ataupun mendengar kabar istrinya berbuat zina, namun suami tidak dapat mengahdirkan empat orang saksi yang mengetahui kejadian perzinaan yang dilakukan
oleh istrinya, empat orang tersebut sebagai bukti atas tuduhannya terhadap istrinya itu, sehigga sebagai pengganti empat orang saksi ia mengangkat sumpah li’an,
sedangkan istrinya menolak tuduhan suaminya dengan mengangkat sumpah balasan atas tuduhan yang dilakukan oleh suaminya. Li’an jugadapat terjadi disebabkan
seorang suami yang mengingkari anak yang berada didalam kandungan istrinya ataupun anak yang telah dilahirkan oleh istrinya dari hasil zina antara istrinya dengan
laki-laki lain, sedangkan istri menolak pengingkaran suaminya tersebut.
B. Akibat Hukum dari Li’an Menurut Fiqih Islam
Perkawinan merupakan ikatan lahir batin antar pihak istri dan pihak suami, yang memiliki tujuan yang sama yaitu membangun keluarga yang bahagia, namun
terkadang perkawinan berakhir dengan perceraian. Setiap perceraian memiliki akibathukum tertentu dan apabila suami istri melakukan mula’anah atau li’an, maka
berlaku pada keduanya akibat hukum tertentu. Nabi Muhammad SAW melarang keras seorang ayah mengingkari anaknya
dan seorang ibu membangsakan anaknya dengan laki-laki bukan ayahnya.
138
138
Imam Jauhari, Hak-Hak Anak Dalam Hukum Islam, Jakarta : Pustaka Bangsa, 2003, hal., 1.
Beliau bersabda yang artinya :
Universitas Sumatera Utara
“Setiap wanita yang melakukan perbuatan serong zina , maka tidak akan mendapatkan satu apapun dari Allah, dan tidak akan dimasukkan ke
surgaNya. Sebaliknya setiap laki-laki yang mengingkari seorang anak, sedang ia tahu bahwa anak tersebut betul-betul anaknya, maka Allah akan
memurkainya dan membuka aibnyadihadapan seluruh manusia pada hari kiamat nanti.”Hadist riwayat Abu Daud, Imam Nasai, Ibnu Majah, Ibnu
Hibban dan Al-Hakim dari Abu Hurairah
139
Berdasarkan hadist Rasulullah SAW yang diriwayatkan oleh Bukhari, yang artinya:
“Telah menceritakan kepada kami Abdullah bin Yusuf telah mengabarkan kepada kami Malik dari Ibnu Syihab bahwa Sahl bin Sa’d As
Sa’idi telah mengabarkan keadaannya bahwa ; Uwaimir Al ‘Ajlani datang kepada ‘Ashim bin Adi Al Anshari dan bertanya, Wahai ‘ashim, bagaimana
pendapatmu bila seorang laki-laki lain bersama istrinya, apakah ia boleh membunuhnya hingga kalian pun juga turut membunuh laki-laki itu? Atau
apakah yang mesti dilakukannya? Wahai ‘Asahim, tanyakanlaah pertanyaanku ituy kepada Rasulullah saw. Maka ‘Ashim pun menanyakan hal
itu kepaqda Rasulullah SAW dan ternyata Rasulullah SAW membenci persoalan itu dan mencelanya hingga ‘Ashim pun merasa keberatan. Ketika
ia pulang ke rumah keluarganya, ia pun didatangi oleh ‘Uwaimir dan berkat. Wahai ‘Ashim apa yang telah dikatakan oleh Rasulullah SAW
kepadamu?Lalu ‘Ashim berkata kepada ‘Uwaimir, Kebaikan belum singgah padaku.Rasulullah SAW sangat membenci persoalan yang aku tanyakan.
Maka Uwaimir pun berkata, Demi Allah, aku tidak akan berhenti sehingga akan aku tanyakan sendiri. Akhirnya Uwaimir menghadap Rasulullah SAW di
tengah kerumunan orang-orang , ia pun berkata. Wahai Rasulullah, bagaimana pendapat anda, bila sesorang laki-laki mendapatkan laki-laki lain
bersama istrinya, apakah ia harus membunuhnya sehingga kalian juga akan membunuhnya? Atau apakah yang mesti ia lakukan? Maka Rasulullah SAW
pun bersabda, sesungguhnya telah diturunkan ayat terkait denganmu dan juga sahabatmu istrimu, pergi dan bawalah ia kemari. Sahl berkata:
Akhirnya kedua orang suami-istri itu pun saling meli’an, sementara aku berada bersama orang-orang yang ada di sisi Rasulullah SAW. Ketika
keduanya usai saling meli’an, maka ‘Uwaimir pun berkata, aku telah berdusta atasnya wahai Rasulullah bila aku tetap menahannya tidak
menceraikannya. Akhirnya ia pun menceraikannya dengan talak tiga sebelum diperintahkan oleh Rasulullah SAW. Ibnu Syihab berkata “seperti
139
Ibid
Universitas Sumatera Utara
itulah sunnahnya dua orang suami istri yang saling meli’an saling menuduh berbuat serong. HR.Bukhari
140
Berdasarkan hadist Rasulullah SAW tersebut, maka suami istri yang saling bermula’anah harus dipisahkan.Maksud dari kalimat “dipisahkan” dalam hal ini
adalah perceraian antara suami istri yang saling meli’an, suami yang mengangkat sumpah li’an terhadap istrinya diartikan sebagai adanya tuduhan yang didasarkan
keyakinan suami terhadap istrinya bahwa istrinya telah berbuat zina.Sumpah yang yang diangkat oleh suami atas keyakinan bahwa istrinya telah berbuat zina sebanyak
lima kali dan sebagai sumpah balasan istri mengangkat sumpah sebagai penolakan atas tuduhan suami sebanyak lima kali, merupakan dasar terjadinya li’an yang
mengakibatkan kedua belah pihak harus dipisahkan. Mushannif juga mengungkapkan terjadinya perceraian antara suami istri
dengan “hilang tikar”, karena perceraian ini terjadi lahir batin , baik si istri benar maupun suami benar. Ada yang mengatakan kalau si istri benar tidak terjadi
perceraian batin. Alasannya ialah berdasarkan hadist Rasulullah SAW , yang artinya:
141
“Sesungguhnya Rasulullah SAW telah menceraikan seorang laki-laki dengan istri yang saling berli’an pada zaman Rasulullah SAW, dan beliau
mengikuti anak kepada ibu”HR. Imam Bukhari dan Imam Muslim
140
Zaki Al-Din ‘Abd Al-‘Azhim Al-Mundziri, Op.Cit, hal., 492.
141
Ibid, hal., 496.
Universitas Sumatera Utara
Suami istri yang bermula’anah atau berli’an keduanya haram rujuk kembali untuk selama-lamanya. Berdasarkan Hadist Rasulullah SAW yang lainnya yang
diriwayatkan oleh Bukhari, yang artinya: “Telah menceritakan kepada kami Qutaibah bin Sa’id , telah
menceritakan kepada kami Sufyan dari Amru dari Sa’id bin Jubair dari Ibnu Umar bahwa Nabi saw bersabda kepada Al Mutalaa’inaini dua orang suami
istri yang saling menuduh berzina kepada satu sama lain,“Hisab kalian berdua adalah terserah kepada Allah. Salah seorang dari kalian telah
berdusta.Karena itu, tidak ada jalan lagi bagimu untuk kembali ruju’ padanya”. Laki-laki itu berkata, “Wahai Rasulullah, bagaimana dengan
hartaku?”, beliau bersbda, “tidak ada bagian harta untukmu, jika kamu berkata benar atasnya, maka mahar yang telah kamu berikan adalah
sebagai penghalal farjinya. Dan jika kamu dusta, maka hal itutentulah lebih parah.HR.Bukhari
142
Berdasarkan Hadist Rasulullah tersebut bahwasannya suami istri yang saling mengucapkan li’an, maka haram bagi keduanya untuk ruju’ kembali untuk selama-
lamanya.Dengan terjadinya sumpah li’an diantara keduanya seperti yang dijelaskan dalam kisah Uwaimir Al-ujlani dalam Hadist Rasulullah yang diriwayatkan oleh
Buhkari sebelumnya.Dengan adanya li’an maka putuslah hubungan suami istri antara keduanya dan antara keduanya tidak boleh terjadi ruju’ atau perkawinan untuk
selama-lamanya.
143
Nabi saw bersabda yang artinya :
144
“Dari Ibn ‘Abbas .sesungguhnya Nabi saw bersabda, “Dua orang yang saling berli’an, apabila sudah berpisah, tidak boleh berkumpul kembali
selama-lamanya”.
142
Ibid
143
Jamaludin, Op.Cit, hal., 134.
144
Ibid
Universitas Sumatera Utara
Dalam Hadist tersebut cukup jelas dinyatakan bahwasannya suami istri yang saling berli’an atau mengutuk, bila terjadi perceraian diantara keduanya maka tidak
boleh bersatu untuk selama-lamanya.
145
Li’an merupakan laknat bagi suami istri, disebut demikian karena, suami istri yang saling berli’an itu berakibat saling
dijauhkan oleh hukum dan diharamkan untuk berkumpul kembali sebagai suami dan istri untuk selama-lamanya, atau karena orang yang bersumpah li’an itu
dalamkesaksiannya yang kelima menyatakan bersedia mendapat laknat Allah apabila pernyataannya tidak benar.
146
Konsekuensi hukum dari li’an sangatlah berat, karena bukan hanya terjadi perpisahan ataupun perceraian dengan sendirinya secara hukum , namun suami istri
tersebut menjadi pasangan yang diharamkan menikah lagi untuk selama-lamanya, atau disebut menjadi mahram muabbad. Keharaman ini seperti keharaman
pernikahan antara seorang laki-laki dengan ibunya sendiri, atau seperti haramnya menikah saudara sedarah atau sesusuan. Bahkan lebih parah dari sekedar talak tiga,
apabila terjadi talak tiga didalam perceraian, masihterdapat kemungkinan untuk terjadi pernikahan kembali apabila masing-masing dari suami istri yang bercerai
tersebut sempat pernikahan dan bercerai dengan pasangannya, lalu mereka berkumpul kembali.Menurut mazhab Hanafi pasangan itu tidak secra otomatis bercerai.Namun
145
Abu Bakar Jabir El-Jazairi, Op.cit.hal., 217.
146
Jamaludin, Op.Cit, hal.,132.
Universitas Sumatera Utara
mereka diharamkan untuk melakukan hubungan suami istri ijma’ pasca li’an.
147
Dalam Pasal 43 ayat 1 Kompilsi Hukum Islam menyebutkan bahwa :
148
“ Dilarang melangsungkan perkawinan antara seorang pria : a.
Dengan seorang wanita bekas istrinya yang ditalak tiga kali; b.
Dengan seorang wanita bekas istrinya yang dili’an.”
Dengan terjadinya li’an, maka seorang istri terkena talak ba’in tidak boleh
rujuk untuk selama-lamanya dan ini sebagai refleksi dari makna li’an itu sendiri yaitu laknat dan kemurkaan Allah SWT bagi orang yang berbohong diantara mereka karena
menyebabkan perceraian secara zalim. Selain dari hal yang disepakati sebagaimana yang disebut diatas, para ahli hokum Islam masih mempersoalkan apakah perceraian
dengan li’an itu merupakan talak ba’in atau fasakh. Sebahagian mereka mengatakan bahwa perceraian dengan li’an itu merupakan talak ba’in karena berasal dari pihak
suami dan tidak ada unsursejak awal dari pihak istri dan setiap yang berasal dari pihak suami adalah menurut Imam Abu Hanifah adalah talak bukan fasakh.
Sedangkan sebahagian ulama yang lain mengatakan bahwa perceraian karena li’an adalah fasakh kareana akibat dari putusnya hubungan suami istri itu adalah untuk
selama-lamanya.
149
147
Abu Ishaq Ibrahim bin Ali bin Yusuf, loc.cit.
148
Lihat Pasal 43 ayat 1 Kompilasi Hukum Islam
149
Abdul Manan, Op. cit., hal.,150.
Universitas Sumatera Utara
Para ahli hukum Islam sepakat bahwa perceraian dengan li’an merupakan perceraian yang berlaku untuk selama-lamanya dan suami istri yang saling
mengucapkan li’an tidak boleh rujuk atau kawin kembali untuk seumur hidup. Namun para ahli hukum juga masih memperselisihkan tentang apabila suami
mencabut tuduhan li’an dan mengakui kekeliruannya yang telah disampaikannya, sebahagian ahli hukum Islam mengatakan bahwa hubungan mereka tetap putus untuk
selama-lamanya, sebab sudah terjadi saling membenci antara keduanya dan telah terjadi pelaksanaan li’an diantara keduanya.
150
Sebahagian para ulama hukum Islam yang lain seperti Imam Abu Hanifah mengatakan jika suami mencabut tuduhannya dan melaksanakan pernikahan yang
baru dan dapat rujuk kembali. Dikarenakan dengan dicabutnya tuduhan li’an maka dengan sendirinya li’an menjadi batal dan dengan adanya pencabutan itu maka
dengan senidirinya sudah diketahui siapa berdusta, dengan sudah terungkap hal ini maka keharaman selama-lamnya menjadi hapus.
151
Li’an dalam hal tuduhan berzina, dibenarkan apabila pihak suami benar-benar yakin bahwa istrinya telah berzina, akan tetapi apabila pihak-pihak suami tidak yakin
akan tuduhan yang dituduhkannya terhadap istrinya ataupun tidak yakin kepastian terjadinya perzinaan tersebut, maka pihak suami tidak boleh memberikan tuduhan,
sebab apabila pihak suami tidak dapat membuktikan kebenaran akan tuduhan
150
Ibid
151
Ibid, hal., 151.
Universitas Sumatera Utara
terhadap istrinya, ia akan mendapatkan hukuman qazf sebanyak 80 kali.Berdasarkan firman Allah SWT surah An-Nuur ayat: 4 yang artinya :
152
“Dan orang-orang yang menuduh wanita-wanita yang baik –baik berbuat zina dan mereka tidak mendatangkan empat orang saksi, maka
deralah mereka yang menuduh itu delapan puluh kali dera, dan janganlah kamu terima kesaksian mereka buat selama-lamanya. Dan mereka itulah
orang-orang yang fasik”.
Berdasarkan ayat Al-Qur’an tersebut sudah cukup jelas dinyatakan bahwa apabila seorang suami menuduh istrinya berzina , maka wajib atasnya hukuman had
dan ia berhak membebaskan diri dari had dengan dua cara yaitu dengan cara membawa saksi atau meli’an istrinya tersebut. Dan terhadap istri, apabila mengaku
kepada si suami bahwasannya ia benar telah berzina dengan orang lain, dan hatinya membenarkan pengakuan si istri atau orang lain yang dapat dipercaya
memberitahukan kepada suami, atau terdapat kabar yang benar bahwa istrinya telah melakukan zina dengan laki-laki lain dan sudah tersebar luas dikalangan masyarakat,
disaat salah seorang masyarakat melihat sendiri ketika laki-laki itu keluar dengan si istri dalam keadaan yang mencurigakan, namun apabila berita tersebut tersebar luas
tetapi tidak ada satupun yang melihat keadaan istrinya seperti yang diberitakan , maka suami tidak boleh menuduh istrinya berbuat zina. Imam Nawawi mengungkapkan
152
Departemen Agama R.I, Op.cit., hal
Universitas Sumatera Utara
apabila suami tidak melihat istri melakukan zina, dan suami hanya mendengar dari orang lain , maka suami tidak boleh meli’an istrinya tersebut.
153
Syaikh Abu Syujak berkata apabila si laki-laki menuduh istrinya berzina , maka wajib atas laki-laki dihukum qazf, kecuali ia dapat mendatangkan saksi , atau
meli’an dengan berkata diatas mimbar yang berada disisi hakim dalam kumpulan orang-orang muslim, “Saya persaksikan kepada Allah bahwa saya benar-benar
terhadap tuduhan saya kepada istri saya fulanah, bahwa dia berzina, dan anak ini dari hasil zina bukan dari saya”, ungkapan ini diulangi sebanyak empat kali , dan yang
kelima “atasku lanat Allah jika aku berdusta”.
154
Menurut pendapat Imam Abu Hanifah, apabila suami menolak untuk menyatakan li’an, ia tidak dikenakan hukuman had, tetapi ia hanya dipenjarakan saja.
Imam Abu Hanifah berpendapat, apabila istri menolak untuk melakukan li’an, ia tidak dikenakan hukuman had, tetapi ia dipenjarakan sampai ia mau melakukan
li’an.
155
153
Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin, Halal dan Haram dalam Islam, Jakarta: Ummul Qura, hal., 609.
Alasan Abu Hanifah ialah dalam firman Allah surah An-Nuur ayat 6-8 yang telah dijelaskan dalam bab sebelumnya, bahwa ayat ini merupakan dasar hukum li’an,
ayat ini menjelaskan tentang tuduhan suami terhadap istrinya, yang dilanjutkan dengan perintah untuk melakukan li’an jika ia menolak tuduhan suaminya, bukan
hukuman had. Ayat ini adakalanya dapat dipahami sebagai nasikh membatalkan
154
Abdul Fatah Idris dan Abu Ahmadi, Loc.Cit.
155
Muhammad ‘Aly as-Sabuny dan Rawa’i ‘ul al-Bayan, Tafsir al-Ayat al-Ahkam min Al- Qur’an ,Jilid II , Mekah, hal., 90.
Universitas Sumatera Utara
ayat qazf dan juga adakalanya sebagai pentakhsis ayat qazf, maka bagi suami atau istri yang menolak untuk melakukan li’an, hukumannnya dipenjarakan sampai ia mau
melakukan li’an, bukan dikenakan hukuman had.
156
Perbedaan qazf denganli’an adalah bahwa yang terakhir terbatas pada tuduhan yang dilakukan oleh suami atas
istrinya.Sedangkan dalam kasus qazf diperlukan empat orang saksi untuk memberikan bukti yang membenarkan tuduhannya.
157
Mayoritas ulama fiqih seperti Syafi’i, Malik dan Ahmad, apabilaistri menolak dan tidak mau melakukan li’an ,
maka ia dikenakan hukuman had jika ia belum digauli dan hukuman rajam jika ia sudah digauli.
158
Dalam hal menolak anak yang yang dikandung oleh istrinya, Imam Malik berpendapat bahwa suami diperbolehkan melakukan li’an dalam hal menafikan
kandungan istrinya sebelum dilakukan persalinan untuk menetapkan bahwa istrinya tidak mengandung anak darinya , akan tetapi Imam Malik mensyaratkan agar mudah
dalam perhitungan istri mengalami tiga kali haid, untuk mengetahui ada tidaknya mengandung.
Imam Ahmad dan Imam Abu Hanifah berpendapat apabila seorang suami menolak kandungan istrinya, tidaklah dilakukan li’an antara keduanya dan tidaklah
dihukum anak yang dikandung oleh istrinya itu. Maka apabila suami menuduh istrinya berbuat zina dengan terang-terangan, hendaklah suami tersebut berli’an atas
156
Jamaludin, Op.Cit, hal., 133.
157
Abdurrahman I. Doi, Op.Cit.,hal., 272.
158
Ibid.
Universitas Sumatera Utara
istrinya, karena ia yakin akan tuduhannya itu, sedangkan anak yang berada didalam kandungan istrinya harus disebutkan dalam sumpah sebagai penolakan atas anak
tersebut.
159
Wanita yang bermula’anah atau yang berli’an berhak menerima mahar dari suami yang meli’annya, berdasarkan Hadist Rasulullah SAW yang artinya:
160
“Dari Ayyub bin Sa’id bin Jubair , ia bercerita “saya pernah bertanya kepada Ibnu Umar r.a , “wahai Ibnu Umar , bagaimana kedudukan suami
yang menuduh istrinya berbuat serong? Jawab Ibnu Umar “Nabi Muhammad SAW pernah menceraikan antara dua orang yang bersaudara yaitu suami
istri dari Bani ‘Ajlan, dan Rasulullah SAW bersabda kepada keduanya, “Allah mengetahui bahwa seorang diantara kalian berdua telah berbuat
dusta, karena itu adakah diantara kalian yang au bertaubat?”, ternyata mereka berdua enggan memenuhi tawaran dari Rasulullah SAW, lalu
Rasulullah SAW bersabda lagi, “Allah mengetahui bahwa salah seorang diantara kalian berdua pasti berbohong, karena itu adakah diantara kalian
yang mau bertaubat?”, ternyata mereka enggan , lalu Rasulullah SAW bersabda, “Allah mengetahui bahwa salah seorang dari kalian berdua pasti
berdusta, karena itu adakah diantara kalian yang mau bertaubat?”, namun mereka berdua enggan untuk memenuhi tawaran beliau, maka selanjutnya
Rasulullah SAW menceraikan antara keduanya. “Ayyub berkata , “kemudian Amr bin Dinar mengatakan kepadaku, “sesungguhnya didalam hadist
tersebut ada sebagian yang saya perhatikan belum engkau sampaikan, yaitu laki-laki yang bermula’anah itu menanyakan, “mana hartaku maharku?”,
lalu Rasulullah SAW menjawab, “tidak ada harta mahar bagimu. Jika kamu jujur berarti kamu pernah bercampur dengannya, dan jika kamu bohong
maka mahar itu kian jauh darimu.”
Beradasarkan Hadist Rasulullah SAW diatas bahwa istri yang dili’an oleh suaminya berhak menerima mahar dari suaminya. Mahar menurut bahasa arab adalah
al-mahr, al-nihla,atau al-‘aqr yang artinya dengan imbalan yang disebutkan atau
159
Muhammad ‘Aly as-Sabuny dan Rawa’i ‘ul al-Bayan, Op.cit, hal., 76.
160
Zaki Al-Din ‘Abd Al-‘Azhim Al-Mundziri, Op.cit, hal., 495.
Universitas Sumatera Utara
sesuatu yang menggantikan posisinya dalam akad nikah.
161
Mahar merupakan unsur yang menentukan sah atau tidaknya suatu perkawinan.Mahar merupakan pemberian
suami terhadap istri yang bersifat wajib atas suami dengan dilangsungkannya perkawinan.
162
Menurut Imam Abu Hanifah, Abu Yusuf, Muhammad al-Syaybniy, dan Zufar, dengan adanya khalwat shahih, maka tidak ada lagi yang bisa digugurkan dari
mahar, baik perceraian itu terjadi sebelum atau setelah hubungan suami istri dilakukan.
163
Ketika sahnya akad dikaitkan dengan keabsahan serah terima, maka para pihak yang terkait berkewajiban memenuhi segala kewajiban yang muncul,
diantaranya mahar.
164
Rasulullah SAW bersabda didalam Hadist, yang menerangkan bahwa perpisahan diantara suami istri akibat li’an, yang artinya :
“Diriwayatkan dari Ibn ‘Umar r.a: Rasulullah SAW. Bersabda kepada dua orang yang melakukan li’an , “Hanya allah SWT juga yang akan
menetapkan perhitungan kalian berdua. Salah seorang dari kalian telah berdusta dan tidak ada jalan lagi bagimu untuk menuntut istrimu”, sang
suami bertanya, “bagaimanakah dengan hartaku wahai rasulullah?” Beliau menjawab, “kamu tidak dapat menuntut hartamu lagi ,jika kamu benar dalam
tuduhan terhadap istrimu ,maka maharmu itu adalah untuk kehormatannya
161
al-Ba’liy, al-Muthli’ ‘Ala Abawab al-Muqni’, Beirut: al-Maktab al-Islamy, 1981, hal., 326.
162
Abu Abdillah Muhammad bin Ahmad al-Qurthubiy, al-Jami’ al-Ahkam al-Qur’an, Juz 5 Kairo: Dar al-Syu’ub, 1372H, hal., 24.
163
Muhammad bin Ahmad bin Al-Azhariy Al-Harawiy, Al-Zhahir,Kuwait: Wizarah al- Awqaf wa al-Syu’un al-Islamiyyah, 1399, hal.,147.
164
Al-Jashshash, al-Jami’ li Ahkam Al-Qur’an, Juz 2, Beirut: Dar Ihya Al-Taurats Al-Araby, 1405H, hal., 149.
Universitas Sumatera Utara
yang engkau telah dihalalkan.., dan jika engkau berdusta terhadapnya , maka maharmu itu menjadi lebih darimu”
165
Berdasarkan hadist tersebut diatas didalam terjadinya li’an salah satu diantara suami istri tersebut ada yang berdusta, Rasulullah menegaskan bahwa mahar yang
telah diberikan suami terhadap istri adalah merupakan hak atas istrinya tersebut dan suami tidak dapat mengambil kembali mahar yang telah diberikan kepada istrinya,
karena wanita yang dili’an oleh suaminya berhak atas maharyag diberikan suaminya sepenuhnya atas kehormatannya.Jika suami benar dalam tuduhannya terhadap
istrinya, maka istrinya berhak mendapatkan hartanya, demikian juga jika suami berdusta didalam tuduhannya, maka istri berhak mendapatkan harta tersebut dan harta
itu semakin jauh darinya.
166
Suami dibolehkan melakukan li’an untuk penolakan terhadap anak yang masih didalam kandungan istrinya atau suami dapat melakukan penolakan terhadap
anak yang telah dilahirkan oleh istrinya. Didalam hal ini anak yang lahir dari istri yang bermula’anah harus diserahkan kepada istrinya, karena adanya penolakan yang
dilakukan oleh pihak suami terhadap pihak istri maka anak tersebut hanya memiliki nasab atau garis keturun terhadap ibunya bukan ayahnya, sehingga tidak ada
sedikitun hak ayahnya terhadap anak yang dinafikannya. Berdasarkan Hadist Rasulullah SAW yang artinya:
167
165
Zaki Al-Din ‘Abd Al-‘Azhim Al-Mundziri, Loc.cit.
166
Ayyub Hasan Syaikh, Fikih Keluarga, Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2008, hal., 60.
167
Muhammad bin Ahmad bin Al-Azhariy Al-Harawiy, Loc.cit.
Universitas Sumatera Utara
“Dari Ibnu Syihab dalam hadist Sahl bin Sa’ad, Rasulullah SAW berkata , “Sesungguhnya Nabi Muhammad SAW pernah memutuskan untuk
bemula’anah antara seorang suami dengan istrinya kemudian ia suami dipisahkan dari anaknya, lantas Nabi Muhammad SAW menceraikan mereka
berdua, kemudian anak itu Rasulullah SAW serahkan kepada istrinya.” Muttafaqun ‘Alaih
Hadist diatas menerangkan bahwasannya anak yang lahir dari kandungan istri yang melakukan perceraian dengan li’an dan penolakan yang secara tegas dilakukan
suami atas anak yang dikandung maupun yang telah dilahirkan oleh istrinya, maka anak tersebut putus hubungan nasabnya terhadap suaminya, dan anak itu hanya
memiliki nasab terhadap istrinya.Dalam hadist yang lain Rasulullah Saw bersabda yang artinya :
“Diriwayatkan dari Ibn ‘Umar r.a: “seorang laki-laki pernah meli’an istrinya padamasa Rasulullah SAW ., lalu beliau menceraikan kedua suami
istri ituuntuk selama-lamanya, sedangkan anaknya dinasabkan kepada ibunya.
168
Imam Abu Hanifah dan Imam Ahmad sebagaimana dikutip oleh Hasbi berpendapat, apabila seseorang menafikan kandungan istrinya, tidaklah dilakukan
li’an antara keduanya dan tidaklah pula dihukum kandungan yang dikandungi istrinya itu bukan dari padanya. Maka jika ia tuduh istrinya dengan terang bahwa istrinya
168
Zaki Al-Din ‘Abd Al-‘Azhim Al-Mundziri, Op.cit, hal., 496.
Universitas Sumatera Utara
berzina , hendaklah ia berli’an lantaran menuduh tersebut, sedangkan anak yang ada dilam kandungan istrinya tetap dibangsakan terhadapnya.
169
Islam tidak membiarkan masalah keturunan diperlakukan semaunya sendiri oleh yang bersangkutan, misalnya mereka menolak yang mereka tidak inginkan dan
mengakui yang mereka senangi. Salah satu sahnya keturunan adalah apabila tidak ada pengingkaran dari sang suami tentang hubungan keturunannya dengan dia, oleh
karena dalam perkara seperti ini diadakan li’an. Maka tidak bijaksana, jika dikemudian hari seorang suami yang telah melakukan sumpah penolakan terhadap
anak yang dikandung istrinya bukan merupakan anaknya, tiba-tiba mengakui anaknya itu sebagai anaknya lagi.
170
Secara luas hubungan keturunan itu dianggap ada didalam hal-hal yang masih berhubungan dengan aturan Allah SWT. Seperti haramnya menikah antara suami
yang menolak anak yang berada didalam kandungan istrinya, dalam hal ini apabila anak yang dikandung istrinya adalah perempuan , maka suami yang tidak mengakui
anak tersebut tidak dapat menikahinya, walaupun telah terjadi penolakan terhadap anak itu, karena bisa jadi anak itu adalah anaknya dan mungkin juga tidak.
171
Hubungan kekeluargaan antara anak mula’anah dengan ayahnya menjadi putus , karena anak tersebut dinilai asing oleh ayahnya dan antara keduanya tidak ada
169
TM. Hasbi as-Shiddiqi, Hukum-Hukum Fiqh Islam, cet. ke-5, Jakarta : Bulan Bintang, 1978, hal., 333.
170
Zakriya Ahmad Al-Barry, Hukum Anak dalam Islam, cet. ke-1 , Jakarta: Bulan Bintang, 1977, hal., 20-21
171
Ibid, hal.,22 sampai 23
Universitas Sumatera Utara
hubungan nasab. Oleh sebab itu Imam Syafi’i dan Imam Malik memperbolehkan si ayah mengawini anak tersebut, jika sang anak lahir adalah perempuan.
172
Istri yang bermula’anah berhak menjadi ahli waris terhadap anak yang dinafikan oleh suaminya dan begitu juga anak tersebut berhak menjadi ahli waris atas
ibunya. Berdasarkan Hadist Rasulullah Saw yang artinya : “Dari Ibnu Syihab dalam hadist Sahl bi Sa’ad , ia berkata “menurut
Sunnah Nabi Muhammad SAW , sesudah suami istri yang bermula’anah dicerai, padahal sang istri hamil maka anaknya dinisbatkan kepada ibunya.
Kemudian sunnah beliau Nabi Muhammad SAW berlaku mengenai hak warisnya, dimana ia ibu tersebut berhak menjadi ahli waris anaknya dan
anaknya pun berhak menjadi ahli waris ibunya , sesuai apa yang telah Allah tetapkan untuknya.
173
Dengan adanya penolakan yang dilakukan oleh suaminya kepada anak yang berada didalam kandungan ataupun yang telah dilahirkan oleh istrinya, maka
gugurlah segala hubungan baik nasab maupun hukum terhadap anak tersebut, sehingga anak tersebut hanya memiliki hubungan terhadap ibunya dan sebaliknya.
Dalam hal ini hadist di atas cukup menjelaskan bahwa yang berhak mewarisi atas harta anaknya hanyalah ibunya dan sebaliknya , maka suami yang menafikan anaknya
tersebut tidak memiliki hak atas harta anak yang dinafikannya. Didalam hadist Rasulullah SAW yang lainnya yang artinya:
“Rasulullah SAW memutuskan tentang anak dari suami-istri yang saling bersumpah li’an , si anak mewarisi ibunya dan ibunya mewarisi dia ,
172
Iman Jauhari, Hak-Hak Anak dalam Hukum Islam, Jakarta : Pustaka Bangsa, 2003, hal., 16
173
Imam Muslim, Op.cit. hal.1133.
Universitas Sumatera Utara
dan orang yang menuduhnya berzina dicambuk delapan puluh kali” HR. Ahmad, oleh Al-Albani dan Syu’aib Al-Arna’uth
174
Hadist diatas cukup jelas menegaskan bahwa anak yang dilahirkan oleh istri yang dili’an oleh suaminya berhak mewarisi anaknya dan sebaliknya, sedangkan
orang yang menuduh ibu yang melahirkannya berzina, dalam hal ini ayahnya tidak memili hak adan kewajiban apapun atas anak tersebut.Karena saat terjadinya li’an,
maka saat itu pula putus hak dan kewajiban suami istri diantara keduanya untuk selama-lamanya dan putuslah nasab suami terhadap anak yang dikandung atau yang
telah dilahirkan oleh istrinya.Suami yang meli’an istrinya terbebas dari kewajiban memberikan nafakah iddah kepada istri yang dili’an olehnya.
175
Berdasarkan Pasal 162 Kompilasi Hukum Islam , yaitu :
176
“Bila li’an terjadi maka perkawinan itu putus untuk selamanya dan anak yang dikandung dinasabkan
kepada ibunya, sedang suaminya terbebas dari kewajiban memberi nafkah”. Didalam Pasal 162 Kompilasi Hukum Islam cukup jelas bahwa tidak ada kewajiban yang
melekat kepada suami yang meli’an istrinya ataupun yang menafikan anak yang didalam kandungan istrinya untuk memberikan nafkah iddah kepada istrinya tersebut.
174
Sulaiman bin Ahmad bin Yahya Al-Faifi, Ringksan Fikih Sunah, Cet. ke-1, Jakarta Timur: Beirut Publishing, hal., 573.
175
A. Fuad Said, Op.Cit. hal., 228.
176
Lihat Pasal 162 Kompilasi Hukum Islam.
Universitas Sumatera Utara
C. Akibat Hukum dari Li’an Menurut Kompilasi Hukum Islam