BAB IV PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP ISTRI DAN ANAK AKIBAT
PERCERAIAN YANG DISEBABKAN LI’AN
A. Usaha-Usaha untuk Mendapatkan Perlindungan Hukum Terhadap Istri dan Anak
Dalam Pasal 1 Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 menyebutkan bahwa perkawinan adalah ikatan lahir bathin antara seorang suami pria
dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga rumah tangga yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.
189
Disebut ikatan lahir bathin, syarat terlaksananya perkawinan, dimana yang melaksanakan perkawinan merupakan antara jenis kelamin pria dan jenis kelamin
wanita diluar itu haram.Ikatan lahiriah memahami adanya tanggung jawab suami untuk melindungi istri dan keluarga.Ikatan bathiniah berisikan cinta, kasih dan sayang
atas dasar membentuk keluarga.
190
Keluarga dimaksud tidak memadai, apabila hanya ada antara suami istri tanpa kehadiran anak, dengan adanya anak maka tercapailah
tujuan berumah tangga.
191
Didalam perkawinan tidak selamanya berjalan sesuai keinginan, terkadang perkawinan berakhir dengan perceraian dikarenakan alasan-alasan maupun sebab-
sebab yang dapat menguatkan pasangan suami istri tersebut berpisah. Terjadinya
189
Lihat Pasal 1 Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan.
190
Bismar Siregar, Islam dan Hukum, Cetakan ke-3 ,PT.Grafikatama Jaya,1992, hal., 206.
191
Ibid.
Universitas Sumatera Utara
perceraian memiliki akibat hukum tertentu yang harus dijalani oleh masing-masing pihak yakni pihak suami maupun istri bahkan anak apabila pasangan tersebut telah
memiliki anak. Perlindungan wanita atau istri, dalam hal perkawinan apabila perkawinan
tidak dapat dilanjutkan yang demikian patut diterima dengan ikhlas, lebih baik memilih yang paling ringan akibat buruknya dari pada memilih akibat yang buruk.
192
Perceraian sedapat-dapatnya harus dihindarkan, hanya apabila tidak ada pilihan lain, dalam hal perceraian , akhlak Islam menggariskan kembali istri kepada orang tuanya
seperi dahulu ketika ia diambil menjadi istri oleh suami, dimaksud dalam hal ini istri dikembalikan dalam keadaan baik dan bukan benci dan dendam.
193
Perlindungan wanita istri atau ibu bagi anaknya terhadap harta , diatur dalam Bab VII dalam Pasal
35 Undang-Undang No1 Tahun 1974 tentang Perkawinan yaitu :
194
1 Harta benda yang diperoleh selama perkawinan menjadi harta bersama.
2 Harta bawaaan dari masing-masing suami dan istri dan harta benda yang
diperoleh masing-masing sebagai hadiah atau warisan, adalah dibawah penguasaan masing-masing sepanjang para pihak tidak menentukan lain.
Berdasarkan Pasal 35 ayat 1 tersebut dapat dipahami bahwa tentang harta pencarian yang terlanjur diatas namakan istri , resmi menjadi “milik” istri, tidak dapat
diganggu gugat, perhiasan pemberian suami selama perkawinan dianggap milik istri ,
192
Ibid, hal., 240.
193
Ibid, hal., 241.
194
Lihat Pasal 35 Undang-Undang No.1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan
Universitas Sumatera Utara
tidak dapat diganggu gugat.
195
dalam Pasal 35 ayat 2 tersebut juga dapat dipahami bahawa harta bawaan merupakan harta yang dibawa sendiri tetap merupakan milik
sendiri. Dikuasai dan tidak boleh dipergunakan untuk rumah tangga sekalipun oleh suami, kecuali dengan ijin dari istri dan sebaliknya jika harta tersebut merupakan
milik suami tidak dapat dipergunakan oleh istri tanpa izin dari suami.
196
Diantara hubungan darah yang terpenting ialah hubungan darah antara anak dengan orang tua. Hubungan anak yang sah atau mempunyai akibat keperdataan dan
saling antar mereka, saling mewaris dan alimentasi, ialah hubungan anak dengan orang tua yang sah, berdasarkan pernikahan yang dilakukan menurut syari’at hukum
Islam pada dasarnya hanya memberikan akibat hukum kepada hubungan anak orang tua berdasarkan pernikahan tersebut, demi untuk membedakan manusia beradab dari
hewan.
197
Didalam hal terjadinya li’an bukan hanya karena tuduhan suami terhadap istri bahwa istri berbuat zina, namun terkadang diiringi dengan penolakan terhadap anak
yang dikandung maupun anak yng telah dilahirkan oleh istrinya sebagai anak dari hasil zina antara istrinya dengan orang lain. Anak yang dilahirkan dari seorang wanita
yang dili’an oleh suaminya disebut juga sebagai sebagai anak mula’anah.
198
195
Bismar Siregar, Op.cit, hal., 241.
Kedudukan anak mula’anah hukumnya sama dengan anak zina, ia tidak mengikuti nasab suami yang meli’anibunya, melainkan mengikuti nasab ibu yang
196
Ibid.
197
Iman Jauhari, Op.cit.,hal., 2.
198
Ibid.,hal., 11.
Universitas Sumatera Utara
melahirkannya, sehingga dapat dipahami bahwa kedudukan hukum anak mula’anah sama dengan kedudukan hukum anak zina, baik dalam masalah hubungan nasab dan
kewarisan maupun dalam hal perwalian dan lain-lain.
199
Menurut hukum nasional diatur di dalam Pasal 43 Undang-Undang No.1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan ,
yaitu:
200
1 Anak yang dilahirkan diluar perkawinan hanya mempunyai hubungan perdata
dengan ibunya dan keluarga ibunya, 2
Kedudukan anak tersebut ayat 1 diatas selanjutnya akan diatur dalam Perturan Pemerintah.
Pasal diatas cukup jelas bahwasannya anak yang dilahirkan oleh wanita yang dili’an oleh suaminya merupakan anak mula’anah, sejak terucapnya sumpah sebagai
penolakan terhadap anak tersebut , maka mulai saat itu putuslah nasab anak tersebut dengan suami yang meli’an ibunya. Sehingga anak itu hanya memiliki nasab dengan
ibunya dan keluarga ibunya, karena dalam hal ini anak mula’anah termasuk kedalam golongan anak diluar kawin.
Didalam hukum Islam anak mula’anah dipandang sama dengan anak diluarnikah atau anak zina, dengan kata lain anak luar nikah merupakan anak dari
hasil hubungan kelamin diluar ikatan yang sah.
201
199
Ibid, hal., 16-17.
Perlindungan terhadap kedudukan atau status hukum dari anak mula’anah bahwa kedudukan anak tersebut harus
200
Lihat Pasal 43 Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan
201
Iman Jauhari, Op.Cit.,hal., 11.
Universitas Sumatera Utara
dihargai. Dalam Undang-Undang No.1 Tahun 1974 sesuai syari’at agama anak yang lahir diluar pernikahan, tidak boleh dikucilkan dari hubungan ibunya, ia tidak pernah
minta dilahirkan tetapi dia dilahirkan. Hargai dan hormati dia yang tidak mempunyai ayah tapi jelas memiliki ibu, sehingga harus menghargai kedudukan anak tersebut.
202
Dalam Pasal 23 Undang-Undang No. 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak menerangkan bahwa:
203
1 Negara dan Pemerintah menjamin perlindungan dan pemeliharaan, dan
kesejahteraan anak dengan memperhatikan hak dan kewajiban orang tua, wali atau orang lain yang secara hukum bertanggung jawab terhadap anak.
2 Negara dan pemerintah mengawasi penyelenggaraan perlindungan anak.
Berkaitan dengan teori keadilan , bahwa keadilan merupaka kemauan yang bersifat tetap dan terus menerus untuk memberikan kepada setiap orang apa
semestinya untuknya.
204
Muh.Alwy Al Maliki berpendapat keadilan ialah memenuhi hak seseorang sebagaimana mestinya tanpa membeda-bedakan siapakah yang harus
menerima hak itu.
205
202
Bismar Siregar, Op.Cit., hal., 254
Kaitan teori keadilan memandang hak anak mula’annah bahwa anak mula’anah juga memiliki hak atas perlindungan yang sama dengan anak-anak
secara umum sesuai dengan Pasal 23 Undang-Undang No. 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak. Kedudukan anak mula’anah sama dengan kedudukan anak diluar
203
Lihat Pasal 23 Undang-Undang No. 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak.
204
Satjipto Rahardjo, Ilmu Hukum ,Bandung: Alumni, 1986, hal. 49.
205
Muh. Alwy Al Maliki, Loc. Cit.
Universitas Sumatera Utara
nikah, kendatipun demikian anak-anak tersebuat harus diperlakukan seadil-adilnya terhadap apa yang harus menjadi hak mereka sebagai anak dan memperoleh
kesejahteraan serta sertiap anak baik anak sah maupun anak diluar kawin, memiliki kedudukan dan status hukum yang harus dilindungi dan mempunyai hak-hak sesuai
masing-masing golongan anak.
B. Hak-Hak Istri yang Telah Diceraikan karena Li’an