BAB II PROSEDUR PENYELESAIAN
LI’AN MENURUT FIQIH ISLAM DAN KOMPILASI HUKUM ISLAM
A. Tinjauan Umum TentangLi’an
1. Pengertian Li’an Menurut Fiqih Islam dan Kompilasi Hukum Islam
Li’an menurut bahasa berarti ala’nu bainatsnaini fa sha’idan yaitu saling melaknat yang terjadi diantara dua orang atau lebih. Menurut kitab Al-Mufashal fie
ahkami al-mar’ah wa al-bait al-muslim fi al shari’ah al-islamiyah, karya Abdul karim Zaidan disitu dijelaskan bahwasannya secara leksikal kebahasaan al-la’nu
berarti al-ab’adu yang memiliki arti arti berjauhan atau al-thordu min al-khoi yang berarti pengusiran dari kebaikan, bisa juga isimnya adalah al-la’nah, maka jama’nya
adalah li’an, li’anat.
57
Abi Zakariya al-Anshari dalam kitabnya fatkhu al-wahab, mengatakan bahwa pengertian li’an menurut bahasa adalah masdar dari fiil “la’ana”yang berlaku dari
bentuk jamak “li’ana”yakni membuang dan menjauhkan.
58
57
Abdul Karim Zaidan, Al-Mufahal fie ahkami al-mar’ah wa al-bait al-muslim fi al-shari’ah
Li’an adalah kata masdar dari kata kerja la’ana, yyula’inu, li’anan yang diambil dari kata al-la’nu yang berarti
al-islamyah VII, hal., 320.
58
Abi Yahya Zakaria al-Anshari, Fath al-Wahhabi juz I, Semarang : Toha Putra, hal., 98.
Universitas Sumatera Utara
jauh dari kebaikan, azab, laknat atau kutukan.
59
Disebut demikian, karena suami isti yang saling berli’an itu berakibat saling dijauhkan oleh hukum dan diharamkan
berkumpul bagi suami istri tersebut untuk hidup sebagai suami istri untuk selama- lamana, atau karena di dalam li’an suami istri diharuskan bersumpah li’an yang
didalam sumpah dan kesaksiannya yang kelima menyatakan bersedia mendapat laknat Allah jika pernyataannya tidak benar.
60
Menurut bahasa kata li’an dan mu’la’anah berarti saling melaknat yang terjadi di antar dua orang atau lebih, li’an dalam kosa kata bahasa tidak sama dengan
li’an yang dimaksud didalam munakahat walaupun memiliki tujuan yang sama-sama melakukan sumpah ataupun kutukan. Sedangkan menurut istilah shar’i, li’an ialah
redaksi tertentu yang diucapkan suami bahwa istriya telah berzina dengan laki-laki lain atau ia menolak anak yang dikandung atau anak yang dilahirkan oleh istrinya
sebagai anak kandungnya, dan istri pun bersedia bersumpah bahwa tuduhan suaminya yang dialamatkan kepada dirinya itu dusta.
61
Li’an secara terminologi adalah persaksian yang dikuatkan dengan sumpah, yang dilakuka oleh suami istri
apabila seorang suami menuduh istrinya berzina atau tidak mengakui anak yang dilahirkan oleh istrinya sebagai anaknya dengan disertai kata laknat dari pihak suami
dan sanggahan dari pihak istri.
62
59
Jamaluddin, Hukum Perkawinan Empat Mazhab Hanafi, MAliki, Syafi’i dan Hanbali, Medan : Lembaga Peneliti dan Pengabdian pada Masyarakat Universitas Islam Sumatera Utara ,
hal.,131
Li’an dapat diartikan sebagai tuduhan suami
60
Ibid., hal., 132
61
Abdul Karim Zaidan, Op.Cit, hal.,321.
62
Ali Hasb Allah, al-Furqah,hal. 176.
Universitas Sumatera Utara
terhadap istri bahwa istrinya berzina dengan orang lain atau mengingkari kehamilan istri dengan disertai empat kali kesaksian bahwa ia termasuk orang yang benar dalam
tuduhannya, kemudian sumpah kelima disertai ketersediaan menerima laknat Allah jika ia berdusta dalam tuduhannya.
63
Kajian li’an didalam perspektif Fiqh Islam merujuk kepada pengertian li’an yang terdapat didalam Al-Quran dan juga Al-Hadist, karena perluasan penafsiran
yang lebih lanjut terhadap defenisi li’an yang terdapat di dalam sumber Hukum Islam tersebut, maka kitab Fiqih adalah sebuah alternatif untuk menghubungkan
pemahamanmengenai masalah li’an. Pengertian li’an menurut para ahli fiqih : a.
Abi Yahya Zakariya al-Ansharimendefenisikan li’an adalah beberapa kalimat yang maklum digunakan sebagai hujjah bagi orang yang membutuhkannya
untuk menuduh zina kepada istrinya, dan menetapkan kejelekan dengannya atau untuk menolak anaknya.
64
b. Imam Taqiyuddin Abi Bakr mendefenisikan li’an adalah ibarat dari kalimat
yang biasa digunakan untuk menuduh zina suami kepada istrinya dan ia suami bersumpah bersedia menerima laknat apabila ia suami berbohong.
65
c. Ibnu ‘Abidin mendefenisikan li’an adalah beberapa kesaksian yang dikuatkan
dengan sumpah, yang mana kesaksian suami disertai dengan laknat dan
63
Abdul Rahman Ghazali, Fiqh Munakahat, Jakarta : Kencana, 2008, hal., 239.
64
Abi Yahya al-Anshari, Op. Cit. hal., 98.
65
Taqiyuddin Abi Bakr, Kifayah al-Ahyar, Juz II, Mesir : Dar al-Kutub al-Araby, hal., 121.
Universitas Sumatera Utara
kesaksian istri dengan qazf, yang menduduki kedudukan hak qazf pada suami dan menduduki kedudukan had zina pada hak istri.
66
Li’an dalam pengertian menurut para ulama mazhab: a.
Ulama mazhab Hanafi dan Mazhab Hambali mendefenisikan li’an dengan persaksian kuat dari pihak suami bahwa istrinya berbuat zina yang
diungkapkan dengan sumpah yang yang dibarengi dengan lafal li’an, yang ditanggapi dengan kemarahan dari pihak istri. Bagi Ulama Mazhab Hanafi,
li’an tidak sah dalam nikah fasid.
67
b. Ulama Mazhab Maliki mendefinisikannya dengan sumpah suami yang muslim
dan cakap bertindak hukum bahwa ia melihat istrinya berzina atau ia mengingkari kehamilan istrinya sebagai hasil pergaulannya dengan istrinya itu,
kemudian istri bersumpah bahwa tuduhan tersebut tidak benar sebanyak empat kali di hadapan hakim, baik nikah antara suami istri itu nikah shahih maupun
fasid. Bagi mereka, li’an yang dilakukan suami yang kafir, anak kecil, orang gila dan orang mabuk tidak sah.
68
66
Ibnu ‘Abidin, Radd al-Muhtar, Juz V, Lebanon : Dar al-Kutub al-‘Ilmiah, hal., 149.
67
Abdul Aziz Dahlan, Ensiklopedi Hukum Islam, Jakarta : Ichtiar Baru Van Hoeve, 1996, hal., 1009.
68
Ibid
Universitas Sumatera Utara
c. Ulama Mazhab Syafi’i mendefinisikannya dengan kalimat tertentu yang
dijadikan alasan untuk menuduh istri berbuat zina dan mempermalukannya atau mengingkari kehamilan istri sebagai hasil pergaulannya dengan istrinya.
69
Dalam kitab fiqih tradisional masih ditemukan pendapat pakar hukum Islam tentang apakah li’an itu sebagai sumpah atau kesaksian. Menurut Imam Maliki,
Syafi’i dan Jumhur Ulama berpendapat bahwa li’an adalah sumpah, sebab kalau dinamakan kesaksian tentulah seseorang tidak menyebut bersaksi bagi dirinya.
70
Sedangkan Abu Hanifah dan murid-muridnya berpendapat bahwa li’an adalah kesaksian dengan alasan bahwa firman Allah yang menyebutkan tentang li’an
penekanannya kepada “maka kesaksian salah seorang dari mereka mengucapkan empat kali kesaksian dengan menyebut nama Allah” dam juga Hadist Ibnu Abbas
yang menyebutkan istri mengucakan kesaksian pula.
71
Perceraian merupakan bagian dari perkawinan, Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan, Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 dan
Kompilasi Hukum Islam Indonesia mengklasifikasi perceraian kepada 1 kematian salah satu pihak, 2 perceraian karena talaq dan perceraian karena gugat, 3
keputusan pengadilan.
72
69
Abdul Rahman Al Jaziri, Kitab Al Fiqh ala Mazahibi al Arba’ah , Mesir : Mathba’ah Tijariyah Al Kubra, hal., 244.
Pada dasarnya bahwa hukum acara yang berlaku di lingkungan Peradilan Agama adalah hukum acara yang berlaku di lingkungan
Peradilan Umum, kecuali yang telah diatur secara khusus, seperti dalam memeriksa
70
Abdul Manan, Op. Cit, hal., 147.
71
Ibid
72
Ibid, 127.
Universitas Sumatera Utara
perkara sengketa perkawinan. Hal-hal yang diatur dengan hukum secara khusus dalam sengketa perkawinan, meliputi perkara-perkara:
73
1 Cerai Talak
2 Cerai Gugat
3 Pembatalan Perkawinan
4 Ijin Poligami
5 Acara Li’an
6 Acara Khuluk
7 Penetapan Wali Adhol
8 Sengketa harta perkawinan
Li’an merupakan acara khusus di Pengadilan Agama yang diatur dalam pasal- pasal tertentu di dalam Kompilasi Hukum Islam.
74
Li’an merupakan salah satu penyebab putusnya hubungan perkawinan antara suami istri, sesuai dengan Pasal 125
Kompilasi Hukum Islam yang menekankan bahwa li’an juga menyebabkan putusnya perkawinan antara suami dan istri untuk selama-lamanya.
75
Pelaksanaan li’an hanya sah apabila dilakukan dihadapan sidang Pengadilan Agama sebagaiman yang disebutkan dalam Pasal 128 Kompilasi Hukum Islam.
76
73
A. Mukti Arto, Praktek Perkara Perdata di Pengadilan Agama, Cet. ke-2, Yogyakarta :
Li’an merupakan perintah hakim kepada suami yang menuduh istrinya berselingkuh untuk mengucapkan sumpah.Apabila istrinya tidak hadir, maka harus disebutkan
namanya oleh suami, dan jika istrinya hadir, maka harus ditunjuk dengan isyarat
Pustaka Pelajar, 1998, hal., 203.
74
Ibid, 226.
75
Lihat Pasal 125 Kompilasi Hukum Islam.
76
Abdul Manan, Op.Cit, hal., 146.
Universitas Sumatera Utara
tangannya. Pendapat lain mengatakan harus dihubungkan antara menyebutkan nama dengan isyarat tangan.
77
A.Fuad Said, berpendapat bahwa li’an hanya dapat dilakukan didepan hakim, dan hakim disunatkan terlebih dahulu memperingatkan tentang siksaan yang berat
yang akan diterimanya, apabila masing-masing suami istri memberikan keterangan yang tidak benar.
78
Pelaksanaan li’an oleh hakim dilakukan di hadapan beberapa orang beriman, dan harus berdasarkan ungkapan-ungkapan yang terdapat dalam ayat-
ayat Al-Qur’an.
79
1 Mukallaf yaitu suami istri merupakan muslim, baligh , berakal, merdeka
bukan hamba sahaya, mempunyai kemampuan berbicara dengan jelas dan lancar.
Berlakunya li’an diantara suami dan istri apabila:
2 Adanya pernikahan yang sah yang dilakukan oleh kedua belah pihak.
3 Status istri orang yang terhormat, istri merpakan sosok yang menjaga diri
dari perbuat zina dan dapat menjaga marwah dirinya dan keluarganya. Maka berlaku sebaliknya, jika istri merupakan wanita yang kurang
menjaga diri diperlukan li’an, untuk meyakinkan tuduhan atas dirinya.
4 Tidak terdapat saksi , tidak adanya alat bukti atau saksi jelas dan sah yang
membenarkan tuduhan suami atas istrinya. Karena dengan mendatangkan empat laki-laki adil menjadi saksi perzinaan yang dilakkan istri, maka
gugurlah praktek li’an saat itu juga.
5 Istri mengingkari tuduhan atas dirinya. Sehingga jika istri mengakui
perbuatannya maka li’an tidak diperlukan lagi. 6
Didepan sidang Pengadilan , istri mendatangkan hakim. Dalam hal ini kedatangan hakim menjadi salah satu syarat sah diberlakukannya li’an,
karena praktek li’an juga bisa dijadikan alat menghindarkan istri dari aib perusak nama baik.
77
Abu Ishaq Ibrahim bin Ali bin Yusuf, Kunci Fiqh Syafi’i, alih bahasa Hafid Abdullah, cet. ke-1 , Semarang: Asy Syifa’, 1992, hal., 257.
78
A. Fuad Said, Perceraian Menurut Hukum Islam, Jakarta: Pustaka AlHusna,1993,hal.,149.
79
Abu bakar Jabir El-Jazairi, Pola Hidup Muslim Minhajul Muslim Mu’amalah, Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 1991, hal., 219.
Universitas Sumatera Utara
Dalam hal percerian dalam masalah cerai gugat atas alasan zina telah diatur secara khusus dalam Pasal 87 dan 88 Undang-Undang Nomor7 Tahun 1989 jo
Undang-Undang No. 3 Tahun 2006 jo Undang-Undang No. 50 Tahun 2009 tentang Peradilan Agama, maka sistem pembuktian dalam pemeriksaan cerai karena alasan
zina adalah sistem pembuktian yang diatur dalam Al-Qur’an surah An-Nuur ayat 4, 6 dan 7 yakni harus ada empat orang saksi yang melihat perbuatan tersebut. Apabila
suami tidak dapat menghadirkan empat orang saksi maka ia dianggap dalam keadaan qazf dan hakim secara ex officio dapat memerintahkan suami untuk mengucapkan
sumpah li’an sesuai dengan tata cara yang diatur didalam Al-Qur’an dalam surat An- Nuur ayat 6 dan 7.
80
Sesuai dengan ketentuan Pasal 87 ayat 1 Undang-Undang Nomor 50 Tahun 2009, sumpah li’an harus diperintahkan oleh hakim secara ex
officio kepada suami, dan perintah itu dituangkan kedalam putusan sela.
81
Pihak istri berdasarkan surat An-Nuur ayat 8 dan 9 dapat menolak sumpah suami tersebut
dengan mengucapkan sumpah yang sama di muka hakim Pengadilan Agama. Dengan terjadinya saling bersumpah antara suami dan istri dimuka hakim Pengadilan Agama,
maka terwujud penyelesaian perkara perceraian karena alasan zina secara li’an.
82
Dalam Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 tidak ada pasal yang secara rinci mengatur tentang proses penyelesaian perkara li’an, Undang-
Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 hanya menjelaskan bahwa suami boleh
80
Abdul Manan, Op.Cit, hal., 144.
81
Abdul Manaf, Sumpah Li’an dan Teknis Penerapannya dalam Pemeriksaan Perkara Pereraian karena Alasan Zina, No 28 Tahun VII, Mimbar Hukum, 1996, hal., 49.
82
Abdul Manan, , Op.Cit, hal., 145.
Universitas Sumatera Utara
menyangkal anak yang dikandung atau dilahirkan oleh istrinya, dan suami berhak mengajukan perkara tersebut ke Pengadilan Agama, didalam Kompilasi Hukum
Islam dipaparkan dengan jelas tidak hanya pengertian tentang li’an namun proses penyelesaian dalam perkara li’an dijelaskan dalam beberapa pasal.
2. Dasar Hukum Li’an Berdasarkan Al-Qur’an dan Al-Hadist