hutama Karya (Persero) dengan PT. Bersaudara (Studi Kasus Putusan Mahkamah Agung No. 146 K/PDT.SUS/2012)

6 96 83

Analisis Yuridis Terhadap Putusan Mahkamah Agung No. 981K/PDT/2009 Tentang Pembatalan Sertipikat Hak Pakai Pemerintah Kota Medan No. 765

4 80 178

Penetapan Luas Tanah Pertanian (Studi Kasus : Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 11/Puu-V/2007 Mengenai Pengujian Undang-Undang No: 56 Prp Tahun 1960 Terhadap Undang-Undang Dasar 1945)

4 98 140

Kajian yuridis tentang wanprestasi dalam perjanjian site reclamation and filling Laguna view antara PT. Pakuwon Jati dengan PT. Tropical Jaya : studi putusan Mahkamah Agung No. 407 K/Pdt./1998

0 6 89

Tinjauan Terhadap Putusan Mahkamah Agung No. 704/PDT.SUS/2012 terkait dengan Utang yang Timbul Akibat Perjanjian sebagai Dasar Permohonan Pailit antara PT. TELKOMSEL PT. PJI.

0 0 1

STUDI KASUS PUTUSAN MAHKAMAH AGUNG NO. 1988 K/PDT/2009 TENTANG PEMBATALAN PERJANJIAN KERJASAMA RETRIBUSI PANGKALAN PENGANGKUTAN BARANG ANTARA CV USAHA PUTRA INDONESIA DENGAN PEMERINTAH KABUPATEN BATA.

0 0 1

KEBATALAN AKTA KUASA YANG DIBUAT DIHADAPAN NOTARIS (Studi Kasus Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 2086K/PDT/2014).

0 0 6

Perjanjian Sewa Menyewa yang Dibuat di Hadapan Notaris Kaitannya dengan Putusan Hakim Mahkamah Agung

0 0 16

ANALISIS YURIDIS TENTANG PEMBATALAN PENDAFTARAN DESAIN INDUSTRI (STUDI KASUS : PUTUSAN NO.31PDT.SUS-DESAIN INDUSTRI2013PN.NIAGA.JKT.PST)

0 0 16