Undang-Undang Ketenagakerjaan No.132003 Perlindungan terhadap Diskriminasi Perempuan

hak asasi perempuan khususnya bertujuan untuk mewujudkan kesejahteraan dan kebahagiaan seluruh umat manusia laki-laki dan perempuan tanpa kecuali. 51

E. Undang-Undang Ketenagakerjaan No.132003 Perlindungan terhadap Diskriminasi Perempuan

Ketenagakerjaan diatur dalam Undang-Undang No. 13 tahun 2003, yang diundangkan pada Lembaran Negara Tahun 2003 Nomor 39 pada tanggal 25 Maret 2003, dan mulai berlaku pada tanggal diundangkan itu. Pembangunan ketenagakerjaan sebagai bagian integral dari pembangunan nasional berdasarkan pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara RI Tahun 1945, dilaksanakan dalam rangka pembangunan manusia Indonesia seutuhnya dan pembangunan masyarakat Indonesia seluruhnya untuk meningkatkan harkat, martabat, dan harga diri tenaga kerja serta mewujudkan masyarakat sejahtera, adil, makmur dan merata, baik materil maupun spiritual Penjelasan Umum atas UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. 52 UU No. 23 Tahun 2003 ini kiranya diusahakan sebagai peraturan yang menyeluruh dan komprehensif, antara lain mencakup pengembangan sumber daya manusia, peningkatan produktivitas dan daya saing tenaga kerja Indonesia, upaya perluasan kesempatan kerja, pelayanan penempatan tenaga kerja, dan pembinaan hubungan industrial. Tetapi, bila dilihat dri pengertian ketenagakerjaan sebagai segala hal yang berhubungan dengan tenaga kerja pada waktu sebelum, selama dan sesudah masa kerja, maka UU No. 23 tahun 2003 ini belumlah menyeluruh dan komprehensif karena hal yang berhubungan dengan tenaga kerja pada waktu 51 Alex Irwan, Op.Cit, hal 15-16 52 Hardijan Rusli, Hukum Ketenagakerjaan 2003, Cetakan Pertama, Jakarta : Penerbit Ghalia Indonesia, 2004, hal 9 Universitas Sumatera Utara sesudah masa kerja, seperti masalah pensiun tidak dibahas dalam undang-undang ini. 53 Menurut Undang-undang dan konvensi ILO yang telah diratifikasi Setiap pekerjaburuh berhak memperoleh perlakuan yang sama tanpa diskriminasi untuk memperoleh pekerjaan. Bunyi pasal 5 UU No.13 tahun 2003 tersebut mencerminkan bahwa tidak ada perbedaan hak antara pria dan wanita untuk memperoleh pekerjaan. Disamping diatur dalam undang-undang, Pemerintah juga telah meratifikasi konvensi ILO Nomor 100 tentang pengupahan yang sama dalam pekerjaan yang sama nilainya bagi laki-laki dan perempuan. Konvensi yang kedua nomor 111 tentang Diskriminasi dalam pekerjaan dan jabatan , isinya antara lain memuat ketentuan-ketentuan tentang larangan segala bentuk diskriminasi dalam pekerjaan berdasarkan ras, warna kulit, seks,agama,aliran politik dan sebagainya. Larangan diskriminasi ini termasuk kesempatan mengikuti pelatihan ketrampilan, memperoleh pekerjaan dan mematuhi syarat-syarat mendapatkan kondisi kerja. 54 kedudukan yang sama di muka hukum. Jadi sejak Tahun 1945 di negara kita prinsip kesetaraan laki-laki dan perempuan di depan hukum telah diakui. Undang- undang Perkawinan UU No. 1 Tahun 1974, Pasal 31 ayat 1 memuat kalimat- kalimat yang mengatakan, bahwa hak dan kedudukan isteri adalah seimbang dengan hak dan kedudukan suami dalam kehidupan rumah tangga dan pergaulan hidup bersama di masyarakat. Kemudian ada lagi pasal dalam Undang-undang Undang-undang Dasar kita yang dirumuskan pada Tahun 1945 sejak semula telah mencantumkan dalam Pasal 27 1, bahwa semua orang mempunyai 53 Ibid, hal 9 54 Abdul Khakim, Pengantar Hukum Ketenaga Kerjaan Indonesia Berdasarkan Undang- Undang Nomor 13 Tahun 2003, Bandung : Citra Aditya Bakti, 2003, hal 72 Universitas Sumatera Utara Perkawinan itu yang mengemukakan, bahwa harta benda yang diperoleh selama perkawinan menjadi harta bersama Pasal 35 ayat 1, dan mengenai harta bersama suami atau isteri dapat bertindak atas persetujuan kedua belah pihak Pasal 36 ayat 1. Ketentuan-ketentuan tersebut mengandung makna, bahwa terhadap isteri harus diberi penghargaan yang setara dengan suami. Ketentuan dalam GBHN 1993-1998 juga mengemukakan prinsip kesetaraan laki-laki dan perempuan seperti yang dapat dibaca berikut ini: “perempuan, baik sebagai warga Negara maupun sebagai sumberdaya insani pembangunan, mempunyai hak dan kewajiban serta kesempatan yang sama dengan laki-laki dalam pembangunan di segala bidang”. Di bidang hukum yang mengatur tentang hak-hak tenaga kerja, Negara kita telah meratifikasi Konvensi ILO No. 100, yaitu mengenai pengupahan yang sama untuk laki-laki dan perempuan pekerja untuk pekerjaan yang sama nilai, sehingga kita terikat untuk mengintegrasikannya ke dalam perundang-undangan kita. Semua ketentuan undang-undang serta ketentuan dalam GBHN yang telah dikutip tadi menjadi bukti yang nyata, bahwa pembuat undang-undang di Negara kita memang menyetujui prinsip kesetaraan laki-laki dan perempuan. 55 Perempuan menikmati perlindungan hak-hak asasinya seperti halnya laki- laki, yang berarti bahwa diskriminasi terhadap perempuan dilarang, menjadi hukum positif di negara kita dengan ratifikasi terhadap Konvensi PBB mengenai Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap perempuan disingkat dengan Konvensi Perempuan melalui Undang-Undang No. 7 Tahun 1984. Di kalangan PBB konvensi ini telah diterima pada Sidang Umum tahun 1979, dan pembuatan 55 Asri Wijayanti, Op.Cit. hal 59 Universitas Sumatera Utara konvensi ini dilatar-belakangi oleh fakta, bahwa resolusi-resolusi serta deklarasi- deklarasi, seperti Deklarasi Universal mengenai Hak-hak Asasi Manusia atau Deklarasi mengenai Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Perempuan, sebagai instrumen tidak mampu menghilangkan diskriminasi terhadap perempuan. Hak-hak asasi perempuan tetap dilanggar secara meluas. Maka itu Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap perempuan dianggap perlu dibuat dan diharapkan dapat bekerja sebagai instrumen yang lebih efektif dalam mencegah dan menghapuskan diskriminasi terhadap perempuan. Harapan ini didasarkan pada konsekuensinya, antara lain adalah negara penandatangan mengikat diri untuk mengeluarkan berbagai peraturan, dan mengadakan berbagai kebijaksanaan maupun langkah-langkah lainnya wilayah negaranya untuk menjamin terhapusnya diskriminasi terhadap perempuan. Pada Konvensi perempuan Pasal 2, dibaca bahwa negara peserta Konvensi mengutuk diskriminasi terhadap wanita dalam segala bentuknya, bersepakat untuk menjalankan dengan segala cara yang tepat dan tanpa ditunda-tunda, kebijaksanaan menghapus diskriminasi terhadap perempuan, antara lain: 1. Membuat peraturan perundang-undangan yang tepat, dan peraturan-peraturan lainnya, termasuk sanksi-sanksinya di mana perlu, melarang semua diskriminasi terhadap perempuan. 2. Menegakkan perlindungan hukum terhadap hak-hak perempuan atas dasar yang sama dengan kaum laki-laki dan untuk menjamin melalui pengadilan nasional yang kompeten dan badan-badan pemerintahan lainnya, perlindungan perempuan yang efektif terhadap tiap tindakan diskriminasi. Universitas Sumatera Utara 3. Tidak melakukan suatu tindakan atau praktek diskriminasi terhadap perempuan, dan untuk menjamin bahwa pejabat-pejabat pemerintah dan lembaga-lembaga negara akan bertindak sesuai dengan kewajiban ini. 4. Membuat peraturan-peraturan yang tepat untuk mengubah dan menghapuskan undang-undang, peraturan-peraturan, kebiasaan-kebiasaan dan praktek-praktek yang merupakan diskriminasi terhadap perempuan. Walaupun telah jelas-jelas digariskan bahwa harus menjamin supaya perempuan memperoleh perlakuan yang setara dengan laki-laki, fakta-fakta menunjukkan diskriminasi yang berkelanjutan terhadap perempuan. Berbagai hal yang terjadi pada perempuan, yang dapat kita amati, yang beritanya kita baca dalam media masa, malahan berbagai rumusan undang-undang menunjukkan bahwa perlakuan diskriminatif terhadap perempuan masih berlangsung terus. Pasal 1 Konvensi Perempuan berbunyi sebagai berikut: Untuk tujuan Konvensi yang sekarang ini, istilah diskriminasi terhadap perempuan berarti setiap pembedaan, pengucilan atau pembatasan yang dibuat atas dasar jenis kelamin, yang mempunyai pengaruh atau tujuan untuk mengurangi atau menghapuskan pengakuan, penikmatan atau penggunaan hak-hak asasi manusia dan kebebasan- kebebasan pokok di bidang politik, ekonomi, sosial, budaya, sipil atau apapun lainnya oleh kaum perempuan terlepas dari status perkawinan mereka, atas dasar persamaan antara laki-laki dan perempuan. 56 Beberapa contoh perlakuan diskriminatif yang meluas adalah gaji yang diterima oleh tenaga kerja perempuan lebih rendah dari yang diterima oleh laki- laki. Kemudian pekerjaan perempuan yang berwujud sebagai curahan waktu yang 56 Editus Adisu dan Libertus Jehani, Op.Cit, hal 28 Universitas Sumatera Utara panjang untuk mengurus rumah tangga, mengurus anak-anak, mengurus berbagai keperluan suami tidak memperoleh penilaian dalam arti tidak diperhitungkan sebagai sumbangan bagi ekonomi rumah tangga. Suami dan anggota lain dari keluarga dapat menghasilkan uang dan tercatat dalam statistik, sedangkan perempuan yang karena kegiatannya memungkinkan suami dan orang lain bekerja dianggap tidak bekerja. Hal lain adalah anggapan bahwa anak laki-laki itu jaminan di hari tua dan anak perempuan bukan. 57 Hak untuk bekerja dengan jelas dinyatakan dalam pasal 23 dari Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia Universal Declaration of Human Rights. Karena deklarasi tersebut juga melarang diskriminasi berdasarkan jenis kelamin, maka pernyataan tersebut bisa dilihat sebagai suatu landasan awal bagi Konvensi ini. Ketentuan serupa dikodifikasikan dalam pasal 6 dari Kovenan Internasional tentang Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya International Covenant on Economic, Social and Cultural Rights. 58 Organisasi Buruh Internasional menempatkan diskriminasi dalam lapangan kerja dan pekerjaan sebagai agenda dalam sidangnya yang ke empat puluh 1957 sehubungan dengan permintaan dari Komisi Hak Asasi Manusia Commission on Human Rights dan Subkomisi Pencegahan Diskriminasi dan Perlindungan Kelompok Minoritas Subcommission on Prevention of Discrimination and Protection of Minorities. Baik subkomisi maupun komisi tersebut mengkaji rancangan Konvensi mengenai Diskriminasi dalam Lapangan Kerja dan Pekerjaan berikut semua komentar dari berbagai Pemerintah atasnya. Dalam sidang berikutnya tanggal 15 Juni 1960, Sidang Umum General Conference dari Organisasi Buruh Internasional menyetujui Konvensi Diskriminasi Lapangan Kerja dan Pekerjaan. Pada saat yang sama mereka juga menyetujui sebuah Rekomendasi yang berisi ketentuan-ketentuan dasar yang sama tapi dalam bentuk non fakta. Konvensi ini diberlakukan pada tanggal 15 Juni 1960, 57 Nursyahbani, Katjasungkana, Keabsahan Perkawinan, Otoritas Siapa?, Kompas 12 Mei 1997. 58 Alex Irwan, Op.Cit, hal 49 Universitas Sumatera Utara sesuai dengan pasal 8 duabelas bulan setelah diratifikasi oleh dua Anggota. 59 Dengan fakta ini, Negara-negara Peserta terikat dengan kewajiban untuk mengambil langkah-langkah nasional guna mempromosikan kesetaraan di bidang lapangan kerja dan pekerjaan;mereka setuju untuk bertindak kearah penghapusan diskriminasi yang didasarkan pada sejumlah alasan, termasuk jenis kelamin. Mereka setuju untuk berkonsultasi dengan organisasi-organisasi buruh dalam rangka mencapai tujuan ini, untuk menyediakan program-program pendidikan yang mempromosikan kebijakan ini dan menyelaraskan perundangan dan praktek- praktek administratif agar sejalan dengan tujuan ini. 60 Seiring perkembangan zaman, maka konsep terhadap peran ganda perempuan berkembang. Peran-peran yang dimiliki perempuan merupakan dampak dari kemajuan atau perubahan kultur. Di masa kini perempuan juga harus turut membangun bangsa, perempuan harus meningkatkan kualitasnya dan menepis adanya diskriminasi sekaligus menegakkan keadilan gender. Paradigma ini perlu ditumbuhkembangkan bagi setiap individu, kompenen bangsa lantaran masih saja terdapat diskriminasi dan peminggiran terhadap perempuan dalam banyak aspek kehidupan. Baik itu aspek pendidikan, ekonomi, politik, kebudayaan dan lain-lain. Sebab, bila paradigma itu tidak muncul dari kaum perempuan sendiri, maka masalah ketertinggalan kaum perempuan akan menjadi permasalahan yang tidak saja merugikan perempuan itu sendiri, akan tetapi juga merugikan pembangunan nasional dan daerah secara keseluruhan. Dalam melaksanakan program pembangunan, bila perempuan memiliki kualitas hidup 59 Ibid, hal 49 60 Ibid, hal 50 Universitas Sumatera Utara yang optimal, maka perempuan akan dapat bekerjasama dengan baik sebagai mitra sejajar laki-laki dalam pembangunan nasional dan daerah. Sebaliknya, bila perempuan dibiarkan tidak berdaya dan kualitas hidupnya dibiarkan rendah, maka perempuan akan menjadi beban pembangunan, sehingga pembangunan akan terhambat. 61 Berkaitan adanya peran ganda perempuan, tak pelak di zaman modern ini, kaum perempuan memang dituntut pula untuk bisa tampil mandiri, dinamis, kreatif, penuh inisiatif, dan profesional dalam mengambil perannya di sektor publik. Meski demikian, bukan berarti harus meninggalkan “naluri” keibuan yang penuh sentuhan perhatian dan kasih sayang terhadap anak dan suami, lembut, hormat, etis, dan bermartabat tinggi. Soal adanya beda pendapat atas peran ganda perempuan adalah hal yang lumrah. Emansipasi sesungguhnya memang belum terealisasi secara maksimal dalam kehidupan demokrasi di negeri ini. 62 Diskriminasi terhadap perempuan, masih sering terjadi. Cita-cita untuk meningkatkan keadilan dan kesejahteraan, khususnya bagi perempuan masih sangat panjang. Banyak kendala yang menghalangi perempuan untuk maju, antara lain nilai budaya dan mitos-mitos yang menyudutkan perempuan. Kesetaraan dan ketidakadilan tugas antara lelaki dan perempuan memang masih banyak yang pro dan kontra.Terutama bila dipandang dari sisi teologis dan yang berkaitan dengan bentuk ketidakadilan dan diskriminasi yang sering terjadi, yaitu stereotif, subordinasi, atau marginalisasi terhadap perempuan. Undang-undang Dasar 1945 menjamin kesetaraan antara laki-laki dan perempuan. Pengurus utamaan gender telah diadopsi menjadi sebuah kebijakan untuk mengintegrasikan perspektif gender ke dalam kebijakan, perencanaan dan penganggaran. Meskipun demikian, masih terdapat beberapa hambatan bagi keterlibatan perempuan di berbagai bidang. Masalah diskriminasi masih mewarnai kondisi obyektif perempuan Indonesia. Berkenaan dengan posisi perempuan dalam konstitusi dapat dijabarkan bahwa hak konstitusional warga negara yang meliputi hak asasi manusia dan hak warga negara yang dijamin dalam UUD 1945 berlaku bagi setiap warga negara Indonesia. Agar setiap warga negara memiliki kemampuan yang 61 Editus Adisu dan Libertus Jehani, Op.Cit, hal 31 62 Ibid, hal 31 Universitas Sumatera Utara sama dan dapat memperoleh perlindungan dan pemenuhan hak konstitusional yang sama pula, diperlukan perlakuan khusus terhadap kelompok tertentu. 63 Pada tingkat nasional upaya menghapuskan diskriminasi terhadap perempuan dan mencapai kesetaraan gender telah dilakukan pada tingkatan perundang-undangan, walaupun tingkat pelaksanaan masih membutuhkan kerja keras dan perhatian serius. Penegakan hak konstitusional perempuan sebagaimana dijamin dalam UUD 1945 tentu harus melibatkan semua komponen bangsa. Disamping ketentuan-ketentuan hukum yang telah memberikan perlakuan khusus terhadap perempuan, tentu masih terdapat peraturan perundang-undangan yang dirasakan bersifat diskriminatif terhadap perempuan, atau paling tidak belum sensitif gender. 64 Pemetaan kelas sosial di desa diawali dengan menyusun alat ukur bersama masyarakat, berdasarkan ukuran yang dibuat di tiga dusun diperoleh ukuran kelas sosial kaya, sedang dan miskin adalah : 1 Banyaknya lahan yang dimiliki; 2 Harta benda; 3 Kondisi Rumah; 4 Ternak; 5 Penghasilancara membeli barang. Berdasarkan ukuran banyaknya lahan yang dimiliki ada perbedaan yang agak mencolok di dusun Sekurau Bawah diandingkan dengan dusun Sekerat maupun dusun Mampang. Kategori kelas kaya di dusun Sekurau Bawah tersebut justru tidak memiliki tanah luas. Tetapi justru beberapa orang yang miskin tidak semua memiliki lahan yang sangat luas. Kelas kaya rata-rata hanya amemiliki lahan ± 2 Ha, sedangkan kelas sedang memiliki lahan antara 10-35 Ha. Kelas miskin memang lebih variatif antara 2-100 Ha. Meskipun memiliki lahan yang luas tetapi 63 Bahder Johan Nasution, Hukum Ketenagakerjaan Indonesia Buku Pegangan Pekerja Untuk Mempertahankan hak-haknya, Bandung : Citra Aditya Bakti, 1994, hal 72 64 Ibid, hal 74 Universitas Sumatera Utara menurut masyarakat masuk kategori miskin karena tidak memiliki harta benda dan hanya rumah yang sederhana. 65 Perempuan bekerja adalah mereka yang bekerja di rumah, komunitas dan dunia kerja. Mereka menyumbang reproduksi sosial atas diri mereka sendiri dan juga keluarga mereka, tapi mereka juga seringkali melakukan aktivitas sukarela dalam membantu komunitas mereka. Dalam tahun-tahun terakhir ini, ada peningkatan bagi perempuan yang bekerja untuk mendapatkan pendapatan atau upah di dalam pasar tenaga kerja formal, baik secara nasional maupun internasional. Dunia kerja perempuan saat ini sudah bersifat mendunia, dan mentransendisi garis-garis ideologis, etnis dan nasional. Tapi tidak semua perempuan secara global terlibat dalam pekerjaan yang sama, atau kerja mereka dinilai secara adil atau setara. Biasanya mereka memiliki ciri kerja yang sama dalam dunia domestik yang meliputi antara lain pekerjaan rumah tangga, perawatan anak dan sosialisasi. 66 Ini dapat diartikan bahwa kalangan perempuan akan menjadi pihak yang sangat terbebani karenanya. Banyak kasus dimana mereka yang bekerja di perusahaan perkayuan raksasa mengalami musibah karena mereka memang bukan tenaga terampil. Demikian juga dengan mereka yang pergi ke kota ternyata banyak juga yang kemudian tidak kembali, kawin lagi dan sebagainya. Kedua hal tersebut sudah pasti akan memberatkan kalangan perempuan yang ditinggalkannya. Mereka harus bekerja mencari nafkah demi kelangsungan hidupnya, dan juga harus 65 Jurnal Perempuan untuk pencerahan dan Kesetaraan, Perempuan di Pertambangan, Jakarta : Penerbit Yayasan Jurnal Perempuan, 2003, hal 15 66 Ibid, hal 119 Universitas Sumatera Utara mengurus anak-anaknya.In the end of the day, perempuan juga yang akhirnya menjadi korban. 67 1. Pengusaha dilarang mem-PHK pekerja yang menikah, hamil atau melahirkan, baik hubungan kerja waktu tertentu maupun waktu tidak tertentu UU No. 13 Tahun 2003 Pasal 153 ayat 1 huruf d e ; Permen No. 03Men1989 Pasal 2. UU No. 13 Tahun 2003 Pasal 153 mengatur tentang larangan pengusaha melakukan pemutusan hubungan kerja yang disertai adanya alasan, diperkuat dengan jo. Permen 03Men1989 tentang larangan pemutusan hubungan kerja bagi pekerja wanita karena menikah, hamil, atau melahirkan. 2. Pengusaha wajib merencanakan dan melaksanakan pengalihan tugas bagi pekerja perempuan tanpa mengurangi hak-haknya karena sifat dan jenis pekerjaannya tidak mungkin dikerjakan oleh wanita hamil Permen 03Men1989 Pasal 3. 68 67 Ibid, hal 163 68 Whimbo Pitoyo, Paanduan Praktis Hukum Ketenagakerjaan, Cetakan Pertama, Jakarta : Penerbit Visimedia, 2010, hal 83 Universitas Sumatera Utara

Bab III PELAKSANAAN HAK-HAK PEKERJA BURUH PEREMPUAN DI PT.